Theepochtimes.com- Undang-undang yang ekspansif bernama UU keamanan nasional baru mulai berlaku pada tanggal 1 Juli di Hong Kong. UU itu memberikan Komunis Tiongkok menyapu kekuasaan untuk menargetkan individu-individu untuk setiap tindakan atas tuduhan pemisahan diri, subversi, terorisme, atau kolusi dengan kekuatan asing. Pelanggaran tersebut dapat diancam hukuman maksimal penjara seumur hidup.
Undang-undang tersebut telah memicu kekhawatiran bahwa Hong Kong akan menjadi seperti kota-kota lain di Tiongkok Daratan lainnya di bawah cengkeraman otoriter Partai Komunis Tiongkok. Tetapi ancaman tersebut telah menyebar ke luar Hong Kong.
Samuel Chu, seorang warganegara Amerika Serikat dan aktivis pro-demokrasi, dan lima orang yang lainnya dikeluarkan surat perintah penangkapan oleh pihak berwenang Hong Kong menyertai penerapan undang-undang tersebut.
“Setiap ketentuan hukum ini — yang dibuat di Beijing dan diberlakukan tanpa badan legislatif Hong Kong — berlaku untuk semua orang yang berada di luar Hong Kong. Tidak ada orang yang berada di luar jangkaun hukum, bukan saya di Amerika Serikat, dan tentu saja bukan perkiraan 85.000 orang Amerika Serikat yang tinggal dan bekerja di Hong Kong,” tulis Samuel Chu dalam sebuah tajuk rencana.
Menanggapi undang-undang Beijing, pemerintahan Donald Trump pada tanggal 7 Agustus menerapkan 7 sanksi kepada pemimpin Hong Kong Carrie Lam dan 10 pejabat Hong Kong dan Tiongkok lainnya.
Sanksi tersebut membekukan aset yang berada di Amerika yang dimiliki para pejabat tersebut, dan umumnya melarang orang Amerika Serikat berbisnis dengan mereka. Tiongkok segera menanggapi dengan menerapkan sanksi yang tidak ditentukan terhadap 11 politisi dan kepala organisasi Amerika Serikat yang mempromosikan tujuan demokratis — mencocokkan jumlah yang sama yang awalnya ditargetkan oleh Amerika Serikat.
Salah satu dari 11 orang yang dijatuhi sanksi adalah Michael Abramowitz, sang presiden Freedom House, lembaga nonprofit yang didanai pemerintah dan berbasis di Amerika Serikat.
Annie Boyajian, direktur advokasi di Freedom House, menyerukan undang-undang tersebut adalah contoh terbaru dari Partai Komunis Tiongkok yang “berusaha mengekspor model penindasannya.”
“Sungguh ironis betapa Partai Komunis Tiongkok secara luas mengatakan hukum ini berlaku, mengingat seberapa sering pejabat Tiongkok memuji prinsip yang tidak mengganggu kedaulatan nasional,” kata Annie Boyajian kepada The Epoch Times, menjelaskannya sebagai sesuatu yang “keterlaluan.”
Samuel Chu, di antara lima orang lainnya yang menerima surat perintah penangkapan yang dikeluarkan, masih dicurigai memisahkan diri atau berkolusi dengan kekuatan asing, yaitu dihukum seumur hidup di penjara.
“Untuk lebih jelasnya, [Samuel Chu] melakukan pekerjaan melobi di sini di Amerika Serikat — kepada pemerintahannya sendiri!” ujar Annie Boyajian menambahkan.
Sanksi terhadap presiden Freedom House menyertai sanksi yang diterapkan pada Freedom House pada bulan Desember tahun lalu. Annie Boyajian mengatakan, langkah terbaru itu adalah tanda efektivitas sanksi Amerika Serikat terhadap para pejabat Hong Kong dan Partai Komunis Tiongkok.
Chilling Effect
UU keamanan nasional “sepenuhnya belum pernah terjadi sebelumnya” kata Scott Watnik, mitra proses pengadilan di firma hukum Amerika Serikat dan salah satu ketua praktik keamanan dunia maya Wilk Auslander. Ia mencatat bahwa UU tersebut berlaku untuk semua orang di seluruh dunia “tanpa perlindungan yurisdiksi atau pertahanan bagi warganegara asing non-residen.”
“Tiongkok bertujuan untuk menanamkan ketakutan pada para pengkritiknya di seluruh dunia dan mengendalikan narasi, sehingga wartawan dan pejabat pemerintah akan berpikir dua kali sebelum mereka mengkritik Tiongkok. Setidaknya sampai taraf tertentu, Tiongkok tampaknya berhasil membawa efek dingin ini,” kata Scott Watnik mengatakan kepada The Epoch Times.
Siapa pun yang mengomentari urusan di Hong Kong dapat berisiko melanggar undang-undang tersebut, kata Scott Watnik Undang-undang keamanan nasional itu muncul sebagai tanggapan atas unjuk rasa pro-demokrasi selama berbulan-bulan yang dimulai pada tahun 2019.
“Fakta bahwa cerita-cerita ini mendapatkan sedikit perhatian internasional harus menakutkan bagi kita semua,” Donald Kendal, rekan peneliti dan rekan pemimpin Stopping Socialism Project at The Heartland Institute, mengatakan kepada The Epoch Times.
Scott Watnik menuturkan, teks Undang-undang tersebut tertulis begitu luas sehingga semua interpretatif dan kekuatan penegakan hukum “terletak di tangan Beijing, tanpa pengawasan terhadap pemerintah Tiongkok oleh otoritas yudisial atau otoritas lainnya. Hukum tersebut tidak memiliki batasan, itu berarti apa pun yang dikatakan Beijing.
Menurut Annie Boyajian, Ada banyak tindakan yang dapat dilakukan Amerika Serikat untuk memerangi hukum keamanan nasional Beijing, seperti memperluas sanksi kepada entitas yang terlibat dalam pelanggaran hak asasi manusia di Hong Kong. Selain itu, mendesak demokrasi lainnya untuk menjatuhkan sanksi yang sesuai, dan menyambut warga Hong Kong yang terpaksa meninggalkan tanah airnya.
Transformasi Hong Kong menjadi negara otoriter sedang terjadi dengan “kecepatan hampir sangat tinggi,” kata Annie Boyajian. Para pejabat Beijing bukannya memandang Hong Kong sebagai salah satu asetnya yang terbesar, para pejabat Beijing meluncurkan sebuah kampanye penindasan yang “merugikan mereka sendiri.”
Michael Abramowitz dalam sebuah tajuk rencana, menyebutkan, “Perbedaan antara sanksi Amerika Serikat dengan Tiongkok menunjukkan: Amerika Serikat bertujuan untuk menghukum pelanggaran hak asasi manusia, dan Tiongkok bertujuan untuk menghukum kebebasan bicara untuk melaporkan pelanggaran itu.”
Ketidaknyamanan yang ditimbulkan kepada staf Freedom House, karena tindakan terbaru oleh Beijing “tidak ada artinya dibandingkan dengan pengorbanan yang dilakukan oleh orang-orang di Hong Kong dan Tiongkok Daratan, yang mana berusaha untuk melindungi dan mempromosikan hak dan kebebasan. “Merupakan kehormatan bagi kami untuk berdiri bersama mereka,” kata Annie Boyajian.
Pada bulan sejak undang-undang itu berlaku, pemerintah Hong Kong meningkatkan upaya untuk membatasi kebebasan Hong Kong. Pihak berwajib menunda selama satu tahun pemilihan legislatif yang dijadwalkan pada bulan September, dengan alasan ketakutan atas virus Partai Komunis Tiongkok — yang merebak di kota Wuhan di Tiongkok pada akhir tahun 2019 — dan mendiskualifikasi 12 calon pro-demokrasi yang memenangkan suara dalam pendahuluan yang tidak resmi.
Slogan unjuk rasa yang populer juga dilarang. Scott Watnik, seperti ahli lainnya, percaya Undang-undang keamanan itu mungkin berakhir sebagai bumerang karena rezim komunis Tiongkok kini berada di depan dan tengah.
Scott Watnik menyerukan sanksi pembalasan Tiongkok terhadap anggota parlemen Amerika Serikat adalah “lemah dan tidak bergigi, karena tidak memiliki efek praktis.”
Scott Watnik mengatakan dengan menerapkan sanksi ekonomi pada Tiongkok, seperti yang dilakukan Amerika Serikat, dapat merugikan perusahaan Amerika Serikat dalam jangka pendek, tetapi memukul Komunis Tiongkok secara finansial “mungkin adalah satu-satunya cara untuk mengakhiri pemerintahan totaliter di Tiongkok.” Pejabat Tiongkok mengklaim undang-undang keamanan nasional akan menargetkan segmen masyarakat yang kecil, tetapi peristiwa baru-baru ini menunjukkan sebaliknya.
Komunis Tiongkok menciptakan “cetak biru penganiayaan yang mengidentifikasi, melacak, dan menekan suara-suara yang tidak setuju,” kata David Curry, CEO Open Doors Amerika Serikat, sebuah organisasi nirlaba yang membantu penganiayaan orang Kristen secara global, mengatakan kepada The Epoch Times, mencatat rekam jejak panjang Tiongkok dalam menindas agama minoritas.
Undang-undang baru Beijing juga menyoroti bagaimana Komunis Tiongkok bersedia “mengabaikan kesepakatan yang telah mereka setujui sebelumnya untuk melanjutkan kepentingan imperialisnya,” kata Edward Bourke, direktur eksekutif kelompok aksi politik konservatif yang berbasis di Australia, Victoria Forward.
Edward Bourke memberitahukan kepada The Epoch Times bahwa Komunis Tiongkok Hanya menanggapi kekuatan, yang menekankan bahwa masyarakat global harus mengambil sikap yang tegas dan bersatu untuk melawan Komunis Tiongkok dengan melakukan tindakan hukuman yang sesuai.
Musuh Negara
Surat perintah penangkapan dikeluarkan kira-kira setahun setelah agen-agen komunis Tiongkok menculik Simon Cheng saat ia dalam perjalanan bisnis ke Tiongkok Daratan dan ia ditahan selama 15 hari.
Simon Cheng kemudian menggambarkan bahwa ia dibelenggu, ditutupi wajahnya, dan berulang kali disiksa saat polisi berupaya mengorek informasi intelijen mengenai gerakan unjuk rasa Hong Kong. Sehari setelah ia memecah kesunyian dan berbagi pengalamannya dengan media, CGTN penyiaran negara berbahasa Inggris milik Komunis Tiongkok mengudara sebuah video pengakuan yang menunjukkan Cheng mengaku tuduhan prostitusi yang dituduhkan pihak berwenang Tiongkok kepadanya, di mana karena hal tersebut ia telah mengajukan gugatan ke regulator siaran Inggris, mengutip pelanggaran privasi dan keadilan.
Di London, Simon Cheng mengatakan, ia memperhatikan orang-orang yang mencurigakan mengikutinya setidaknya pada tiga kesempatan. Pada tanggal 10 Agustus, ia memposting tangkapan layar dari email ancaman yang diterimanya, dengan subjek: “Agen Tiongkok akan menemukan anda dan membawa anda kembali.”
Tetap saja, Simon Cheng terus melangkah. Ia menciptakan platform bernama Haven Assistance, untuk membantu para pembangkang Hong Kong melarikan diri ke negara lain. Hong Kong telah memasuki fase baru sejak Beijing memberlakukan hukum keamanan yang baru.
Pihak berwenang setempat melipatgandakan agresinya, mengkriminalisasi penggunaan slogan unjuk rasa yang populer dan lagu unjuk ras tidak resmi, dan melarang 12 calon legislatif pro-demokrasi untuk mencalonkan diri pada pemilihan umum sebelum sepenuhnya menunda pemungutan suara — yang para pengkritik Beijing mengatakan itu adalah siasat untuk menghindari kekalahan yang memalukan pada pemungutan suara untuk kubu pro-Beijing.
Polisi melakukan penangkapan atas postingan media sosial, menggerebek ruang redaksi dari surat kabar yang blak-blakan, dan mengeluarkan surat perintah penangkapan yang menargetkan Simom Cheng; warganegara Amerika Serikat; dan pembangkang lainnya di luar negeri.
Cengkeraman rezim Tiongkok yang semakin ketat telah banyak dikritik oleh pemerintah di seluruh dunia. Amerika Serikat memberikan sanksi kepada 11 pejabat setempat atas perannya dalam menerapkan hukum dan menginjak-injak kebebasan Hong Kong, yang mencakup pemimpin Hong Kong Carrie Lam.
“Tidak ada seorang pun yang secara alami membenci Partai Komunis Tiongkok sejak lahir,” kata Simon Cheng, menambahkan bahwa banyak anak muda Hong Kong moderat menjadi lebih vokal dalam menentang rezim Tiongkok karena kebijakan rezim Tiongkok yang agresif.
Simon Cheng menuturkan, Beijing telah “mendorong kaum muda ke tempat mereka kini. Beijing membuat banyak musuh karena ulahnya sendiri”.
Mempertahankan Identitas Hong Kong
Di Causeway Bay, distrik perbelanjaan populer, Zack Ho, berusia 19 tahun, membagikan selebaran informasi berisi slogan kreatif untuk mengingatkan orang-orang akan kesulitan politik Hong Kong sambil mempromosikan kebiasaan kebudayaan setempat — dari penggunaan aksara tradisional Tiongkok di Hong Kong (sebagai lawan dari versi sederhana yang digunakan di Tiongkok Daratan) hingga kue tar telur krimnya yang terkenal.
Gagasan tersebut adalah untuk menjangkau orang-orang yang “lembut” yang tidak memiliki banyak pendapat mengenai situasi politik Hong Kong saat ini, serta mereka yang terlalu terlibat dalam rutinitas kehidupan sehari-hari yang membosankan, kata Zack Ho, yang merupakan penyelenggara kelompok aktivis mahasiswa Inspidemia.
Selebarannya sengaja menggunakan frasa yang mengelak larangan baru dari pihak berwenang. “Masa pasca-Hong Kong”, misalnya, mengisyaratkan akhir formula “satu negara, dua sistem”, di mana Beijing berjanji untuk mempertahankan otonomi Hong Kong setelah penyerahan kedaulatan Hong Kong pada tahun 1997. Bagian slogan “tidak ada perusuh, hanya ada pemerintahan tirani,” diganti dengan ruang kosong untuk bekerja seputar hukum baru.
“Kami berupaya memainkan kata-kata,” kata Zack Ho dalam wawancara telepon. Ia berkata : Sejak “kami tidak boleh mengatakan ‘satu negara, dua sistem’ adalah sudah mati, [dan] kita tidak boleh mengatakan otonomi Hong Kong adalah sudah mati … kami berupaya menyiratkannya dengan halus.”
Jalanan jauh lebih sepi dibandingkan tahun lalu, saat ketakutan akan kendali Beijing yang semakin ketat, menyusul proposal pemerintah untuk memberlakukan RUU ekstradisi yang membawa jutaan orang turun ke jalan.
Mengutip kekhawatiran akan penyebaran COVID-19 dan undang-undang baru, tahun ini, polisi dengan cepat melakukan penangkapan untuk menekan tanda-tanda unjuk rasa yang mulai muncul. Seringkali, orang yang berjalan melewati stan Zack Ho hanya “tetap tenang” dan mengabaikan petugas polisi, saat petugas polisi berpatroli, yang jumlahnya terus bertambah, berdiri di dekat situ dan menonton dengan tenang, kata Zack Ho.
Bahkan mencetak materi bukanlah prestasi kecil: di antara 50 toko percetakan yang ia jumpai, hanya segelintir yang mau mencetak selebarannya — karena banyak yang menyelesaikan pekerjaan pencetakannya di Tiongkok Daratan dan tidak mau menanggung risiko memprovokasi pihak berwenang, kata Zack Ho.
Zack Ho, yang berharap untuk mengejar karier politik di masa depan dan mengabdi pada masyarakat setempat, sebagai anggota dewan distrik, tidak terhalang oleh undang-undang keamanan. “Kami hanya ingin memunculkan pola pikir kami. Orang tidak boleh bungkam untuk hal ini,” kata Zack Ho.
Namun pada Agustus, beberapa aktivis muda pro-demokrasi ditangkap karena melanggar undang-undang baru tersebut, penindasan yang meningkat memaksa Zack Ho untuk mempertimbangkan kembali taruhannya.
Ia berkata : “Apa yang harus saya katakan mulai sekarang… [untuk] lebih aman bagi saya untuk melanjutkan pekerjaan saya?” ia bertanya pada dirinya sendiri. Aturan pertama, ia memutuskan, adalah “berupaya untuk tidak ditangkap” dan memainkan permainan jangka panjang.
Terlepas dari risikonya, Zack Ho, seperti Simon Cheng, menyamakan penangkapan baru-baru ini dengan sebuah lencana kehormatan. “Karena kami membela keadilan. Kami membela nilai-nilai Hong Kong yang benar,” kata Zack Ho.
Mengejar Harapan
Ada rasa kehilangan dan frustrasi di antara para aktivis Hong Kong, karena mereka bergumul dengan akibat dari hukum baru, seperti simbol gerakan dihapus: slogan, lagu unjuk rasa, pawai unjuk rasa, dan Lennon Walls — baik secara sukarela untuk menghindari pengawasan pihak berwenang, atau karena polisi melarang mereka.
“Rasanya agak sepi di mana kami berada. Kami sendirian,” kata Ventus Lau, yang mengorganisir beberapa unjuk rasa besar pada tahun 2019, dalam sebuah wawancara telepon baru-baru ini.
Berusia 26 tahun, sebagai salah satu calon pro-demokrasi yang didiskualifikasi dari pemilihan bulan September, juga menghadapi tuduhan mengakibatkan kerusuhan sehubungan dengan unjuk rasa tahun lalu.
Realitas baru adalah yang paling mengerikan bagi generasi muda — kekuatan pendorong unjuk rasa pro-demokrasi — yang menghadapi masa depan di bawah pemerintahan otoriter Beijing, kata Ventus Lau.
Ventus Lau belum melihat jalan keluar, tetapi percaya selama warga Hongkong menjaga secercah harapan itu, maka sebuah solusi akan muncul— “mungkin saja tidak sekarang.”
“Kami tidak pernah menyerah karena itulah yang hanya dapat kami lakukan untuk generasi selanjutnya. Kami harus berjuang sampai saat-saat terakhir, “kata Ventus Lau.
Ini satu-satunya cara mereka dapat membayangkan masa depan yang berbeda: dengan melanjutkan, mereka akan menunjukkan kepada dunia bahwa Hong Kong masih layak mendapatkan kebebasan.
Zack Ho mengatakan : Kami tidak bertengkar karena kami telah melihat harapan. Kami bertarung karena kami ingin mengejar harapan, dan harapan dibuat oleh upaya manusia.”
Dan, momen tergelap, dalam kata-kata Simon Cheng, juga “akan menjadi momen yang paling terang”, karena mereka dapat menyaksikan “perubahan besar yang akan datang”.
(Vv/asr)
Video Rekomendasi