Perkembangan Teknologi AI Tiongkok Dikhawatirkan Memicu Gelombang Penindasan Global terhadap Kelompok Oposisi

EtIndonesia. Sebuah laporan baru memperingatkan bahwa kemajuan teknologi Tiongkok di bidang kecerdasan buatan (AI) dan pengumpulan data—termasuk kemunculan model bahasa besar seperti DeepSeek—dapat memperluas kontrol sosial Beijing terhadap masyarakat dalam negeri. Tak hanya itu, ekspor teknologi tersebut juga berpotensi menyediakan alat baru bagi rezim otoriter di seluruh dunia untuk menindas oposisi dan kebebasan berekspresi.

“Kita hidup di era otoritarianisme berbasis data yang semakin menguat. Teknologi kecerdasan buatan dan sistem pengumpulan serta analisis data digital tengah mengubah cara para diktator membungkam perbedaan pendapat,” tulis laporan tersebut.

“Saat ini, Republik Rakyat Tiongkok menonjol dalam hal pengumpulan dan pemanfaatan data dalam skala serta jenis yang belum pernah terjadi sebelumnya, mencakup sektor publik dan swasta, baik di dalam negeri maupun di luar negeri—semua demi mencapai kendali sosial,”lanjutnya.

Laporan ini diterbitkan oleh International Forum for Democratic Studies, lembaga riset dari National Endowment for Democracy (NED) Amerika Serikat, dan ditulis oleh Valentin Weber, peneliti senior di German Council on Foreign Relations.

Empat Bidang Teknologi yang Patut Diwaspadai

Dalam laporannya, Weber mengidentifikasi empat kemajuan teknologi di Tiongkok yang sangat perlu diwaspadai:

1. Aplikasi AI dalam sistem pengawasan

2. Teknologi imersif dan neuroteknologi

3. Komputasi kuantum yang dapat memecahkan enkripsi data

4. Mata uang digital yang dikendalikan secara terpusat

Tiongkok kini menjadi salah satu pemimpin dunia dalam pengembangan sistem pengawasan berbasis AI. Teknologi ini dapat menganalisis ekspresi wajah, gaya berjalan, dan bahkan mengenali suara, untuk mengidentifikasi perilaku yang dianggap “tidak normal”—semua ini digunakan oleh otoritas untuk mendeteksi potensi gangguan sosial sedini mungkin. Contohnya adalah sistem “Otak Kota” (City Brain), yang sempat digunakan selama pandemi COVID-19 untuk memantau pergerakan warga. Teknologi serupa juga dilaporkan digunakan di wilayah Xinjiang.

“Jika kita membagi pengawasan gaya Tiongkok menjadi tiga tahap: tahap pertama adalah membangun infrastruktur—memasang kamera di mana-mana,” jelas Dr. Weber kepada Voice of America (VOA).  “Tahap kedua adalah dukungan pengambilan keputusan, di mana sistem bisa memberi peringatan seperti, ‘akan ada aksi protes di sini’, dan memungkinkan tindakan preventif.”

Tahap ketiga kini diperkuat oleh munculnya model AI seperti DeepSeek, yang dapat menjalankan tugas-tugas yang sebelumnya dilakukan oleh aparat, seperti secara otomatis membatalkan reservasi hotel milik aktivis atau mencegah mereka berpindah lokasi untuk berunjuk rasa.

Teknologi Imersif dan Neuro: Pengawasan Lewat Pikiran

Teknologi imersif mencakup perangkat seperti virtual reality headset dan kacamata pintar, yang dapat mengumpulkan data seperti pergerakan pupil mata atau reaksi tubuh yang sulit diamati. Sementara itu, teknologi saraf (neurotechnology), termasuk chip otak, memungkinkan pengumpulan data langsung dari otak pengguna.

Teknologi semacam ini bisa digunakan untuk menyebarkan propaganda politik yang disetujui negara, bahkan dimanfaatkan dalam proses interogasi oleh aparat keamanan. Di Tiongkok, hukum mewajibkan penyedia perangkat semacam itu menyerahkan data pengguna kepada aparat jika diminta.

Komputasi Kuantum dan Risiko Dekripsi Global

Tiongkok juga menjadi negara terdepan dalam komputasi kuantum dan komunikasi kuantum. Jika terus berkembang, teknologi ini secara teoritis dapat memecahkan enkripsi yang saat ini melindungi komunikasi pribadi maupun data perusahaan di internet.

“Jika suatu negara berhasil membangun komputer kuantum yang cukup kuat, dia akan mampu mendekripsi data digital terenkripsi yang tersimpan di internet—baik itu komunikasi pribadi maupun data korporasi,” tulis Weber.

Digital Yuan: Alat Kendali Finansial

Sebagian besar mata uang digital yang beredar saat ini bersifat terdesentralisasi dan tidak berada di bawah kendali pemerintah. Namun Tiongkok telah meluncurkan versi digital dari yuan, yang disebut Digital Renminbi. Laporan menyatakan bahwa penggunaan mata uang ini memungkinkan pemerintah mengakses data keuangan pribadi pengguna, termasuk pola pengeluaran dan lokasi geografis.

“Mata uang ini memungkinkan pemerintah memantau aktivitas pengguna secara relatif mudah dan menjadikannya alat untuk menghukum perilaku yang dianggap tidak pantas—misalnya dengan membatasi atau memutus akses pembelian,” sebut laporan tersebut.

Ekspor Teknologi Pengawasan Gaya Otoriter

Tiongkok telah lama mengekspor teknologi pengawasan ke berbagai negara. Perusahaan seperti Hikvision dan Dahua Technology menguasai sekitar 34% pasar kamera pengawas global. Laporan juga menyebut bahwa teknologi kuantum Tiongkok kemungkinan besar akan diekspor ke Rusia. Negara-negara BRICS seperti Brasil, Rusia, India, Tiongkok, dan Afrika Selatan, bahkan tengah mempertimbangkan untuk membangun jaringan komunikasi kuantum bersama.

Laporan mengungkap bahwa sejak pertengahan 2000-an, Tiongkok sudah mulai mengekspor teknologi pengawasan. Misalnya, pemerintah Beijing dilaporkan pernah mengirimkan perangkat pengganggu sinyal radio ke Zimbabwe, yang kemudian digunakan untuk menyadap percakapan jarak jauh antarwarga.

Kini, ekspor teknologi pengawasan Tiongkok dilakukan secara lebih sistematis—melalui skema “uji coba gratis”, subsidi, atau ditukar dengan sumber daya alam—terutama ditujukan kepada negara-negara berpenghasilan rendah atau sedang.

Tak hanya negara otoriter, Tiongkok juga menjual teknologinya ke negara-negara “abu-abu” atau swing states—negara demokrasi lemah yang rentan terjerumus ke arah otoritarianisme. Selain menjual perangkat keras, perusahaan Tiongkok juga memberikan pelatihan dan dukungan teknis kepada negara pembeli.

“Tiongkok secara tidak proporsional mengekspor sistem pengawasan berbasis AI ke negara-negara otoriter dan demokrasi rapuh, yang cenderung membeli teknologi ini saat mengalami ketidakstabilan domestik atau sedang meningkatkan penindasan,” tulis laporan.

Ekspor teknologi ini juga memperluas kapasitas represif lintas negara milik Beijing. Misalnya, lembaga penegak hukum asing yang menggunakan teknologi Tiongkok dapat lebih efisien memantau atau bahkan menangkap individu yang dianggap tidak disukai oleh Pemerintah Tiongkok. Laporan menyoroti kasus Thailand, yang kerap memulangkan para pembangkang Tiongkok yang melarikan diri ke sana—disebut sebagai konsekuensi langsung penggunaan sistem pengawasan asal Tiongkok.

“Setiap kali sebuah negara baru mengadopsi alat dan strategi ala Tiongkok untuk menindas warganya, dunia pun sedikit demi sedikit mulai menyerupai Tiongkok,” tulis laporan tersebut.

Perangkat Lunak dan Aplikasi Sebagai Alat Pengawasan Global

Perangkat lunak buatan perusahaan Tiongkok juga berfungsi sebagai saluran untuk mengumpulkan data pengguna asing. Contohnya adalah aplikasi TikTok milik ByteDance dan WeChat milik Tencent. Bahkan platform belanja Temu dari Pinduoduo pernah diturunkan dari Google Play Store karena ketahuan mengakses dan menganalisis data pribadi pengguna tanpa izin.

Rekomendasi: Perlu Aksi Bersama dari Negara Demokratis

Laporan ini menyarankan agar pemerintah negara-negara demokratis dan masyarakat sipil:

·        Mengembangkan teknologi yang melindungi privasi,

·        Membangun ekosistem teknologi berbasis nilai-nilai demokrasi, dan

·        Terlibat aktif dalam menetapkan standar teknologi internasional, agar praktik otoriter gaya Tiongkok tidak menjadi norma global.(jhn/yn)

FOKUS DUNIA

NEWS