‘Skandal Buang Air Kecil’ Bir Tsingtao kembali Memicu Kekhawatiran Keamanan Makanan dan Minuman dari Tiongkok

Lisa Bian dan Sean Tseng

Sebuah video dari Tiongkok di media sosial telah menjadi topik perdebatan yang hangat tidak hanya di kalangan netizen Tiongkok, tetapi juga di luar negeri termasuk Korea Selatan hingga menyebabkan kemarahan publik yang cukup besar. Banyak konsumen Korea Selatan yang membeli bir Tiongkok  populer tersebut bersumpah tak akan pernah membelinya lagi.

Pada 19 Oktober, sebuah video muncul di berbagai platform media sosial Tiongkok, termasuk Douyin (TikTok versi Tiongkok) dan Weibo, yang menunjukkan seorang karyawan memanjat pagar untuk mendapatkan akses masuk yang tidak sah ke dalam fasilitas penyimpanan bir di pabrik ketiga Tsingtao Brewery. Begitu masuk, orang tersebut kemudian buang air kecil di salah satu tangki. Video ini dengan cepat mendapatkan perhatian, menjadi salah satu topik tren teratas di Weibo dan mendapatkan nama “Skandal Buang Air Kecil Bir Tsingtao” di berbagai media Tiongkok.

Sebagai tanggapan, Tsingtao Brewery Co. mengeluarkan pernyataan resmi pada 20 Oktober, mengakui insiden yang terekam dalam video di fasilitas produksi ketiga mereka pada hari sebelumnya. Perusahaan mengumumkan bahwa masalah ini telah dilaporkan kepada otoritas keamanan publik, yang sejak itu telah memulai penyelidikan. Sementara itu, batch malt yang terpengaruh dalam video tersebut telah dikarantina.

Insiden ini  memicu skeptisisme yang meluas di kalangan konsumen Tiongkok, dengan banyak yang mempertanyakan integritas Tsingtao Beer-sebuah merek yang telah memiliki sejarah selama 120 tahun dan memiliki posisi terdepan di pasar bir Tiongkok. Pabrik ketiga, yang terlibat dalam kontroversi ini, memiliki kapasitas produksi tahunan sebesar 1,2 juta kiloliter (sekitar 317 juta galon) dan diklaim sebagai “pabrik pintar kelas dunia terbesar dan paling efisien di Asia.”

Efek riak dari insiden ini telah mencapai Korea Selatan, pasar yang signifikan bagi Tsingtao Beer. Meskipun ada jaminan dari agen impor Korea Selatan untuk Tsingtao bahwa bir yang ditujukan untuk pasar domestik dan ekspor diproduksi di fasilitas yang terpisah, keraguan konsumen tetap ada.

Seo Kyoung-duk, seorang aktivis sosial Korea Selatan dan profesor di Universitas Wanita Sungshin, mengatakan bahwa ini bukanlah insiden yang terisolasi, melainkan masalah yang lebih luas terkait keamanan pangan di Tiongkok. Dia merujuk pada kontroversi sebelumnya, seperti yang melibatkan seorang warga Tiongkok yang mengawetkan kubis dalam kondisi yang tidak higienis, hal ini telah memicu kemarahan serupa di Korea Selatan. Profesor tersebut mendesak pemerintah Korea Selatan meningkatkan pengawasan terhadap produk makanan impor dari Tiongkok, dengan alasan masalah kesehatan masyarakat.

Penyimpangan Etika: Sejarah Insiden Keamanan Pangan yang Mengejutkan di Tiongkok

Pada Juni lalu, Tiongkok kembali menghadapi bencana keamanan pangan yang terkenal dengan skandal “Menyebut Tikus sebagai Bebek”. Seorang siswa di Sekolah Tinggi Teknologi Kejuruan Industri Jiangxi di Nanchang menemukan apa yang dicurigai sebagai kepala tikus dalam makanan di kantin mereka. Meskipun pihak kantin bersikeras menyatakan bahwa benda tersebut hanyalah leher bebek, namun demikian penyelidikan provinsi selanjutnya mengonfirmasi bahwa benda tersebut adalah kepala hewan pengerat. Insiden ini menyebabkan frasa “menyebut tikus sebagai bebek” menjadi tren di seluruh platform media sosial Tiongkok.

Sebelumnya pada Maret, karyawan di sebuah fasilitas produksi makanan Tiongkok tertangkap kamera sedang menginjak-injak acar sayuran dengan kaki mereka dan  membuang puntung rokok ke dalam makanan. Yang mengherankan, produk-produk ini tidak menjalani inspeksi sanitasi dalam bentuk apa pun setelah diakuisisi oleh perusahaan-perusahaan Tiongkok yang terkait.

Kepercayaan publik di Tiongkok terhadap produk makanan dalam negeri terus terkikis oleh serangkaian insiden yang mengkhawatirkan sejak beberapa tahun lalu. Pada 2008, susu formula bayi yang dicampur dengan bahan kimia beracun melamin menyebabkan beberapa kematian bayi dan menyebabkan 300.000 lainnya menderita masalah kesehatan yang parah seperti pembesaran kepala dan batu ginjal. Skandal ini menghancurkan kepercayaan konsumen terhadap susu formula yang diproduksi di dalam negeri.

Pada 2007, telur palsu yang direkayasa secara kimiawi yang terbuat dari bahan-bahan seperti natrium alginat, tawas, dan gelatin diperkenalkan ke pasar. Konsumsi dalam jangka panjang dapat menyebabkan kehilangan memori dan demensia. Bahan makanan palsu dan berbahaya, termasuk beras, kecap, ham, tahu, udang, dan teh hijau, secara teratur menyusup ke pasar konsumen Tiongkok.

Li Yuanhua, seorang ahli dalam urusan Tiongkok dan mantan profesor Pendidikan Sejarah di Capital Normal University, Tiongkok, mengatakan kepada The Epoch Times pada 23 Oktober bahwa “insiden buang air kecil” Tsingtao tampaknya tidak disengaja tetapi menggarisbawahi kesenjangan kritis dalam langkah-langkah keamanan pangan dalam rantai produksi. 

“Argumen bahwa skandal tersebut hanya melibatkan produk untuk konsumsi domestik adalah menggelikan. Apakah kita bisa menyimpulkan bahwa praktik-praktik seperti itu dianggap dapat diterima untuk pasar domestik?” ujarnya mempertanyakan.

Li berpendapat bahwa reaksi keras publik Korea Selatan terhadap skandal makanan bisa menjadi titik kritis, mengguncang kepercayaan mereka tidak hanya pada produk Tiongkok, tetapi mungkin juga pada kredibilitas rezim Komunis yang berkuasa di Tiongkok.

Kane Zhang berkontribusi dalam laporan ini.