Pada 5 September, Presiden Prancis Emmanuel Macron menunjuk Michel Barnier, seorang mantan anggota sayap kanan dari Komisi Uni Eropa berusia 73 tahun, sebagai Perdana Menteri baru. Namun, pada 4 Desember, Majelis Nasional Prancis mengesahkan mosi tidak percaya yang menjatuhkan pemerintahan koalisi yang dipimpin Barnier. Dengan demikian, Barnier tidak hanya menjadi Perdana Menteri tertua dalam sejarah modern Prancis, tetapi juga dengan masa jabatan tersingkat.
ETIndonesia. Michel Barnier adalah pendukung kuat Uni Eropa dan anggota Partai Republik, yang mewakili sayap kanan tradisional. Ia telah memegang berbagai posisi di beberapa pemerintahan Prancis dan dua kali menjabat sebagai Komisioner Uni Eropa. Barnier dikenal atas perannya dalam negosiasi Brexit.
Pemerintahan Barnier menjadi pemerintahan pertama dalam lebih dari 60 tahun yang dipaksa turun melalui mosi tidak percaya. Terakhir kali hal ini terjadi adalah pada 1962, ketika Perdana Menteri Georges Pompidou, di bawah kepemimpinan Presiden Charles de Gaulle, dijatuhkan.
Saat ini, Prancis menghadapi tantangan besar berupa defisit anggaran yang sangat besar. Kejatuhan pemerintahan Barnier memperburuk krisis politik di negara tersebut dan mengancam stabilitas zona euro.
Alasan utama pemberhentian Barnier adalah keputusannya pada 2 Desember untuk menggunakan mekanisme konstitusi yang jarang digunakan, Pasal 49.3, untuk memaksakan rancangan anggaran tahun 2025 tanpa persetujuan parlemen. Barnier menyatakan langkah ini diperlukan untuk “menjaga stabilitas.” Rancangan anggaran ini bertujuan mengurangi defisit fiskal melalui kebijakan pemotongan pengeluaran dan peningkatan pajak sebesar 60 miliar euro.
Namun demikian, pemerintahan minoritas Barnier sering bergantung pada dukungan partai sayap kanan “National Rally” yang dipimpin oleh Marine Le Pen untuk meloloskan berbagai kebijakan di parlemen. Rancangan anggaran tersebut, sebagian besar, tidak mendapat dukungan dari Le Pen. Akibatnya, koalisi kiri “Front Rakyat Baru” dan “National Rally” bergabung untuk meloloskan mosi tidak percaya dengan mayoritas 331 suara.
Krisis politik di Prancis saat ini berakar dari keputusan Presiden Macron pada Juni untuk mengadakan pemilu dini. Hal ini menyebabkan kebuntuan di parlemen, dengan kekuatan kiri, tengah, dan kanan yang sama-sama kuat. Masa jabatan Macron sebagai presiden akan berakhir pada pertengahan 2027. Di tengah tekanan yang meningkat, Macron sedang mencari sosok Perdana Menteri baru yang mampu mengatasi krisis ini dan meredam seruan untuk pengunduran dirinya. (hui)
Sumber : NTDTV.com