Dikhawatirkan Kondisi Semakin Tidak Terkendali, Media Jerman Beberkan Rusia dan Ukraina Menggunakan Senjata Terlarang

Liming/Zhao Weiping

Perang antara Rusia dan Ukraina telah menjadi situasi yang sengit dan menemui jalan buntu, dan taktik militer yang digunakan oleh kedua belah pihak telah meningkat.  Rusia telah dituduh menggunakan senjata kimia, sementara media Jerman mengklaim bahwa Ukraina juga telah menggunakan bom cluster atau tandan, yang merupakan senjata ekstremis yang dilarang oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa.

Dalam sebuah briefing yang dikeluarkan pada Rabu (1 Mei) lalu, Departemen Luar Negeri AS menuduh Rusia menggunakan kloropirrin (trichloronitromethane) yang sangat beracun di medan perang Ukraina, dan juga “agen-agen pengendali huru-hara” (gas air mata), yang merupakan pelanggaran terhadap Konvensi Senjata Kimia (KSK) internasional.

Militer Ukraina mengklaim bahwa selain kloropirrin, Rusia menggunakan granat yang diisi dengan gas air mata CS dan gas sianida, dan setidaknya 500 tentara Ukraina dirawat karena terpapar zat beracun, termasuk satu orang yang mati lemas.

Menurut informasi, kloropirrin (trikloronitrometana) adalah cairan berminyak yang beracun dengan bau yang sangat menyengat. Jika manusia bersentuhan dengan zat ini, dapat menyebabkan gejala seperti kulit melepuh, iritasi mata, dan kesulitan bernapas. Menghirup asap chloropicrin dapat menyebabkan kerusakan pada pembuluh darah paru, yang menyebabkan oedema paru, dalam kasus yang ekstrim menyebabkan kematian.

Sebagai respon, Presiden AS Joe Biden memperingatkan bahwa Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO) akan merespons jika Rusia terus menggunakan senjata kimia di Ukraina.

Namun, situs web bahasa mandarin Deutsche Welle melaporkan pada  4 Mei bahwa senjata kimia yang disebutkan di atas bukanlah yang pertama atau satu-satunya senjata terlarang yang digunakan dalam perang Rusia-Ukraina. Baik Rusia maupun Ukraina telah menggunakan bom tandan yang dilarang dalam perang tersebut.

Mengutip organisasi non-pemerintah Human Rights Watch, laporan tersebut mengatakan bahwa militer Rusia telah menggunakan “setidaknya enam jenis bom cluster” di medan perang Ukraina. Sebagai contoh, Rusia menggunakan bom cluster dalam serangannya ke pelabuhan Laut Hitam Odessa minggu lalu, namun di sisi lain, tentara Ukraina juga menggunakan bom cluster.

Data menunjukkan bahwa ketika bom cluster meledak di udara, hasilnya akan melepaskan ratusan bom kecil yang berjatuhan seperti tetesan air. Karena tidak semua bom meledak, “ini berarti bom tersebut berpotensi menimbulkan ancaman mematikan selama bertahun-tahun.” Oleh karena itu, sebanyak 108 negara anggota PBB telah menandatangani Konvensi internasional tentang Munisi Curah yang melarang penggunaan  senjata tersebut.

Konvensi internasional tersebut di atas mulai berlaku pada  1 Agustus 2010, namun Amerika Serikat, Rusia, Ukraina, Israel, India, Singapura dan negara-negara lain belum menandatangani perjanjian tersebut.

Laporan Deutsche Welle juga menunjukkan bahwa kini terdapat jutaan alat peledak yang terkubur di Ukraina, seluas dua kali luas Austria, menjadikannya negara dengan ranjau darat terbanyak di dunia.

Laporan tersebut mengatakan, selama setahun terakhir, perang di Ukraina timur telah berubah menjadi kebuntuan dan perang tarik ulur.  Sebagai upaya untuk mempertahankan posisi defensif, kedua pasukan telah memasang ranjau anti-tank dan anti-kendaraan di kedua sisi garis depan.” Lebih buruk lagi, baik Kiev maupun Moskow telah menanam ranjau anti-personil dalam jumlah besar pada alat peledak berat, sebuah praktik yang dilarang oleh Konvensi Pelarangan Ranjau Anti-personil internasional, yang mulai berlaku pada  1997.

Media Jerman juga menyebutkan bahwa ketika Bendungan Kakhovka di sebelah timur Kherson, Ukraina, dihancurkan pada musim panas 2023, air yang deras menghanyutkan ranjau dalam jumlah yang tidak terhitung dan “mendistribusikannya kembali ke lokasi-lokasi yang sampai saat ini sebagian besar tidak diketahui,” sehingga menimbulkan risiko serius.

Selain itu, Ukraina menuduh Rusia menggunakan bom fosfor dalam pertempuran di Mariupol dan Bakhmut, tetapi Moskow membantahnya.

Bom fosfor dilaporkan bereaksi dengan udara saat dinyalakan dan dapat mencapai suhu setinggi 1.300 derajat Celcius. Ledakan bom fosfor melepaskan ratusan pecahan yang terbakar, “bahkan yang terkecil sekalipun dapat menyebabkan luka bakar parah”, dan uap bom fosfor sangat beracun sehingga Konvensi Jenewa secara eksplisit melarang penggunaannya terhadap warga sipil dan di daerah perkotaan. (Hui)