Di Tengah Meningkatnya Ketegangan Regional, Jepang Perkuat Pasukan Bela Diri di Okinawa

 Sean Tseng

Seiring meningkatnya ketegangan di Laut Tiongkok Timur dan di sekitar Taiwan saat meningkatnya aktivitas Partai Komunis Tiongkok (PKT), Jepang mengambil langkah signifikan untuk memperkuat postur pertahanannya. Menteri Pertahanan Jepang, Kihara Minoru, telah menggarisbawahi kebutuhan mendesak untuk memperkuat kemampuan pertahanan barat daya negara itu.

Tiongkok dengan cepat meningkatkan kekuatan militernya dan aktif di Laut Tiongkok Timur dan daerah lainnya. Memperkuat postur pertahanan di wilayah barat daya merupakan prioritas utama,” kata Minoru baru-baru ini.

Menyusul hal ini, pemerintah Jepang mengungkapkan rencana pada 24 Oktober untuk menambah Pasukan Bela Diri Darat di wilayah barat daya. Secara khusus, Brigade ke-15 di Okinawa akan ditingkatkan menjadi organisasi setingkat divisi. Langkah ini merupakan bagian dari Strategi Keamanan Nasional Jepang lebih luas, yang telah diratifikasi tahun lalu.

Peningkatan ini melibatkan perluasan resimen infanteri reguler yang ada di Okinawa. Resimen ini akan berlipat ganda dalam ukuran, sehingga total kekuatannya menjadi sekitar 3.000 tentara pada tahun 2026. Meskipun perluasan ini mungkin tampak sederhana jika dibandingkan dengan ukuran divisi pada umumnya, hal ini menandakan perubahan penting dalam struktur komando.

Berlokasi di garnisun Naha, Brigade ke-15 terdiri dari berbagai unit, termasuk resimen artileri anti-pesawat dan pengintai. Saat ini, Brigade ini memiliki sekitar 2.500 tentara. Restrukturisasi ini bertujuan untuk menyelaraskan tingkat komando dengan Pasukan Ekspedisi Marinir III Amerika Serikat yang juga berbasis di Okinawa, sehingga memfasilitasi kolaborasi yang lebih erat.

Untuk melengkapi perluasan pasukan, Jepang juga meningkatkan sistem komunikasi, infrastruktur militer, dan dukungan logistik. Fungsi administrasi Komando Pasukan Bela Diri Barat akan dipindahkan ke Prefektur Kumamoto. Langkah ini bertujuan untuk meningkatkan koordinasi dengan pemerintah daerah, terutama terkait evakuasi warga sipil dan tanggap darurat.

Peningkatan ke Brigade ke-15 sejalan dengan prinsip-prinsip utama yang diuraikan dalam dokumen pertahanan dasar Jepang yang baru. Disahkan pada Desember lalu, dokumen-dokumen ini menandakan momen penting dalam kebijakan keamanan Jepang pasca-Perang Dunia II. Khususnya, dokumen-dokumen ini memungkinkan Jepang untuk mengembangkan “kemampuan serangan balik,” yang menambahkan dimensi baru pada lanskap pertahanannya.

Penyebab Utama Perombakan Pertahanan Jepang

Tiga faktor utama yang mendorong revisi postur pertahanan Jepang, termasuk meningkatnya aktivitas PKT di Selat Taiwan dan Laut Tiongkok Timur; peningkatan uji coba rudal oleh Korea Utara; dan meningkatnya perambahan  Rusia, yang secara historis merupakan musuh serta sering kali berkoordinasi dengan Tiongkok.

Strategi pertahanan baru Jepang memiliki banyak aspek dan termasuk mengidentifikasi PKT sebagai “tantangan terbesar” terhadap stabilitas global; mengerahkan rudal jelajah jarak jauh; dan bertujuan untuk meningkatkan anggaran pertahanan menjadi 2 persen dari PDB pada 2027. Strategi ini menggabungkan “tombak” ofensif dengan “perisai” defensif yang ada dan meninjau kembali “Tiga Prinsip” yang mengatur ekspor pertahanan.

Percepatan Pengerahan Rudal dan Perubahan pada Pedoman Ekspor Pertahanan

Minoru bertemu dengan Menteri Pertahanan A.S. Lloyd Austin awal bulan ini, dan Jepang berencana mempercepat akuisisi rudal jelajah Tomahawk, dengan pengerahan yang diperkirakan akan dilakukan pada tahun 2025.

Rudal ini memiliki jangkauan lebih dari 1.250 kilometer (sekitar 776 mil), dan mampu menjangkau pusat-pusat perkotaan dan ekonomi utama di timur laut Tiongkok, serta pangkalan angkatan laut Tiongkok seperti Qingdao dan Dinghai.

Berbicara tentang “Tiga Prinsip” tentang ekspor pertahanan, Mr. Minoru mengisyaratkan bahwa Jepang bertujuan untuk membantu negara-negara yang terkena dampak pelanggaran hukum internasional. Kerja sama yang erat dengan partai yang berkuasa diupayakan untuk mempercepat pemahaman dan persetujuan publik atas perubahan kebijakan yang signifikan ini.

Didirikan pada tahun 1967, “Tiga Prinsip” Jepang melarang ekspor ke negara-negara komunis, negara-negara yang diembargo PBB, dan negara-negara yang terlibat dalam konflik internasional. Namun, prinsip-prinsip ini direvisi pada tahun 2014 untuk memungkinkan lebih banyak fleksibilitas dalam ekspor senjata dan peralatan militer. Revisi ini menandai perubahan signifikan dalam kebijakan pertahanan pascaperang Jepang serta menekankan pengembangan persenjataan bersama dan misi kemanusiaan.

Zhao Bin berkontribusi pada laporan ini.