Dari Wadah Pemikir CSIS : Kerja Sama Senjata Korea Utara-Rusia Mengancam Dunia Hingga Konfrontasi Poros AS dan Tiongkok

Wu Xianglian

Wadah pemikir Amerika Serikat, Center for Strategic and International Studies (CSIS) menyelenggarakan seminar bertajuk “Kerja Sama Senjata Korea Utara dan Rusia” pada Kamis 19 Oktober.  Diskusi ini membahas secara mendalam tentang ancaman kerja sama Korea Utara-Rusia terhadap komunitas internasional.

Sebelumnya, Gedung Putih mengabarkan bahwa dalam beberapa pekan terakhir, Korea Utara telah memberi Rusia “lebih dari seratus kontainer peralatan militer dan amunisi” untuk digunakan dalam perang Ukraina dengan imbalan senjata dan teknologi canggih Rusia.

John Kirby, direktur komunikasi strategis di Dewan Keamanan Nasional A.S. pada Jumat mengatakan perluasan kemitraan militer antara Korea Utara dan Rusia, termasuk transfer teknologi apa pun dari Rusia ke Korea Utara, akan melemahkan stabilitas regional dan rezim non-proliferasi nuklir global. 

Dia menambahkan: “Kami tidak akan membiarkan Korea Utara secara diam-diam membantu mesin perang Rusia, dan dunia harus tahu bahwa Rusia mungkin akan kembali memberikan dukungan kepada Korea Utara sebagai balasannya.”

Seminar ini dipandu oleh Mark William Lippert, Penasihat Senior CSIS dan Ketua Riset Korea, Joe Bermudez, Peneliti Senior Analisis Gambar CSIS dan Penasihat Senior Komisi Hak Asasi Manusia Korea Utara, dan Sue Mi Terry, konsultan senior di Macro Advisory Partners berpartisipasi dalam diskusi sebagai tamu.

Satelit Menangkap Pengiriman Senjata Korea Utara ke Rusia

Pada seminar tersebut, Bermudez mengatakan dia telah mengamati perbatasan antara Korea Utara dan Rusia melalui satelit. “Kami telah mengamati penyeberangan antara Tumangang dan Khasan, yang berada di sisi Rusia. Kami telah mengamati ini selama bertahun-tahun. Sekitar satu setengah tahun yang lalu, kami melihat sesuatu aktivitas yang tidak biasa. Pada bulan November 2022, sejumlah kelompok senjata terlihat dikirim dari Korea Utara ke Rusia.”

“Kami sebenarnya menangkapnya melalui citra satelit. Kami melihat 72 gerbong di stasiun kereta Tumangang  jumlah terbanyak yang pernah kami amati.”

Ia juga mengatakan: “Kim Jong Un bertemu dengan Putin di Rusia, pada September 2022, minggu kedua dan ketiga September. Tampaknya ada kaitannya langsung dengan hal ini.”

Pada kamis 19 Oktober 2023, CSIS mengadakan seminar bertajuk “Kerja Sama Senjata Korea Utara dan Rusia”. Moderator Mark William Lippert (kiri), peneliti senior CSIS di bidang analisis gambar Joe Bermudez (tengah) dan Sue Mi Terry (kanan) , penasihat senior di Macro Advisory Partners. (Tangkapan layar internet)

Bermudez mengatakan Korea Utara berusaha menyembunyikan tindakannya sebisa mungkin. “Ketika satelit komersial tidak berada di wilayah tersebut, mereka sering menyelesaikan transit sebagian dalam beberapa jam. Kami menemukannya ketika kami mengambil gambar sudut ekstrem dari area yang kami minati. Dengan kata lain, alih-alih melihat ke bawah dari arah yang relatif vertikal, kami melihat ke bawah dari sudut ekstrem. ”

Ketika ditanya bagaimana dia tahu itu peralatan militer, dia menjawab: “Ini bukan hanya gambar, itu didukung oleh kecerdasan buatan atau kecerdasan sinyal atau informasi lain yang mungkin. Ada sumber lain yang menguatkan bukti tersebut.”

Lebih lanjut Bermudez menyatakan bahwa sebelum invasi Rusia, Amerika Serikat memperhatikan penambahan pasukan Rusia. 

“Dilihat dari aktivitas pemantauan pada tahap awal invasi, Rusia jelas tidak menyangka akan dibutuhkan begitu banyak senjata. Ini bukan hal yang aneh, karena sebagian besar negara tidak memiliki persiapan perang jangka panjang. Ketika mereka benar-benar berperang, mereka menyadari bahwa mereka tak memiliki kecukupan amunisi.”

Bermudez menjelaskan, bahwa militer Rusia menggunakan sebagian besar senjata kecil, roket, mortir, peluncur roket.. “Ini semua adalah hal-hal yang Korea Utara mampu produksi secara massal. Korea Utara saat ini tidak memiliki kemampuan untuk memproduksi senjata canggih secara massal, tapi mereka punya waktu empat hingga enam bulan.” Cadangan strategis dapat digunakan. Pada saat yang sama, mereka dapat meningkatkan produksi senjata kecil, mulai dari ranjau darat hingga artileri besar, roket, dan sebagainya. Inilah yang kami  lihat dikirim dari Timur Jauh Rusia dengan kereta api dan melintasi Rusia ke garis depan.”

Dampak kerja sama senjata Korea Utara-Rusia di Semenanjung Korea

Rusia baru-baru ini memiliki hubungan dekat dengan Korea Utara. Menteri Luar Negeri Rusia Sergei Lavrov tiba di Pyongyang pada 18 Oktober dan bertemu dengan Kim Jong-un pada 19 Oktober. Kunjungan itu terjadi sebulan setelah Kim Jong Un bertemu dengan Putin.

Pada akhir Juli, Menteri Pertahanan Rusia Sergei Shoigu mengunjungi Pyongyang. Dia berbicara tentang hegemoni AS, kolonialisme Barat dan perlunya kerja sama antara Korea Utara dan Rusia. Sue Mi Terry penasihat senior di Macro Advisory Partners mengatakan kunjungan ini lebih dari sekadar menghangatkan hubungan dan sangat mengkhawatirkan. 

Apalagi, orang-orang sudah mengetahui bahwa Korea Utara sedang mencari rudal permukaan-ke-udara, jet tempur dan kendaraan lapis baja, teknologi, rudal balistik, produksi satelit, dan teknologi canggih lainnya. Oleh karena itu, Teknologi Rusia akan mempercepat program senjata pemusnah massal Korea Utara. 

Bagi Terry, Teknologi rudal canggih itu merupakan peningkatan yang serius.  Rusia telah mengatakan bahwa mereka akan membantu. Rusia sudah sangat terbuka untuk membantu dengan satelit. Artinya, Korea Utara mendukung perang Rusia di Ukraina, dan Rusia membantu Korea Utara untuk mempercepat program mereka. 

Konfrontasi dua kubu besar dunia Tiongkok dan Amerika Serikat sebagai poros utama

Berbicara mengenai isu Timur Tengah, Terry mengatakan bahwa Korea Utara telah lama mendukung Hamas, memberikan pelatihan dan senjata. Ini seperti membantu kelompok PLO pada era Kim Il Sung.

 Ditambah lagi, kita baru-baru ini melihat media Korea Selatan berbicara tentang kemungkinan bahwa senjata yang digunakan oleh Hamas diproduksi di Korea Utara, digunakan oleh Hamas, dan diangkut melalui negara-negara perantara seperti Iran dan Suriah.

Terry juga mengatakan bahwa media Korea Selatan memberitakan bahwa para pejabat Korea Selatan kini sedang membicarakan hubungan Korea Utara-Rusia dan perang Palestina-Israel. Jelas dari sini,  pejabat Korea Selatan khawatir rezim Korea Utara akan mendapatkan keuntungan dari serangan Hamas terhadap Israel baru-baru ini. Pelajaran yang didapat yakni tentang kelemahan Korea Selatan.

“Ketika Anda melihat Hamas berhasil  menentang sistem pertahanan rudal  Iron Dome menembakkan ribuan roket, maka dipikir Korea Selatan akan memikirkan efektivitas sistem pertahanan rudal mereka.”

Konfrontasi dua kubu besar dunia dengan Tiongkok dan Amerika Serikat sebagai poros utama

Dilihat dari situasi dunia saat ini, Terry yakin: “Secara global, apa yang kita lihat adalah dunia yang semakin terpecah, dengan konfrontasi antara Barat dan kelompok anti-Barat. Yang satu dipimpin oleh Amerika Serikat dan yang lainnya dipimpin oleh Tiongkok. Kelompok anti-Barat meliputi Rusia, Korea Utara, Iran, Hamas, Hizbullah, Suriah, dan lain-lain. Dan Israel, Eropa, Korea Selatan, Jepang, Australia, semua menjadi bagian Barat.”

Ada hubungan yang aneh antara Korea Utara sebagai anggota blok anti-Barat dan hubungannya dengan Rusia, Iran, dan kemudian dengan Hamas.

 Mark William Lippert senada dengan Terry,  dengan mengatakan: “Dengan pemikiran internasional Terry, sekarang Tiongkok telah mengadakan konferensi tentang Inisiatif  Belt and Road. Konferensi ini baru saja berakhir, dan kitai sedang mempelajari pengaruh Tiongkok yang semakin luas, tetapi kami bahkan tidak tahu apakah pengaruh-pengaruh ini telah dibicarakan secara publik. Seperti yang dikatakan Terry, semuanya saling berhubungan.”

Ancaman Korea Utara terhadap Amerika Serikat

Bermudez mengatakan bahwa Korea Utara telah meluncurkan banyak rudal jarak pendek dan memiliki rudal balistik yang diluncurkan dari kapal selam dengan jangkauan yang semakin luas. 

Baru-baru ini, rudal jelajah yang diluncurkan dari kapal selam dengan jangkauan 1.500 hingga 2.000 kilometer juga telah diluncurkan. Tantangan yang dihadapi kapal selam Korea Utara saat ini adalah bagaimana cara meninggalkan Laut Tiongkok Timur atau Laut Jepang.

Mengenai rudal balistik antarbenua, Bermudez yakin Korea Utara  dengan jelas menunjukkan kemampuannya dalam membangun rudal balistik antarbenua yang dapat mencapai Amerika Serikat.  Akan tetapi, hulu ledak rudal balistik antarbenua belum terbukti dapat bertahan dalam penerbangan. Pengembangannya masih dalam tahap terobosan.

Ia menegaskan, kapal selam terbaru Korea Utara, Hiro Kim Kunok, baru saja diluncurkan dan merupakan kapal selam kelas Romeo yang dimodifikasi. Kapal ini memiliki punuk yang dipasang di atasnya dengan empat tabung rudal besar dan enam tabung rudal kecil. Ini memberitahu kita bahwa kapal selam Korut telah meningkatkan efisiensinya secara signifikan. 

Selain itu, Kapal selam Korut berikutnya mungkin merupakan versi perbaikan dari yang baru saja diluncurkan. Mungkin lebih siluman, lebih mampu, dan dilengkapi dengan rudal yang lebih kuat. Mungkin akan diluncurkan dalam lima tahun ke depan. Pemerintah AS memperkirakan bahwa mereka mungkin meluncurkan kapal selam bertenaga nuklir pada tahun 2030. Kita lihat saja nanti, ini adalah tantangan besar.

Mark William Lippert melanjutkan dengan mengatakan bahwa Korea Utara dapat menggunakan rudal balistik yang diluncurkan dari kapal selam untuk serangan kedua. Hal inilah yang sedang mereka upayakan. Bahkan jika mereka tidak dapat memasuki wilayah Pasifik yang lebih luas, hal ini masih dapat membahayakan sekitar 50.000 hingga 80.000 tentara AS di Seoul, Tokyo dan tempat-tempat lain, ditambah berbagai infrastruktur di Korea Selatan dan Jepang.

Sekarang, Korea Utara bisa dengan mudah menargetkan Okinawa dan Guam. Jika Amerika Serikat membangun kembali hubungan dengan Filipina, mereka bisa menjangkau Filipina. Ini adalah hal-hal penting untuk dipertimbangkan. Mereka berpikir untuk jangka panjang. 

Lippert percaya bahwa ini adalah tujuan yang telah ditetapkan Korea Utara dalam negosiasi di masa depan untuk bernegosiasi dengan Amerika Serikat, mengenai kesetaraan dalam pengendalian senjata dan program nuklir guna mencapai tujuan geopolitik dan diplomatik mereka yang lebih luas.

Terry juga setuju dengan menyebutkan, Jika mereka mendapat bantuan dari Rusia, hal itu akan dipercepat. Apalagi, kita tidak punya kekuatan untuk menghentikan mereka. Ini hanya masalah waktu, dan pada akhirnya, ketika program rudal nuklir mereka mencapai tujuannya, mereka akan berkata: “Anda tidak punya pilihan, lupakan perundingan denuklirisasi’. Mereka kini  meningkatkan pengaruh mereka untuk mencapai tujuan tersebut.”

Bermudez mengatakan ini merupakan dilema besar bagi Amerika Serikat. Dia mengutip seorang pakar Korea Utara yang mengatakan, “Saya pikir Amerika Serikat memiliki strategi diplomatik, namun tidak memiliki strategi untuk membawa Korea Utara ke meja perundingan untuk menerapkan strategi diplomatiknya.” (Hui)