Mengapa Beijing Suka dengan Joe Biden dan Perjanjian Iklim Paris?

oleh Wu Wei – Epochtimes.com

Pemerintahan Amerika Serikat di bawah Presiden Joe Biden secara resmi bergabung kembali dengan Perjanjian Iklim Paris pada 19 Februari lalu. Tindakan tersebut mendapat kritikan karena sangat merugikan ekonomi Amerika Serikat dan menguntungkan pihak pemerintah komunis Tiongkok. 

The Wall Street Journal menerbitkan editorial yang menjelaskan tentang mengapa pemerintah komunis Tiongkok gembira atas putusan Joe Biden ini. Beberapa orang anggota Kongres dari Partai Republik setuju dengan isi artikel tersebut dan menyebarluaskannya.

Perjanjian Iklim Paris adalah perjanjian yang bersifat sukarela, di mana negara-negara mengajukan komitmennya sendiri untuk mengurangi emisi gas rumah kaca. Mantan Presiden Amerika Serikat, Donald Trump beranggapan bahwa isi dari Perjanjian Iklim Paris merupakan “malapetaka” bagi ekonomi Amerika Serikat. Pada saat yang sama, perjanjian memberlakukan pembatasan yang terlalu longgar terhadap emisi gas rumah kaca di daratan Tiongkok.

Ketika Trump mengumumkan keputusannya untuk menarik diri dari Perjanjian Iklim Paris pada 2017 silam, dia mengatakan bahwa perjanjian tersebut “merupakan contoh terbaru bergabungnya Washington ke dalam perjanjian yang tidak kondusif bagi Amerika Serikat. Hal itu memungkinkan negara lain menikmati manfaat eksklusif, tetapi membuat tenaga kerja dan warga Amerika Serikat yang membayar pajak kehilangan pekerjaan, mengalami penurunan upah. Juga industriawan menutup pabrik dan secara drastis mengurangi produksi ekonomi untuk menyerap biaya.

Pemerintahan Trump secara resmi mengumumkan penarikan dari perjanjian ini pada 2019.

Wall Street Journal menerbitkan artikel editorial yang berjudul “Mengapa Beijing Suka dengan Joe Biden dan Perjanjian Iklim Paris” pada 21 Februari. 

Artikel itu menyebutkan bahwa Amerika Serikat secara resmi bergabung kembali dengan perjanjian iklim Paris dan mendapat tepuk tangan dari banyak media dan orang Eropa. 

Diduga bahwa pemerintah komunis Tiongkok-lah yang paling gembira, karena mengetahui perjanjian tersebut akan membatasi pengembangan energi Amerika Serikat, dan Beijing dapat memperoleh tumpangan gratis setidaknya selama sepuluh tahun. Artinya, tidak perlu khawatir tentang persyaratan emisi untuk pengembangannya.

Artikel tersebut menyinggung soal niat Biden untuk menghindari persetujuan Kongres dan kembali ke perjanjian iklim karena Kongres tidak mungkin akan memberikan persetujuannya. 

Artikel itu juga menyebutkan bahwa bagaimanapun, pemerintah akan menggunakan penandatanganan Perjanjian Iklim Paris sebagai alasan untuk mempertahankan peraturan perlindungan lingkungan yang komprehensif untuk meningkatkan biaya produksi bahan bakar (fosil) tradisional dan memberikan subsidi untuk energi terbarukan dan kendaraan listrik. 

Ini dianggap sebagai upaya Biden untuk menyelesaikan sejumlah masalahnya dengan tanpa persetujuan Kongres.

Perjanjian Iklim Paris tidak mungkin tidak merugikan ekonomi Amerika Serikat

Selanjutnya, artikel editorial menyebutkan bahwa perjanjian iklim ini yang pasti akan menyebabkan kerugian besar bagi perekonomian Amerika Serikat. Kerugian ekonomi akan menjadi nyata dan tak terhindarkan. Pada tahun 2017, Kamar Dagang Amerika Serikat dan Dewan Modal Amerika Serikat melakukan analisis terhadap komitmen mantan Presiden Obama dalam perjanjian iklim Paris. Mereka memperkirakan bahwa hingga tahun 2025, produk domestik bruto Amerika Serikat akan berkurang sebanyak USD. 250 miliar dan Amerika Serikat akan kehilangan sekitar 2,7 juta lapangan kerja.

Nicolas Loris, wakil direktur Thomas A. Roe Institute for Economic Policy Studies of the Heritage Foundation mengatakan bahwa Perjanjian Iklim Paris akan menyebabkan beban berat bagi rumah tangga dan bisnis Amerika Serikat.

“Ini akan sangat mahal bagi rumah tangga dan bisnis Amerika, karena 80% dari kebutuhan energi kita dipenuhi oleh bahan bakar tradisional yang mengeluarkan karbon”, kata Nicolas Loris kepada grup media The Epoch Times. 

“Mengatur mereka dan mensubsidi barang alternatif akan merugikan keluarga dan pembayar pajak Amerika,” tamabh Nicolas Loris.

Yang Mendorong pengurangan emisi adalah pasar bebas, bukan Perjanjian Iklim Paris

Wall Street Journal juga membandingkan pengurangan emisi di Amerika Serikat dengan Tiongkok. Artikel tersebut menyebutkan bahwa pelepasan karbon dioksida Tiongkok pada tahun 2018 hampir 2 kali lipat dari pelepasan karbon dioksida Amerika Serikat. Namun, di bawah Perjanjian Iklim Paris, Beijing diberikan izin untuk meningkatkan pelepasan karbon dioksida hingga tahun 2030. 

Menurut data dari Standard & Poor’s Global Platts, PLTU Batu bara Tiongkok menghasilkan sekitar 4,874 megawatt energi pada tahun 2020. Sejak komunis Tiongkok bergabung dalam perjanjian tersebut, pelepasan karbon dioksida Tiongkok telah meningkat hampir 15%.

Artikel juga mengutip laporan baru yang disampaikan oleh organisasi nirlaba ‘Global Energy Monitor’ melaporkan bahwa “Pada tahun 2020, kapasitas PLTU Batubara Tiongkok yang baru dibangun akan mencapai 3 kali lipat dari gabungan kapasitas PLTU semua negara lain di dunia, yang setidaknya setara dengan ada satu PLTU Batubara baru yang berdiri setiap minggunya. 

Laporan menyebutkan bahwa tahun lalu Beijing juga meluncurkan “proposal pembangunan PLTU Batubara berkapasitas lebih dari 73,5 juta kilowatt”, yang kemampuannya adalah 5 kali lipat dari gabungan kapasitas PLTU negara lain di dunia.

Artikel Wall Street Journal  itu juga menyatakan bahwa seiring dengan menggunakan gas alam yang lebih murah untuk menggantikan batu bara sebagai pembangkit, Amerika Serikat hanya akan menghasilkan 788 miliar kilowatt energi listrik dari PLTU Batu bara pada tahun 2020. 

Berkat gas alam dari bahan bakar (fosil) tradisional yang dimiliki Amerika Serikat. Dalam urusan pengurangan emisi, Amerika Serikat telah melampaui sebagian besar negara di dunia, dengan pencapaian pelepasan karbon dioksida terendah pada tahun 2019. Itu terjadi karena kekuatan pasar bebas. Pasar bebaslah yang mendorong penurunan tajam emisi gas buang, bukan Perjanjian Iklim Paris. 

Artikel mempertanyakan kembalinya Amerika Serikat ke perjanjian iklim atau konsesi pada masalah perdagangan Taiwan

Menurut artikel itu, meskipun setiap negara memenuhi komitmennya, dampak Perjanjian Iklim Paris terhadap iklim global adalah nol, alias tidak berarti. Joe Biden akan mengirim utusan khususnya John Kerry untuk melobi komunis Tiongkok dan semua orang lainnya untuk mengurangi pelepasan karbon dioksida. 

Ini juga akan membuat Presiden Tiongkok, Xi Jinping senang. Xi Jinping akan dengan senang hati membuat janji-janji tentang masa depan, dan pada saat yang sama meminta Amerika Serikat untuk membuat konsesi terhadap isu Taiwan dan perdagangan. 

Pemerintah komunis Tiongkok pasti akan sangat senang melihat Amerika Serikat yang rela mengambil inisiatif untuk melemahkan kekuatan ekonominya.

Editorial ini mendapat dukungan dari anggota kongres partai Republik. Kantor Perwakilan Nicole Malliotakis dalam pesan tweet-nya menyebutkan bahwa Amerika Serikat berniat untuk bergabung kembali dengan Perjanjian Iklim Paris di bawah kondisi yang sama jelas akan membuat Amerika Serikat berada dalam posisi yang kurang menguntungkan dibandingkan dengan komunis Tiongkok. Langkah ini hanya akan menyenangkan rezim Beijing, bukan Presiden Amerika Serikat.

Senator Rick Scott juga mengunggah tweet bahwa Perjanjian iklim Paris ini sama sekali tidak melakukan penuntutan tanggung jawab polusi berat terhadap dunia yang dibuat oleh negara seperti komunis Tiongkok.

“Kita bisa menaruh perhatian untuk melindungi lingkungan kita sambil melakukan pengembangan ekonomi, tapi kita sama sekali tidak perlu bergabung kembali dengan Perjanjian Iklim Paris yang tidak menguntungkan bagi Amerika Serikat,” kata Rick Scott. (sin)

Gambar menunjukkan sebuah PLTU Batubara Datong di Provinsi Qinghai yang sedang beroperasi. (China Photo/Getty Images)

https://www.youtube.com/watch?v=BEMa8PyMJGg