EtIndonesia. Menurut laporan Yahoo News tanggal 25 November 2024, Kepala Staf Umum Angkatan Darat Ukraina mengungkapkan bahwa meskipun pasukan Ukraina berhasil menguasai sekitar 1.376 kilometer persegi wilayah di Kursk, sekitar 40% dari area tersebut telah direbut kembali oleh pasukan Rusia. Saat ini, kontrol Ukraina di Kursk turun menjadi sekitar 800 kilometer persegi.
Presiden Volodymyr Zelenskyy menegaskan bahwa target utama Presiden Vladimir Putin adalah menguasai wilayah Donbas. Zelenskyy juga mencatat bahwa sebelum masa pemerintahan Presiden Donald Trump, pasukan Ukraina telah diusir dari Kursk.
Keterlibatan Tentara Korea Utara dalam Konflik Kursk
Dalam perkembangan yang lebih kompleks, seorang pejabat Kepala Staf Umum Angkatan Darat Ukraina menyatakan bahwa sekitar 10.000 tentara Korea Utara saat ini berada di Kursk untuk membantu pertempuran melawan pasukan Rusia.
Berdasarkan laporan Ukrainian News Agency tanggal 25 November 2024, pasukan Ukraina baru-baru ini meluncurkan delapan rudal Storm Shadow yang menargetkan komandan militer Korea Utara serta komandan pasukan Rusia yang bersembunyi di markas bawah tanah. Lokasi serangan ini sebelumnya merupakan salah satu properti penting dari istana kepresidenan Rusia dan pernah menjadi tempat perlindungan pemimpin Rusia.
Serangan tersebut diperkirakan menewaskan sekitar 500 tentara Korea Utara, termasuk kemungkinan seorang jenderal tinggi seperti Kim Yong-phil, Panglima Staf Umum Korea Utara, Li Chang-ho, kepala mata-mata Korea Utara, dan Shin Kim-jae, direktur biro operasi Korea Utara. Namun, hingga kini, belum ada konfirmasi resmi mengenai identitas korban tewas.
Serangan Rudal Rusia Terhadap Kharkiv
Selain konflik di Kursk, Reuters melaporkan bahwa Rusia telah melancarkan serangan rudal ke wilayah timur laut Ukraina, Kharkiv, pada tanggal 25 November 2024. Serangan ini merupakan salah satu serangan drone terbesar yang dilakukan oleh pasukan Rusia sejak dimulainya invasi ke Ukraina, menunjukkan eskalasi signifikan dalam konflik yang tengah berlangsung.
NATO Pertimbangkan Serangan Preventif terhadap Rusia
Menyusul eskalasi tersebut, Panglima NATO, Laksamana Bill Nelson, menyatakan pada tanggal 25 November 2024 bahwa NATO sedang mempertimbangkan opsi serangan preventif berpresisi tinggi terhadap wilayah Rusia.
Nelson menekankan pentingnya tidak menunggu serangan Rusia melainkan menyerang peluncur rudal Rusia terlebih dahulu untuk mencegah potensi serangan balasan. Dia menambahkan bahwa serangan presisi yang mampu melumpuhkan sistem senjata Rusia sangat dibutuhkan sebagai tindakan preventif.
Selain itu, NATO juga telah memperingatkan perusahaan-perusahaan untuk mempersiapkan diri menghadapi situasi perang dengan menyesuaikan produksi dan distribusi guna mengatasi gangguan dari saingan global seperti China dan Rusia.
Inggris dan Prancis Siap Kirim Pasukan ke Ukraina
Menanggapi meningkatnya ketegangan, Inggris dan Prancis telah menunjukkan kesiapan untuk mengirim pasukan ke Ukraina. Menurut surat kabar Prancis, Le Monde, diskusi mengenai pengiriman pasukan Barat dan perusahaan pertahanan swasta ke Ukraina telah dimulai kembali sebagai respons terhadap eskalasi perang.
Inggris dan Prancis tidak menutup kemungkinan untuk memainkan peran utama dalam aliansi pro-Ukraina dan sedang mendiskusikan kerjasama pertahanan yang lebih intensif.
Menteri Luar Negeri Prancis, Jean-Noel Barrot, pada tanggal 23 November 2024 menyatakan bahwa Barat seharusnya tidak lagi menetapkan garis merah dalam mendukung Ukraina dan tidak menutup kemungkinan untuk mengirim pasukan Prancis secara langsung.
Upaya Negosiasi antara Ukraina dan Rusia oleh Tim Trump dan Biden
Dalam upaya mengakhiri konflik, Mike Waltz, penasihat keamanan Gedung Putih yang diangkat oleh Presiden terpilih AS, Donald Trump, menyatakan dalam wawancara dengan Fox News pada tanggal 24 November 2024 bahwa pernyataan Trump sangat jelas untuk mengakhiri konflik ini.
Waltz menjelaskan bahwa tim Trump telah bertemu dengan Sullivan dari pemerintahan Presiden Joe Biden untuk mengatur kesepakatan antara Ukraina dan Rusia. Dia juga memperingatkan bahwa musuh asing tidak boleh memanfaatkan situasi ini untuk menciptakan perpecahan antar pemerintah.
Sementara itu, mantan Menteri Luar Negeri, Antony Blinken, menyoroti bahwa tindakan dan keputusan Trump sering kali tidak dapat diprediksi, yang menurutnya merupakan keuntungan strategis karena menciptakan ketidakpastian bagi lawan.
Krisis Taiwan: Rencana Operasi Gabungan Amerika Serikat dan Jepang
Pada tanggal 25 November 2024, muncul berita penting bahwa Amerika Serikat dan Jepang akan segera meluncurkan rencana operasi gabungan pertama mereka untuk menghadapi krisis di Taiwan.
Japan’s Kyodo News melaporkan bahwa sebelum akhir Desember, kedua negara akan menyusun rencana operasi bersama untuk menangani situasi darurat di Selat Taiwan. Militer AS berencana membangun pangkalan sementara di Kepulauan Ryukyu yang dekat dengan Taiwan dan di Philipina, serta menempatkan rudal sebagai bagian dari strategi pertahanan. Angkatan Bela Diri Jepang akan memberikan dukungan logistik, termasuk pasokan bahan bakar dan amunisi, kepada militer AS.
Selain itu, sistem roket multi-saluran bermobilitas tinggi dari Korps Marinir Amerika Serikat akan ditempatkan di rantai pulau dari garis Kagoshima ke Okinawa hingga Taiwan. Militer AS juga akan mendirikan pangkalan sementara di pulau-pulau tersebut sesuai dengan pedoman pengiriman tim marinir kecil dan menempatkan pasukan tembakan jarak jauh di Philipina untuk berbagai misi di udara, darat, laut, angkasa, jaringan, dan informasi.
Pada Februari 2023, Amerika Serikat dan Philipina telah mencapai kesepakatan untuk meningkatkan jumlah pangkalan militer AS di Filipina dari lima menjadi sembilan, yang juga diharapkan akan digunakan jika terjadi keadaan darurat di Taiwan. Banyak pihak berpendapat bahwa Amerika Serikat dan Jepang sangat waspada terhadap setiap tindakan militer petualang oleh Beijing di Selat Taiwan, sehingga merumuskan rencana militer gabungan lebih awal adalah langkah yang tak terhindarkan sebagai persiapan tanpa konflik. Penempatan awal pasukan di kawasan ini dianggap strategis untuk membuat upaya komunis menyerang Taiwan menjadi sangat sulit.
Ketegangan Global Meningkat dengan Keterlibatan Berbagai Negara
Dengan meningkatnya keterlibatan berbagai negara dalam konflik di Ukraina dan ketegangan yang terus meningkat di Selat Taiwan, dunia menyaksikan eskalasi konflik yang dapat berdampak luas pada keamanan dan stabilitas global. Upaya diplomatik dan militer dari berbagai pihak menunjukkan kompleksitas situasi yang sedang berlangsung, di mana setiap langkah dapat memiliki konsekuensi signifikan bagi hubungan internasional dan perdamaian dunia.