EtIndonesia. Pada 4 Maret, juru bicara Kremlin Dmitry Peskov melalui saluran televisi milik Pemerintah Rusia, Zvezda, menyatakan bahwa Presiden Vladimir Putin bersedia menjadi penengah dalam negosiasi nuklir antara Iran dan Amerika Serikat.
Peskov menegaskan bahwa Iran merupakan mitra dan sekutu penting bagi Rusia, dan Moskow akan terus mengembangkan hubungan bilateral tersebut.
“Presiden Putin yakin bahwa masalah nuklir Iran hanya bisa diselesaikan dengan cara damai,” kata Peskov. “Sebagai sekutu Iran, Rusia akan melakukan segala cara untuk memfasilitasi solusi damai.”
Meskipun Iran membantah ingin mengembangkan senjata nuklir, Badan Pengawas Nuklir PBB memperingatkan bahwa Iran secara signifikan meningkatkan proses pengayaan uranium hingga kemurnian 60%, mendekati tingkat 90% yang dibutuhkan untuk senjata nuklir.
Presiden Trump baru-baru ini kembali menerapkan kebijakan “maximum pressure” (tekanan maksimum) terhadap Iran untuk menghentikan ambisi nuklirnya. Namun, Trump juga menunjukkan keinginan untuk berdialog dengan Presiden Iran, Masoud Pezeshkian guna mencapai kesepakatan.
“Pemerintahan Trump siap berdialog dengan lawan maupun sekutu, tetapi selalu dari posisi kekuatan untuk melindungi keamanan nasional kita,” ujar Brian Hughes, juru bicara Dewan Keamanan Nasional AS.
Pakar Keamanan Meragukan Niat dan Efektivitas Rusia
Meskipun Rusia menawarkan diri sebagai mediator, Washington belum memberikan respons positif atau meminta Rusia memainkan peran tersebut.
Media Jewish Insider melaporkan bahwa sejumlah pakar kebijakan luar negeri meragukan peran Rusia sebagai penengah yang jujur dan efektif. Mereka menyoroti dua masalah utama:
1. Kedekatan Rusia-Iran: Rusia semakin erat dengan Iran, terutama dalam konteks perang Rusia-Ukraina di mana Moskow sangat bergantung pada persenjataan Iran. Apakah Putin bisa menjadi mediator yang netral dan mendukung kepentingan AS?
2. Hasil Negosiasi yang Tidak Jelas: Di bawah mediasi Rusia, masih belum jelas kesepakatan nuklir seperti apa yang bisa dicapai oleh Trump dengan Iran.
Analis: Trump Lihat Rusia sebagai Mitra, Bukan Lawan
Mark Dubowitz, CEO Foundation for Defense of Democracies, berpendapat bahwa Trump mungkin melihat Rusia sebagai mitra yang potensial dalam negosiasi dengan Iran.
“Trump tampaknya berharap Rusia tidak hanya membawa Iran ke meja perundingan tetapi juga membantu meyakinkan Teheran untuk menghentikan seluruh infrastruktur nuklirnya,” kata Dubowitz.
Dia menambahkan, Trump mungkin percaya bahwa dengan bantuan Rusia, Iran akan terdesak oleh tekanan keras dari AS dan Israel, serta kehilangan dukungan dari Moskow jika tidak setuju dengan kesepakatan tersebut.
Namun, Dubowitz mengingatkan bahwa harapan tersebut mungkin tidak sejalan dengan kenyataan.
Keraguan atas Peran Mediasi Rusia dalam Krisis Nuklir Iran
Jonathan Lord, Direktur Program Keamanan Timur Tengah di Center for a New American Security, mengatakan:“Melihat luasnya hubungan antara Iran dan Rusia serta bagaimana Rusia mendukung penggunaan alat-alat paling merusak oleh Iran, sulit dipercaya bahwa Rusia dapat menjadi mediator yang efektif dalam negosiasi nuklir.”
Dia menambahkan, Iran secara aktif mendukung aktivitas Rusia, termasuk memberikan dukungan mematikan dalam perang Rusia-Ukraina.
David Makovsky, peneliti senior di Washington Institute for Near East Policy, juga menyampaikan skeptisismenya: “Kita perlu tahu apa sebenarnya yang ditawarkan Putin, atau apakah ini hanya taktik Iran untuk mengulur waktu sambil memperkuat sistem pertahanan udara dan kemampuan rudal balistiknya.”
Ketidakpastian Strategi Trump terhadap Iran
Hingga kini, belum jelas apa sebenarnya tujuan akhir Trump dalam kebijakan terhadap Iran. Meskipun dia telah menandatangani perintah eksekutif untuk memulihkan sanksi “maximum pressure” terhadap Iran, Trump mengakui perasaannya yang “galau” dan berharap tidak harus sering menggunakan sanksi tersebut.
Selama kampanye pemilu, Trump berkali-kali menyatakan ingin mencapai kesepakatan dengan Iran. Namun, pernyataannya tidak selalu sejalan dengan sikap kerasnya di masa jabatan pertama, ketika dia keluar dari Kesepakatan Nuklir Iran 2015 (JCPOA) karena dianggap tidak cukup mencegah Iran memperoleh senjata nuklir.
Trump juga menepis gagasan untuk melakukan serangan militer bersama Israel terhadap Iran, menunjukkan pendekatan yang lebih diplomatis daripada sebelumnya.
Pakar: Sanksi Saja Tidak Cukup untuk Hentikan Iran
Jonathan Ruhe, Direktur Kebijakan Luar Negeri di Jewish Institute for National Security of America (JINSA), mengatakan: “Trump meraih kesuksesan dalam masa jabatan pertamanya, tetapi saya ragu kondisi saat ini memungkinkan tercapainya hasil yang serupa.”
Menurutnya, kebijakan “maximum pressure” saja mungkin tidak cukup untuk mencapai tujuan jangka panjang AS dalam menghentikan ambisi nuklir Iran.
Tawaran Rusia untuk menjadi penengah dalam negosiasi nuklir AS-Iran membuka peluang, tetapi juga memunculkan banyak keraguan. Dengan rekam jejak Rusia yang cenderung mendukung Iran dalam berbagai konflik, para ahli mempertanyakan apakah Putin benar-benar bisa menjadi mediator yang jujur.
Dengan situasi geopolitik yang kompleks, keputusan akhir Trump dan respons Iran akan sangat menentukan arah kebijakan nuklir global. Namun, banyak yang percaya bahwa mediasi Rusia lebih mungkin menjadi taktik politik daripada solusi nyata dalam mengatasi krisis nuklir Iran.(jhn/yn)