Pemimpin Partai Komunis Tiongkok Kunjungi Eropa, Aksi Protes Mengikutinya

NTD

Aksi Protes menyusul kunjungan pemimpin Partai Komunis Tiongkok Xi Jinping ke Eropa dari 5 -10 Mei. Pada hari pertama kunjungan Xi ke Prancis, Amnesty International memprotes pemerintahan tirani Partai Komunis Tiongkok di jalanan Paris. Sebelumnya, organisasi hak asasi manusia internasional, Human Rights Watch, meminta para politisi internasional untuk menunjukkan kepedulian mereka terhadap hak asasi manusia di Tiongkok, termasuk mendesak Xi untuk menghentikan kejahatan terhadap kemanusiaan di Xinjiang.

Tiga negara Eropa yang dikunjungi Xi kali ini adalah Prancis, Serbia, dan Hongaria. Menurut media Partai Komunis Tiongkok, orang-orang yang mendampingi Xi dalam perjalanannya antara lain: istri Xi, Peng Liyuan, Cai Qi, anggota Komite Tetap Biro Politik Komite Sentral PKT dan direktur Kantor Umum Komite Sentral PKT serta Wang Yi, Menteri Luar Negeri PKT.

Pada hari Xi Jinping tiba di Prancis (4 Mei waktu Prancis), kelompok hak asasi manusia Amnesty International turun ke jalan untuk memprotes kunjungan Xi Jinping. Mereka mengadakan rapat umum di Paris untuk memprotes tirani Partai Komunis Tiongkok.

Kelompok hak asasi manusia telah mengeluarkan protes keras menjelang kunjungan Xi. Pada l 3 Mei, organisasi internasional “Human Rights Watch” mengeluarkan pernyataan yang mendesak Presiden Prancis Macron untuk menyatakan secara terbuka selama kunjungan Xi Jinping ke Prancis bahwa kejahatan terhadap kemanusiaan dan intensifikasi penindasan yang dilakukan pemerintah Komunis Tiongkok akan berdampak pada hubungan Tiongkok-Prancis.

Organisasi ini mengatakan bahwa situasi hak asasi manusia di Partai Komunis Tiongkok (PKT)  memburuk secara serius di bawah pemerintahan Xi Jinping, dengan otoritas PKT melakukan kejahatan terhadap kemanusiaan terhadap Uighur dan kelompok etnis lainnya di Xinjiang, termasuk penahanan massal, kerja paksa, dan penganiayaan budaya, merampas kebebasan Hong Kong dengan hukum yang kejam, dan menindak keras para oposisi di berbagai wilayah Tiongkok.

Maya Wang, pejabat direktur Human Rights Watch Tiongkok, mengatakan dalam sebuah pernyataan menegaskan bahwa Presiden Macron harus menjelaskan kepada Xi Jinping bahwa kejahatan Beijing terhadap kemanusiaan akan berdampak pada hubungan Tiongkok-Prancis. 

Ia menekankan bahwa sikap diam dan tidak adanya tindakan dari Prancis terhadap isu-isu hak asasi manusia hanya akan memperkuat persepsi Partai Komunis Tiongkok bahwa tidak ada harga yang harus dibayar atas pelanggaran hak asasi manusia, yang mengarah pada peningkatan tindakan represif Tiongkok di dalam dan luar negeri.

Human Rights Watch menunjukkan bahwa Macron mengunjungi Beijing pada  2019 dan 2023, tetapi tidak berbicara tentang memburuknya situasi hak asasi manusia di Tiongkok. Dia harus mengubah pendekatannya dan secara terbuka mengungkapkan kekhawatirannya tentang hak asasi manusia selama kunjungan Xi Jinping ke Prancis.

Dilnur Reyhan, pendiri Institut Uyghur Eropa dan warga negara Prancis, mengatakan bahwa mereka “marah” atas kunjungan Xi Jinping ke Prancis. Reyhan menggambarkan Xi Jinping sebagai “algojo Uyghur”. ibarat “tamparan” Macron kepada masyarakat Uighur, khususnya Uighur Prancis.

Komunitas internasional menuduh PKT menahan lebih dari 1 juta warga Uighur dan minoritas Muslim lainnya di kamp penahanan dan fasilitas lainnya di Xinjiang. Aktivis hak asasi manusia dan kelompok Uighur di luar negeri menuduh fasilitas tersebut melakukan berbagai pelanggaran, termasuk penyiksaan, kerja paksa, sterilisasi paksa, dan indoktrinasi politik.

Sebelumnya, pidato internal Xi Jinping dan pejabat senior PKT lainnya mengenai Xinjiang diungkap satu demi satu.

Pada  24 Mei 2022, Yayasan Korban Komunisme, bersama dengan lebih dari selusin media dari seluruh dunia, menerbitkan sejumlah dokumen rahasia yang dibocorkan oleh PKT – “Dokumen Keamanan Publik Xinjiang”, yang mengungkapkan bahwa mantan Sekretaris Xinjiang Partai Komunis Tiongkok, Chen Quanguo terlibat dalam pidato internal, penjaga diperintahkan untuk menembak siapa saja yang mencoba melarikan diri dan pejabat Xinjiang diminta untuk mengontrol secara ketat umat beragama.

Dokumen tersebut juga menunjukkan bahwa Zhao Kezhi, Menteri Keamanan Publik Partai Komunis Tiongkok saat itu, menyebutkan dalam pidato internalnya pada  2018 bahwa Xi Jinping secara langsung memerintahkan perluasan kapasitas fasilitas penahanan.

Pada 29 November 2021, Cendekiawan Jerman Adrian Zenz menerbitkan dokumen rahasia Xinjiang setebal 317 halaman, yang berisi isi pidato pemimpin tertinggi Partai Komunis Tiongkok tentang Xinjiang sejak tahun 2014. Isi tersebut kemudian menjadi dasar penindasan pihak berwenang terhadap kebijakan Xinjiang dasar bagi masyarakat termasuk “penahanan skala besar terhadap etnis minoritas, pemindahan tenaga kerja secara paksa, pendidikan asrama terpusat dan pengendalian kelahiran” dan sebagainya.

Laporan PBB tahun lalu juga merinci bukti-bukti “kredibel” mengenai penyiksaan, perawatan medis paksa, dan kekerasan seksual di Xinjiang. Anggota Kongres  Amerika Serikat dan negara-negara Barat lainnya secara langsung menuduh pemerintah PKT melakukan “genosida” terhadap Uighur dan melakukan kejahatan terhadap kemanusiaan. (Hui)