Hari Perempuan Internasional 2018, DPR dan Presiden Diminta Akhiri Terjadinya Perkawinan Anak

Epochtimes.id- Gerakan Multipihak untuk Pencapaian SDGs” dan Indonesia BERAGAM meminta DPR dan Presiden RI untuk segera mengakhiri serta mencegah terjadinya perkawinan anak.

Kelompok ini merupakan lembaga yang mempedulikan terhadap generasi dan masa depan Indonesia terutama perempuan yang rentan menjadi korban perkawinan anak. Apalagi, perkawinan anak merupakan masalah serius karena Indonesia menduduki peringkat ketujuh tertinggi di dunia.

Data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2013 dan 2015 menunjukkan terjadinya 1 kasus perkawinan anak di setiap 5 orang. Atas kasus ini, berbagai analisa menunjukkan terjadinya faktor-faktor kegagalan dalam sejumlah aspek pembangunan sosial.

“Perkawinan anak akan berdampak pada kegagalan Indonesia di bidang pendidikan, kesehatan, penanggulangan kemiskinan dan penurunan ketimpangan,” ungkap Gerakan Multipihak Untuk Pencapaian SDGs dalam siaran persnya, Kamis (08/03/2018).

Oleh karena itu, dibutuhkan kesungguhan dengan menyegerakan payung hukum untuk mencegah perkawinan anak. Disamping itu dibutuhkan sikap tegas untuk menghentikan pihak-pihak yang mempromosikan perkawinan anak dengan menggunakan norma-norma konservatif.

Berdasarkan realitas di lapangan yang dihadapi oleh Gerakan Multipihak untuk Pencapaian SDGs yang terdiri dari elemen pemerintah daerah kabupaten, aktivis prodemokrasi, aktivis perempuan, organisasi keagamaan, akademisi, peneliti dan organisasi perempuan dari kalangan akar rumput menyatakan bahwa perkawinan anak merupakan masalah yang serius bahkan akut.

Perkawinan anak menyebabkan perempuan putus sekolah dan ini menjadi resiko kegagalan program wajib belajar 12 tahun. Perkawinan anak juga beresiko pada belum siapnya alat reproduksi perempuan untuk menjalani kehamilan, artinya angka kematian ibu yang tinggi di Indonesia terancam sulit untuk menurunkannya.

Dampak lainnya adalah mereka tidak dapat mengakses pekerjaan layak dan bekerja di sektor informal, tanpa perlindungan hukum, rentan kekerasan, dan upah rendah. Dengan demikian mereka masuk dalam lingkaran kemiskinan dan menghambat penurunan ketimpangan di Indonesia.

Koalisi gerakan wanita dari wilayah Nusa Tenggara Timur (NTT), Nusa Tenggara Barat (NTB), Bali, Jawa Timur, DKI Jakarta, Sulawesi Selatan dan Sulawesi Barat menyangsikan cita-cita masa depan emas tahun 2045 akan gagal jika perkawinan anak di Indonesia masih marak terjadi.

Oleh karena itu menuntut :

1. DRR RI, Presiden RI, Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla untuk hadir dan memberikan perlindungan hukum dengan menaikkan batasan usia menikah perempuan dari 16 tahun menjadi 18 tahun untuk mencegah dan menghentikan perkawinan anak.

2. Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) yang memimpin pelaksanaan dan pencapaian Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (TPB) untuk memastikan kementerian dan lembaga terkait memberikan prioritas pencegahan perkawinan anak dalam Rencana Aksi Nasional TPB.

3. Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak agar bertindak aktif dan memastikan adanya perlindungan hukum, melakukan proses pemberdayaan masyarakat, pendidikan publik untuk pencegahan dan penghentian perkawinan anak.

4. Menteri Agama, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Menteri Sosial untuk membuat kebijakan sebagai dasar melakukan penyadaran dan pencegahan perkawinan anak di jajaran masing-masing.

5. Badan Pusat Statistik untuk memberikan data terbaru secara reguler tentang perkawinan anak sampai tingkat kabupaten dan desa. (asr)