EtIndonesia. Pada Selasa, 4 Maret, Amerika Serikat secara terbuka menunjukkan sikap baru dalam sidang Majelis Umum PBB. AS mengumumkan bahwa mereka tidak akan lagi secara otomatis mendukung program inti PBB, termasuk agenda keberlanjutan global dan tujuan pengentasan kemiskinan.
“Oleh karena itu, Amerika Serikat menolak dan mengutuk Agenda Pembangunan Berkelanjutan 2030 serta Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs) dan tidak lagi menganggapnya sebagai kebijakan yang secara otomatis harus ditegaskan kembali,” ujar Edward Heartney, perwakilan AS di PBB.
Penolakan Resolusi Perdamaian dan Inklusi Sosial
Amerika Serikat memberikan suara menolak resolusi bertajuk “Hari Hidup Berdampingan Secara Damai Internasional” yang menegaskan kembali komitmen pada Agenda Pembangunan Berkelanjutan 2030. Resolusi tersebut mencakup upaya untuk membangun masyarakat yang damai, inklusif, memberikan akses keadilan untuk semua, dan membentuk lembaga yang efektif, bertanggung jawab, serta inklusif di semua tingkatan.
Heartney menjelaskan bahwa masyarakat Amerika dalam pemilu November lalu telah memilih pemerintahan yang berfokus kembali pada kepentingan nasional Amerika sendiri.
“Secara sederhana, inisiatif global seperti Agenda 2030 dan SDGs kalah dalam pemilu ini,” katanya.
Resolusi ini akhirnya disahkan dalam sidang dengan 162 suara mendukung, 3 suara menolak, yaitu dari Amerika Serikat, Israel, dan Argentina.
Penolakan pada “Hari Keadilan Internasional”
Majelis Umum PBB kerap menetapkan “Hari keadilan Internasional” untuk meningkatkan kesadaran mengenai isu-isu global dan mempromosikan perdamaian serta toleransi. Saat ini, terdapat lebih dari 150 hari peringatan internasional, termasuk Hari Perempuan Internasional pada 8 Maret, Hari Lingkungan Hidup Sedunia, Hari Bahasa Ibu Internasional, dan Hari Diabetes Dunia.
Pada pemungutan suara kali ini, mayoritas negara mendukung pembentukan “Hari Keadilan Internasional” kecuali Amerika Serikat, yang menjadi satu-satunya negara yang memberikan suara menolak.
Heartney menekankan bahwa Amerika Serikat “teguh mendukung upaya menjaga perdamaian dan menyelesaikan krisis global melalui cara-cara diplomatik,” dan percaya bahwa “hak-hak individu merupakan fondasi keamanan nasional Amerika serta promosi perdamaian internasional.”
Namun, menurutnya, resolusi ini menambah jumlah “Hari keadilan Internasional” secara tidak perlu, banyak di antaranya memiliki tujuan yang serupa. Heartney mencontohkan adanya “Hari Perdamaian Internasional” dan “Hari Kebahagiaan Internasional” yang sudah ada sebelumnya.
“Draf resolusi ini juga memuat istilah-istilah terkait keragaman, kesetaraan, dan inklusi, yang tidak sejalan dengan kebijakan Amerika Serikat yang berusaha menghapus segala bentuk diskriminasi dan menciptakan kesempatan yang setara bagi semua orang,” tambahnya.
Penolakan Program Keberagaman dan Pendidikan Demokratis
Pemerintahan Trump telah menjadikan penghapusan program-program keragaman, kesetaraan, dan inklusi sebagai salah satu kebijakan intinya, dengan alasan bahwa program-program tersebut secara tidak sah mendorong diskriminasi.
Selain itu, Amerika Serikat juga menjadi satu-satunya negara yang menolak resolusi bertajuk “Pendidikan Demokrasi” yang menegaskan hak setiap orang untuk mendapatkan pendidikan dan pentingnya menyediakan kesempatan yang setara bagi kaum muda, termasuk perempuan.
Teks resolusi tersebut menekankan bahwa “pendidikan demokrasi mengembangkan pembelajar yang bertanggung jawab dan aktif, memungkinkan mereka untuk berkontribusi secara efektif bagi masyarakat serta menciptakan perdamaian dan kemakmuran yang lebih luas.” Resolusi ini juga menyebutkan dampak negatif pandemi COVID-19 terhadap pendidikan global.
Resolusi tersebut mendesak pemerintah di seluruh dunia untuk meningkatkan investasi dalam pendidikan berkualitas, mengurangi kesenjangan digital, serta “meningkatkan prospek generasi mendatang, mendorong terciptanya masyarakat yang damai, adil, demokratis, dan berkelanjutan.”
Implikasi Internasional dari Kebijakan Amerika yang Berfokus ke Dalam Negeri
Langkah Amerika Serikat ini menunjukkan perubahan besar dalam pendekatan diplomatiknya di PBB. Pemerintahan Trump tampaknya lebih memilih kebijakan yang memprioritaskan kepentingan domestik daripada berpartisipasi dalam program-program global.