Analisis: Keberhasilan Pemilu Taiwan dan Ketakutan Mendalam Beijing

Pemilihan presiden Taiwan telah berakhir dan lebih dari 50 pejabat dan pemerintahan dari berbagai negara telah memberikan ucapan selamat kepada negara tersebut, tetapi selama kunjungan pejabat senior AS ke Taiwan, Beijing sekali lagi mengungkit-ungkit Taiwan, karena negara kepulauan Pasifik, Nauru, telah mengumumkan bahwa mereka telah memutuskan hubungan diplomatik dengan Taiwan dan menjalin hubungan diplomatik dengan Partai Komunis Tiongkok.

Para ahli percaya bahwa keberhasilan pemilihan umum Taiwan telah menimbulkan ketakutan dan tekanan pada eselon atas Beijing, itulah sebabnya, dalam waktu yang singkat, kementerian luar negeri Partai Komunis Tiongkok (PKT) telah mengambil langkah yang belum pernah terjadi sebelumnya untuk menindas Taiwan

Huang Yimei/Chang Chun/Tony

Setelah kandidat Partai Progresif Demokratik Lai Ching-tee terpilih sebagai presiden baru Republik Tiongkok pada 13 Januari, Kantor Urusan Taiwan dan Kementerian Luar Negeri Partai Komunis Tiongkok berturut-turut memberikan tekanan padanya.

Pada  14 Januari, Menteri Luar Negeri Tiongkok Wang Yi, yang sedang mengunjungi Mesir, menyatakan bahwa “Taiwan tidak pernah menjadi sebuah negara” dan menghasut negara kepulauan Pasifik Nauru untuk memutuskan hubungan diplomatik dengan Taiwan.

Su Ziyun, direktur Institut Strategi dan Sumber Daya Pertahanan Taiwan: ” Ini tentu saja diatur oleh Partai Komunis Tiongkok (PKT), yang telah mencapai kesepakatan dengan pemerintah Nauru untuk memutuskan hubungan diplomatik dengan Taiwan kapan saja.  Kuncinya adalah PKT  mengapa memilih pada  14 Januari? Ketika pemilu Taiwan berjalan lancar dan pemimpin demokratis baru yang tidak tunduk pada kekuasaan otoriter PKT, pejabat atau pemerintah dari lebih dari lima puluh negara mengirimkan pesan ucapan selamat, termasuk Amerika Serikat, Jepang, Inggris dan negara-negara demokrasi perwakilan lainnya, bahkan Presiden Marcos Jr. dari Filipina juga mengirimkan pesan ucapan selamat. Ini menjadi yang pertama kalinya di zaman modern, dan ditujukan langsung kepada presiden Taiwan. Jadi, pihak berwenang Beijing tidak tahan lagi, maka sekarang menonjolkan Nauru.”

Menanggapi perubahan sikap Nauru dan alasan putusnya hubungan diplomatik, Tien Chung-kwang Wakil Menteri Luar Negeri  Republik Tiongkok, menyatakan bahwa Kementerian Luar Negeri telah memperoleh informasi tahun lalu. Ia menyebutkan Partai Komunis Tiongkok secara aktif menghubungi para pemimpin politik Nauru dan menggunakan bantuan ekonomi untuk mendorong pengalihan diplomatik negara tersebut.

Wang Zhisheng, sekretaris jenderal Asosiasi Pertukaran Elit Tionghoa Asia-Pasifik, mengatakan bahwa langkah Beijing tidak hanya untuk menekan Lai Ching-tee, tetapi juga untuk menekan demokrasi Taiwan dan perhatian serta dukungan komunitas internasional terhadap Taiwan.

Wang Zhisheng menjelaskan: “Dalam pemilihan presiden yang lalu, Kementerian Luar Negeri Partai Komunis Tiongkok jarang memainkan peran khusus ini, dan Kantor Urusan Dewan Negara Taiwan biasanya angkat bicara. Tapi kali ini sangat langka. Hanya dalam dua hari, Kementerian Luar Negeri Partai Komunis Tiongkok mengeluarkan dua siaran pers dan kemudian Wang Yi berpidato. Interpretasi pribadinya adalah dikarenakan pemilihan presiden Taiwan kali ini telah menarik perhatian dunia yang belum pernah terjadi sebelumnya. Rakyat Taiwan menggunakan metode pemilu yang demokratis, memilih presidennya sendiri dan menerima pujian dari seluruh dunia, masalah ini tidak tertahankan bagi Beijing.”

Wang Zhisheng percaya bahwa alat yang digunakan Beijing terhadap Taiwan mencakup intimidasi militer, sanksi ekonomi, isolasi diplomatik, serta diferensiasi politik dan sosial. Memutuskan hubungan diplomatik adalah bagian dari metode isolasi diplomatik. Perilaku ini semakin menyoroti ketakutan Beijing terhadap demokrasi.

Wang Zhisheng berkata: “Pertama, pemilihan umum yang demokratis mewakili konfrontasi terhadap sistem otoriter Beijing, yang tidak dapat dilakukan oleh Beijing. Kedua, memilih pemimpinnya sendiri melalui pemilihan umum yang demokratis adalah simbol negara berdaulat dan tunduk pada perhatian banyak negara berarti bahwa Beijing tidak dapat lagi mempromosikan kepada dunia bahwa Taiwan adalah bagian dari Tiongkok. Entah itu intimidasi hebat yang dilakukan oleh Kementerian Luar Negeri Partai Komunis Tiongkok, atau pemutusan hubungan diplomatik terakhir dengan Nauru, maka dirasakan dalam jauh di lubuk hati Beijing, mungkin ada begitu banyak ketakutan dan tekanan, sehingga dalam waktu sesingkat itu, sebuah tindakan yang sangat jarang dilakukan, bahkan bisa dikatakan belum pernah terjadi sebelumnya, Kementerian Luar Negeri Partai Komunis Tiongkok lantas mengambil tindakan.”

Zhao Xiaohui, pendiri dan CEO “Zhijian Cultural Creation”, mengatakan dalam sebuah artikel bahwa pesan paling penting yang dibawa Taiwan kepada komunitas internasional adalah bahwa tidak boleh ada penyerahan diri atau kompromi terhadap PKT.

Su Ziyun menambahkan: “Pemilu demokratis di Taiwan kali ini sekali lagi membuktikan kepada masyarakat daratan Tiongkok bahwa masyarakat Tiongkok dapat menerapkan sistem demokrasi. Ini sama saja dengan mematahkan apa yang disebut kediktatoran satu partai dan kediktatoran satu orang dari Partai Komunis Tiongkok. Propaganda semacam ini. Demokrasi dan kebebasan adalah apa yang harus dinikmati oleh rakyat Tiongkok  di masa depan.”

J Michael Cole, penasihat senior International Republican Institute (IRI) di Taipei, sebuah organisasi nirlaba AS, menulis bahwa pengumuman Nauru untuk memutuskan hubungan diplomatik dengan Taiwan adalah pembalasan Beijing atas pemilu yang sah dan demokratis bagi rakyat Taiwan. Ia juga meyakini Beijing telah mempersiapkan diri dengan baik menjelang pemilihan presiden pada 13 Januari. (Hui)