Pajak “orang kaya luar negeri” yang diberlakukan oleh Partai Komunis Tiongkok (PKT) kini telah diperluas jangkauannya hingga ke kalangan kelas menengah. Baru-baru ini, otoritas pajak di berbagai wilayah meningkatkan pemungutan pajak terhadap kelompok kelas menengah. Para pakar menilai bahwa meskipun tampaknya ini karena tekanan fiskal yang dialami pemerintah, pada kenyataannya ini adalah bagian dari perluasan kendali PKT secara global.
EtIndonesia. Pada 5 Juni, Bloomberg mengutip sumber yang mengetahui kebijakan tersebut, melaporkan bahwa otoritas pajak PKT tengah meninjau berbagai jenis penghasilan luar negeri, termasuk hasil investasi, dividen, dan opsi saham karyawan. Tarif pajak maksimum yang dikenakan bisa mencapai 20%.
Kebijakan pemungutan pajak kali ini berbeda dengan kebijakan tahun lalu yang menargetkan individu dengan kekayaan di atas 10 juta dolar AS. Para konsultan pajak melaporkan bahwa belakangan ini mereka menerima banyak konsultasi dari individu dengan aset kurang dari 1 juta dolar AS.
Sumber tersebut juga mengungkap bahwa pemerintah PKT secara khusus menaruh perhatian pada warga yang memiliki saham di bursa AS dan Hong Kong.
Pada akhir Maret, otoritas pajak di berbagai wilayah mengumumkan pemeriksaan terfokus terhadap pelaporan penghasilan luar negeri oleh warga negara. Jumlah pajak tambahan yang diminta dari warga berkisar antara RMB. 120.000 hingga RMB.1.260.000 .
Sun Guoxiang, profesor penuh di Departemen Urusan Internasional dan Bisnis Universitas Nanhua, Taiwan, mengatakan: “Perluasan pajak terhadap pendapatan luar negeri dari orang kaya ke kelas menengah mencerminkan kecenderungan pengendalian. Kita tahu bahwa kelas menengah adalah lapisan penyangga penting bagi stabilitas ekonomi Tiongkok. Jika kebijakan ini memicu ketidakpercayaan dan ketakutan terhadap sistem, maka dapat semakin mengurangi minat konsumsi dan investasi, yang pada gilirannya memperparah kelemahan ekonomi.”
Data yang dirilis PKT menunjukkan bahwa pada periode Januari hingga April tahun ini, pendapatan fiskal secara luas mengalami penurunan 1,3%, sementara pengeluaran meningkat 7,2% dibanding tahun sebelumnya. Hal ini menyebabkan defisit anggaran melebar 54%, tertinggi sepanjang sejarah untuk periode yang sama.
Huang Dawei, ekonom asal Amerika Serikat, menilai bahwa: “Sistem perpajakan Beijing sangat erat kaitannya dengan politik. Saat pemerintah pusat mengalami kekurangan dana, sementara banyak modal telah melarikan diri ke luar negeri, maka pengumpulan pajak diperluas. Ini juga digunakan untuk memperkuat pengawasan terhadap pergerakan warga dan arus aset mereka di luar negeri.”
Sun Guoxiang menambahkan: “Peralihan dari pajak orang kaya ke pajak kelas menengah ini tampak sebagai upaya menutup kekurangan anggaran, namun sebenarnya merupakan kelanjutan dari pola pemerintahan PKT yang cenderung kontrol total.”
Sejak September 2018, PKT telah mengubah peraturan perpajakan dengan mencoba memanfaatkan sistem pertukaran informasi global yang dikenal sebagai Common Reporting Standard (CRS), guna memungut pajak atas penghasilan luar negeri warga negaranya. Namun, karena berbagai hambatan, penerapan sistem ini baru dijalankan secara efektif belakangan ini.
Huang Dawei memperingatkan: “Meskipun Beijing ikut serta dalam CRS, bila informasi internasional itu justru digunakan untuk menghukum rakyat biasa secara politis, maka banyak negara akan mulai meragukan apakah Tiongkok menyalahgunakan data tersebut. Ini bisa menyebabkan negara-negara mempertimbangkan ulang kerja sama mereka dengan Tiongkok dalam hal data keuangan.” (Hui)
Laporan oleh wartawan NTD, Li Yun dan Qiu Yue.