G7 Vs ‘BRI-plus’

 Anders Corr

Negara-negara demokrasi memilih keluar dari pendekatan Partai Komunis Tiongkok (PKT) dan organisasi-organisasi yang dimaksudkan untuk memfasilitasi kejahatan semacam itu. Pada 29 Desember, Argentina mengumumkan bahwa mereka telah berubah pikiran dan tidak akan menerima undangan untuk bergabung dengan negara-negara BRICS (yang dimulai oleh Brasil, Rusia, India, Tiongkok, dan Afrika Selatan, dan dipimpin oleh Beijing).

Organisasi-organisasi internasional partai Komunis Tiongkok (PKT)  kini semakin nakal sementara mereka mengklaim memperjuangkan sistem internasional yang “adil” dan “multilateral”. Negara-negara otokrasi dan pelanggar hak asasi manusia-termasuk Iran, Arab Saudi, Uni Emirat Arab, Mesir, dan Ethiopia-mendaftarkan diri pada visi Beijing mengenai dunia di mana diktator yang tidak terpilih semakin bebas melakukan pelanggaran hak asasi manusia terhadap warga negaranya dan orang-orang di luar negeri.

Organisasi internasional lainnya yang dipimpin oleh PKT, the Belt and Road Initiative(BRI), juga menghadapi masalah dengan keanggotaannya. Italia, satu-satunya negara Kelompok Tujuh (G7) dalam kelompok itu, secara resmi meninggalkan BRI pada akhir 2023.

Negara-negara demokrasi yang masih berada dalam organisasi PKT memiliki masalah mereka sendiri. India mengikuti kebijakan luar negeri yang kurang memiliki nilai-nilai demokrasi. India terlibat dengan Rusia melalui pembelian energi dan senjata, misalnya, meskipun Moskow berperang melawan Ukraina. India lalai untuk mengutuk agresi di Perserikatan Bangsa-Bangsa. Amerika Serikat ingin menarik New Delhi sebagai sekutu untuk melawan Moskow dan Beijing, sehingga tidak lebih vokal dalam kritiknya. Namun, ada ancaman finansial yang tersirat terhadap India karena keterlibatannya yang terus berlanjut dengan Rusia.

Afrika Selatan merupakan contoh kasus sosialisme, kriminalitas, dan disfungsi. Situasinya sangat buruk sehingga perusahaan milik negara yang paling penting, perusahaan listrik, tidak dapat diandalkan untuk terus menyediakan listrik. PDB per kapitanya turun hampir 23 persen sejak tahun 2011. Bahkan Afrika Selatan, yang merupakan anggota pendiri BRICS dan anggota BRI sejak tahun 2015, tidak dapat memanfaatkan hubungan dengan Tiongkok untuk mendapatkan bantuan pembangunan yang cukup agar tetap menyalakan listrik, menggambarkan kemiskinan yang mendasari klaim Beijing untuk mendukung pembangunan internasional.

Visi awal BRICS, yang terdiri dari empat negara (Afrika Selatan ditambahkan kemudian) yang dilihat oleh Wall Street sebagai jalur cepat pertumbuhan ekonomi, kini telah bermuara pada India, salah satu dari satu-satunya negara demokrasi dalam kelompok ini. Pertumbuhan tersebut bergantung pada perdagangannya dengan G7.

Pertumbuhan ekonomi di Brasil dan Afrika Selatan terus menerus tersendat-sendat, dan Rusia serta Tiongkok mengalami stagnasi atau bahkan lebih buruk lagi, sebagian karena seringnya mereka berseberangan dengan “Barat”. Beijing dan Moskow sekarang mencoba untuk memanfaatkan kelompok ini menjadi serikat mata uang yang akan membuat para anggotanya kebal dari jenis sanksi yang menargetkan Rusia yang mana juga dapat digunakan untuk melawan Tiongkok, jika mereka menginvasi Taiwan.

Anggota-anggota terbaru BRICS, yang diumumkan pada 29 Desember, sebagian besar adalah diktator dan pelanggar hak-hak asasi manusia. Iran adalah yang terburuk dari kelompok baru ini, dengan dukungan berkelanjutan untuk terorisme internasional melawan Amerika Serikat dan Israel melalui proksi-proksi mereka, Hamas, Hizbullah, dan Houthi. Bendera Houthi mencantumkan slogan, “Tuhan Maha Besar, Matilah Amerika, Matilah Israel, Terkutuklah Yahudi, dan Kemenangan bagi Islam.” Oleh karena itu, menjadi bagian dari organisasi internasional dengan Iran seharusnya tidak terpikirkan.

Untuk membalikkan dinamika ini, diperlukan pembebanan biaya ekonomi dan politik terhadap negara-negara yang bergabung dengan organisasi internasional Tiongkok. Sanksi terhadap negara-negara BRI dan BRICS (bersama-sama disebut “BRI-plus”) harus dipimpin oleh Amerika Serikat, sekutu-sekutunya, dan negara-negara G7 lainnya, dan termasuk penurunan akses ke pasar aliansi.

Amerika Serikat, Eropa, Jepang, dan negara-negara lain yang dekat dengan G7, seperti Korea Selatan, mengimpor lebih banyak dari negara-negara BRI-plus daripada sebaliknya. Hal ini memberikan G7 lebih banyak pengaruh perdagangan daripada BRI-plus berdasarkan aturan bahwa importir neto dalam hubungan perdagangan memiliki lebih banyak pengaruh perdagangan daripada eksportir neto, dengan asumsi yang sama. Hal ini konsisten dengan pengamatan mantan Presiden Donald Trump, ketika berbicara tentang perdagangan dengan Tiongkok, bahwa “pelanggan selalu benar.”

Amerika Serikat dan sekutunya juga dapat membebankan biaya kepada bank-bank asing yang mendukung negara-negara BRI-plus. Pada 22 Desember, pemerintahan Biden mengeluarkan perintah eksekutif yang mengesahkan sanksi baru terhadap bank-bank di negara-negara pihak ketiga yang memfasilitasi pelanggaran larangan ekspor militer ke Rusia. Hal ini akan memukul Tiongkok dan India paling keras.

Membebankan biaya kepada negara-negara BRI-plus juga dapat dilakukan dengan menjadikan keanggotaan di BRI-plus sebagai diskualifikasi untuk keanggotaan di G7. Negara-negara yang menerima perdagangan, bantuan, atau hak-hak istimewa ekonomi lainnya dari G7 harus diharapkan untuk menghindari BRI-plus dan meningkatkan ketaatan mereka terhadap pemilihan umum yang bebas dan hak asasi manusia. Dengan demikian, negara-negara tersebut akan menunjukkan diri mereka sebagai negara yang mendukung demokrasi atau tidak. Hanya negara-negara yang mendukung demokrasi yang akan terus didukung oleh G7.

Pandangan yang diungkapkan dalam artikel ini adalah pendapat penulis dan tidak mencerminkan pandangan The Epoch Times.