DPR AS Loloskan RUU yang Dapat Melarang TikTok 

‘Masa TikTok di Amerika Serikat telah berakhir kecuali jika mereka mengakhiri hubungannya dengan ByteDance yang dikendalikan oleh PKT,’ kata Perwakilan  Mike Gallagher

Andrew Thornebrooke

Dewan Perwakilan Rakyat Amerika Serikat  meloloskan RUU yang dapat melarang TikTok dari Amerika Serikat dan memberi presiden kewenangan baru yang luas untuk menargetkan perusahaan-perusahaan asing di Amerika Serikat.

The Protecting Americans from Foreign Adversary Controlled Applications Act  atau Undang-Undang Melindungi Warga Amerika dari Aplikasi yang Dikendalikan oleh Musuh Asing disahkan dengan hasil suara 352-65 pada  13 Maret; 197 anggota Partai Republik dan 155 anggota Partai Demokrat memberikan suara mendukung RUU tersebut, sementara 50 anggota Partai Demokrat dan 15 anggota Partai Republik memberikan suara menentang. Satu anggota Demokrat memberikan suara “setuju”.

RUU ini secara hukum akan mewajibkan raksasa media sosial TikTok untuk melepaskan diri dari perusahaan induknya yang berbasis di Tiongkok, ByteDance, atau menghadapi larangan di app store dan layanan hosting di Amerika Serikat.

RUU ini sekarang akan dibawa ke Senat, dan Presiden Joe Biden telah berjanji untuk menandatanganinya menjadi undang-undang jika lolos dari majelis tinggi.

Sejak diperkenalkan pada  5 Maret, RUU ini telah melewati proses persetujuan kongres, dan menerima persetujuan dengan suara bulat yang jarang terjadi dari Komite Energi dan Perdagangan DPR AS dua hari kemudian.

Mike Gallagher (R-Wis.), ketua Komite Khusus DPR untuk Persaingan Strategis dengan Partai Komunis Tiongkok (PKT), mengatakan pada saat itu bahwa RUU tersebut diperlukan untuk memerangi pengaruh rezim tersebut di Amerika Serikat.

 Gallagher dalam sebuah pernyataan yang telah disiapkan menyampaikan : “Ini adalah pesan dirinya untuk TikTok: Putuskan hubungan dengan Partai Komunis Tiongkok atau kehilangan akses ke pengguna Amerika. Masa TikTok di Amerika Serikat sudah berakhir kecuali jika mereka mengakhiri hubungannya dengan ByteDance yang dikendalikan oleh PKT.”

Beberapa analis keamanan mengatakan bahwa TikTok dapat digunakan sebagai senjata untuk melawan warga AS melalui praktik pengawasan predator, penyensoran, dan promosi propaganda yang didukung oleh negara.

Demi mengatasi ancaman tersebut, RUU ini akan menciptakan sebuah proses bagi presiden untuk mengklasifikasikan aplikasi media sosial yang berada di bawah pengaruh negara asing tertentu sebagai bahaya bagi keamanan nasional dan melarang mereka beroperasi kecuali mereka mengalihkan kepemilikannya ke perusahaan AS.

RUU ini akan memungkinkan presiden untuk memaksa divestasi perusahaan media sosial yang berbasis di Tiongkok, Iran, Korea Utara, atau Rusia dan memiliki lebih dari satu juta pengguna.

TikTok mengecam keputusan tersebut sebagai serangan terhadap kebebasan berbicara dan bahkan mengarahkan para penggunanya untuk menelepon perwakilan mereka untuk menuntut agar tidak memberikan suara pada RUU tersebut.

Juru bicara TikTok kepada The Epoch Times melalui email menuduh RUU ini adalah pelarangan langsung terhadap TikTok, tidak peduli seberapa banyak penulisnya mencoba menyamarkannya. Jubir itu juga mengklaim, Undang-undang ini akan menginjak-injak hak-hak Amandemen Pertama dari 170 juta orang Amerika dan mencabut 5 juta usaha kecil dari platform yang mereka andalkan untuk tumbuh dan menciptakan lapangan kerja.”

Kritik

Kritik tersebut tidak luput dari perhatian, dan tujuan serta struktur RUU tersebut telah dikritik oleh anggota parlemen di dua kubu.

Representatif Robert Garcia (D-Calif.) mengatakan bahwa RUU tersebut secara tidak adil akan merugikan jutaan pemilik bisnis AS yang menggunakan TikTok sebagai sumber pendapatan utama mereka.

Dia mengklaim kepada The Epoch Times: “170 juta orang Amerika menggunakan TikTok. Jadi gagasan bahwa kita tidak akan mempertimbangkan tidak hanya pengguna tetapi juga 7 juta pemilik usaha kecil yang menggunakannya sebagai sumber pendapatan utama untuk keluarga mereka, saya pikir itu benar-benar salah arah.”

Demikian pula, Representatif Maxwell Frost (D-Fla.) menyarankan agar Komite Energi dan Perdagangan mempercepat proses persetujuannya untuk mencegah tumbuhnya keraguan terhadap RUU tersebut. RUU tersebut, katanya, adalah larangan de facto.

Frost kepada wartawan pada 12 Maret menyatakan :  “Tidak masuk akal untuk percaya bahwa dalam 180 hari seorang pembeli akan ditemukan dan kesepakatan akan terbentuk, yang akan mengakibatkan perusahaan tersebut dilarang.” Ia percaya bahwa ini merupakan pelanggaran terhadap hak-hak Amandemen Pertama kita dan melanggar Konstitusi.”

Frost menambahkan bahwa RUU tersebut “tidak memperbaiki” masalah aliran data, karena berbagai perusahaan AS seperti Google, Meta, dan X, yang sebelumnya bernama Twitter, masih diizinkan untuk secara legal menjual data warga AS kepada pialang data, yang kemudian menjualnya langsung ke Tiongkok, di mana PKT dapat mengaksesnya kapan saja.

Sementara itu, beberapa anggota Partai Republik terkemuka seperti Rep. Marjorie Taylor Greene (R-Ga.), telah menyuarakan keprihatinan bahwa RUU tersebut akan digunakan untuk melindungi perusahaan-perusahaan AS agar tidak bersaing dengan perusahaan-perusahaan asing dan dapat digunakan di masa depan untuk menargetkan platform-platform yang menjadi tuan rumah bagi musuh-musuh pemerintah.

“Ketika Tik Tok dijual, siapa yang akan membelinya? Dan mengapa ada harapan bahwa itu akan menjadi lebih baik?” Greene menulis di sebuah postingan media sosial.

“Jika Meta, kontennya akan sangat tidak mungkin berubah, oleh karena itu semua kaum konservatif, yang berpikir bahwa RUU ini akan melindungi anak-anak kita, akan sangat kecewa jika RUU ini tidak berubah sama sekali.”

Thomas Massie (R-Ky.) mengatakan bahwa RUU tersebut seharusnya disebut “Undang-Undang Perlindungan dan Penguatan Facebook” dan akan berdampak positif pada harga saham Meta jika disetujui.

Demikian juga, beberapa lembaga pemikir besar telah mulai melobi untuk menentang upaya tersebut, yang menurut mereka meniru model pemerintahan otoriter PKT.

Carnegie Endowment for International Peace mengutuk RUU tersebut sebagai bentuk “transfer teknologi paksa yang disponsori negara” yang secara efektif akan memungkinkan perusahaan-perusahaan AS untuk mencuri teknologi Tiongkok yang lebih baik, seperti algoritme media sosial ByteDance.

Para pendukung RUU ini mengatakan bahwa otoritas tersebut diperlukan untuk mencegah kekuatan asing mengeksploitasi ekonomi pasar Amerika Serikat yang relatif terbuka.

Untuk itu, Raja Krishnamoorthi (D-Ill.), anggota peringkat Komite Khusus tentang PKT, mengatakan bahwa RUU tersebut bukanlah larangan terhadap satu aplikasi atau penghinaan terhadap kebebasan berbicara, melainkan pilihan antara kesetiaan kepada Amerika Serikat dan Tiongkok. Ia menjelaskan, RUU ini bukanlah larangan, dan ini benar-benar bukan tentang TikTok. RUU ini adalah sebuah pilihan. Dan ini adalah pilihan untuk ByteDance serta aplikasi media sosial lainnya yang dikendalikan oleh musuh asing.”

Demikian juga, Rep Dan Kildee (D-Mich.) mengatakan bahwa tidak ada solusi yang sempurna untuk masalah ini, tetapi Amerika Serikat perlu menanggapi pengaruh jahat PKT.

Kildee kepada The Epoch Times menyatakan, Tidak ada pendekatan yang sempurna untuk semua hal ini, jelas baginya, ini benar-benar bermuara pada apakah kita dapat mengambil beberapa tindakan untuk mencoba menghalangi pengaruh jahat [PKT]. 

Joseph Lord berkontribusi untuk laporan ini. 

Andrew Thornebrooke adalah koresponden keamanan nasional untuk The Epoch Times yang meliput isu-isu terkait Tiongkok dengan fokus pada pertahanan, urusan militer, dan keamanan nasional. Ia meraih gelar master dalam sejarah militer dari Universitas Norwich