Epochtimes.com
Para peneliti di Georgia Institute of Technology, Amerika Serikat, telah mengembangkan sistem rectenna berdasarkan lensa Rotman, yang berhasil mengubah gelombang milimeter 28GHz 5G menjadi arus listrik untuk pertama kalinya.
Untuk diketahui, Rectenna adalah teknologi yang terdiri dari rectifier dan antena, yang mana berfungsi untuk mengkonversi gelombang elektromagnetik menjadi sumber arus DC.
Hasil penelitian ini sudah dipublikasikan di jurnal Scientific Reports pada 12 Januari.
Sedangkan Lensa Rotman, biasanya digunakan dalam sistem pemantauan radar, memungkinkan sistem untuk mengamati berbagai arah pada waktu yang bersamaan tanpa perlu terus-menerus menyesuaikan arah antena. Di tempat yang jauh dari menara transmisi sinyal, jika Anda ingin mengumpulkan energi yang cukup untuk mendukung perangkat kecil, Anda memerlukan antena yang lebih besar.
Peneliti senior, Aline Eid dari Sekolah Teknik Elektro dan Komputer, Georgia Institute of Technology mengatakan, timnya memecahkan masalah hanya dengan mengumpulkan sinyal dari satu arah. Sistem ini memiliki cakupan yang lebih luas.
Kepadatan sinyal jaringan 5G, jauh lebih besar dibandingkan generasi sebelumnya. Menggunakan pita frekuensi tinggi, selain untuk tujuan komunikasi, banyak energi yang terbuang percuma.
Aline Eid menjelaskan, dulu, para peneliti mencoba memanen energi pada frekuensi tinggi di 24 atau 35 GHz. Akan tetapi, antena ini harus diarahkan langsung ke sumber 5G agar bekerja. Sedangkan teknologi temuannya dapat menerima berbagai arah dan memiliki jangkauan yang luas. “
Para peneliti menunjukkan antena mereka, yang tampak seperti diagram sirkuit yang dicetak di atas kepingan bahan.
Menurut penelitian, layout “laba-laba” ini merupakan antena yang dicetak di atasnya dengan teknologi cetak 3D. Satu sisi adalah antena, dan sisi lainnya adalah kanal pancaran yang mengumpulkan energi dan mengirimkannya ke penyearah untuk pemanenan energi.
Hasil pengujian menunjukkan, dibandingkan dengan teknologi lain dengan luas cakupan sinyal yang sama, energi yang dikumpulkan oleh teknologi ini adalah 21 kali lipat dari teknologi lainnya.
Para peneliti mengatakan, teknologi ini akan memberikan daya untuk perangkat identifikasi frekuensi radio (RFID) 5G dan perangkat di Internet of Things.
Emmanouil Tentzeris, Professor Elektromagnetik dari Sekolah Teknik Elektro dan Komputer, Georgia Institute of Technology mengatakan, 5G akan segera menjadi populer, terutama di daerah perkotaan. Teknologi ini dapat menggantikan jutaan atau ratusan juta baterai sensor nirkabel, dan memiliki berbagai kegunaan di Smart City dan aplikasi pertanian pintar untuk dibangun di masa depan.
Tentzeris berharap ke depan, penyedia telepon seluler akan menyediakan layanan listrik selain layanan panggilan suara dan layanan data. Sedangkan layanan kelistrikan akan menjadi bisnis utama — sebagaimana layanan data yang kini telah melampaui layanan panggilan.
Komisi Komunikasi Federal Amerika Serikat (FCC) telah mengizinkan 5G untuk memfokuskan daya jauh lebih padat dibandingkan dengan jaringan seluler generasi sebelumnya. Sementara 5G saat ini dibangun untuk komunikasi bandwidth tinggi.Â
Jimmy Hester, seorang penasihat laboratorium senior dan salah satu pendiri Atheraxon, spin-off Georgia Tech yang mengembangkan teknologi identifikasi frekuensi radio (RFID) 5G mengatakan,  ia telah terlibat dalam penelitian pemanenan energi di bidang ini setidaknya selama enam tahun. Ia mengakui belum dapat menemukan teknologi yang efektif.
Dengan inovasi ini, pihaknya dapat memiliki antena besar, yang bekerja pada frekuensi tinggi dan dapat menerima daya dari segala arah yang membuatnya jauh lebih praktis. (hui/asr)