Ekonomi Tiongkok: Jangan Percaya Hype-nya 

Anders Corr

Ekonomi Tiongkok diterpa kesulitan selama bertahun-tahun, terutama karena kurangnya prinsip pasar bebas dalam rezimnya.

Langkah-langkah COVID-19 yang ketat, emigrasi, pelarian modal, krisis properti, deflasi, belanja militer, ketegangan internasional dan tarif, subsidi teknologi, tenaga kerja yang menua, tingkat kelahiran rendah, kurangnya stimulus dari Beijing, serta denda tinggi yang dikenakan oleh pemerintah daerah terhadap usaha kecil telah membuat berbisnis di Tiongkok semakin sulit.

Beberapa terobosan baru-baru ini diklaim sebagai tanda pemulihan. Munculnya kecerdasan buatan (AI) DeepSeek di pasar berkontribusi pada lonjakan saham Tiongkok sebesar $1,3 triliun dalam sebulan setelah dirilis pada Januari. Puluhan perusahaan di Tiongkok, termasuk Lenovo, Baidu, dan Tencent, telah mengintegrasikan DeepSeek ke dalam produk mereka. 

Kini, DeepSeek ingin melanjutkan kesuksesan model R1-nya dengan model R2 sebelum Mei. Indeks Hang Seng naik sekitar 25 persen antara pertengahan Januari hingga 26 Februari. Investasi besar Alibaba dalam model AI Qwen juga meningkatkan valuasi pasarnya lebih dari $90 miliar setelah model tersebut dimasukkan dalam versi iPhone di Tiongkok.

Investor di Tiongkok berharap akan pemulihan ekonomi yang lebih luas berdasarkan peningkatan likuiditas yang dijanjikan oleh bank sentral Tiongkok, People’s Bank of China (PBOC), serta pertemuan pertengahan Februari antara Xi Jinping dan para pemimpin bisnis teknologi Tiongkok. Xi kemungkinan mengatur pertemuan ini untuk menikmati efek dari lonjakan saham DeepSeek dan Qwen serta membenarkan subsidi teknologi yang diberikan oleh pemerintah.

Selain pendiri DeepSeek, Liang Wenfeng, dan pendiri Alibaba, Jack Ma, pertemuan ini kabarnya juga dihadiri oleh para pemimpin Huawei, Tencent, BYD, Contemporary Amperex Technology, Meituan, Xiaomi, Unitree, dan Yushu Technology.

Xi “berjanji untuk menghapus biaya atau denda yang tidak masuk akal terhadap perusahaan swasta dan menciptakan persaingan yang lebih adil—keluhan umum di sistem yang didominasi oleh negara,” menurut Bloomberg.

Namun, perusahaan AI AS masih dikabarkan lebih unggul dibandingkan DeepSeek dan Qwen. Selain itu, diperlukan lebih banyak reformasi pasar untuk menghidupkan kembali ekonomi Tiongkok. Persentase perusahaan A-share Tiongkok yang melaporkan kerugian bersih meningkat setiap tahun sejak 2019, dan pada kuartal ketiga 2024, angkanya mencapai 23 persen.

Keuntungan perusahaan publik Tiongkok berada pada level terendah sejak 2009. Sektor properti, yang sebelumnya menjadi primadona subsidi negara, kini justru paling terpukul. Seorang pengembang real estat di kota Changchun, Tiongkok, bahkan tidak mampu membayar karyawannya dan menjadi viral di internet karena mulai membayar mereka dengan voucher perusahaan, yang dapat ditukar dengan barang dan jasa di pusat perbelanjaan milik perusahaan.

Pertemuan Xi dengan para pemimpin teknologi dipuji sebagai sinyal reformasi pasar yang besar. Namun, tampaknya Xi masih memberikan subsidi dan perintah kepada perusahaan-perusahaan tersebut daripada membiarkan mekanisme pasar bekerja. 

Sebuah foto dari pertemuan itu menunjukkan Xi dikelilingi oleh puluhan pejabat dan pemimpin bisnis, dengan sebagian besar dari mereka menundukkan kepala dan mencatat dengan serius saat ia berbicara.

Menurut dua sumber yang dikutip oleh Reuters sebelum pertemuan, “Banyak dari pengusaha yang hadir berasal dari sektor teknologi, dan Xi diperkirakan akan mendorong mereka untuk memperluas bisnis mereka baik di dalam maupun luar negeri di tengah perang teknologi yang semakin intensif antara Tiongkok dan AS.”

Beberapa perusahaan yang diundang mungkin akan menerima lebih banyak subsidi dan lonjakan harga saham, tetapi banyak perusahaan lain yang tidak hadir tetap tertinggal tanpa pasar bebas yang benar-benar menghargai risiko dan inovasi mereka.

Reformasi PBOC juga tidak begitu menggembirakan. Bank tersebut telah beberapa kali mengumumkan pelonggaran moneter sebelumnya, tetapi dampaknya terhadap perlambatan ekonomi secara keseluruhan tetap minim. 

Salah satu langkah untuk meningkatkan likuiditas—menurunkan persyaratan rasio cadangan kas di bank-bank besar Tiongkok—justru memiliki efek samping negatif, yaitu membuat sistem keuangan Tiongkok kurang tahan terhadap krisis likuiditas. Rasio cadangan di bank-bank utama Tiongkok turun dari 13 persen pada 2019 menjadi 9,5 persen pada 2025. Oleh karena itu, risiko keuangan Tiongkok tetap tinggi.

Sektor kendaraan listrik (EV) sering disebut sebagai kekuatan ekonomi Tiongkok. Konsumen Tiongkok kini lebih memilih kendaraan listrik domestik daripada impor. Mobil listrik Tiongkok memiliki hampir semua fitur yang dimiliki kendaraan impor tetapi dengan harga yang jauh lebih rendah. Namun, promosi industri ini oleh Beijing menyebabkan terlalu banyak investasi, produksi berlebih, dan startup yang tidak menguntungkan. Penjualan kemudian melambat, harga turun, dan sektor ini diperkirakan akan mengalami konsolidasi.

Ekspor EV Tiongkok sangat bergantung pada akses ke pasar AS dan Eropa, yang kini semakin meningkatkan tarif proteksionis yang akan menutup akses kendaraan listrik Tiongkok. Ekspor ke negara berkembang juga akan lebih sulit karena infrastruktur listrik yang belum memadai.

Tarif yang diberlakukan Presiden Donald Trump terhadap Tiongkok bisa berdampak besar pada pertumbuhan ekonomi negara itu, dengan beberapa perkiraan menyebutkan bahwa tarif 60 persen dapat mengurangi pertumbuhan Tiongkok sebesar 2,5 persen dari 2025 hingga 2027. Klaim resmi Tiongkok bahwa mereka mencapai pertumbuhan sekitar 5 persen per tahun sudah dipertanyakan, bahkan investor institusional di negara tersebut lebih realistis memperkirakan pertumbuhan hanya sekitar 3 persen.

Kini, semakin sedikit orang yang percaya bahwa ekonomi Tiongkok akan segera menyusul Amerika Serikat.

Pandangan yang diungkapkan dalam artikel ini adalah pendapat penulis dan tidak mencerminkan pandangan The Epoch Times.

FOKUS DUNIA

NEWS