Iran di Titik Balik: Pemberontakan Nasional, Militer Membelot, Rezim Terkepung!

EtIndonesia. Situasi politik dan sosial di Iran kini tengah bergolak hebat, memasuki babak paling kritis dalam sejarah modern negeri para mullah tersebut. Dalam hitungan hari, inti kepemimpinan tertinggi Iran di bawah Ayatollah Ali Khamenei disebut-sebut telah berada di ambang keruntuhan. Seluruh tatanan kekuasaan yang selama puluhan tahun berdiri kokoh kini menghadapi badai perlawanan yang tak lagi bisa dianggap sebagai sekadar aksi protes, melainkan telah bermetamorfosis menjadi gelombang revolusi nasional.

Dari Aksi Protes ke Perlawanan Bersenjata

Bukan hanya unjuk rasa damai yang mewarnai jalanan kota-kota besar Iran. Gelombang perlawanan masyarakat telah bertransformasi menjadi aksi-aksi bersenjata. Sejumlah video yang beredar luas di platform media sosial, terutama di X (dulu Twitter), memperlihatkan bagaimana kemarahan rakyat semakin membara. Foto-foto dan poster Khamenei serta para petinggi negara tampak dilempar ke dalam kobaran api—sebuah simbol kuat penolakan rakyat terhadap rezim.

Yang lebih mencengangkan, markas besar Garda Revolusi Islam (IRGC)—institusi militer paling setia kepada rezim—dilaporkan telah direbut oleh massa perlawanan. Aksi tersebut terjadi serentak di berbagai kota, mulai dari Teheran hingga Ahvaz, menandakan skala perlawanan yang kini benar-benar nasional.

Di ibu kota, Teheran, situasi semakin kacau setelah terjadi pemadaman listrik massal di sejumlah distrik strategis. Banyak pengamat menilai, pemadaman listrik ini bukan sekadar insiden teknis, melainkan bagian dari upaya sabotase dan juga reaksi rezim yang sudah kehabisan cara menghadapi desakan perubahan dari rakyatnya sendiri.

Seruan Sang Putra Mahkota dari Pengasingan

Di tengah krisis yang makin dalam, suara yang selama ini hanya menjadi gema di kalangan oposisi Iran kini menggema ke seluruh dunia. Putra Mahkota Dinasti Pahlavi, Reza Pahlavi, yang kini hidup di pengasingan di Amerika Serikat, tampil ke publik lewat video pernyataan di platform X.

Dalam pidatonya yang penuh semangat, Reza Pahlavi menyerukan rakyat Iran untuk bangkit dan bersatu menggulingkan rezim Khamenei. Ia juga secara khusus mengimbau kalangan militer dan tentara Iran untuk tidak lagi memihak rezim yang, menurutnya, sudah di ujung kehancuran. “Jangan lawan rakyatmu sendiri demi rezim yang akan segera tumbang,” tegas Pahlavi.

Putra Mahkota Pahlavi menyebut, “Akhir dari Republik Islam berarti berakhirnya perang selama 46 tahun mereka terhadap rakyat Iran. Mesin penindasan rezim telah hancur. Sekarang yang dibutuhkan hanya satu pemberontakan nasional untuk mengakhiri mimpi buruk ini selamanya.” Pernyataan ini sontak menjadi pemantik semangat bagi kelompok-kelompok oposisi dan masyarakat yang selama ini merasa tertindas.

Tanda-tanda Pembelotan di Tubuh Militer

Salah satu perkembangan paling signifikan dalam krisis Iran kali ini adalah munculnya tanda-tanda pembelotan di kalangan militer aktif. Laporan yang dirilis oleh akun-akun informasi terkait Dinasti Pahlavi menyebutkan bahwa sejumlah perwira militer telah menghubungi langsung Putra Mahkota Reza Pahlavi, menyatakan kesediaan mereka untuk membelot dari rezim Khamenei.

Para perwira tersebut bahkan berharap dapat menyatakan sumpah setia dan dukungan penuh terhadap upaya transisi menuju pemerintahan baru yang demokratis di Iran. Fakta ini menambah tekanan besar bagi rezim, sebab kekuatan militer selama ini adalah benteng terakhir yang menjadi penopang utama kelangsungan kekuasaan Khamenei.

Menurut beberapa sumber, proses komunikasi antara kelompok militer pembelot dengan kubu oposisi di pengasingan dilakukan secara rahasia namun terkoordinasi. Aksi-aksi penolakan perintah serta sabotase di internal angkatan bersenjata mulai terdeteksi di sejumlah wilayah, memperkuat dugaan bahwa krisis kepemimpinan di Iran sudah tidak lagi bisa dibendung dari dalam.

Dinamika Sejarah: Dari Dinasti Pahlavi ke Republik Islam

Untuk memahami konteks gejolak saat ini, penting untuk menilik kembali sejarah Iran di abad ke-20. Dinasti Pahlavi, yang dipimpin oleh Syah Mohammad Reza Pahlavi, pernah membawa Iran ke era modernisasi dan menjadi sekutu penting Amerika Serikat di Timur Tengah. Namun, pada tahun 1979, Revolusi Islam meletus di bawah pimpinan Ayatollah Ruhollah Khomeini, menggulingkan Dinasti Pahlavi dan mengubah Iran menjadi negara republik Islam yang anti-Barat.

Sejak saat itu, Dinasti Pahlavi hidup dalam pengasingan, sementara kekuasaan dipegang penuh oleh para ulama dan kelompok revolusioner. Kini, empat dekade kemudian, putra mahkota Pahlavi kembali menjadi sosok sentral di tengah krisis, menyerukan rakyat untuk kembali kepada nilai-nilai demokrasi dan membuka babak baru sejarah Iran.

Situasi Makin Tak Menentu: Revolusi atau Perang Saudara?

Pertanyaan besar kini menggantung di udara: Apakah Iran sedang menuju revolusi baru atau malah terperosok ke dalam perang saudara? Banyak pengamat menilai, skala dan karakter perlawanan kali ini jauh berbeda dibandingkan dengan gelombang protes sebelumnya, seperti Gerakan Hijau 2009 atau protes ekonomi 2019.

Kali ini, rakyat tidak hanya berhadapan dengan aparat keamanan di jalanan, tetapi juga mulai menguasai institusi vital dan merebut senjata. Sinyal pembelotan militer, serta kolapsnya pusat-pusat komando rezim, memperkuat dugaan bahwa hari-hari kekuasaan Khamenei dan kelompok inti di sekelilingnya tinggal menghitung waktu.

Respons Dunia Internasional

Sejauh ini, dunia internasional masih memantau perkembangan di Iran dengan penuh kehati-hatian. Amerika Serikat dan sejumlah negara Eropa mengimbau agar transisi kekuasaan berjalan damai dan tanpa pertumpahan darah. Sementara itu, negara-negara di kawasan Timur Tengah mengkhawatirkan potensi kekacauan regional jika kekuasaan di Iran benar-benar runtuh secara mendadak.

Penutup

Iran kini berada di titik balik sejarah. Apakah ini babak akhir dari Republik Islam, atau justru awal dari konflik yang lebih besar, masih menjadi tanda tanya besar. Namun satu hal yang pasti: suara rakyat telah bangkit, dan dinding ketakutan yang selama puluhan tahun membelenggu tampaknya mulai runtuh satu per satu.

Perkembangan di hari-hari mendatang akan menjadi penentu masa depan Iran—apakah bangsa ini mampu membuka lembaran baru menuju kebebasan dan demokrasi, atau justru terperosok ke dalam kegelapan perang saudara. Semua mata kini tertuju pada negeri para penyair, di mana sejarah besar sedang ditulis ulang oleh tangan-tangan rakyatnya sendiri. (***)

FOKUS DUNIA

NEWS