Epochtimes.id- Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukita menggalang dukungan para importir produk Indonesia di Amerika Serikat (AS) untuk melakukan pendekatan kepada Pemerintah AS, sebagai upaya mengamankan akses pasar produk Indonesia di negara tersebut.
Langkah ini dilakukan untuk menghadapi kenaikan tarif impor besi baja dan aluminium, serta peninjauan ulang (review) Indonesia sebagai penerima program Generalized System of Preferences (GSP) Pemerintah AS.
Selain mengagendakan pertemuan bilateral dengan Pemerintah AS, Mendag Enggar mengajak para importir komoditas Indonesia di AS untuk turut mencari solusi atas kebijakan review GSP serta kenaikan tarif baja dan alumunium karena berpotensi menganggu neraca perdagangan Indonesia–AS.
“Kenaikan bea masuk produk besi baja dan aluminium tidak hanya akan merugikan Indonesia sebagai eksportir, tetapi juga pelaku usaha AS. Karena, biaya produksi mereka akan meningkat, bahkan pasokan untuk proses produksi dapat terganggu. Akhirnya dapat merugikan daya saing perusahaan AS juga,” jelas Mendag Enggar dalam siaran pers di Jakarta, Senin (23/07/2018).
Para importir baja AS yang hadir dalam pertemuan mengatakan kenaikan bea masuk dapat membuat produk baja impor tidak kompetitif serta menahan laju pertumbuhan industri. Mereka mengakui produk Indonesia berkualitas baik dan produk tersebut memang tidak diproduksi oleh AS.
Sehingga, hal tersebut semestinya tidak menjadi ancaman bagi industri baja AS. Keputusan pengenaan tarif impor sebesar 25% untuk produk baja dan 10% untuk produk aluminium telah ditandatangani Presiden AS Donald Trump pada 18 Maret 2018 lalu.
Sementara itu menurut Mendag Enggar, produk baja dan aluminium dari Indonesia tidak serta- merta menjadi kompetitor yang secara langsung mengancam industri dalam negeri AS.
“Produk AS dan produk Indonesia dapat berperan secara komplementer di pasar AS. Hal ini sudah terlihat dari peran baja dan aluminium Indonesia yang telah menjadi bagian dalam sistem manajemen pasokan di AS,” imbuh Mendag Enggar.
Ekspor produk besi baja Indonesia ke AS pada tahun 2017 tercatat sebesar USD 112,7 juta atau hanya 0,3% pangsa pasar AS.
Nilai ini disebabkan oleh penerapan bea masuk antidumping dan countervailing duty yang telah berlangsung cukup lama. Sementara ekspor aluminium tahun 2017 ke AS tercatat sebesar USD 212 juta dan pangsa pasar 1,2%. Bagi Indonesia, nilai ekspor tersebut berkontribusi terhadap 50% ekspor aluminium Indonesia ke dunia.
Importir AS Dukung Fasilitas GSP
Dalam pertemuan kali ini, Mendag juga menggalang dukungan para importir terhadap kebijakan fasilitas GSP yang diberikan Pemerintah AS kepada Indonesia. Hal ini menanggapi langkah Pemerintah AS yang sedang me-review pemberian fasilitas tersebut.
Para importir yang hadir dalam pertemuan menyampaikan industri kelas menengah AS membutuhkan skema GSP untuk menunjang bisnis mereka. Untuk menyampaikan aspirasi tersebut, para importir terlibat aktif dalam rapat dengar pendapat bersama Pemerintah AS selama proses peninjauan ulang atas negara-negara yang mendapat GSP.
Menurut Mendag Enggar, GSP memberikan manfaat besar baik bagi ekspor Indonesia maupun industri dalam negeri AS. “Indonesia memahami adanya review atas penerima GSP. Namun, Indonesia berharap hasil review tidak menganggu ekspor Indonesia ke AS dan tidak memberi dampak pada industri domestik AS yang selama ini memanfaatkan skema GSP. Tanpa skema GSP, maka harga produk akan naik dan daya saing akan terganggu,” ungkap Mendag Enggar.
GSP merupakan kebijakan AS berupa pembebasan tarif bea masuk (nol persen) terhadap impor barang-barang tertentu dari negara-negara berkembang. Indonesia merupakan salah satu negara penerima fasilitas tersebut.
Pada April 2017, Pemerintah AS meninjau ulang beberapa negara yang selama ini menjadi penerima skema GSP AS, termasuk Indonesia. Di tahun 2017, produk Indonesia yang menggunakan skema GSP l bernilai USD 1,9 miliar. Angka ini masih jauh di bawah negara-negara penerima GSP lainnya seperti India sebesar USD 5,6 miliar; Thailand USD 4,2 miliar; dan Brasil USD 2,5 miliar.
Produk-produk Indonesia yang diekspor ke AS dan masuk ke dalam komoditas penerima GSP antara lain ban karet, perlengkapan perkabelan kendaraan, emas, asam lemak, perhiasan logam, aluminium, sarung tangan, alat-alat musik, pengeras suara, keyboard, dan baterai.
Tingkatkan Kemitraan Strategis dengan Boeing
Selain untuk mengamankan akses pasar Indonesia di AS, kunjungan Mendag ke AS ini juga ingin meningkatkan kemitraan strategis dan menyeimbangkan hubungan perdagangan kedua negara di berbagai sektor.
Salah satu upaya peningkatan di bidang penerbangan adalah bertemu dengan Vice President of International Government Relation Boeing, Mark Lippert.
Mendag Enggar menyampaikan keinginan Pemerintah Indonesia untuk meningkatkan kemitraan strategis kedua negara melalui kerja sama dengan perusahaan penerbangan tersebut.
Mendag Enggar juga mengundang Boeing untuk lebih meningkatkan bisnis mereka di Indonesia agar saling menguntungkan kedua pihak.
“Kami mengajak Boeing bukan hanya untuk menjadikan Indonesia sebagai pasar, tetapi agar dapat bersama-sama menjadi bagian dari strategi masa depan yang saling menguntungkan,” ujar Mendag.
“Banyak terdapat potensi kerja sama dengan Indonesia, misalnya pengembangan bahan bakar pesawat biofuel (bioavtur) berbasis sawit, suku cadang pesawat, serta layanan perawatan, perbaikan, dan overhaul (maintenance, repair, overhaul/MRO). Indonesia berpotensi menjadihub’ pelayananan MRO pesawat udara di kawasan ASEAN dan sekitarnya,” ungkap Mendag Enggar. (asr)