Wan Jaya
“The strength of the nation is derived from the integrity of Its homes.” Perkataan Konfusius ini lagi-lagi terbukti kebenarannya. Masalah keluarga bisa mengguncang negara. Kasus Sambo yang lalu sementara ini kita simpulkan tidak jauh-jauh dari bara dalam keluarga. Rentetan kasus ini kita sebut saja Putri Candrawati Effect.
Seorang istri jenderal yang mengguncang kepolisian dan Republik Indonesia selama beberapa bulan ini. Dan itu akibat dari cacatnya integritas keluarga (ketidakharmonisan) seorang elite. Sejenak mungkin kita berpuas diri setelah vonis ini bisa membuat gonjang-ganjing di negeri ini reda.
Tapi ternyata itu baru permulaan. Karena masih ada sesar-sesar gempa politik yang belum dikenali yang menyimpan energi guncangan yang lebih besar dari kasus Sambo. Berawal dari urusan sepele anak remaja alias ABG (Anak Baru Gede).
Kronologi peristiwanya sebagai berikut: Senin, 20 Februari 2023, AG (15) mengadu kepada MDS (20) bahwa ia mendapatkan perlakuan kurang baik dari David (17) yang merupakan mantan pacar AG. MDS berusaha mengonfirmasi, tapi David tidak menjawab. Selanjutnya, sekitar pukul 20.30, MDS, AG, dan SLR (teman MDS) berusaha mendatangi David di rumah R (teman David) menaiki mobil Rubicon. Terjadilah perdebatan, kemudian melakukan penganiayaan sadis dan keji seperti yang viral di media sosial sehingga David mengalami luka berat dan koma. Penganiayaan diketahui oleh orang tua teman David, kemudian segera dilarikan ke rumah sakit.
Selasa, 21 Februari 2023, MDS, AG, dan SLR diamankan sekuriti kompleks dan diserahkan ke polisi. MDS adalah anak pejabat Ditjen Pajak, Rafael Ulun Trisambodo. Dan David adalah anak Pengurus Pusat GP Anshor. Kasus ini memicu telisik pada data harta kekayaan Rafael di LHKPNN KPK yang ternyata berjumlah 56,1 milliar rupiah, melebihi jumlah kekayaan Menkeu Sri Mulyani. Serta mobil Rubicon dan sepeda motor Harley Davidson yang pernah dikendarai MDS tidak tercatat di LHKPN.
Pada Rabu, 22 Februari 2023, MDS ditetapkan sebagai tersangka. Sehari setelahnya, SLR ditetapkan sebagai tersangka. MDS di-drop out dari kampusnya Universitas Prasetya Mulia. Rafael memublikasikan permintaan maafnya kepada keluarga korban, PBNU, dan GP Anshor.
Hari Jumaat, Sri Mulyani menyatakan telah mencopot Rafael dari Dijen Pajak. Dan Rafael mengundurkan diri dari ASN. PPATK menyatakan, ada temuan transaksi mencurigakan dan telah diserahkan kepada KPK.
Tidak sampai di situ, efek domino peristiwa ini membangkitkan rasa ingin tahu publik dan ditemukan bahwa 13 ribu pegawai keuangan dan terbanyak Ditjen Pajak, tidak melaporkan harta kekayaan (LHKPN). Akhirnya 40 ribu lebih pegawai Pajak jadi sorotan publik berkaitan dengan gaya hidup hedon dan diduga dari uang hasil pat-gulipat pajak. Sri Mulyani marah dan kecewa, uang pajak digunakan untuk memperkaya oknum pajak yang jadi bawahannya. Komentar-komentar sinis di media sosial bermunculan tak terbendung, seperti ajakan satir untuk lebih rajin bayar pajak, karena pejabat di Dirjen Pajak belum semua kebagian Rubicon dan Harley.
Rentetan gencangan ini pemicunya sangat sederhana, dari aduan seorang gadis di bawah umur (15) bernama Agnes yang berpikiran cekak dan berjiwa labil. Para warganet menyebut peristiwa ini sebagai Agnes Effect. Dan Agnes Eff ect disebut-sebut mengalahkan Putri Candrawati Eff ect yang hanya mengguncang kepolisian. Bahkan, ada yang menyebut Agnes sebagai representasi Batari Durga yang punya kekuatan adi kodrati yang menghancurkan. Dan semua itu berakar dari keluarga-keluarga yang tidak berintegritas yang tidak berhasil mendidik anak-anaknya. Orang Jawa mengatakan dengan ungkapan “Anak Polah, Bapak Kepradah, dan Negara Bubrah” (Anak bertingkah, Orang tua menanggung akibatnya, dan membuat negara guncang).
Pelajaran Apa yang Bisa Dipetik? Pertama, keguncangan-keguncangan yang menggemparkan seluruh tanah air ini sejatinya ingin menguak sebenarnya wajah asli dari elite kita. Bahwa tak ada yang benar-benar berubah secara fundamental berkaitan dengan karakter penguasa. Kekuasaan itu ternyata mencandukan dan digunakan untuk aji mumpung. Gaya hidup sederhana atau revolusi mental hanya jadi jargon saja. Tak ada perubahan mendasar dari mentalitas pejabat. Yang ada hanyalah pencitraan yang menipu. Kedua, Ada kegagalan dalam pendidikan keluarga yang menyebabkan generasi-genarasi anak pejabat yang mengandalkan nama bapaknya untuk berperilaku arogan. Mungkin para pejabat itu tak menginginkan anaknya jadi arogan dan berkarakter buruk, tapi cara mereka menafkahi keluarga dengan uang haram menjadikan anak-anak mereka terjerumus dalam ketidakberkahan atau kutukan uang haram. Ketiga, Ketika semakin banyak keluarga yang gagal dan generasi yang arogan, maka benarlah apa yang dikatakan Bung Karno bahwa “berikan aku sepuluh pemuda maka akan saya guncang dunia”. Terbukti hanya dengan seorang pemuda arogan bernama MDS dan pemudi bernama AG, Indonesia benar-benar terguncang. Bukan guncangan yang membangkitkan negara, tapi guncangan yang membuat negara tenggelam dan bubrah.
Untuk menghancurkan negara ini, para musuh tak perlu mengerahkan bom atom, cukup hancurkan keluarga dan karakter generasinya. Kehancuran itu akan datang dengan sendirinya. Dan untuk kesekian kalinya saya meminjam nasihat dari orang bijak Konfusius: “Untuk menertibkan dunia, pertama-tama kita harus menertibkan bangsa; untuk menertibkan bangsa, pertama-tama kita harus menertibkan keluarga; untuk mengatur keluarga, pertama-tama kita harus memupuk kehidupan pribadi kita; kita harus menata hati kita dengan benar terlebih dahulu.