Theepochtimes.com
Sementara itu, tanggapan Amerika Serikat adalah manusiawi, menyoroti perbedaan antara bagaimana masyarakat bebas menangani krisis versus rezim tirani menangani krisis.
Para ahli mengatakan bahwa kebebasan berbicara dan kebebasan itu sendiri adalah inti seberapa efektif pemerintah menanggapi krisis, dengan menekankan nilai-nilai transparansi dan belas kasih.
Selama tahap awal virus Komunis Tiongkok, yang pertama kali muncul di Wuhan pada bulan Desember 2019 lalu, Komunis Tiongkok memberangus dan menangkap para pelapor pelanggaran yang mencakup dokter, wartawan warga, cendekiawan, dan pebisnis yang berusaha mengungkap kebenaran mengenai virus tersebut.
Li Zehua, mantan anchor untuk stasiun penyiaran negara CCTV, adalah video blogger yang ketiga yang ditangkap di pusat wabah Wuhan. Kisah yang ditampilkan Li Zehua adalah salah satu dari banyak kisah serupa yang disensor, seperti yang didokumentasikan oleh The Epoch Times.
“Saya tidak ingin menutup mata dan telinga saya. Saya melakukan ini agar orang-orang yang lebih muda seperti saya dapat bangkit,” kata Li Zehua.
Li Zehua mengatakan dalam pidatonya yang penuh semangat dalam streaming di YouTube sebelum polisi memasuki sebuah hotel tempat ia menginap dan mungkin menahannya.
Awalnya Li Zehua menolak untuk membiarkan polisi masuk ke dalam kamar hotelnya. Ia menyalakan kameranya dan mulai menyinggung unjuk rasa pro-demokrasi Tiananmen yang dipimpin mahasiswa pada tahun 1989 yang berakhir berdarah setelah Beijing mengerahkan tank dan senjata.
“Saya merasa bahwa tidak mungkin saya tidak dibawa pergi dan dikarantina,” kata Li Zehua.
Polisi menyita telepon dan laptop milik Li Zehua serta memutus sinyal.
Justin Haskins, direktur editorial Institut Heartland, sebuah lembaga pemikir pasar bebas, mengatakan bahwa Komunis Tiongkok secara konsisten menempatkan dirinya di atas kepentingan rakyat Tiongkok dan juga seluruh dunia juga.
“Krisis Coronavirus tidak berbeda. Bukti secara jelas menunjukkan Komunis Tiongkok membungkam orang yang prihatin akan penyebaran virus untuk melindungi kepentingan Komunis Tiongkok sendiri, dan akibatnya, sangat mungkin ribuan orang telah meninggal,” kata Justin Haskins.
Orang dalam Tiongkok mengatakan kepada The Epoch Times pada bulan Januari bahwa pihak berwenang kesehatan masyarakat juga berusaha menutupi keparahan virus dengan cara membatasi jumlah kit diagnostik yang dikirim ke rumah sakit Wuhan.
Karena jumlah kasus infeksi virus Komunis Tiongkok terus bertambah dan para pejabat tidak sanggup lagi menyensor semuanya, pejabat di Wuhan menyegel bangunan dan pintu rumah penghuni apartemen.
Salah satu penghuni apartemen adalah ayah dua anak yang tidak diizinkan meninggalkan apartemennya karena ayahnya didiagnosis terinfeksi virus tersebut, bertanya-tanya berapa hari lagi ia sanggup bertahan hidup, mengutip kekurangan uang tunai dan meroketnya harga makanan.
Beberapa pihak berwenang Tiongkok juga telah mematikan internet di beberapa lokasi. Komentator percaya bahwa pihak berwenang Tiongkok menggunakan metode ini untuk membatasi kemampuan netizen untuk berbicara secara bebas mengenai apa yang terjadi di lapangan.
Siasat Kejam
Sudah tidak terhitung berapa banyak contoh tindakan kejam yang dilakukan Tiongkok terhadap warganegara sendiri. The Epoch Times telah melaporkan banyak informasi contoh tersebut. Beijing dengan sengaja menutupi jumlah total kasus virus Komunis Tiongkok di Tiongkok untuk menjaga citra baiknya secara nasional maupun internasional.
Bulan lalu, di distrik komersial Humen di kota Dongguan, yang dipenuhi dengan toko-toko fashion merek menengah ke atas, polisi anti huru-hara dikerahkan oleh Komunis Tiongkok untuk “menjaga” pada para pedagang dan menghukum pedagang tersebut karena masih beroperasi, rekaman menunjukkan. Para pemilik toko berjuang untuk membayar sewa.
Di kota Xiaogan, Provinsi Hubei, penduduk diberi mandat untuk membeli makanan melalui manajer masyarakat, tetapi beberapa penduduk membeli sayuran dengan harga yang lebih murah melalui jaringan pribadi dan meminta makanan tersebut dikirim.
Seorang manajer masyarakat melaporkan beberapa warga itu, memacu polisi Tiongkok datang dan menangkap beberapa penduduk itu. Penduduk marah saat melihat polisi datang dan mengatur sebuah kelompok untuk berunjuk rasa.
Dalam satu komunitas di Wuhan, rekaman menunjukkan kader setempat memberikan makanan kepada para penduduk, namun hanya memberi satu apel untuk satu rumah tangga.
Warga Tiongkok juga mengeluh diperlakukan seperti binatang di banyak pos pemeriksaan di Wuhan.
Dalam satu kasus, rekaman menunjukkan seorang pria tua dipukuli oleh pasukan keamanan Tiongkok karena pria tua itu berusaha melewati pos pemeriksaan setelah gagal menyediakan kode QR-nya.
Dalam contoh lain dari siasat preman ala Tiongkok, satu keluarga beranggotakan empat orang di kota Anlu, Provinsi Hubei, dipermalukan di depan umum dan diarak sepanjang jalan oleh polisi pada tanggal 14 Februari karena bermain poker di rumah.
Polisi juga memerintahkan keluarga tersebut untuk membacakan surat “pertobatan” di depan umum setelahnya. Setelah membaca pernyataan itu, keluarga itu dipaksa berdiri untuk waktu yang lama sebelumnya diizinkan kembali ke rumah.
Saat suatu sistem pemerintahan menempatkan kesejahteraan kolektif di atas hak individu,
“Pelanggaran hak asasi manusia selalu mengikuti, dan itulah yang persis terjadi di Tiongkok,” kata Justin Haskins, yang juga adalah pemimpin redaksi Menghentikan Sosialisme.
“Partai Komunis Tiongkok tidak tertarik untuk melindungi hak asasi manusia, dan tidak pernah ada niat untuk melindungi hak asasi manusia. Tujuan utama Komunis Tiongkok adalah selalu mempertahankan kekuatannya sendiri, dengan cara apa pun. Anda akan melihat pejabat pemerintah mengatakan dan melakukan apa pun yang diperlukan, termasuk kebohongan agar orang-orang tidak meragukan peran mereka dalam masyarakat,” kata Justin Haskins.
Korupsi juga merajalela di masyarakat tirani seperti Beijing. Satu contoh, rekaman pengawasan menggambarkan pejabat Tiongkok setempat yang diduga menjarah sebuah toko kelontong di Wuhan, memicu gelombang kemarahan online. Pemilik toko tersebut berusaha menutup tokonya, namun dihentikan oleh seorang perwira Tiongkok yang membiarkan rekan-rekannya mengambil lebih banyak barang.
Sejak bulan Februari, pemerintah Wuhan juga mulai mengirim pasien yang terinfeksi virus Komunis Tiongkok dengan gejala ringan atau sedang ke rumah sakit darurat dengan kondisi yang tidak manusiawi.
Rumah sakit darurat itu, didirikan di tempat-tempat seperti stadion dan sekolah gym, di mana kondisi rumah sakit darurat adalah tidak bersih serta kekurangan obat-obatan dan perawatan, video yang diposting oleh pasien mengungkap hal ini.
Beberapa pasien yang terperangkap di dalamnya berisiko menderita gangguan mental dan mulai menghancurkan furnitur karena frustrasi dan marah. Pasien yang lain mulai berkelahi satu sama lain.
Pidato Bebas
Sarah Repucci, wakil presiden penelitian dan analisis di Freedom House, suatu kelompok hak asasi manusia yang berbasis di Amerika Serikat, mengatakan dalam situasi darurat, pidato bebas memungkinkan pemerintah untuk mempelajari kenyataan yang terjadi dan menanggapi dengan lebih cepat.
“Jika rakyat tidak merasa aman untuk berbicara, maka rakyat cenderung menyebar informasi yang sangat penting untuk membantu mengatasi pandemi. Solusi untuk informasi yang salah bukanlah dengan cara menyensor informasi tersebut,” kata Sarah Repucci.
Meski banyak negara masih berjuang menangani pandemi secara efektif, Sarah Repucci menjelaskan bahwa seiring berjalannya waktu, masyarakat bebas lebih cenderung menjaga pembatasan yang proporsional dan membatasi lamanya ancaman kesehatan.
“Masyarakat yang kurang bebas lebih cenderung menggunakan keadaan darurat untuk membenarkan penindasan untuk semakin memperkuat kekuatannya. Itu adalah risiko untuk jangka panjang,” tambah Sarah Repucci.
Tiongkok berada di peringkat 177 dari 180 dalam Indeks Kebebasan Pers Dunia Reporters Without Borders pada tahun 2019. Rezim Komunis Tiongkok juga mengusir wartawan Amerika Serikat yang berbasis di Tiongkok yang bekerja untuk New York Times, Wall Street Journal, dan Washington Post, menyoroti rekam jejak suram Tiongkok terhadap kebebasan pers.
Etienne Deffarges, seorang ahli kebijakan kesehatan dan anggota Dewan Eksekutif Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Harvard mengatakan akan jauh lebih mudah untuk mempercayai statistik resmi Tiongkok yang bagus jika statistik resmi tersebut divalidasi oleh media yang berkembang dan independen.
Baru-baru ini, Tiongkok mendorong narasi bahwa sudah tidak ada kasus infeksi baru, atau ada sedikit kasus infeksi baru virus tersebut di Tiongkok.
Justin Haskins berkata tanpa kebebasan berbicara, “hampir tidak ada kebebasan lain yang mungkin,” mencatat bagaimana Tiongkok tidak memiliki hak kebebasan berbicara.
“Kebebasan berbicara membantu… membuat lebih mungkin bahwa pemerintah akan bertanggung jawab atas kegagalan dan penyalahgunaannya,” tambah Justin Haskins.
Dunia Bebas
Michael Barone, seorang analis politik dan rekan emeritus di American
Enterprise Institute, sebuah lembaga pemikir yang berbasis di Washington, mengatakan negara-negara seperti Taiwan dan Korea Selatan dengan cepat memberlakukan tindakan keras, tetapi bukan tindakan yang kejam untuk menghentikan penyebaran virus Komunis Tiongkok dengan transparansi yang jelas yang sangat berbeda dengan sikap merahasiakan dan kebohongan yang merupakan praktik standar dalam Republik Rakyat Tiongkok.
“Saya pikir ada perbedaan yang mengejutkan antara perilaku dan kinerja Tiongkok yang dikuasai Komunis Tiongkok dengan tetangga-tetangga Tiongkok dengan etnis dan atau warisan kebudayaan yang sama Taiwan, Korea Selatan, Hong Kong, Singapura,” kata Michael Barone.
Michael Barone memperluas argumen itu dalam sebuah opini untuk Washington Examiner, menulis “Adalah jelas bahwa karakter rezim Tiongkok membuat perbedaan yang sangat besar.”
“Taiwan, Korea Selatan, Singapura, dan Hong Kong menunjukkan bagaimana orang-orang yang dibesarkan dalam kebudayaan kohesi sosial yang dipengaruhi oleh Tiongkok dan pengamatan aturan dapat dilakukan dengan baik dalam situasi stres yang tidak terduga,” tulis Michael.
Barone, menambahkan bagaimana negara-negara tersebut secara efektif menyaring penumpang dari Tiongkok, mendistribusikan sejumlah masker pelindung, dan memperkenalkan pengujian intensif.
Presiden Amerika Serikat Donald Trump juga bertindak relatif cepat terhadap virus Komunis Tiongkok, melarang masuk warganegara asing ke Amerika Serikat yang pernah masuk Tiongkok Daratan sebelum tanggal 31 Januari 2020.
Banyak langkah dilakukan Amerika Serikat untuk memperlambat penyebaran virus Komunis Tiongkok secara lebih manusiawi daripada yang dilakukan Tiongkok. Penduduk Amerika Serikat di beberapa daerah yang paling parah dilanda virus Komunis Tiongkok disuruh tinggal di rumah jika memungkinkan dan semua orang dianjurkan menjaga jarak sosial yang aman.
Sementara itu, bantuan federal dari pemerintah disalurkan dengan cepat Donald Trump baru-baru ini menandatangani RUU stimulus ekonomi sebesar usd 2,2 triliun yang dimaksudkan untuk memicu pertarungan melawan pandemi dan mempertahankan ekonomi. Paket itu adalah paket stimulus ekonomi terbesar dalam sejarah modern Amerika Serikat.
Amerika Serikat juga tidak pernah melakukan tindakan kejam atau siasat ala preman melawan warganegaranya sendiri.
Etienne Deffarges mengatakan negara-negara yang menanggapi virus tersebut juga menunjukkan kerjasama yang erat dan keharmonisan komunikasi antara federal dengan pemerintah daerah, sesuatu yang dikritik Etienne Deffarges terhadap Amerika Serikat karena Amerika Serikat melakukan hal tersebut.
Tetapi Etienne Deffarges mencatat bahwa masyarakat bebas pada akhirnya akan terbukti lebih baik daripada rezim otoriter dalam menangani krisis pandemi ini. Itu membuat masyarakat bebas menikmati pemerintah yang baik maupun kepercayaan publik.
Menurut Etienne Deffarges, selama 12-18 bulan ke depan, solusi untuk mengalahkan pandemi cenderung berasal dari kombinasi unik dari medis pusat akademik terkemuka dengan lembaga kesehatan nasional dan perusahaan swasta, besar dan kecil ala Amerika Serikat.
“Di Amerika Serikat, Franklin Delano Roosevelt menikmati kepercayaan yang luar biasa sejak awal Perang Dunia II, dan menggunakan kepercayaan ini untuk memobilisasi seluruh industri Amerika Serikat untuk upaya perang,” tambah Etienne Deffarges.
Keterangan Gambar: Anggota Polisi Bersenjata Rakyat Tiongkok yang memakai topeng pelindung berbaris melalui Lapangan Tiananmen saat berkabung nasional di Beijing pada 4 April 2020. (Lintao Zhang / Getty Images)
vivi/rp
Video Rekomendasi