Dari Kemakmuran Bersama Hingga Pengangguran Meluas Cerminkan Runtuhnya Kontrak Sosial Rezim Xi Jinping

oleh Lin Yan

Sebanyak 296 juta orang pekerja migran Tiongkok menghadapi perlambatan pertumbuhan upah, lulusan perguruan tinggi kesulitan mendapatkan pekerjaan, warga kelas menengah perkotaan menderita kerugian besar akibat runtuhnya sektor real estat, dan kelompok kaya “berjalan terseok-seok” akibat tindakan keras pemerintah terhadap industri internet, keuangan, dan medis.

Peraturan keamanan nasional Tiongkok telah membuat perusahaan-perusahaan asing khawatir, dan banyak yang menghentikan investasinya.

Namun Partai Komunis Tiongkok masih terus mengklaim bahwa semuanya berjalan sesuai dengan rencana. Di masa lalu, Partai Komunis Tiongkok mengizinkan warga sipil Tiongkok untuk mencari uang, itu sebagai imbalan atas ketidakpedulian pemerintah terhadap kebebasan politik mereka. Namun kini, kontrak sosial Partai Komunis Tiongkok telah bergeser dari pertumbuhan dan peluang ekonomi di masa lalu menjadi janji-janji samar mengenai keamanan dan “kehidupan yang baik di masa depan”.

Financial Times melaporkan bahwa seorang pria bermarga Zhou yang bekerja di Beijing mengatakan : “Saya tidak tahu siapa yang harus disalahkan atas resesi ekonomi, tapi saya tahu bahwa perekonomian sangat buruk tahun ini. PHK terjadi di mana-mana.”

Tugas pekerjaannya adalah mendirikan perusahaan cangkang dan menciptakan arus kas palsu bagi pemilik usaha kecil yang sedang mengalami kesulitan keuangan yang dapat dipakai untuk “gali lubang tutup lubang”, alias melunasi utang lama dengan utang baru.

Namun bahkan bisnis yang dianggap cocok untuk dikembangkan pada saat situasi ekonomi sedang buruk pun terpengaruh oleh perlambatan ekonomi Tiongkok. Bulan lalu, pendapatan Mr. Zhou turun cukup banyak dibandingkan tahun lalu, sampai ia berencana kembali ke kampung halamannya di Provinsi Henan untuk beralih bisnis, sebagai penjual telur organik.

PKT kehilangan dukungan rakyat dan memaksakan kontrak sosial kepada rakyat Tiongkok

Sebuah komentar di “Radio Free Asia” menyebutkan bahwa sejak Insiden Lapangan Tiananmen tahun 1989, PKT telah menerapkan kontrak sosial tidak tertulis, seperti ‘pemerintah berjanji akan memberikan kehidupan yang stabil kepada rakyat Tiongkok’ sebagai imbalan atas ketidakpedulian pemerintah terhadap kebebasan politik mereka. Kontrak sosial pada era kepemimpinan Hu Jintao adalah, ‘saya tidak akan menyiksa Anda, Anda dapat menjalani hidup Anda dengan tenteram, tetapi saya yang memutuskan apakah Anda memiliki, atau seberapa banyak hak politik seperti berbicara, mempublikasikan tulisan, berkumpul dan sebagainya yang boleh Anda miliki’.

Dalam sepuluh tahun kepemimpinan Xi Jinping, rakyat tidak kebagian rezeki maupun ketenteraman hidup karena pengaruh dari faktor internal dan eksternal. Apalagi di masa 3 tahun kebijakan ekstrem epidemi, warga sipil Tiongkok lebih-lebih selain kehilangan kebebasan pribadinya yang paling mendasar, tetapi harus menjalankan kehidupan sehari-hari yang penuh dengan kendali pemerintah.

Sebuah komentar di Radio Free Asia menekankan bahwa kontrak sosial antara PKT dengan rakyat Tiongkok dipaksakan oleh PKT, dan merupakan kompromi yang harus dilakukan oleh rakyat.

George Magnus, rekan peneliti dari Pusat Studi Tiongkok di Universitas Oxford kepada Financial Times mengatakan bahwa kontrak sosial ini telah rusak, tidak hanya karena model pembangunan Tiongkok yang lama tidak lagi berfungsi, tetapi juga karena pemerintah tidak mengatasi masalah yang ada. Pada dasarnya, ini adalah persoalan kredibilitas.

Dari Kemakmuran Bersama hingga pengangguran yang meluas

Xi Jinping menyampaikan pidato tentang “Kemakmuran Bersama” pada pertemuan Komite Keuangan dan Ekonomi Pusat Partai Komunis Tiongkok  Agustus 2021. Ia mengatakan bahwa kader PKT harus dengan tegas “menentang ekspansi modal yang tidak terkontrol” dan “mempertahankan dominasi sektor publik”, sambil juga mempertahankan cara tertentu untuk memobilisasi “antusiasme kewirausahaan”.

Isi pidato Xi ini secara langsung atau tidak telah mengumumkan bahwa rencana reformasi di masa lalu sudah disingkirkan. Beijing merevisi Undang-Undang Anti-Monopoli untuk mengekang raksasa Internet seperti Alibaba Group dan menerapkan serangkaian tindakan peraturan terhadap sektor pendidikan.

Setelah Xi Jinping memasuki masa jabatan ketiganya, ia memanfaatkan anggota kabinetnya untuk melancarkan tindakan keras terhadap perekonomian Tiongkok.

Langkah-langkah pemerintahan Xi Jinping ini melemahkan potensi pertumbuhan industri dan kemampuannya dalam menyediakan lapangan kerja. Ketika perusahaan mengurangi lapangan kerja, semakin sulit bagi lulusan perguruan tinggi, terutama generasi muda Tiongkok untuk mendapatkan pekerjaan.

Pada  Agustus tahun ini, pemerintah Tiongkok merilis sebuah data yang cukup mengejutkan, yaitu di antara warga Tiongkok berusia 16 hingga 24 tahun, tingkat pengangguran perkotaan mencapai rekor tertinggi sebesar 21,3%. Selanjutnya, karena angka pengangguran terus meningkat, maka pihak berwenang memilih untuk tidak lagi mempublikasikan data termaksud.

Berita terbaru adalah pihak berwenang sedang mengalihkan perhatian mereka dari industri real estat ke industri keuangan untuk memberantas korupsi.

The Wall Street Journal mengutip informasi yang disampaikan oleh orang-orang yang mengetahui masalah ini melaporkan, bahwa dalam sebuah pertemuan di bulan September tahun ini, Xi Jinping dengan tegas menyatakan bahwa ia berjanji melakukan segala upaya untuk memperbaiki industri real estate Tiongkok. Selain akan terus memerangi korupsi  meskipun hal itu dapat mengganggu perekonomian secara keseluruhan.

Memerangi korupsi merupakan salah satu cara yang dipakai untuk membasmi “musuh dalam selimut” PKT.

Tekanan ekonomi menyebabkan lebih banyak gesekan dalam masyarakat Tiongkok. Uang mengalir dari Tiongkok semakin deras karena orang-orang mencari tempat berlindung yang aman. Kemarahan publik dan kalangan kelas menengah terhadap korupsi yang dilakukan pejabat PKT terus meningkat. Selain itu, perlawanan warga melalui Gerakan Kertas Putih dan pemasangan spanduk anti pemerintah di jembatan layang Sitongqiao, Beijing mulai bermunculan.

Administrasi Devisa Negara Tiongkok mengatakan pada Jumat (3 November) bahwa, kewajiban investasi langsung pada neraca pembayaran Tiongkok kuartal ketiga tahun ini telah mengalami penurunan sebesar USD. 11,8 miliar. Ini adalah pertama kalinya indikator investasi asing di Tiongkok berubah menjadi negatif sejak diadakannya pencatatan pada tahun 1998.

Perusahaan internasional yang mengurus imigrasi dengan investasi mengungkapkan bahwa tahun ini, Tiongkok memiliki 13.500 individu dengan kekayaan bersih yang dapat diinvestasikan melebihi USD. 1 juta akan berimigrasi ke berbagai negara.

Neil Thomas, seorang peneliti di Asia Society policy Institute mengatakan kepada Financial Times : “Tragedi kebijakan ekonomi Xi Jinping adalah ia telan mengidentifikasi beberapa masalah yang perlu diselesaikan oleh Tiongkok, namun mengatasinya dengan cara yang salah.” (sin)