Thailand Deportasi 40 Orang Uighur ke Tiongkok, Memicu Kecaman Internasional

EtIndonesia. Pada Kamis, seorang menteri Thailand menyatakan bahwa keputusan untuk mendeportasi 40 warga etnis Uighur kembali ke Tiongkok pekan lalu didasarkan pada “kepentingan terbaik” bagi Thailand. Langkah ini diambil untuk menghindari kemungkinan pembalasan dari Pemerintah Tiongkok jika para pengungsi tersebut dikirim ke negara lain.

Menurut laporan Reuters, Wakil Menteri Luar Negeri Thailand, Russ Jalichandra, dalam pernyataan resminya mengatakan: “Thailand mungkin akan menghadapi pembalasan dari Tiongkok (Partai Komunis Tiongkok), yang dapat mempengaruhi mata pencaharian banyak warga Thailand.”

Dia menambahkan bahwa memulangkan para pengungsi kembali ke Tiongkok merupakan “pilihan terbaik” untuk Thailand.

Potensi Pembalasan dari Tiongkok Tidak Dijelaskan Lebih Lanjut

Namun, Russ tidak menjelaskan lebih lanjut mengenai bentuk pembalasan seperti apa yang mungkin dilakukan oleh Pemerintah Tiongkok.

Baik Kementerian Luar Negeri Tiongkok maupun kedutaan besarnya di Bangkok belum memberikan tanggapan atas permintaan komentar dari Reuters terkait pernyataan Russ tentang kemungkinan pembalasan tersebut.

Negara Lain Pernah Menawarkan Suaka bagi Etnis Uighur

Dalam pernyataannya, Russ juga menyebutkan bahwa beberapa negara lain sempat menawarkan untuk menampung para pengungsi Uighur tersebut. Pernyataan ini berbeda dengan klaim sebelumnya dari pejabat Thailand yang mengatakan bahwa mereka tidak menerima tawaran semacam itu.

Namun, dia tidak merinci negara mana saja yang memberikan penawaran tersebut.

Laporan Reuters pada Rabu sebelumnya mengungkapkan bahwa Amerika Serikat, Kanada, dan Australia termasuk di antara negara-negara yang bersedia menampung para pengungsi Uighur tersebut. Namun, Bangkok dilaporkan enggan bertindak karena khawatir akan memicu kemarahan Beijing.

Kecaman Internasional atas Deportasi Rahasia

Pemerintah Thailand berulang kali membela tindakan pengusiran rahasia tersebut, meski para pakar hak asasi manusia PBB memperingatkan bahwa para pengungsi Uighur ini berisiko menghadapi penyiksaan, penganiayaan jika dipulangkan ke Tiongkok.

Kelompok-kelompok hak asasi manusia menuduh Pemerintah Tiongkok melakukan pelanggaran berat terhadap sekitar 10 juta etnis Uighur yang mayoritas beragama Muslim di wilayah Xinjiang, Tiongkok barat laut. Namun, Beijing secara konsisten membantah tuduhan tersebut.

Sejarah Pengusiran Etnis Uighur di Thailand

Pada tahun 2014, lebih dari 300 warga etnis Uighur melarikan diri dari Tiongkok dan ditangkap di Bangkok.

Pada 2015, Thailand memaksa 109 orang di antara mereka untuk kembali ke Tiongkok. Sementara 173 lainnya, yang kebanyakan wanita dan anak-anak, dikirim ke Turki.

Sebanyak 53 orang sisanya ditahan di pusat penahanan imigrasi Thailand, di mana lima di antaranya meninggal selama penahanan.

Lima orang lainnya kemudian dipenjara karena mencoba melarikan diri, sedangkan 43 orang lainnya tetap ditahan di pusat penahanan imigrasi di Bangkok.

Hingga pada 27 Februari, pihak berwenang Thailand mendeportasi 40 dari etnis Uighur tersebut kembali ke Tiongkok, yang kemudian memicu kecaman internasional.

Reaksi Internasional: Ancaman Terhadap Hak Asasi Manusia

Organisasi hak asasi manusia mengecam keras keputusan Thailand ini. Amnesty International dan Human Rights Watch memperingatkan bahwa deportasi tersebut dapat menyebabkan para pengungsi tersebut menghadapi penganiayaan lebih lanjut di Tiongkok, termasuk penyiksaan dan penahanan sewenang-wenang.

PBB melalui para pakar hak asasi manusianya juga mendesak Thailand untuk menghentikan deportasi paksa, mengingat adanya risiko tinggi terhadap keselamatan dan kesejahteraan para pengungsi Uighur jika mereka dikembalikan ke Tiongkok.

Kesimpulan: Keamanan Nasional atau Kepatuhan pada Tiongkok?

Keputusan Thailand untuk memulangkan para pengungsi Uighur ke Tiongkok menimbulkan pertanyaan serius mengenai keseimbangan antara melindungi hak asasi manusia dan menjaga hubungan diplomatik dengan Tiongkok.

Sementara Pemerintah Thailand berdalih bahwa tindakan tersebut diambil demi kepentingan nasional, banyak pihak melihatnya sebagai bentuk kepatuhan terhadap tekanan politik dan ekonomi dari Beijing.

Kasus ini menjadi contoh nyata bagaimana kekuatan geopolitik dapat mempengaruhi keputusan-keputusan kemanusiaan, sekaligus menjadi pengingat pentingnya perlindungan terhadap kelompok-kelompok rentan di tengah dinamika politik internasional. (jhn/yn)

FOKUS DUNIA

NEWS