Elite Magazine
Dalam budaya tradisional Tiongkok, idiom berikut sering digunakan untuk menggambarkan pernikahan yang sempurna: sitar dan kecapi bermain dalam harmoni, bunga mekar di bawah bulan purnama, naga terbang dan burung phoenix mengepakkan sayapnya, bebek mandarin bermain di air, burung layang-layang dan burung bulbul terbang berpasangan.
Metafora ini terinspirasi oleh benda- benda di alam, di antaranya analogi yang berhubungan dengan burung adalah yang paling umum.
Kekaguman terhadap makhluk-makhluk itu sudah ada sejak ribuan tahun lalu, karena burung dipercaya sebagai pembawa keberuntungan. Lukisan burung dan bunga (hua niao hua) adalah salah satu dari tiga genre utama lukisan Tiongkok, dan kicau burung biasanya digunakan untuk menyampaikan keinginan tulus sang pelukis.
Berkah Mulia dari Burung Suci
Phoenix (feng huang), burung suci dari zaman kuno yang dianggap sebagai raja burung, dianggap sebagai lambang paling mulia untuk pernikahan akbar. Pasangan menikah yang berbagi pasang surut kehidupan satu sama lain dibandingkan dengan burung phoenix jantan dan betina yang terbang dalam harmoni yang diberkati.
Dalam Shuowen Jiezi, kamus Tiongkok kuno dari Dinasti Han, phoenix dikatakan hanya muncul di tempat-tempat yang diberkati dengan kedamaian, berkah, dan keberuntungan. Menurut kamus tersebut, burung phoenix memiliki dada seperti angsa, punggung seperti harimau, leher seperti ular, ekor seperti ikan, urat seperti naga, wajah seperti burung layang-layang, dan paruh seperti ayam jantan. Tubuhnya mengandung lima warna dasar: putih, hitam, merah, hijau, dan kuning.
Menurut Tulisan Huainan, Yu Jia adalah nama nenek moyang semua burung. Naga dikatakan telah melahirkan burung phoenix, dan phoenix (fenghuang) digunakan untuk melambangkan suami dan istri, karena burung phoenix jantan awalnya disebut feng dan betinanya huang. Luan adalah burung mitologis lain yang mirip dengan phoenix—merah, flamboyan, dan berbentuk ayam jantan.
Baik phoenix dan luan adalah totem keberuntungan dan sering terlihat dalam ritual kerajaan, lukisan, dan aksesoris. Tidak ada burung biasa yang bisa menandingi penampilan phoenix dan luan—keunggulan mereka abadi. Banyak yang percaya bahwa gambar luan berasal dari burung pegar emas (gold pheasant). Oleh karena itu, lukisan dengan sepasang burung pegar juga bisa menyampaikan harapan pernikahan.
Sampai maut memisahkan kita
Bebek Mandarin (yuanyang) melambangkan kesetiaan dan komitmen yang tak tergoyahkan dari pasangan suami istri. Bebek jantan disebut yuan, dan bebek betina yang —jadi bersama-sama, mereka sering digunakan sebagai metafora untuk kebahagiaan pernikahan. Bebek mandarin sering berenang dan bersarang secara berpasangan. Luo Yuan, seorang sastrawan dari Dinasti Song, terkenal menggambarkan bahwa yuanyang tidak akan pernah meninggalkan satu sama lain, dan ketika dipisahkan, mereka akan mati karena kesedihan.
Yuanyang digunakan oleh para sastrawan sebagai simbol pasangan yang tak terpisahkan, dan digunakan secara luas dalam banyak konteks—kesedihan, kebahagiaan, perpisahan, dan reuni. Misalnya, Lu Zhaolin, seorang penyair di Dinasti Tang, menulis dalam “Changan: Puisi Tertulis DALAM Bentuk Kuno”, bahwa: “Saya akan mati tanpa penyesalan jika kita berenang bersama ikan pipih, saya ingin menjadi bebek mandarin dengan Anda lebih banyak sehingga abadi.” Puisi itu mengungkapkan keinginan tulus seorang pria untuk hidup bersama kekasihnya.
“Kitab Odes Dan Himne” (Shi Jing) menunjukkan keberuntungan yuanyang dengan cara ini: “Mereka terbang berpasangan dan jaring menangkap mereka. Semoga pria diberkati dengan berkah dan keberuntungan! Mereka berenang berpasangan berkumpul di samping pasak, dan melipat sayap kirinya. Semoga manusia diberkati dengan keberuntungan!”
Di masa lalu, orang juga akan menangkap dan menghadiahkan bebek Mandarin. Puisi menunjukkan bahwa meskipun burung menghadapi bahaya dalam kasus ini, mereka lebih baik menderita bersama daripada meninggalkan satu sama lain. Karena itu, burung secara luas diakui sebagai pembawa berkah bagi pengantin baru — tidak peduli kesulitan apa pun yang dihadapi pasangan itu, mereka akan melewatinya bersama. Karakter yuanyang yang teguh sering ditafsirkan oleh penyair, dan makna simbolisnya menjadi tak tergantikan.
Pertanda Sukacita dan Cinta
Ada burung yang lebih sering terlihat dalam kehidupan kita sehari-hari, seperti burung walet atau burung layang-layang yang sering membuat sarang di bawah atap rumah-rumah tradisional.
Burung walet berukuran kecil dan sering memiliki punggung hitam dan tenggorokan putih, sehingga mereka dijuluki “jubah hitam” dalam bahasa Mandarin. Dalam budaya tradisional Tiongkok, burung walet melambangkan rumah ke- gembiraan dan kenyamanan. Mereka juga dapat digunakan untuk menggambarkan pasangan yang penuh kasih dan tak terpisahkan. Dalam puisi “Burung Walet Pergi Berpasang-pasangan”, penyair Li Bai menulis tentang bagaimana orang mengagumi burung walet karena selalu terbang berpasangan, selamanya di sisi kekasih mereka.
Namun, setelah sarang mereka dibakar, seekor burung walet betina ditinggalkan sendirian tanpa pasangannya. Itu adalah pemandangan yang memilukan, melihat burung wallet itu sekarang terbang sendirian. Tragedi ini menunjukkan kesetiaan dan komitmen burung walet.
Magpies atau burung murai adalah simbol budaya penting lainnya di Tiongkok. Pada zaman kuno, si burung murai pemarah sebenarnya dianggap sebagai pembawa keberuntungan—kicau mereka dapat membawa berkah dan keberuntungan. Inilah sebabnya mengapa di Tiongkok burung murai disebut “burung murai yang bahagia”. Murai juga dipandang seba-gai peri.
Pada Dinasti Song, seorang pria bernama Yuan Bowen bermimpi tentang peri dan memintanya untuk menginap di malam hari. Peri itu menjawabnya: “Saya akan membuat jembatan untuk Zhinu di siang hari, jika menginap akan mempermalukan tugas saya.” Ketika Yuan terbangun, matahari telah terbit dan dia melihat sekawanan burung murai terbang ke arah timur, salah satu dari sekawanan itu terbang dari arah jendelanya.
Zhinu adalah putri bungsu Kaisar Giok, dan burung murai juga diasosiasikan dengan cerita rakyat gadis penenun Zhinu dan gembala sapi Niulang. Ketika Zhinu turun ke Bumi, dia jatuh cinta pada Niu lang, seorang gembala sapi yang hidup abadi, dan keduanya menikah. Namun, cinta mereka tidak diizinkan, dan Ibu Suri dari Barat membuang mereka ke sisi berlawanan dari Sungai Surgawi (Bima Sakti).
Pada hari ketujuh bulan lunar ketujuh, sekawanan burung murai akan membentuk jembatan, menghubungkan kedua kekasih dan memungkinkan mereka untuk bersatu kembali secara singkat. Dengan demikian, burung murai dipandang sebagai Dewa Cupid yang menyatukan kekasih dan sering digunakan untuk menandakan kebahagiaan pernikahan.
Simbol-simbol yang diwujudkan oleh burung telah diimajinasikan dan ditata ulang oleh para sastrawan, mengajak kita menelusuri warisan budaya sebelumnya yang tersembunyi di balik kicauan burung. (aus)