EtIndonesia. Baru-baru ini, pernyataan terbuka Presiden Iran, Masoud Pezeshkian memicu perdebatan hangat. Dia mengatakan: “Menurut saya, akan lebih baik jika kita berdialog dengan Amerika Serikat,” namun kemudian menegaskan bahwa karena Pemimpin Tertinggi Ayatollah Ali Khamenei tidak setuju, Iran tidak akan mengadakan perundingan dengan AS. Pernyataan yang terkesan kontradiktif ini sebenarnya mencerminkan kompleksitas politik internal Iran serta tekanan dari dalam dan luar negeri.
Sejak Revolusi Islam 1979, lanskap politik Iran terbagi menjadi dua kubu utama: reformis dan konservatif. Kubu reformis cenderung mendukung perbaikan hubungan dengan Barat dan menyelesaikan perselisihan melalui dialog. Sebaliknya, kubu konservatif mengedepankan sikap keras terhadap Amerika Serikat, yang mereka sebut sebagai “Setan Besar”. Bagi mereka, berunding dengan AS dianggap sebagai tindakan yang “tidak bijaksana, tidak cerdas, dan tidak terhormat”.
Sebagai tokoh reformis, Pezeshkian tentu lebih memilih jalur dialog dengan AS. Namun, di Iran, kekuasaan tertinggi tidak berada di tangan presiden, melainkan di tangan Pemimpin Tertinggi Khamenei. Sebagai simbol utama kubu konservatif, Khamenei memiliki pandangan keras terhadap AS. Bagi Khamenei, negosiasi dengan AS hanya akan membuat Iran berada dalam posisi lemah. Maka, begitu Pezeshkian melontarkan gagasan untuk berdialog, dia langsung menyentuh “garis merah” konservatif.
Krisis ekonomi Iran berkaitan erat dengan sanksi ekonomi AS. Sejak Presiden Donald Trump menarik diri dari Joint Comprehensive Plan of Action (JCPOA) atau kesepakatan nuklir Iran pada 2018 dan menerapkan kebijakan “tekanan maksimum”, ekonomi Iran mengalami keterpurukan.
AS secara agresif menargetkan ekspor minyak Iran dengan tujuan menekannya hingga “nol” dan mencegah Teheran mengembangkan senjata nuklir. Dampaknya, nilai mata uang Iran, Riyal, terjun bebas, inflasi melonjak hingga 35%, dan banyak warga Iran kesulitan memenuhi kebutuhan dasar, termasuk obat-obatan.
Bagi kubu reformis, dialog dengan AS adalah satu-satunya cara untuk mengurangi tekanan ekonomi. Namun, kubu konservatif melihat dialog sebagai bentuk kelemahan yang hanya akan memberikan keuntungan lebih bagi AS. Mereka yakin bahwa sikap tegas adalah satu-satunya cara untuk menjaga kehormatan dan kedaulatan Iran.
Pernyataan Pezeshkian bisa dianggap sebagai contoh seni politik “melempar tanggung jawab”. Di satu sisi, dia menunjukkan “loyalitas” kepada Pemimpin Tertinggi Khamenei dengan menyatakan siap mengikuti arahan hingga akhir. Namun, di sisi lain, dia juga mengirimkan sinyal kepada Barat bahwa dia sebenarnya mendukung dialog, tetapi terhalang oleh kebijakan Khamenei.
Langkah ini adalah upaya cerdik untuk menjaga posisinya di kancah politik Iran yang penuh risiko. Menantang otoritas Pemimpin Tertinggi bisa diibaratkan sebagai “bunuh diri politik”. Pezeshkian jelas tidak ingin mengulangi nasib mantan Presiden Hassan Rouhani, yang mendapatkan serangan bertubi-tubi dari konservatif karena sikapnya yang mendukung normalisasi hubungan dengan Barat.
Iran memiliki sistem politik yang unik, di mana Pemimpin Tertinggi memiliki kekuasaan absolut. Presiden hanya bertindak sebagai kepala pemerintahan dalam urusan administratif sehari-hari. Pemimpin Tertinggi dipilih oleh Dewan Ahli, yang mayoritas anggotanya berasal dari kalangan konservatif. Hal ini menyebabkan kubu reformis sering kali sulit bergerak di ranah politik Iran.
Sejak AS menerapkan kembali sanksi, ekonomi Iran terus terpuruk. Ekspor minyak, sebagai sumber utama pendapatan negara, terhambat. Nilai mata uang anjlok, inflasi dan pengangguran meroket, serta ketidakpuasan rakyat semakin meningkat.
Sementara JCPOA sempat memberikan harapan dengan mencabut sebagian sanksi internasional, keputusan Trump untuk menarik diri dari kesepakatan tersebut membuat Iran kembali terisolasi. Kini, Pezeshkian dan kubu reformis melihat dialog dengan AS sebagai jalan keluar, meski mereka terhalang oleh kekuatan konservatif yang sangat dominan.
Pertarungan antara kubu reformis dan konservatif bukan sekadar perselisihan politik internal, melainkan juga respons Iran terhadap tekanan internasional. Pernyataan Pezeshkian sebenarnya adalah bentuk komunikasi politik multi-arah: “kesetiaan” kepada Pemimpin Tertinggi, “pesan terbuka” kepada Barat, dan “penyampaian alasan” kepada rakyat Iran bahwa masalah utama bukanlah dirinya, melainkan kebijakan di tingkat tertinggi.
Ke depan, keputusan Iran mengenai apakah akan membuka dialog dengan AS atau tetap bersikukuh dengan sikap keras akan sangat bergantung pada beberapa faktor:
- Intensitas sanksi ekonomi AS.
- Kondisi ekonomi domestik Iran.
- Sikap dan kebijakan Pemimpin Tertinggi Khamenei.
Kesimpulan: Drama Politik Tanpa Naskah di Iran
Seperti sebuah “drama istana tanpa naskah,” politik Iran selalu penuh kejutan. Siapa sebenarnya tokoh utama dan siapa yang hanya menjadi figuran dalam cerita ini sulit untuk ditebak. Satu hal yang pasti, hasil dari “pertarungan jalur” ini akan sangat mempengaruhi masa depan Iran, kawasan Timur Tengah, dan mungkin juga keseimbangan geopolitik global.(jhn/yn)