Xi Jinping Salah Menilai Situasi, Penerapan Strategi ‘Serigala Perang’ Ditentang Para Jenderal

Epochtimes, oleh Li Shilu- Media Australia ‘news.com.au’ menerbitkan artikel berjudul ‘China leader Xi Jinping slammed for his ‘wolf warrior’ tactics’ yang artinya Pemimpin Tiongkok Xi Jinping Dilabrak oleh strategi ‘Serigala Perang’-nya tulisan Jamie Seidel pada 10 Agustus 2020. 

Artikel itu selain menyebutkan bahwa Xi mendapat kutukan dari para jenderal militer komunis Tiongkok. Para Jenderal itu juga menyampaikan kritikan bahwa Xi Jinping seharusnya tidak membangunkan “harimau tidur” Amerika Serikat, dan penerapan strategi ‘Serigala Perang.’ Pasalnya, strategi itulah yang menjadi penghancur bagi ambisi komunis Tiongkok untuk menguasai dunia.

Artikel menyebutkan bahwa dalam menghadapi berbagai bencana yang melanda Tiongkok, seperti serangan belalang, banjir, kelaparan, dan epidemi virus komunis Tiongkok. Xi Jinping yang telah memposisikan dirinya sebagai pemimpin seumur hidup dari negara-partai otoriter, tidak dapat tidak menaruh kekhawatirannya terhadap stabilitas rezim. 

Selain itu, negara-negara di mana komunis Tiongkok menggunakan perdagangan untuk menjalin dan mempertahankan hubungan di masa lalu, sekarang sudah tidak lagi mau berteman dengan komunis Tiongkok.

Seperti semua diktator yang meronta-ronta karena mendapat serangan dari seluruh penjuru, salah satu di antara banyak masalah internal dan eksternal yang dihadapi Xi Jinping, yang terburuk adalah para jenderal dalam militer Tiongkok telah mulai mengekspresikan pendapat yang beroposisi dengan Xi. 

Jamie Seidel bahkan menyebut 2 orang jenderal yang anti-Xi itu adalah Qiao Liang, penulis buku ‘Peperangan Tanpa Batas’ dan Dai Xu, seorang kolonel angkatan udara yang masih aktif saat ini.

Strategi ‘Serigala Perang’ mendapat serangan balik global

Jamie Seidel dalam artikelnya menyebutkan bahwa metode gembar-gembor yang biasa dipakai komunis Tiongkok untuk memuji sejarah kejayaan bangsa dan pencapaian besar, serta menyalahkan orang lain atas kesalahannya tidak lagi berfungsi efektif. Menghadapi serigala perang, dunia selain tidak lagi bergeming tetapi justru melakukan serangan balik.

Negara-negara yang dimaksudkan itu antara lain Australia, Inggris, dan Kanada yang bergabung dalam Aliansi Lima Mata, serta India, Jepang, dan Vietnam di Asia. Negara-negara ini semakin teguh dalam menghadapi ancaman dan intimidasi besar dari komunis Tiongkok. Bagi Xi Jinping, perubahan situasi tersebut sangat memalukan.

Meski komunis Tiongkok menggunakan sanksi ekonomi untuk mengancam Australia, namun Canberra selain tidak takut, malah bersikap keras pada hukum internasional tentang masalah Laut China Timur dan Selatan.

Dalam menghadapi agresi ekonomi yang sering dilakukan oleh komunis Tiongkok dan gangguan terhadap aktivitas komersial di Laut Tiongkok Selatan, Malaysia tahun lalu mengeluarkan protes resmi terhadap komunis Tiongkok. Negara tetangga seperti Vietnam, Brunei, Filipina dan Indonesia juga mengikutinya.

Bahkan negara kecil seperti Somalia juga tidak ingin menunjukkan sikap lemah. Menurut laporan, duta besar Tiongkok untuk Somalia, Qin Jian, baru-baru ini mendapat perintah deportasi dari Somalia gegara ingin mencoba menggunakan strategi ‘Serigala Perang’ terhadap presiden negara itu. Dan, pemerintah Somalia memulai membuka kontak diplomatik dengan Taiwan atau Republik Tiongkok.

Suara anti-Xi Jinping dari para elit Beijing

Xi Jinping selain “membentur tembok” di dunia internasional, juga menghadapi pertentangan dari para elit di dalam negeri yang memiliki pengaruh kuat di masyarakat. Jamie Seidel meminjam istilah yang dipakai Richard McGregor, seorang ahli urusan Tiongkok dari Lowy Institute di Australia menggambarkan : Di antara para elit Beijing, tersembunyi sejumlah perbedaan pendapat dengan Xi.

Seidel menunjukkan, penangkapan otoritas Beijing terhadap profesor hukum terkenal Universitas Tsinghua Xu Zhangrun, dapat dilihat sebagai peringatan bagi para elit tersebut. Profesor hukum ini dituduh mengadvokasi persamaan hak bagi warga negara Tiongkok.

Profesor Xu Zhangrun, merupakan satu-satunya elit dalam sistem peradilan yang saat ini dikendalikan oleh komunis Tiongkok yang berani menantang Xi Jinping di depan umum. Cendekiawan berusia 57 tahun tersebut diambil dari apartemennya di Beijing bulan lalu oleh sejumlah polisi. Ketika lebih dari selusin petugas polisi datang menggedor pintu apartemennya, Profesor Xu sepertinya sudah siap. Dia sudah meletakkan satu set pakaian cadangan dalam tas di dekat pintu yang setiap saat dibawa ketika dia ditangkap.

Seidel bertanya : Bagi komunis Tiongkok menggunakan penangkapan untuk menekan opini  seperti Profesor Xu, mungkin masih bisa dianggap efektif, tetapi di balik menerapkan strategi ‘Serigala Perangnya itu, Xi Jinping harus menghadapi kutukan dari para jenderal militer.

Strategi ‘Serigala Perang’ ditentang oleh para elit militer golongan elang

Jamie Seidel dalam artikelnya menyebutkan, bahwa suara menentang Xi Jinping dalam jajaran militer terutama datang dari Mayor Jenderal Qiao Liang yang sudah pensiun dan Kolonel Angkatan Udara Dai Xu yang masih aktif saat ini.

Qiao Liang adalah seorang jenderal bertipe elang terkenal di dalam militer dan salah satu pendiri teori militer modern komunis Tiongkok. Dia menerbitkan buku berjudul ‘Peperangan Tanpa Batas’ pada tahun 1999. Sekarang dia berani melawan Xi Jinping yang gembar-gembor ingin mengambil kembali Taiwan dengan kekuatan senjata.

Dalam sebuah wawancara tahun ini Qiao Liang mengatakan : “Tujuan akhir Tiongkok bukanlah untuk menyatukan Taiwan, tetapi untuk menyelesaikan tujuan besar peremajaan sehingga 1,4 miliar rakyat dapat hidup bahagia”. “Apakah mendapatkan kembali Taiwan itu realistis ? Jelas tidak mungkin”.

Qiao Liang juga mengakui, masalah di belakang isu Taiwan adalah hubungan antara Tiongkok dengan Amerika Serikat, yakni isu adu kekuatan antara Tiongkok dengan Amerika Serikat.

Kolonel Angkatan Udara Dai Xu yang berpandangan sama bahkan lebih terus terang. Ia dalam sebuah artikelnya yang berjudul ‘Empat Pemahaman Baru dan Tak Terduga tentang Amerika Serikat’ memberikan pandangannya, yakni Partai Komunis Tiongkok akan membayar harga mahal terhadap Perang Dingin Tiongkok – AS.

Ia menulis : Amerika Serikat teguh dalam memberlakukan tarif pajak impor terhadap komoditas Tiongkok senilai 30 miliar, 50 miliar, dan kemudian 200 miliar dolar AS. Ingat : Pengenakan tarif 30 miliar dolar AS akan membawa dampak mungkin 60 miliar, 90 miliar, atau bahkan lebih besar terhadap Tiongkok. Inilah kekuatan sebenarnya dari imperialis AS. Kita harus menanganinya dengan rasional, bijak, bukan secara irasional.

Richard McGregor, seorang ahli urusan Tiongkok dari Lowy Institute di Australia berpendapat, semua fenomena ini mengisyaratkan bahwa di Beijing terdapat pemerintahan bayangan.

Ia mengatakan, bahwa para elit golongan liberal Tiongkok telah mengkritik Xi, menuduh Xi membuat marah Amerika Serikat dengan kebijakan luar negeri dan militer yang arogan. Para elit golongan liberal ini lebih menyukai kebijakan Deng Xiaoping tahun 1980-an, yang ‘pandai-pandai menyembunyikan bakat dan tidak secara gampang mengeksposnya’.

Para elit golongan liberal ini memperoleh pencerahan dari kebijakan Deng tersebut, sehingga tahu bagaiman melindungi diri. Maka ketika mereka mengkritik praktik Xi Jinping, mereka tidak secara terang-terangan “menunjuk hidung” yang bersangkutan.

Keterangan Gambar: Xi Jinping. (Leo Ramirez/AFP)

(Sin/asr)

Video Rekomendasi

https://www.youtube.com/watch?v=Zq1SHBOfkq4