oleh Li Jingyi
Insiden pembunuhan acak terus terjadi di Tiongkok pada November 2024, menyebabkan keresahan masyarakat. Pertama, mobil yang sengaja menabrak orang di Kota Zhuhai, Provinsi Guangdong pada 11 November tahun ini, menewaskan 35 orang dan melukai 43 lainnya. Kemudian pada 16 November, penikaman acak oleh seorang mahasiswa terhadap mahasiswa di Sekolah Kejuruan dan Teknik Politeknik di Kota Yixing, Wuxi, Provinsi Jiangsu, menyebabkan 8 orang tewas dan 17 orang lainnya terluka. Keesokan harinya, mahasiswa lain menikam seseorang dengan pisau di asrama Universitas Teknologi Guangdong di Kota Guangzhou.
Pada 19 November pagi, sebuah mobil yang sengaja dilarikan kencang menabrak kerumunan orang yang sedang berjalan menuju gerbang Sekolah Dasar Yong’an di Changde, Provinsi Hunan hingga menyebabkan banyak korban tewas dan terluka.
Pada 26 November, kejadian pembunuhan acak dengan menabrakkan mobil terhadap kerumunan orang yang sedang berjalan kaki kembali terjadi di 2 tempat, yaitu Distrik Fengtai dan Distrik Dongcheng, Beijing. Polisi segera menutup tempat kejadian, dan pejabat Partai Komunis Tiongkok tetap bungkam mengenai berita tersebut.
Mengapa insiden “Zhang Xianzhong” ini sering terjadi? Faktanya, “serangan teroris” ini bukan hanya terjadi baru-baru ini. Di bawah pemerintahan otokratis, tidak ada supremasi hukum dan demokrasi dalam masyarakat Tiongkok. Masyarakat menderita berbagai macam perlakuan tidak adil dari pemerintah tapi tidak memiliki tempat resmi untuk mengadu, suasana sosial sudah lama seperti panci presto yang telah penuh dengan tekanan.
Sebelas tahun yang lalu (Juli 2013), Yu Minhong, mantan pendiri sekolah “New Oriental” ketika menanggapi serangkaian insiden brutal yang terjadi di saat itu, memposting di Weibo tulisan: “Perbuatan keji yang menyelimuti masyarakat Tiongkok ini tidak seluruhnya dilakukan oleh orang-orang berhati jahat. Meskipun memang perbuatan jahat harus dihukum, tapi kita perlu mengkaji lebih dalam di mana akar permasalahannya: Ketika keadilan dan kebenaran menjadi sulit diperoleh, tidak adanya saluran resmi untuk menyelesaikan masalah sosial, sedangkan para pejabat saling melindungi, tetapi warga sipil tidak memperoleh kesempatan untuk mendapatkan keadilan, bahkan harus kehilangan martabatnya sebagai manusia karena dirampas, maka masyarakatnya akan berubah menjadi masyarakat yang menganggap orang baik adalah jahat dan orang jahat adalah baik”.
Konsekuensi buruk dari “sistem politik dan ekonomi ekstraktif” Partai Komunis Tiongkok (PKT)
Pemenang Hadiah Nobel bidang ekonomi tahun ini Daron Acemoglu, Simon Johnson dan James A. Robinson mengusulkan konsep-konsep penting untuk menjelaskan kemakmuran dan kemiskinan suatu negara. Menurut penelitian mereka, alasan di balik kesenjangan besar antara negara-negara kaya dan miskin di seluruh dunia adalah perbedaannya pada sistem politik dan ekonomi.
Mereka membagi sistem yang dijalankan dalam kegiatan politik dan ekonomi suatu negara menjadi “sistem inklusif” dan “sistem ekstraktif”. Sistem inklusif berarti sebagian besar dari semua lapisan masyarakat dapat berpartisipasi dalam kegiatan ekonomi, bersaing secara adil, dan berbagi manfaat. Sistem ekstraktif berarti bahwa kekuasaan dan kekayaan sangat terkonsentrasi dan dimonopoli oleh segelintir orang yang berkuasa. Kurangnya sistem check and balances kekuasaan dan supremasi hukum. Kelompok mayoritas dari negara melayani kelompok minoritas.
Penelitian yang dilakukan oleh Daron Acemoglu Cs. menunjukkan bahwa sistem politik dan ekonomi yang inklusif adalah kunci untuk mencapai pertumbuhan ekonomi jangka panjang. Semua negara dan wilayah di dunia yang telah memilih sistem inklusif akan mengalami pembangunan ekonomi yang berkelanjutan dan standar hidup masyarakat yang terus meningkat. Meskipun sistem politik dan ekonomi ekstraktif dapat mencapai pertumbuhan ekonomi dalam jangka waktu tertentu, namun pertumbuhan tersebut tidak dapat dipertahankan, dan pada akhirnya akan mengalami stagnan bahkan menurun.
Patut disebutkan bahwa pada 10 tahun lalu (2014) Daron Acemoglu dalam pidatonya sudah menyebutkan, bahwa Tiongkok (saat itu) merupakan contoh umum dari “pertumbuhan ekonomi di bawah sistem ekstraktif”. Sedangkan keterbatasan dari sistem tersebut adalah, tidak akan ada pertumbuhan ekonomi jangka panjang yang berkelanjutan. Pada tahun 2014, ia telah secara langsung meramalkan resesi ekonomi yang akan dihadapi Tiongkok saat ini.
Pemerintah negara menindas rakyat, masyarakat sipil kehilangan jiwa gotong royong
Yan Chungou, seorang penulis komentar menjelaskan, bahwa keadaan sulit yang dihadapi Tiongkok daratan saat ini merupakan akibat dari pemerintah yang mengecewakan, tidak mampu mengelola, sehingga terjadi kekacauan sosial. Dan membuktikan bahwa teori Daron Acemoglu tidak keliru.
Pertama, negara telah kehilangan moralitas dalam mengupayakan kebahagiaan bagi rakyatnya. Republik Rakyat Tiongkok sejak awal telah dijadikan aset pribadi PKT. Kekayaan Tiongkok bukanlah milik rakyat Tiongkok, dan rakyat Tiongkok tidak berhak untuk ikut campur dalam pemerintahan Tiongkok. Negara hanyalah alat yang digunakan oleh sekelompok kecil pejabat PKT korup untuk memperbudak rakyat Tiongkok, jadi rakyat yang melayani pemerintah bukan pemerintah melayani rakyat, rakyat ditindas dan dieksploitasi.
Pemerintah telah kehilangan kemampuan untuk mengatur negara, ekonomi dan politik terus memburuk, langkah-langkah yang diambil pemerintah untuk menyelamatkan real estat dan pasar saham telah gagal total, revitalisasi konsumsi terasa sia-sia, investasi kehilangan arah, perdagangan luar negeri, diplomasi dan militer semua menghadapi hambatan, permasalahan internal dan eksternal yang menumpuk tersebut pada akhirnya akan menimpa rakyat, membuat kehidupan rakyat semakin sengsara.
Kedua, dalam pengoperasian masyarakat normal, biasanya ada seperangkat logika tradisional yang dapat digunakan untuk memprediksi, ada undang-undang, norma dan kesadaran sosial sebagai landasan moral. Pemerintah memiliki disiplin diri, masyarakat memiliki kepercayaan, ada keramahan dan empati antar manusia.
Namun, sejak PKT mengambil alih kekuasaan, ia telah mengubah masyarakat tradisional Tiongkok, dan mendidik masyarakat dengan budaya partai yang berisi “kepalsuan, kejahatan dan perseteruan”. Masyarakat dari masa kanak-kanak hingga dewasa tumbuh dalam dunia perseteruan ciptaannya, digodok untuk berseteru, bersaing, membanding-bandingkan, saling menjatuhkan demi kepentingan diri sendiri.
“Xiantao Ba”, penulis di akun publik menunjukkan bahwa pembunuhan acak itu bukan lagi kasus kebetulan, melainkan gejala penyakit masyarakat yang kambuh secara berkala. Masyarakat yang telah kehilangan iman, kebaikan dan sikap gotong royong itu tidak bedanya dengan masyarakat neraka.
Batas ketahanan hidup seseorang menyulut balas dendam terhadap masyarakat melalui pembunuhan acak
Selama empat dekade terakhir, perekonomian Tiongkok telah mengalami pertumbuhan pesat. Meskipun para penguasa negara mengambil sebagian besar keuntungan politik dan ekonomi, masyarakat awam masih bisa memperoleh keuntungan kecil dan meningkatkan taraf hidup. Namun, Tiongkok saat ini yang menggunakan pendekatan “kapitalisme komunis”[1] yang mengandalkan konsumsi berbagai sumber daya untuk mencapai perkembangan melalui metode predator sudah pasti akan menemui kegagalan. Pembangunan ekonomi menurun tajam. Masyarakat menghadapi pengangguran, pemotongan gaji, kebangkrutan, dan tekanan membayar angsuran KPR, KPM untuk menghidupi keluarga. Karena itu banyak warga masyarakat yang telah lama mengalami berbagai kondisi tidak adil menjadi tidak sanggup lagi menanggungnya.
Seorang warga Kota Chongqing bermarga Jiang mengungkapkan: “Alasan mengapa konflik sosial menjadi relatif serius saat ini adalah karena perekonomian tidak berjalan dengan baik. Banyak pusat komersial di Chongqing yang dulunya sangat ramai kini menjadi sepi dan tutup. Banyak warga Chongqing yang termasuk kota tingkat satu terpaksa merantau ke wilayah pesisir timur untuk mencari nafkah, tapi tidak mendapatkan pekerjaan, gagal menghasilkan uang… Di Kota Chongqing ini tunggakan, pemotongan gaji, PHK sangat umum terjadi, Hampir semua perusahaan dan institusi baik milik pemerintah atau swasta menunggak pembayaran upah, bahkan melakukan PHK. Warga sipil sulit bertahan hidup”.
Di bawah pemerintahan totaliter, harga dari melakukan suatu pemberontakan terlalu mahal. Sesungguhnya warga sipil tidak ingin berontak, tidak mau mengakhiri hidup, membunuh orang lain sepanjang mereka masih bisa bertahan. Namun saat ini, mereka telah mencapai batas maksimum ketahanan hidup.
Sejauh ini telah diketahui bahwa beberapa kasus pembunuhan acak yang terjadi di Tiongkok daratan saat ini disebabkan oleh alasan-alasan seperti pemilik perusahaan tempat kerja pembunuh melarikan diri dan menunggak pembayaran gaji. Mahasiswa pekerja magang di pabrik tidak diberi upah bahkan tidak diberikan ijazahnya. Anak dari pembunuh acak yang menerima intimidasi hingga terluka parah di sekolah tapi tidak ditangani oleh pihak berwenang. Ditambah lagi dengan tidak adanya sistem peradilan yang benar-benar adil, tidak ada media dan opini publik yang bebas dan terbuka, sehingga warga masyarakat yang tidak mendapat perlakuan adil ini melampiaskan niat balas dendam terhadap masyarakat melalui pembunuhan acak atau melakukan tindakan agresif tanpa pandang bulu.
Kenali karakteristik PKT selama “masa sampah”, mulailah mendapatkan kembali kebaikan dan rasa saling percaya
Banyak orang sekarang berbicara tentang fakta bahwa PKT sedang berada di “masa sampah” dalam sejarah, dengan munculnya disintegrasi yang terjadi pada seluruh aspek politik, ekonomi dan masyarakat.
Akun publik “Renjian Sanjio” memposting tulisan yang menyatakan bahwa masyarakat di Tiongkok daratan kini sudah menjadi lumpuh dan tidak dapat lagi membuktikan kemampuan untuk memperbaiki dirinya. Penulis yang mengibaratkan masyarakat sebagai sebuah tubuh makhluk, mengatakan bahwa, organ-organ dari tubuh tersebut masih terus berjuang untuk mempertahankan hidup, tapi banyak syarafnya sudah mati.
Namun, penulis percaya bahwa rezim PKT-lah yang sedang mengalami keruntuhan, dan masyarakat sipil Tiongkok akan mulai pulih setelah PKT runtuh.
Tepat dua puluh tahun yang lalu, buku “Sembilan Komentar Mengenai Partai Komunis” dengan jelas menyatakan bahwa rezim komunis akan runtuh. Saat ini, lebih dari 430 juta warga Tiongkok telah mengundurkan diri dari Partai Komunis Tiongkok dan semua organisasi afiliasinya, sehingga akan mempercepat keruntuhannya.
Namun, selama “masa sampah” ini ketika ia berada di ambang kehancuran total, kita harus mulai merenung, mengenali karakteristik jahat rezim PKT, secara mental menyingkirkan kontrol propaganda cuci otak PKT, dan melepaskan semua ilusi terhadapnya. Hanya dengan cara ini kita dapat secara bertahap mendapatkan kembali budaya tradisional kita yang hilang, kebaikan dan rasa saling percaya dalam masyarakat Tiongkok yang dapat membawa kita ke masa depan baru yang lebih baik.
Catatan: [1] Ekonom He Qinglian menunjukkan bahwa sebuah sistem politik dan ekonomi hasil kolaborasi antara rezim komunis dan kapitalisme yang disebut “kapitalisme komunis” muncul di Tiongkok. Ini adalah kapitalisme kroni di bawah rezim otoriter yang digabungkan dengan kapitalisme negara. Sebutan “Model Tiongkok” adalah teorinya PKT agar enak terdengar di telinga.
Dalam model pembangunan ekonomi kapitalis partai komunis, pemerintah memusatkan semua sumber daya, dengan tidak segan-segan untuk menguras sampai habis sumber daya yang ada, tidak peduli dengan pencemaran terhadap lingkungan ekologi, mengabaikan penghidupan dan kesehatan masyarakat, dan menggunakan metode predator untuk mengembangkan perekonomian negara, sehingga menciptakan tingkat pertumbuhan PDB paling cepat di dunia. Pada saat yang sama memberikan lampu hijau bagi pejabat PKT untuk menjarah sejumlah besar kekayaan publik untuk memperkaya diri mereka sendiri. (sin)