Aksi Mengejutkan Rusia: Menggugat Uni Eropa dan Menghancurkan Pertahanan Ukraina!

EtIndonesia. Pada 13 Maret 2025, sejumlah pernyataan dan aksi diplomatik dari pihak Rusia mengguncang dinamika geopolitik, sekaligus membuka babak baru dalam persiapan perundingan damai. Dalam serangkaian pernyataan resmi, Rusia tidak hanya menolak pemanfaatan asetnya yang dibekukan oleh Uni Eropa, tetapi juga melancarkan serangan militer terhadap infrastruktur pertahanan Ukraina.

Kritik Terhadap Uni Eropa dan Isu Aset Beku

Dalam sebuah pernyataan yang dikeluarkan oleh kantor berita satelit Rusia, juru bicara Kementerian Luar Negeri, Maria Zakharova, mengkritik keras Uni Eropa. Ia menegaskan bahwa seluruh aset yang telah dibekukan, beserta pendapatan yang dihasilkan, adalah milik Rusia. Menurut Zakharova, pemanfaatan dana cadangan negara tanpa izin merupakan tindakan pencurian yang tidak dapat diterima. Pernyataan ini semakin menambah ketegangan di tengah perseteruan geopolitik yang semakin memanas antara Rusia dan negara-negara Barat.

Aksi Militer Intensif di Wilayah Ukraina

Tak lama setelah pernyataan tersebut, Kementerian Pertahanan Rusia mengumumkan bahwa dalam waktu satu hari, pasukan bersenjata Rusia telah berhasil menghancurkan sejumlah infrastruktur penting di Ukraina. Di antaranya adalah bandara militer, ruang produksi drone, dan fasilitas penyimpanan senjata. 

Selain itu, sejumlah jenis persenjataan Ukraina juga dilaporkan hancur sejak dimulainya konflik. Langkah-langkah tersebut dilihat sebagai upaya strategis Rusia untuk mengumpulkan lebih banyak kartu tawar sebelum memasuki meja perundingan, sekaligus menunjukkan kekuatan militer yang siap dijalankan jika diperlukan.

Taktik Diplomatik dan Pertanyaan atas Negosiasi Gencatan Senjata

Di tengah sorotan aksi militer tersebut, perhatian publik juga tertuju pada perjalanan utusan khusus Amerika Serikat ke Rusia. Pertanyaan pun pun bermunculan: apakah pertemuan ini akan menghasilkan kesepakatan gencatan senjata yang dapat memuaskan pihak internasional? Ataukah langkah diplomatik ini hanya menjadi upaya simbolis yang tidak akan mengubah arah kebijakan yang telah berlangsung lama? Publik diajak untuk berbagi pendapat dan berpartisipasi dalam diskusi interaktif melalui kolom komentar, guna menambah dimensi dialog dalam proses perundingan.

Pandangan Menteri Luar Negeri Rusia dan Strategi Hubungan Internasional

Dalam kesempatan yang sama, Menteri Luar Negeri Rusia, Sergey Lavrov, memberikan pernyataan tegas mengenai hubungan antara Amerika Serikat dan Rusia. Lavrov menyatakan bahwa kepentingan kedua negara tidak pernah akan sejalan, bahkan tingkat kesamaan mereka diperkirakan tidak akan mencapai 50%. Menurutnya, pemerintahan Presiden Trump menerapkan logika yang sama dalam hubungannya dengan Tiongkok maupun Rusia. Meskipun terdapat kritik timbal balik antara kedua negara, ruang dialog tetap terbuka sebagai bagian dari strategi geopolitik.

Lebih jauh, dalam pernyataan terpisah, komentator politik Tang Jingyuan mengemukakan bahwa AS kemungkinan akan merasa puas selama Rusia tidak secara terbuka mendukung Tiongkok. Hal ini mengacu pada sejarah panjang perseteruan antara Rusia dan Tiongkok serta upaya Trump untuk memecah belah aliansi antara kedua negara. 

Apalagi, sejarah masa Perang Dingin, di mana Tiongkok dan AS sempat bekerja sama untuk menjatuhkan Komunis Soviet, masih menjadi ingatan yang tersimpan dalam benak Putin. Namun, dalam ranah budaya dan agama, Rusia memiliki kedekatan dengan Barat—suatu dinamika yang membuat pertimbangan strategis semakin kompleks, terutama ketika sentimen Tiongkok mulai memainkan peran penting dalam kebijakan luar negeri Rusia. (Kyr)

FOKUS DUNIA

NEWS