Liburan selalu diiringi dengan asa untuk masa depan yang lebih baik, dan asa memungkinkan kita untuk terus maju
oleh James Sale
Dua tahun lalu, penulis membuat cerita paling populer untuk The Epoch Times, berjudul “Makna Natal yang Sebenarnya.” Mungkin bukan karena kualitas tulisan cerita itu menjadi populer, tetapi lebih karena topiknya: Natal!
Seperti yang penulis katakan di akhir tulisan tersebut, “Kita tidak perlu menjadi seorang Kristen untuk menyadari bahwa ini adalah sesuatu yang istimewa; seorang ateis pun dapat menghargai bahwa ini adalah kisah luar biasa yang menghangatkan hati.” Hal ini tetap benar, dan sama benarnya dengan fakta bahwa Natal kembali hampir tiba!
Dalam artikel itu, penulis menunjukkan bahwa, hal terpenting dalam kisah Natal dapat diungkapkan melalui sebuah frasa dari Nicene Creed: “Ia turun dari surga.” Seperti yang penulis sebutkan pada saat itu, itulah arah di mana Tuhan memasuki hidup kita.
Sebagai manusia, kita selalu ingin naik ke atas. Kita ingin mendudukkan diri kita di takhta ego kita sendiri, meninggikan diri dalam keangkuhan kita. Namun, seperti yang dikatakan dalam Kitab Amsal, “Kecongkakan mendahului kehancuran, dan tinggi hati mendahului kejatuhan.” Ini berarti kita perlu memiliki kerendahan hati.
Namun tentu saja, Natal memiliki lebih dari satu makna; bahkan, maknanya tak ada habisnya. Saat kita mendekati tahun 2025 dan melihat kembali keadaan dunia yang kacau, kita mungkin bertanya-tanya: Apa pesan Natal lain yang relevan dengan kondisi saat ini?
Pentingnya Asa
Asa atau Harapan adalah elemen terakhir yang tersisa di dalam kotak Pandora, setelah semua wabah dan penyakit keluar untuk merusak kehidupan manusia. Apa itu harapan? Václav Havel, seorang dramawan sekaligus presiden pertama Republik Ceko, memberi kita pemahaman awal yang baik ketika ia berkata, “Harapan bukanlah keyakinan bahwa sesuatu akan berjalan baik, tetapi kepastian sesuatu memiliki makna, apa pun hasilnya.”
Dalam istilah yang lebih praktis, harapan adalah apa yang memungkinkan kita berkembang. Dalam bukunya Working with Emotional Intelligence, Daniel Goleman mencatat: “Studi kompetensi menunjukkan bahwa para pelaku terbaik dalam layanan kemanusiaan—mulai dari perawatan kesehatan, konseling, hingga pengajaran—mengungkapkan harapan bagi mereka yang mereka bantu. … Dalam pekerjaan seperti ini, di mana stres tinggi dan kekecewaan sering terjadi, harapan sangat penting.”
Ciri utama seorang pelaku terbaik adalah memiliki harapan. Oleh karena itu, dalam berinteraksi dengan orang lain, kita membutuhkan harapan jika kita ingin membuat perubahan apa pun. G.K. Chesterton mengamati bahwa “yang pertama dan terutama … semua pintu terbuka untuk keberanian dan harapan.” Melalui harapan, kita dapat membuka pintu!
Dalam bukunya tahun 1987, A Philosophy of Human Hope, filsuf J.J. Godfrey mencatat, kepercayaan adalah “sebuah disposisi yang diambil terhadap masa kini,” sedangkan harapan adalah “sebuah sikap yang diambil terhadap masa depan.” Ia menulis tentang seorang guru yang berkata kepada murid-muridnya: “Saya sedang bekerja dengan masa depan kalian. … Saya mengirimkan pesan ke masa depan melalui kalian yang tidak akan pernah saya lihat. … Saya tidak akan melihat tahun [2020], tetapi kalian akan. Saya akan mengirimkan pesan melalui kalian dan itu akan menjadi pesan yang baik.”
Dunia Diperbarui
Namun, Natal bukanlah sebuah konsep filosofis atau teologis yang abstrak, melainkan perayaan dari peristiwa nyata yang terjadi pada orang-orang tampaknya biasa-biasa saja. Oleh karena itu, titik awal kita harus melibatkan diri dalam rincian ceritanya. Maria dan Yusuf adalah orang-orang biasa seperti kebanyakan dari kita: mereka memiliki tagihan yang harus dibayar, harus mencukupi kebutuhan, dan dalam kondisi ekonomi yang sulit, mereka harus berjuang untuk bertahan. Dalam kasus Maria dan Yusuf, Kaisar Augustus memerintahkan semua orang untuk kembali ke kota asal mereka untuk didata dan dikenai pajak. Kisah tentang tidak adanya tempat di penginapan dan tentang palungan menggambarkan betapa sempitnya kehidupan mereka saat itu (dan betapa berbahayanya, karena terdengar sangat tidak higienis), sementara kisah kemarahan Herodes menambahkan kesan bahaya yang mengancam: nyawa saat itu begitu murah, dan konsekuensi melawan tiran hampir pasti berujung fatal.
Kita suka membayangkan, meskipun buktinya minim, bahwa peristiwa Kelahiran itu terjadi pada malam tergelap musim dingin. Tetapi—dan di sinilah harapan muncul—kelahiran anak itu sudah diberitakan sebelumnya, direncanakan sesuai dengan tujuan Allah. Selain itu, tanda-tanda menunjukkan pentingnya anak itu: di langit ada bintang yang bersinar, dan di bumi, para gembala yang sederhana dan rendah hati mengetahui apa yang sedang terjadi. Lebih dari mereka, orang-orang bijak dari Timur datang untuk memberikan kesaksian tentang kelahiran anak itu. Anehnya, bahkan tindakan jahat Herodes yang tampaknya tanpa harapan justru menegaskan kekuatan kebaikan, karena Herodes sendiri percaya bahwa kelahiran ini adalah ancaman bagi otoritas dan kekuasaannya. Jika tidak, mengapa dia berusaha keras untuk melenyapkannya?
Dalam satu pengertian penting, kisah kelahiran Yesus mirip dengan kelahiran setiap manusia yang datang ke dunia. Kelahiran disertai dengan keyakinan bahwa seorang anak dapat membuat perbedaan, melakukan kebaikan, dan menjadikan dunia tempat yang lebih baik. Berdasarkan pengalaman pribadi penulis, putra bungsu penulis memiliki seorang putri yang sekarang berusia 19 bulan. Betapa besar sukacita dan harapan yang ia miliki untuk putrinya, sebagaimana kami sebagai kakek-nenek! Setiap kelahiran, secara harfiah, adalah “penciptaan baru.” Ini adalah kemenangan hidup atas kematian.
Namun, ada aspek lain yang unik dari kelahiran Yesus. Kita melihat ini melalui garis besar seluruh hidup-Nya dan apa yang telah Dia capai. Penulis merujuk pada dampak kehidupan-Nya setelah Dia meninggalkan dunia: berakhirnya paganisme di Kekaisaran Romawi; runtuhnya kekaisaran itu sendiri setelah konversinya ke Kekristenan; runtuhnya penghalang antara pria dan wanita, antara budak dan orang merdeka; penghapusan perbudakan (sesuatu yang tidak dikenal di dunia kuno); serta pengakuan bahwa setiap jiwa manusia itu bernilai—tidak ternilai. Hal-hal ini sering kali kita lupakan hari ini, tetapi itulah konsekuensi jangka panjang dari berdirinya Kekristenan—dan harapan yang menyertai kelahiran bayi itu.
Inilah yang kita lihat dan rasakan pada Natal. Hidup mengalahkan kematian, dan kita memiliki setiap alasan untuk merayakannya. Menjadi seperti anak-anak memungkinkan keterbukaan, rasa ingin tahu, dan kepolosan yang secara alami melahirkan harapan.
Begitu pula, waktu untuk menjauh dari kekhawatiran orang dewasa diperlukan untuk membangkitkan harapan, karena tanpa itu kita akan mengalami kelelahan. Beristirahat dari tanggung jawab orang dewasa adalah pemulihan bagi jiwa dan komunitas. Sebuah peribahasa Rusia mengatakan, “Di kerajaan harapan, tidak ada musim dingin.” Kita dapat bertahan menghadapi musim dingin yang gelap dan dalam karena Natal memberi kita harapan bahwa kita akan melewatinya.
Pesan mendalam Natal adalah ini: Cahaya sejati dunia telah datang, dan melalui cahaya itu, kita semua memiliki harapan—harapan pada anak-anak, harapan pada fakta bahwa setiap manusia itu istimewa, dan harapan pada gagasan bahwa ada rencana besar yang diberikan Tuhan, dan kita semua adalah bagian darinya. Jadi, apa yang tidak patut dirayakan? Saat kita bersulang, mari kita perbarui harapan kita untuk umat manusia dan diri kita sendiri di tahun 2025. Anda tahu itu semua akan masuk akal!
James Sale telah menerbitkan lebih dari 50 buku, yang terbaru adalah “Mapping Motivation for Top Performing Teams” (Routledge, 2021). Dia telah dinominasikan untuk Pushcart Prize puisi 2022, dan memenangkan hadiah pertama dalam kompetisi tahunan The Society of Classical Poets 2017, tampil di New York pada tahun 2019. Kumpulan puisi terbarunya adalah “StairWell.” Untuk informasi lebih lanjut mengenai penulis dan proyek Dante-nya, kunjungi EnglishCantos.home.blog