Home Blog Page 1021

Beijing Hadapi Tantangan Mengabaikan Kebijakan Nol Kasus atau Menekan Opini Publik

0

oleh Lin Yan

Protes terhadap kebijakan pencegahan epidemi yang ekstrem ketat di berbagai tempat di Tiongkok menempatkan Beijing dalam situasi dilema. Jika rezim bersedia kompromi lalu membatalkan kebijakan tersebut, mereka khawatir warga sipil di lebih banyak tempat juga melakukan hal yang sama, turun ke jalan untuk memprotes. Tetapi jika menggunakan penindasan untuk merespon demo, khawatir rakyat tidak puas dan semakin marah, sehingga menyebabkan reaksi yang lebih besar.

“Akhir pekan lalu, sebuah kejadian yang dramatis telah terjadi di Tiongkok, yaitu warga sipil mulai melakukan respon keras terhadap pemerintah”, tulis seorang peneliti senior yang memahami urusan Tiongkok.

Kekecewaan masyarakat Tiongkok terhadap kebijakan pencegahan epidemi ekstrem otoritas yang telah berjalan selama 3 tahun telah memuncak. Pekan lalu, protes terjadi di mana-mana. Para warga sipil menuntut diakhirinya kebijakan Nol Kasus dan pembebasan pemblokiran di semua tempat agar masyarakat dalam kembali hidup dan bekerja secara normal. Di ibukota, Beijing, pengunjuk rasa meneriakkan motto : “Kami ingin kebebasan !” Di Shanghai, para pengunjuk rasa menyerukan agar Partai Komunis Tiongkok mundur dan Xi Jinping turun dari jabatannya.

Michael Schuman, seorang peneliti senior di Global China Center dari think tank “Atlantic Council” di Washington, menyebutkan dalam majalan bulanan “The Atlantic” pada  Senin (28 November), bahwa ledakan ketidakpuasan warga sipil Tiongkok yang sangat jarang terjadi dalam beberapa tahun terakhir ini telah menjadi tantangan terbesar yang harus dihadapi oleh Xi Jinping dan kekuasaan Partai Komunis Tiongkok.

Peneliti senior yang memahami urusan Tiongkok ini lebih lanjut mengungkapkan bahwa, krisis tersebut adalah buatan PKT sendiri, karena kebijakan Nol Kasus ini telah digembar-gemborkan sebagai tanda pencapaian Xi Jinping dalam kekuasaan dan keunggulan sistem otoriter PKT. Ketika hampir seluruh dunia memilih untuk hidup berdampingan dengan virus, Partai Komunis Tiongkok tetap bersikeras untuk memenangkan pertempuran melawan virus.

“Bagi sebuah partai yang selalu menganggap dirinya paling benar, paling sempurna, pembatalan kebijakan tentu saja dapat ditafsirkan oleh masyarakat Tiongkok sebagai pengakuan kesalahan atau kegagalan. Ini adalah hal yang tidak dapat ditolelir”, tulis Michael Schuman. 

“Kebijakan Nol Kasus sekarang berkembang menjadi kontes antara negara otoriter dengan masyarakat yang kompleks”, tambahnya.

Banyak ahli kesehatan masyarakat percaya bahwa Otoritas Tiongkok telah melewatkan periode jendela untuk merumuskan jalan keluar bertahap dari kebijakan Nol Kasus yang ekstrem. Dalam 3 tahun terakhir, otoritas Tiongkok telah menginvestasikan sumber daya yang sangat besar untuk membangun fasilitas penampungan para suspek COVID-19 seperti rumah sakit darurat, dan memperluas kemampuan untuk pengujian asam nukleat, tetapi mereka tidak mencapai kemajuan dalam pengembangan vaksin yang lebih efektif.

“Kami pikir otoritas PKT akan gagal dalam mengendalikan virus (COVID-19) ini melalui strategi Nol Kasus mereka”, kata juru bicara Kementerian Luar Negeri AS yang tidak berwenang untuk disebutkan namanya kepada VOA pada hari Senin (28/11).

Juru bicara ini kemudian mengatakan, pendekatan yang efektif untuk wabah berarti menggunakan alat kesehatan masyarakat, seperti menaikkan tingkat vaksinasi rakyat dan membuat pengujian dan perawatan mudah diperoleh masyarakat.

Para pengunjuk rasa langsung menantang PKT dan Xi Jinping

Pengguna media sosial mengungkapkan bahwa pada hari Senin, polisi di kota besar seperti Beijing, Shanghai dan lainnya melakukan pemeriksaan ponsel terhadap para pejalan kaki, jika terdapat aplikasi seperti VPN, Telegram, Twitter, mereka langsung didata.

Hari Senin malam, sejumlah besar petugas keamanan dikerahkan untuk berjaga-jaga di sejumlah jalan dalam kota Beijing untuk mencegah unjuk rasa warga kembali terjadi.

Tanggapan pihak polisi mengenai pengerahan tersebut adalah bahwa keputusan baru diambil setelah terjadinya unjuk rasa di 17 provinsi pekan lalu yang menuntut diakhirinya kewajiban tes asam nukleat dan pencabutan penguncian.

Sejak Gerakan mahasiswa yang menuntut demokrasi di Lapangan Tiananmen pada tahun 1989, PKT telah menjadikan pencegahan protes politik nasional sebagai prioritas utama. Di masa lalu, protes itu biasanya terjadi karena memuncaknya keluhan atas masalah tertentu di daerah tersebut, seperti tunggakan gaji, sengketa tanah atau polusi, dan unjuk rasa juga terkonsentrasi di wilayah lokal.

“Wall Street Journal” melaporkan pada Senin (28/11) bahwa protes tersebut adalah tampilan yang jelas dari retakan dalam keharmonisan sosial Tiongkok, juga menunjuk bahwa biaya ekonomi dan sosial dari kebijakan Nol Kasus tersebut terus meningkat. Ditambah lagi dengan rezim yang semakin otoriter dan intoleransi terhadap perbedaan pendapat, telah membuat orang-orang dari berbagai latar belakang sosial kewalahan dalam menanggung beban yang ditimbulkan dalam menjalankan kebijakan tersebut.

Dengan mengutip ucapan Pei Minxin, editor triwulan akademik “China Leaders Watch”, disebutkan bahwa protes berskala besar ini adalah krisis politik terbesar yang dihadapi Xi Jinping. Ini adalah pertama kalinya dalam beberapa tahun terakhir, pengunjuk rasa dari berbagai kelompok sosial secara langsung menantang pemimpin tertinggi Tiongkok dan PKT.

Pada saat lockdown terjadi berulang telah melumpuhkan bisnis dan menambah jumlah pengangguran, beberapa orang yang sebelumnya berharap kebijakan Nol Kasus ini akan diubah usai Kongres Nasional ke-20 dan Xi Jinping yang telah memenangkan perpanjangan masa jabatan merasa kecewa.

Orang-orang ini berpendapat bahwa setelah pemimpin puncak merasa cukup aman secara politik, dia akan mengubah kebijakan untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi, biarpun kepemimpinan semakin menekankan pentingnya ideologi dan kontrol partai.

PKT terjebak dalam dilema, enggan melonggarkan kebijakan juga takut bertindak keras

Salah satu kemungkinan yang muncul, kata para ahli, adalah bahwa Beijing akan melonggarkan kontrol secara selektif sambil menindak keras terhadap pengunjuk rasa tertentu.

“Wall Street Journal” memberitakan : Para ahli yang mempelajari masalah Tiongkok mengatakan bahwa setidaknya dalam jangka pendek, protes tersebut tidak mungkin menyebabkan perubahan kepemimpinan Partai Komunis Tiongkok, tetapi cara penanganannya menjadi pelik. Jika pihak berwenang mencabut pembatasan pencegahan epidemi, risikonya adalah dapat menyebabkan munculnya gelombang epidemi berskala besar dan bahkan jumlah kematian yang tinggi yang dapat merusak kredibilitas pemerintah. Jika pihak berwenang memilih untuk menekan para pengunjuk rasa dan bersikeras pada kebijakan Nol Kasus yang tidak dikendurkan, maka masalahnya adalah semakin banyak orang yang akan memprotes kebijakan pengendalian epidemi.

Yuen Yuen Ang, seorang sarjana wanita peneliti urusan Tiongkok di University of Michigan mengatakan kepada Wall Street Journal bahwa jika otoritas Tiongkok bersedia kompromi lalu melonggarkan kebijakan Nol Kasus, mereka khawatir hal itu akan memicu protes warga sipil yang semakin besar, tetapi jika otoritas memilih menekan para pengunjuk rasa, itu akan menimbulkan rasa ketidakpuasan yang lebih besar dan protes yang lebih luas.

Salah satu bahayanya, kata Yuen Yuen Ang adalah jika kepemimpinan PKT memilih untuk mengambil tindakan represif, hal itu dapat membawa Tiongkok masuk ke dalam lingkaran setan seputar urusan pengendalian. Juga memicu lebih banyak kebencian dari rakyat, yang pada gilirannya akan mengarah pada memperbanyak metode pengendalian.

Pada awal November, Dewan Negara Tiongkok mengumumkan 20 butir strategi tentang mengoptimalkan dan menyesuaikan kebijakan pencegahan epidemi. Namun, dengan datangnya musim dingin, jumlah kasus infeksi baru yang dikonfirmasi otoritas langsung melonjak. Lantaran pejabat setempat takut mengambil tanggung jawab, jadi mereka melanjutkan tugas politik untuk memberantas virus, akhirnya lockdown ketat kembali diberlakukan.

Pada 24 November, kebakaran terjadi di sebuah komunitas di Urumqi, Xinjiang, menewaskan sepuluh orang (menurut laporan resmi). Masyarakat menduga bahwa korban sulit diselamatkan karena langkah-langkah pencegahan epidemi. Tragedi tersebut telah mendorong warga yang sudah terkurung selama lebih 100 hari semakin marah dan memberanikan diri untuk turun ke jalan melakukan protes terhadap pemerintah. 

Pada 28 November, Kota Ordos, Mongolia Dalam mengeluarkan berita yang menyebutkan bahwa mulai besok tes asam nukleat akan dihentikan karena ada serangan gelombang dingin. Berita tersebut dengan cepat di-retweet oleh sejumlah netizen Tiongkok. (sin)

Kampus-kampus di Tiongkok Pulangkan Mahasiswa, Polisi Berpatroli untuk Mencegah Terjadinya Aksi Protes

0

The Associated Press

Berbagai universitas di Tiongkok memulangkan mahasiswa mereka dan polisi menyebar di Beijing dan Shanghai untuk mencegah lebih banyak protes pada Selasa 29 November setelah ledakan kemarahan massa terkait pembatasan anti-virus yang ekstrem, meminta pemimpin Partai Komunis Tiongkok (PKT) Xi Jinping untuk mengundurkan diri, sebuah insiden perbedaan pendapat di publik yang terbesar dalam  dekade ini.

Pihak berwenang telah melonggarkan beberapa kontrol setelah demonstrasi yang berlangsung setidaknya di delapan kota daratan dan Hong Kong — tetapi mempertahankan bahwa mereka akan tetap berpegang pada strategi “nol-COVID” yang telah mengurung jutaan orang -orang di rumah mereka selama berbulan-bulan. Pasukan keamanan telah menahan sejumlah orang yang tidak diketahui jumlahnya dan meningkatkan pengawasan.

Dengan polisi bekeliaran, tidak ada kata protes pada Selasa 29 November di Beijing, Shanghai, atau kota-kota besar daratan lainnya yang sempat memperlihatkan kerumunan ,assa berkumpul selama akhir pekan. Aksi ini adalah protes paling luas sejak tentara menghancurkan gerakan pro-demokrasi Lapangan Tiananmen tahun 1989 yang dipimpin oleh mahasiswa.

Di Hong Kong, sejumlah orang, kebanyakan dari daratan, melakukan aksi protes di sebuah universitas.

Universitas Tsinghua Beijing, tempat para mahasiswa berkumpul selama akhir pekan, dan sekolah lain di ibu kota dan provinsi selatan Guangdong memulangkan mahasiswa merek. Pihak kampus mengatakan mereka dilindungi dari COVID-19, tetapi menyebarkan mereka ke kampung halaman yang jauh juga mengurangi kemungkinan lebih banyak aksi demonstrasi. Para pemimpin Tiongkok mewaspadai universitas, yang telah menjadi pusat aktivisme termasuk protes Tiananmen.

Pada  Minggu, mahasiswa Tsinghua diberitahukan bahwa mereka boleh pulang lebih awal untuk semester tersebut. Kampus yang merupakan almamater Xi itu mengatur bus untuk membawa mereka ke stasiun kereta api atau bandara.

Sembilan asrama mahasiswa di Tsinghua ditutup pada Senin setelah beberapa mahasiswa positif COVID-19, menurut salah seorang yang mencatat penutupan itu akan mempersulit kerumunan orang untuk berkumpul. Mahasiswa tersebut hanya memberikan nama belakangnya, Chen, karena takut akan pembalasan dari pihak berwenang.

Universitas Kehutanan Beijing juga mengatakan akan mengatur agar mahasiswa mereka pulang. Disebutkan pihak fakultas dan mahasiswa semuanya dites negatif untuk virus. Pihak kampus menyatakan kelas dan ujian akhir akan dilakukan secara online.

Pihak berwenang berharap untuk “meredakan situasi” dengan mengosongkan kampus, kata Dali Yang, pakar politik Tiongkok di University of Chicago. Bergantung pada seberapa keras posisi yang diambil PKT, aksi kelompok mungkin bergiliran memprotes.

Polisi tampaknya berusaha  menyembunyikan tindakan keras mereka, mungkin untuk menghindari menarik perhatian pada skala protes atau mendorong orang lain. Video dan postingan di media sosial Tiongkok tentang aksi protes telah dihapus oleh aparat sensor online PKT.

Tidak ada pengumuman tentang penahanan, meskipun wartawan melihat pengunjuk rasa dibawa pergi oleh polisi dan unggahan media sosial mengatakan orang-orang itu ditahan atau hilang.

Polisi memperingatkan beberapa pengunjuk rasa yang ditahan agar tidak lagi berdemonstrasi. 

Di Shanghai, polisi menghentikan pejalan kaki dan memeriksa ponsel mereka pada Senin malam, menurut seorang saksi, kemungkinan mencari aplikasi seperti Twitter yang dilarang di China atau gambar protes. Saksi, yang bersikeras tidak mau disebutkan namanya karena takut ditangkap, mengatakan bahwa dia sedang dalam perjalanan untuk melakukan protes tetapi tidak menemukan kerumunan orang-orang di sana ketika dia tiba.

Foto yang dilihat oleh The Associated Press dari foto-foto dari protes akhir pekan menunjukkan polisi mendorong orang-orang ke dalam mobil. Beberapa orang juga tersapu razia polisi setelah aksi demonstrasi berakhir.

Seorang yang tinggal di dekat lokasi protes di Shanghai ditahan pada Minggu dan ditahan hingga Selasa pagi, menurut dua temannya yang bersikeras tidak mau disebutkan namanya karena takut akan pembalasan dari pihak berwenang.

Di Beijing, polisi pada Senin 28 November mengunjungi seorang warga yang menghadiri protes pada malam sebelumnya, menurut seorang teman yang menolak disebutkan namanya karena takut akan pembalasan. Dia mengatakan polisi menanyai warga dan memperingatkan dia untuk tidak melakukan aksi protes.

Pada Selasa 29 November, pengunjuk rasa di Universitas Hong Kong meneriakkan penentangan pembatasan  dan mengangkat lembaran kertas dengan slogan-slogan kritis. Beberapa penonton ikut bernyanyi.

Para pengunjuk rasa memegang tanda bertuliskan, “Katakan tidak pada kepanikan COVID” dan “Tidak ada kediktatoran selain demokrasi.”

Salah satunya meneriakkan: “Kami bukan pasukan asing tapi teman sekelasmu.” Pihak berwenang Tiongkok sering mencoba mendiskreditkan kritikus domestik dengan mengatakan bahwa mereka bekerja untuk kekuatan asing.

Pakar kesehatan global mengkritik kebijakan “nol-COVID” PKT sebagai tindakan tidak berkelanjutan.

Kepala Dana Moneter Internasional mengatakan kepada The Associated Press dalam sebuah wawancara pada Selasa bahwa Beijing perlu membuat pendekatannya ” terarah” untuk mengurangi gangguan ekonomi,

Direktur Pelaksana IMF Kristalina Georgieva di Berlin berkata : “Kami melihat pentingnya beralih dari lockdown secara besar-besaran, Sehingga penargetan memungkinkan untuk menahan penyebaran COVID tanpa biaya ekonomi yang signifikan.”

Toleransi publik terhadap pembatasan yang memberatkan telah terkikis, karena beberapa orang yang dikurung di rumah mengatakan mereka berjuang untuk mendapatkan akses kepada makanan dan obat-obatan.

PKT pada bulan lalu berjanji untuk mengurangi gangguan, tetapi lonjakan infeksi telah mendorong kota-kota untuk memperketat pengendalian.

Aksi protes meledak selama akhir lalu  pekan lalu yang dipicu oleh kemarahan atas kematian sedikitnya 10 orang dalam kebakaran di ujung barat Tiongkok, yang memicu pertanyaan marah secara online tentang apakah petugas pemadam kebakaran atau korban yang mencoba melarikan diri diblokir oleh kontrol anti-virus.

Sebagian besar pengunjuk rasa pada akhir pekan mengeluh tentang pembatasan berlebihan, tetapi beberapa mengarahkan kemarahan mereka pada Xi, pemimpin paling kuat PKT setidaknya sejak tahun 1980-an.

Dalam sebuah video yang diverifikasi oleh The Associated Press, kerumunan orang-orang di Shanghai pada hari Sabtu meneriakkan, “Xi Jinping! Turun! PKT! Mudnur!” Kritikan langsung terhadap Xi seperti itu belum pernah terjadi sebelumnya.

Aksi protes simpati turut digelar di luar negeri, dan pemerintah asing telah meminta Beijing untuk menahan diri.

“Kami mendukung hak orang-orang di mana pun untuk melakukan protes secara damai,  menyampaikan pandangan mereka, keprihatinan mereka, rasa frustasi mereka,” kata Menteri Luar Negeri AS Antony Blinken saat berkunjung ke Bucharest, Rumania.

Sementara itu, pemerintah Inggris memanggil duta besar Tiongkok sebagai protes atas penangkapan dan pemukulan juru kamera BBC di Shanghai.

 Menteri Luar Negeri Inggris James Cleverly mengatakan kebebasan media “adalah sesuatu yang sangat, sangat inti dari sistem kepercayaan Inggris.” 

Juru bicara Kementerian Luar Negeri Tiongkok Zhao Lijian membantah versi peristiwa Inggris. Zhao mengatakan wartawan, Edward Lawrence, gagal mengidentifikasi dirinya dan menuduh BBC memutarbalikkan cerita.

Ditanya tentang kritik terhadap penindasan, Zhao membela strategi anti-virus Beijing.

Wang Dan, mantan pemimpin mahasiswa demonstrasi tahun 1989 yang tinggal di pengasingan, mengatakan aksi protes tersebut “melambangkan awal dari era baru di Tiongkok … di mana masyarakat sipil telah memutuskan untuk tidak diam dan menghadapi tirani.”

Namun dia memperingatkan pada konferensi pers di Taipei, Taiwan, bahwa pihak berwenang kemungkinan besar akan menanggapi dengan “kekuatan yang lebih kuat untuk menekan pengunjuk rasa dengan kekerasan. (asr)

Mantan Pemimpin Partai Komunis Tiongkok Jiang Zemin, Penanggung Jawab Penganiayaan Terhadap Falun Gong, Meninggal Dunia di Usia 96 Tahun

0

Frank Fang

Mantan pemimpin partai komunis Tiongkok (PKT) Jiang Zemin, sosok inisiator yang meluncurkan salah satu penganiayaan paling brutal terhadap kelompok keyakinan di zaman modern telah meninggal dunia pada usia 96 tahun, menurut laporan media milik pemerintahan  Tiongkok, Rabu (30/11/2022).

Jiang merupakan pemimpin tertinggi rezim komunis dari 1993 hingga 2003, meninggal dunia karena leukemia dan kegagalan banyak organ. Dia meninggal dunia pada pukul 12:13 siang waktu setempat di Shanghai, di mana dia pernah menjadi walikota.

Legacynya adalah salah satu pelanggar hak asasi manusia terburuk dalam sejarah, bertanggung jawab atas kematian yang tak terhitung jumlahnya atas peran utamanya  meluncurkan penganiayaan terhadap Falun Gong sejak 1999.

Seorang polisi mendekati seorang praktisi Falun Gong di Lapangan Tiananmen di Beijing saat ia memegang spanduk dengan karakter mandarin “Sejati, Baik, dan Sabar,” prinsip inti dari Falun Gong. (Sumber dari Minghui.org)

Rekam Jejak

Jiang lahir pada 17 Agustus 1926, di Yangzhou di provinsi pesisir timur Zhejiang, sebuah wilayah di barat laut pusat keuangan Shanghai.

Menurut Jiang, dia diadopsi pada usia 13 tahun oleh pamannya, seorang pahlawan komunis yang terbunuh saat melawan tentara Jepang selama Perang Dunia II. Sementara sejarawan tetap skeptis terhadap klaim Jiang, secara nyata dia berusaha menjauhkan diri dari ayahnya, Jiang Shijun. Jiang tua pernah menjadi menteri dalam pemerintahan boneka di bawah pendudukan Jepang pada 1940-an, posisi yang dianggap sebagai pengkhianat.

Menurut biografinya di People’s Daily,  sebuah media corong PKT, Jiang bergabung dengan Partai pada 1946 saat dia belajar di Universitas Jiaotong Shanghai.

Pada 1956, Jiang tinggal di Rusia, bekerja sebagai trainee di Stalin Automobile Works, menurut People’s Daily.  Namun, ada spekulasi bahwa Jiang bergabung dengan Biro Timur Jauh KGB saat menerima pelatihan di Moskow.

Ia menjadi walikota Shanghai dan wakil sekretaris Komite Partai Komunis Shanghai pada 1985, dan bergabung dengan Biro Politik Komite Pusat pada 1987.

Jiang naik ke tampuk kekuasaan pada 1989, tak lama setelah pemimpin tertinggi saat itu Deng Xiaoping mengirim tank dan pasukan untuk menghancurkan pengunjuk rasa mahasiswa pro-demokrasi yang berkumpul di Lapangan Tiananmen di Beijing.

Hanya beberapa minggu setelah pembunuhan massal, Jiang dipromosikan menjadi sekretaris jenderal Partai, pemimpin rezim, menggantikan Zhao Ziyang, yang bersimpati kepada para demonstran mahasiswa.

Banyak yang percaya bahwa Jiang secara tiba-tiba dipromosikan karena dia akan pensiun sebagai ketua partai Shanghai pada waktu itu, paling diuntungkan dari tindakan keras militer di pusat politik negara yang menewaskan sekitar ribuan pengunjuk rasa yang tak bersenjata.

Pada 1990, Jiang mengambil alih militer rezim setelah Deng mengumumkan pengunduran dirinya. Tiga tahun kemudian, Jiang menambahkan gelar sebagai kepala negara.

Selama masa jabatannya, Jiang sering menggembar-gemborkan prestasinya, termasuk membawa kembali Hong Kong dari kekuasaan Inggris pada 1997, dan mendaftarkan negara tersebut ke dalam Organisasi Perdagangan Dunia (WTO)  pada 2001.

Namun, apa yang Jiang tak pernah sebutkan adalah banyaknya pembangkang Tiongkok yang dipenjara. Penindasan mencapai puncaknya pada 1999, ketika Jiang melancarkan penganiayaan terhadap latihan spiritual Falun Gong.

Polisi menahan seorang pengunjuk rasa Falun Gong di Lapangan Tiananmen saat kerumunan orang menonton di Beijing pada 1 Oktober 2000 . (Foto AP/Chien-min Chung)

Kampanye politik brutal juga membuat Jiang menjadi pemimpin Tiongkok pertama yang menghadapi tuntutan hukum saat berkuasa. Pada 2009, Jiang dan empat pejabat tinggi PKT didakwa melakukan kejahatan genosida dan penyiksaan terhadap Falun Gong di pengadilan nasional Spanyol.

Pada 2003, tiga kelompok pendukung Tibet bersama-sama mengajukan gugatan pidana di Pengadilan Tinggi Spanyol, menuduh Jiang dan Li Peng, yang mana masing-masing telah pensiun sebagai presiden dan ketua parlemen Tiongkok, melakukan genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan di Tibet.

Penganiayaan Brutal

Falun Gong, juga dikenal sebagai Falun Dafa, terdiri dari ajaran moral berdasarkan prinsip universal Sejati, Baik, dan Sabar, termasuk dengan latihan meditasi. Sejak diperkenalkan di Tiongkok pada 1992,  latihan Falun Gong menjadi populer sehingga memiliki sekitar 70-100 juta pengikut di negara tersebut pada akhir dekade ini.

Pada 10 Juni 1999, sebagai langkah antisipasi kampanye anti-Falun Gong, Jiang memberikan perintah langsung  mendirikan organisasi Partai di luar hukum untuk mengkoordinasikan dan mengarahkan tindakan represif  melalui kantor-kantor cabang secara nasional. Dikenal sebagai Kantor 610 yang berarti tanggal berdirinya pada 10 Juni, struktur dan fungsinya sebanding dengan Gestapo yang terkenal di Nazi Jerman.

Li Xiaohua dan ibunya Ju Reihjong menghadiri nyala lilin untuk memperingati para korban penganiayaan Falun Gong selama 23 tahun di Tiongkok, diadakan di Monumen Washington pada 21 Juli 2022. Ju memegang foto suaminya dan ayah Li , Li Delong, yang meninggal dalam penganiayaan. (Samira Bouaou/The Epoch Times)

Jiang mendeklarasikan akan memusnahkan Falun Gong dalam waktu tiga bulan dengan menargetkan merusak reputasi mereka, merampas kekayaan mereka, dan menghancurkan mereka secara fisik. Praktisi Falun Gong yang dibunuh akibat penganiayaan harus dinyatakan sebagai korban bunuh diri dan segera dikremasi, tanpa identitas. Rezim komunis Tiongkok mengerahkan semua sumber daya yang tersedia—termasuk pengadilan, departemen propaganda, institusi budaya dan politik, dan sekolah—sebagai upayanya untuk memberangus praktisi Falun Gong.

Media yang dikelola negara — televisi, radio, surat kabar, dan internet — di semua tingkatan melayani Partai Komunis Tiongkok untuk memproduksi berita palsu yang memfitnah ajaran Falun Gong, mencemarkan nama baik pendirinya, dan merendahkan pengikutnya. Kampanye ujaran kebencian menghasilkan banyak tipuan, seperti “1.400 kematian” yang diduga disebabkan oleh latihan Falun Gong, rekayasa bakar diri di Tiananmen, dan mengklaim bahwa Falun Gong adalah ancaman bagi Partai yang diatur oleh “pasukan anti-Tiongkok” di luar negeri.

PKT juga menyebarkan propagandanya ke luar negeri untuk memfitnah Falun Gong dan mempolitisasi masalah tersebut. Banyak outlet media internasional mengulangi penghinaan dan narasi yang dibuat oleh PKT untuk memfitnah Falun Gong, secara efektif mendorong penganiayaan ke panggung global dengan mengarahkan audiens agar salah paham atau memusuhi latihan Falun Gong.

Malam nyala lilin yang diselenggarakan praktisi Falun Gong mengenang 17 tahun berlangsung penindasan di Denpasar, Bali 24 Juli 2016 (Foto : Wayan Diantha/Istimewa)

Rezim Tiongkok di bawah kepemimpinan Jiang menggunakan kekerasan ekstrem dengan bebas, propaganda secara terus-menerus, dan taktik cuci otak sebagai upayanya untuk memaksa praktisi Falun Gong memilih antara keyakinan atau hidup mereka. 

Selama penganiayaan, jutaan orang telah dipenjara atau ditahan di kamp kerja paksa, pusat penahanan, rumah sakit jiwa, fasilitas rehabilitasi narkoba, atau “penjara hitam” ilegal karena menolak untuk melepaskan keyakinan mereka.

Kelompok hak asasi manusia telah mendokumentasikan lebih dari 100 metode penyiksaan yang digunakan oleh otoritas  komunis Tiongkok untuk menganiaya Falun Gong, serta penggunaan zat beracun yang merusak saraf. Banyak praktisi meninggal dunia, menjadi cacat, atau menjadi gila akibat penganiayaan ini.

Jumlah kematian akibat penganiayaan sulit diperkirakan, dikarenakan sulitnya pengiriman informasi keluar dari daratan Tiongkok.  Minghui.org, situs web  yang didirikan oleh praktisi Falun Gong untuk mendokumentasikan penganiayaan, telah mengonfirmasi dan memverifikasi kematian 4.828 orang di tangan pihak berwenang karena menolak melepaskan keyakinan mereka pada Falun Gong.

Namun demikian, banyak kematian yang tidak dilaporkan, atau dikarenakan korban dibunuh dalam kondisi sangat rahasia—seperti  pengambilan organ mereka secara brutal.

Selain penyiksaan fisik dan psikologis, Partai Komunis di bawah Zemin juga memberlakukan langkah-langkah untuk menutup Falun Gong dari kehidupan publik. Para pengikut dipecat dari pekerjaan mereka, dikeluarkan dari sekolah atau perguruan tinggi, atau dicabut pensiun dan tunjangan kesejahteraan lainnya. Kerabat praktisi juga mengalami penderitaan besar dengan tindakan represif yang telah menghancurkan banyak keluarga.

Pengambilan Organ Secara Paksa

Pada Maret 2006, seorang wanita dari timur laut Tiongkok yang tinggal di Amerika Serikat menjadi saksi pertama yang berbicara tentang pengambilan organ, ketika dia bersaksi bahwa mantan suaminya telah mencabut kornea ribuan praktisi Falun Gong sejak awal 2000-an.

Sejak itu,  the World Organization to Investigate the Persecution of Falun Gong (WOIPFG) dan organisasi independen lainnya telah melakukan penyelidikan ekstensif dan memverifikasi tuduhan pengambilan organ. Seorang penyelidik menyebutnya sebagai kejahatan “yang belum pernah terjadi sebelumnya di planet ini”.

Praktisi Falun Gong memeragakan adegan pengambilan organ di Tiongkok. (Xiaoyan Sun / The Epoch Times)

Pada 12 Desember 2013, Parlemen Eropa mengeluarkan resolusi mendesak yang menuntut pihak berwenang Tiongkok agar segera mengakhiri praktik pengambilan organ secara paksa dan membebaskan semua tahanan hati nurani, termasuk praktisi Falun Gong.

Pada 19 Mei 2016, WOIPFG menerbitkan laporan secara komprehensif yang menyediakan rekaman telepon investigasi serta bentuk bukti lain untuk menunjukkan bahwa pengambilan organ dilakukan dengan dukungan negara dan telah diperintahkan secara pribadi oleh Jiang.

Pada 13 Juni 2016, DPR AS mengeluarkan Resolusi DPR 343 untuk mengutuk praktik pengambilan organ secara paksa di Tiongkok.

Pada 22 Juni 2016, penyelidik David Kilgour, David Matas, dan Ethan Gutmann bersama-sama menerbitkan laporan setebal 700 halaman tentang pengambilan organ secara paksa di Tiongkok. Mereka memperkirakan bahwa rumah sakit Tiongkok melakukan 60.000 hingga 100.000 operasi transplantasi setiap tahun dan sumber utama pendonor adalah praktisi Falun Gong.

perampasan organ manusia
Mantan Sekretaris Negara Kanada untuk Asia Pasifik David Kilgour menyajikan sebuah laporan revisi tentang pembunuhan berkelanjutan terhadap praktisi Falun Gong di Tiongkok atas organ mereka, seperti yang dilaporkan oleh penulis laporan terdokumentasi oleh David Matas di latar belakang, pada 31 Januari 2007. (The Epoch Times)

Pada 17 Juni 2020, pengadilan rakyat independen yang terdiri dari panel pengacara dan ahli memutuskan, “Pengambilan organ secara paksa telah dilakukan selama bertahun-tahun di seluruh Tiongkok dalam skala signifikan dan  praktisi Falun Gong telah menjadi satu–satunya dan mungkin sumber utama suplai organ.”

Pengaruh Politik  Berkelanjutan

Pada 2002, Jiang mengalihkan jabatan sekretaris partai ke Hu Jintao, dan kepala negara setahun kemudian. Namun dia mempertahankan posisinya sebagai ketua Komisi Militer Pusat Partai, mengawasi militer rezim hingga 2004.

Bahkan setelah dia melepaskan semua gelarnya, Jiang terus menggunakan pengaruh politik dari balik layar melalui para loyalisnya.

Banyak sekutu Jiang dikenal sebagai “Geng Shanghai”, masih berada di militer, peradilan, aparat keamanan dan pemerintah daerah ketika Xi Jinping, pemimpin rezim saat ini mulai menjabat pada  2012.

Di antara mereka adalah Zhou Yongkang, mantan anggota Komite Tetap Politik PKT dan mantan kepala aparat keamanan internal rezim.

Untuk mendukung pelindungnya Jiang, Zhou dengan setia menerapkan penganiayaan secara brutal terhadap Falun Gong. Zhou merupakan pemimpin Partai di Provinsi Sichuan,  barat daya Tiongkok, memberikan penghargaan kepada mereka yang berada di penjara dan kamp kerja paksa dengan imbalan uang karena secara aktif menyiksa penganut kelompok spiritual tersebut, menurut Minghui.org, Zhou juga kemungkinan memiliki peran utama dalam memfasilitasi pengambilan organ secara paksa.

Pada 2015, Zhou dijatuhi hukuman penjara seumur hidup karena menerima suap, penyalahgunaan kekuasaan, membocorkan rahasia negara,dan tuduhan lainnya. Hukuman Zhou digambarkan oleh media yang didukung negara Tiongkok sebagai kemenangan dalam kampanye antikorupsi Xi.

Pengaruh politik Jiang baru-baru ini memudar setelah banyak tokoh senior di faksi Jiang, seperti mantan ketua Partai Chongqing Bo Xilai dan mantan wakil menteri keamanan Sun Lijun, telah ditahan dan dihukum selama kampanye antikorupsi Xi.

Selama bertahun-tahun Xi memperketat cengkeramannya atas Partai, membersihkan tokoh-tokoh dari kubu Jiang. Xi dengan tegas memperkuat kendalinya pada Kongres Partai ke-20 Oktober, ketika dia mengamankan masa jabatan ketiganya dan menempatkan empat sekutunya ke dalam Komite Tetap Politbiro yang beranggotakan tujuh orang.

Kehancuran Ekonomi

Penganiayaan terhadap praktisi Falun Gong yang berlangsung selama dua dekade terakhir telah menghabiskan dalam jumlah besar sumber daya keuangan, manusia, dan masyarakat, sementara merugikan negara dan rakyat Tiongkok dengan kekayaan yang tak terhitung jumlahnya.

Menurut penyelidikan WOIPFG,  Tiongkok menghabiskan rata-rata hampir seperempat dari pendapatan tahunannya untuk menindas Falun Gong selama tahun-tahun puncak penganiayaan. 

Sumber lain menunjukkan bahwa PKT memobilisasi sumber daya yang setara dengan tiga perempat dari PDB Tiongkok untuk mempertahankan penganiayaan terhadap Falun Gong. Seorang pejabat dari Kementerian Keuangan Tiongkok mengakui bahwa “kebijakan untuk menindas Falun Gong ditopang oleh dana yang sangat besar. Tanpa uang ini, tidak mungkin untuk mempertahankan penumpasan.”

Kelompok Jiang mengerahkan jutaan personel untuk melakukan penganiayaan. Gaji, upah bonus, upah lembur, dan tunjangan lainnya diberikan kepada kelompok ini melebihi 100 miliar yuan dalam pengeluaran tahunan.

Contoh biaya lain yang terkait dengan penindasan terhadap Falun Gong termasuk penggunaan imbalan uang untuk mendorong warga biasa  melaporkan praktisi kepada pihak berwenang, menyewa agen luar negeri dan preman untuk menguntit dan melecehkan komunitas Falun Gong di luar negeri, pembelian media berbahasa mandarin di luar negeri untuk mencemarkan nama baik Falun Gong, dan bantuan luar negeri ditawarkan kepada negara-negara berkembang dengan imbalan mendukung catatan hak asasi manusia Tiongkok di PBB dan forum internasional lainnya. (asr)

Update Pasca Gempa Cianjur : 327 Orang Meninggal Dunia dan 108.720 Pengungsi

0

ETIndonesia- Tim gabungan pencarian dan penyelamatan gempa bumi Cianjur berhasil menemukan 4 jenazah di lokasi pencarian pada Selasa (29/11/2022). Penemuan tersebut menambah jumlah korban meninggal dunia menjadi 327 orang. Laporan ini dirilis oleh Abdul Muhari, Plt. Kepala Pusat Data, Informasi dan Komunikasi Kebencanaan BNPB.  

Sementara itu, korban hilang pasca gempa bumi M5,6 di Kabupaten Cianjur bertambah menjadi 13 orang. Hal tersebut dikarenakan adanya laporan baru orang hilang dari kepala desa sebanyak 8 orang. 

“Tim gabungan berhasil menemukan 4 jenazah sehingga korban hilang tersisa 5 orang. Namun berdasarkan laporan yang kami terima, ada laporan korban hilang tambahan pada Selasa (29/11) pagi yang kami terima dari Desa Cijedil sebanyak 6 orang dan dari Desa Mangunkarta sebanyak 2 orang. Sehingga total korban hilang menjadi 13 jiwa,” jelas Komandan Kodim 0608 Kabupaten Cianjur,  Letkol Arm Hariyanto saat memberikan keterangan pers di Pendopo Kabupaten Cianjur, Selasa (29/11). 

Selanjutnya untuk korban luka berat yang masih dirawat di RS wilayah Cianjur tersisa 68 orang, artinya 40 pasien luka berat yang sebelumnya masih dirawat saat ini sudah pulang dan melakukan rawat jalan. 

BNPB bersama KemenPPPA dan UNFPA terus melanjutkan validasi jumlah titik pengungsian per hari ini pukul 15.00 WIB menjadi 39.985. Total pengungsi berjumlah 108.720 dengan rincian pengungsi laki-laki 52,987 dan pengungsi perempuan 55,733 jiwa. 

Hari ini, distribusi logistik ke desa yang sulit diakses tetap dilakukan dengan menggunakan kendaraan roda 2. Adapun logistik yang diberikan adalah air mineral 100 dus, beras 2600 kg, mie Instan 172 dus, obat-obatan 18 dus, selimut 495 pcs, perlengkapan ibadah 30 pcs, makanan dalam kemasan 52 pcs, terpal 229 lembar, paket sembako 400 pake, dan matras 450 lembar. 

Selain dari BNPB, BPBD, dan Pemerintah Daerah Kabupaten Cianjur, bantuan juga terus berdatangan dari donatur, lembaga non pemerintah, relawan, hingga kementerian/lembaga. 

Komandan Kodim 0608 Kabupaten Cianjur Letnan Kolonel Haryanto kembali mengingatkan kepada masyarakat untuk kembali ke rumah masing-masing apabila rumahnya tidak mengalami kerusakan struktur. 

“Kondisi kegempaan sudah mulai melemah di mana masyarakat kami imbau untuk kembali ke rumah yang rumah masing-masing yang tidak rusak,” ujar Haryanto. 

Pemerintah Kabupaten Cianjur juga telah membentuk Satgas Penanganan Gempa Bumi Cianjur yang dipimpin oleh Bupati Cianjur dan di bawahnya memiliki beberapa bagian. 

“Kami optimis dengan terbentuknya Satgas ini bisa melaksanakan tugas penanganan gempa bumi Cianjur dengan sebaik-baiknya,” pungkasnya. (BNPB/asr) 

Akankah “Revolusi Kertas Putih” Menjadi Petaka Bagi Partai Komunis Tiongkok?

0

oleh Huang Yimei

Dari Urumqi sampai ke Shanghai, Beijing, Nanjing, dan Guangzhou, lalu ke Inggris, Prancis, Amerika Serikat, Kanada, Australia, dan Jepang, gerakan warga sipil Tiongkok baik di dalam dan luar negeri untuk melawan tirani PKT ini, juga menarik perhatian besar dari media dan analis dunia. Apakah gerakan ini benar-benar mencerminkan kebangkitan rakyat jelata di Tiongkok ? Apakah “revolusi kertas putih” ini akan menjadi petaka bagi PKT seperti peristiwa di Lapangan Tiananmen pada 4 Juni tahun 1989 ? Mari kita simak analisis para ahli.

“Revolusi kertas putih” pecah di berbagai tempat Tiongkok. Hanya dalam waktu 3 hari, lebih dari 50 akademi dan universitas menggelar protes sebagai respon. Protes pada awalnya terutama untuk menyatakan rasa duka kepada para korban tewas dalam insiden kebakaran gedung apartemen di Kota Urumqi, Xinjiang akibat kegagalan upaya penyelamatan darurat yang disebabkan oleh penguncian epidemi. Dari acara belasungkawa hingga protes anti-blokade, langsung menjadi perhatian masyarakat dalam negeri Tiongkok dan dunia.

Para pengunjuk rasa dari seluruh negeri melakukan hal yang sama yakni mengangkat kertas putih mengungkapkan ketidakpuasan mereka yang kuat terhadap kebijakan pencegahan epidemi yang ekstrem serta tirani rezim PKT. Mereka menyerukan : “Partai Komunis Tiongkok mundur”.

Heng He, komentator senior yang tinggal di Amerika Serikat mengatakan : “Kita dapat melihat bahwa sebulan yang lalu ketika Peng Zaizhou seorang diri mulai memprotes, slogannya sudah mampu mengakar kuat di hati rakyat. Penyebab utama dari unjuk rasa berskala besar ini adalah kebakaran di Urumqi yang jelas-jelas adalah bencana buatan manusia, akibat dari pemblokiran sehingga korban tidak dapat melarikan diri. Jadi warga di wilayah lain yang mengalami penguncian tentu dapat merasakan hal yang sama, ancaman yang sama sehingga terjalinlah suatu tali solidaritas yang kuat”.

Kebijakan Nol Kasus yang diterapkan secara ekstrem membuat tragedi terus terjadi di berbagai tempat. Dunia luar pernah memperkirakan bahwa kebijakan ekstrem akan dicabut usai Kongres Nasional ke-20. Tetapi tanpa diduga, perkiraan tersebut meleset jauh, sehingga ketidaksabaran rakyat mencapai puncaknya.

Sheng Xue, seorang penulis Kanada etnis Tionghoa mengatakan : “Insiden kebakaran di Xinjiang telah membuat semua orang melihat bahwa kebijakan PKT itu dapat membunuh orang secara langsung, dan rakyat jelata sama sekali tidak memiliki kesempatan untuk melarikan diri. Jadi, sekarang kebijakan itu telah membuat banyak orang menyadari bahwa jika warga masih tidak mau melawan sistem dan kebijakan PKT saat ini, maka hanya jalan kematian yang ada di depan”.

Tang Jingyuan, komentator politik di AS percaya bahwa penyulut kobaran api besar untuk melawan kebijakan pemerintah Tiongkok adalah insiden perlawanan karyawan pabrik Foxconn di Zhengzhou sampai insiden kebakaran di Urumqi.

Ia juga mengatakan, “Meletusnya akumulasi kemarahan publik yang disebabkan oleh kebijakan pencegahan epidemi ekstrem yang sudah berjalan selama 3 tahun adalah karena tersambar oleh api dari insiden kebakaran di Urumqi”.

Ini adalah kedua kalinya protes berskala besar terjadi di Tiongkok sejak Gerakan Mahasiswa Tiananmen 4 Juni tahun 1989.

Tang Jingyuan mengatakan : “Menurut saya bahwa Gerakan 4 Juni sesungguhnya dimulai sebagai ekspresi tuntutan politik, dan memiliki sifat organisasi yang sangat jelas, dan tujuannya juga sangat jelas, yaitu meminta PKT untuk mengubah sistem politik. Dari kejadian kali ini, kita dapat melihat bahwa yang dituntut oleh sebagian besar warga sipil hanyalah pembebasan blokir, jadi pada dasarnya mereka ini hanya meminta hak mereka, yang targetnya adalah sebuah kebijakan dari PKT”.

“New York Times” melaporkan pada 27 November, meskipun pejabat PKT menyangkal bahwa blokade epidemi menyebabkan tragedi kebakaran, tetapi warga sipil tetap turun ke jalan untuk berunjuk rasa. Jika ketidakpuasan publik terhadap kebijakan Nol Kasus ini akhirnya berubah menjadi demonstrasi yang berskala lebih besar, itu akan menjadi mimpi buruk bagi PKT,  karena insiden Lapangan Tiananmen pada tahun 1989 bisa kembali terjadi.

Sheng Xue : “Alasan langsung mengapa warga sipil berani tampil untuk melawan pemerintah  adalah karena mereka menyadari bahwa semua penderitaan yang dialami rakyat Tiongkok ini sebenarnya berakar pada sistem tirani PKT”.

Komentar menunjukkan bahwa kebijakan pencegahan epidemi yang ekstrem selain mempengaruhi masyarakat tingkat bawah, tetapi bahkan telah menyentuh kelas atas dan kelas menengah. Gerakan menentang penguncian kota memiliki basis nasional yang luas, yang telah mengkatalisasi gelombang gerakan untuk melawan pemerintah yang tidak mau menerima aspirasi rakyat.

Heng He menuturkan, “Karena ekonomi Tiongkok di masa lalu telah mengalami perkembangan yang pesat, banyak konflik sosial menjadi terpendam oleh ekonomi yang sedang tumbuh, sehingga nyaris tidak tampak ada konflik yang menonjol. Namun dalam beberapa tahun terakhir, akibat dari epidemi dan politik rezim yang lebih mengedepankan BUMN ketimbang BUMS, serta permasalahan lainnya, ekonomi selain tidak tumbuh bahkan menurun secara signifikan. Dengan demikian, konflik sosial yang telah lama terakumulasi dan terpendam itu mulai muncul satu per satu. Proter masyarakat di berbagai tempat juga muncul silih berganti”.

Media asing menunjukkan bahwa di Tiongkok, unjuk rasa massa sangat jarang terjadi, tetapi kali ini, unjuk rasa telah terjadi di seluruh negeri, bahkan massa di Shanghai secara terbuka meneriakkan slogan : Partai Komunis Tiongkok turun dan Xi Jinping mundur, yang bisa dikatakan sangat mengejutkan. (sin)

Sebanyak 3.175 Tenaga Kesehatan Tersebar di 194 Titik Pengungsian Terdampak Gempa Cianjur

0

ETIndonesia- Sebanyak 3.175 orang tenaga kesehatan telah disebar pada 194 titik pengungsian di delapan kecamatan pascagempa M5,6 Cianjur, Jawa Barat. Adapun delapan kecamatan tersebut meliputi Kecamatan Pacet, Cugenang, Gekbrong, Warungkondang, Mande, Cilaku, Cibeber, dan Cianjur. 

Plt. Kepala Pusat Data, Informasi dan Komunikasi Kebencanaan BNPB, Abdul Muhari, mengatakan bahwa Tenaga kesehatan yang terdiri dari dokter umum, perawat, ahli gizi, bidan, apoteker, tenaga surveilans, kesehatan lingkungan, terapis, psikolog dan beragam dokter spesialis mendukung pelayanan kesehatan warga terdampak.

Aktivitas pelayanan kesehatan yang dinaungi oleh Kementerian Kesehatan ini telah melakukan pengamatan dan pendataan untuk mencegah penyakit atau wabah serta penyerahan logistik kesehatan ke dinas terkait. 

Di samping itu, Dinas Kesehatan Kabupaten Cianjur telah melakukan _Rapid Health Assessment_ (RHA), melakukan mobilisasi untuk memberikan pelayanan kesehatan di beberapa titik pengungsi, serta melakukan pendataan ketersediaan obat, kelompok rentan dan tren penyakit di titik pengungsian.

Untuk mengantar korban yang membutuhkan operasi atau penanganan di fasilitasi kesehatan, telah tersedia 16 ambulans yang secara bergantian mengantar dan menjemput warga terdampak.

Berdasarkan data yang dihimpun oleh Klaster Kesehatan Penanganan Gempabumi Kabupaten Cianjur per Minggu (27/11), tercatat 5 kasus terbanyak yang ditemukan di pos kesehatan dan puskesmas adalah Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA), gastritis, hipertensi, diare dan diabetes.

Sebanyak 155 tempat tidur (TT) turut disiapkan Kabupaten Cianjur untuk menerima pasien pascaoperasi yang tersebar di RSUD Cimacan (50 TT), RSUD Pagelaran Cianjur Selatan (20 TT), RSU dr. Hafiz (20 TT), RS Bhayangkara (11 TT), BBKP Ciloto Kampus Cimacan (50 TT) dan Rumah Singgah GKI (5 TT).

Petugas kesehatan yang tergabung dalam tim sanitarian turut melaksanakan pengambilan dan pemeriksanaan kualitas air di 20 titik pengungsian. Selain itu, pemantauan jentik dan pengasapan (_fogging_) turut dilakukan di Desa Cijedil, Kecamatan Cugenang. 

Sementara itu, guna mendukung pelayanan gizi di lokasi pengungsian, telah dibuka dapur Pemberian Makanan Bayi dan Anak (PMBA) di 2 lokasi, yaitu Kecamatan Cugenang dan Warungkondang.

Pelayanan kesehatan secara intensif juga diberikan kepada kelompok ibu hamil dan Orang Dalam Gangguan Jiwa (ODGJ). Imbauan dan edukasi terkait promosi Kesehatan PHBS (Pola Hidup Bersih dan Sehat) juga terus dilakukan oleh relawan kesehatan di tiap titik pengungsian. (BNPB/asr)

Manusia “Tank Shanghai” Viral di Internet Tiongkok, Memegang Kertas Putih Melawan Polisi

0

Luo Tingting

 Beberapa hari  lalu, warga Shanghai berduka atas korban kebakaran Urumqi dan berkumpul di jalan sambil meneriakkan “Partai Komunis mundur” dalam video tersebut yang menggemparkan  opini publik internasional. Malam itu, foto pengunjuk rasa yang berhadapan dengan polisi diedarkan di Internet.  Mereka dipuji sebagai “Manusia Tank Shanghai”.

Pada malam itu, mahasiswa dari Beijing, Shanghai, Nanjing, Sichuan dan tempat-tempat lainnya secara bersama-sama berduka atas para korban kebakaran di Urumqi, memprotes tirani PKT dan pemaksaan pengontrolan COVID-19. Mereka menuntut agar blokade dicabut.

Mahasiswa dan warga Shanghai berkumpul di Jalan Tengah Urumqi Kerumunan berteriak: “Tidak perlu tes asam nukleat, ingin kebebasan!” “Partai Komunis mundur!” “Xi Jinping mundur!” .

Sejumlah besar petugas polisi ditempatkan di tempat kejadian. Beberapa foto yang diposting di internet menunjukkan seorang pria dan seorang wanita memegang kertas kosong, berdiri tanpa rasa takut di depan barisan petugas polisi, memprotes secara diam-diam dan damai.

Pada malam 26 November 2022, foto dua orang yang berperang melawan polisi di Shanghai menjadi viral, dan mereka dipuji sebagai “orang-orang tank Shanghai”. (Gambar Twitter)

Dilaporkan bahwa dua pengunjuk rasa adalah dua profesor dari Fudan School of Journalism di Shanghai, yang menghadapi polisi untuk melindungi para mahasiswa dari penangkapan. Tetapi beberapa netizen mengatakan bahwa mereka juga adalah mahasiswa yang ikut memprotes.

Kedua pengunjuk rasa ini dipuji oleh netizen sebagai “orang-orang tank Shanghai”: “Shanghai, foto yang bisa dicatat dalam sejarah.” “Mereka tidak takut karena mereka berpihak pada keadilan, Kebebasan, cinta, dan keberanian adalah tak terpisahkan. Seharus mereka dikelilingi oleh orang-orang.”

Beberapa netizen membandingkan foto-foto protes mahasiswa 4 Juni, aksi protes pemuda Hong Kong, dan protes warga Shanghai, dan meneriaki netizen: “Katakan padaku, yang mana yang terakhir?”

Netizens menjawab: “Memusnahkan Partai Komunis adalah yang terakhir!. Singkirkan Partai Komunis dan ubah nama negara, agar tidak membiarkan Partai Komunis bangkit kembali!”

Aksi protes di Shanghai ditekan dengan keras oleh polisi.  Banyak orang ditangkap. Namun, badai protes di daratan Tiongkok masih menyebar dengan cepat ke seluruh negeri. Sejumlah besar video mahasiswa yang melakukan aksi protes beredar di Internet. Para mahasiswa memegang kertas kosong dan meneriakkan slogan-slogan seperti “demokrasi dan sistem hukum”.

Pada 27 November, setidaknya 51 perguruan tinggi dan universitas, termasuk Universitas Tsinghua dan Universitas Peking, telah melancarkan aksi protes. Sebuah video yang beredar di internet memperlihatkan para mahasiswa di Beijing memprotes dengan kertas kosong di tangan mereka, dalam solidaritas dengan pengunjuk rasa yang ditangkap di Shanghai, berteriak: “Bebaskan warga Shanghai!” (hu)

Tsai Ing-wen Mundur Sebagai Ketum Akibat DPP Kalah Suara, Pakar Menganalisis Efek Terhadap Pemilu 2024

 oleh Chi Qianli dan Zhang Yuanting 

Hasil “Pemilu 9-in-1” di Taiwan telah dirilis. Partai KMT (Kuomingtang) memenangkan 13 kota dan kabupaten, sedangkan DPP (Partai Progresif Demokrat) hanya memenangkan 5 kota dan kabupaten. Karena kekalahan dalam pemilihan tersebut, Tsai Ing-wen menyatakan pengunduran dirinya sebagai Ketua Umum DPP. Untuk pemilihan ini, analisis eksternal mengungkapkan bahwa sesungguhnya masih terdapat banyak pemilih yang tidak berpartisipasi dalam memberikan suara, itu terlihat dari rendahnya tingkat partisipasi warga.

Ketua Umum Partai Progresif Demokrat Tsai Ing-wen mengatakan : “Kita harus memikul semua tanggung jawab. Jadi sejak saat ini, (kami) mundur sebagai Ketua Umum Partai Progresif Demokrat”.

Dalam “Pemilu 9-in-1” Taiwan, Partai Progresif Demokrat yang sedang berkuasa mengalami kekalahan besar. Sehingga Ketua Umum Partai Tsai Ing-wen mengumumkan pengunduran dirinya, untuk meninjau 3 alasan utama penyebabnya, termasuk kesenjangan antara manajemen lokal dengan ekspektasi masyarakat, kurangnya pembinaan kader lokal dan pengembangan bakat, serta kegagalan dalam memenangkan kepercayaan rakyat.

Tsai Ing-wen mengatakan : “Di hadapan opini masyarakat, partai politik itu kecil, politisi juga kecil. Meskipun tadi Ketua Eksekutif Yan Su Tseng-chang baru saja secara lisan menyampaikan pengunduran dirinya kepada saya, tetapi saya memintanya untuk tetap tinggal dan bekerja keras untuk memastikan bahwa berbagai kebijakan utama masih tetap layak untuk dipertahankan”.

Dalam pemilihan jali ini, Partai Kuomintang meraih kemenangan suara di 4 dari 6 kota besar dengan total 13 kota dan kabupaten, sedangkan Partai DPP hanya meraih kemenangan di 4 kota dan kabupaten yang berada di selatan Taiwan dan pulau terluar Penghu, dengan total 5 kota dan kabupaten. Partai Rakyat Taiwan (Taiwan People’s Party. TPP) yang berdiri sejak 2019 memenangkan suara di Hsinchu, dan kandidat independen memenangkan suara pemilihan di Kinmen, Miaoli. Partai Kuomintang yang meraih kemenangan besar dalam “Pemilu 9-in-1” kali ini sangat percaya diri untuk kembali memenangkan pemilihan presiden tahun 2024.

Ketua KMT Eric Chu Li-luan mengatakan : “Kemenangan untuk semua kubu non-hijau. telah membuktikan mereka mengambil jalan yang benar, Komite Sentral Partai KMT pasti akan mencalonkan kandidat yang tepat, bekerja tanpa pamrih untuk kepentingan rakyat Taiwan, demi kemenangan Partai Kuomintang pada pemilihan presiden tahun 2024”.

“Pemlu 9-in-1” adalah pemilihan lokal nasional pertama yang diikuti oleh Partai Rakyat Taiwan (TPP) yang diketuai oleh Ko Wen-je (Walikota Taipei). Ko Wen-je sendiri juga terkejut melihat perubahan opini masyarakat Taiwan yang sangat cepat, yang patut diwaspadai, katanya.

Ko Wen-je mengatakan : “Lihatlah politik Taiwan sejak tahun 2016, 2018, 2020, dan 2022. Efek pendulumnya sangat mengerikan. Bergetar sangat kencang setiap 2 tahun. Sebenarnya, sejarah politik semacam ini di dunia juga dianggap sebagai kasus yang unik. Taiwan memiliki politik ekstrem yang berubah dengan sangat cepat, dan ini juga rasa hormat kami terhadap opini publik, atas kecepatan dari aliran opini publik Taiwan. Bagaimana pun kami merasakan kagum”.

Begitu “Pemilu 9-in-1” Taiwan memasukkan perhitungan suara, New Tang Dynasty TV Asia-Pasifik memberikan komentar dan laporan hasil perhitungan suara.

Song Guo-cheng, seorang peneliti senior di Pusat Penelitian Hubungan Internasional Universitas Nasional Chengchi mengatakan : “DPP hanya memenangkan sangat sedikit suara, jadi hasil seperti itu pasti akan mempengaruhi pemilihan presiden tahun 2024. Tingkat partisipan dalam pemungutan suara kali ini sangat rendah, yang berarti pemilih menengah tidak ikut berpartisipasi dalam memberikan suara, isu kebijakan publik tidak cukup banyak, dan lebih banyak lagi semacam pelanggaran dan pembelaan antar para kandidat dalam pemilu. Bahkan beberapa di antaranya melibatkan mobilisasi kebencian”.

Poon Tin Wai, seorang komentator urusan terkini mengatakan : “Kita juga harus merenungkan apakah masalah pijakan PKT, kebijakan rayap yang baru saja saya sebutkan, secara tidak disadari telah menyusup masuk ke dalam hati dan pikiran banyak pemilih. Jika demikian maka ini sangat serius”.

Dunia luar cemas terhadap hasil “Pemilu 9-in-1” Taiwan, yang entah apakah mungkin akan mempengaruhi hubungan lintas-selat di masa mendatang. Di sisi lain, pemilihan umum ini juga memicu diskusi hangat masyarakat, khususnya para netizen daratan Tiongkok. Ada dari mereka yang meninggalkan pesan : Sangat iri dengan hak yang dimiliki rakyat Taiwan untuk menentukan pilihan yang entah berapa kali lipat lebih besar daripada yang dimiliki rakyat di daratan Tiongkok. (sin)

Tak Terbendung, Api “Revolusi Kertas Putih” Sedang Menyebar dengan Cepat di Tiongkok

0

 oleh Luo Tingting

Tragedi kebakaran di Kota Urumqi, Tiongkok memicu “revolusi kertas putih” dimana warga masyarakat di Beijing, Shanghai, Wuhan, Nanjing, Guangzhou, dan lainnya turun ke jalan untuk memprotes tirani Partai Komunis Tiongkok (PKT).

Pada 26 November, para mahasiswa dari Institut Komunikasi Nanjing mengadakan malam belasungkawa terhadap warga yang menjadi korban kebakaran di Urumqi, sebagian besar dari mereka mengangkat kertas putih tanpa tulisan sebagai protes atas tirani PKT dalam mencegah penyebaran epidemi. Mereka menuntut penghentian tes asam nukleat dan pembebasan blokade wilayah. Gerakan ini langsung diikuti oleh sejumlah perguruan tinggi dan universitas di seluruh negeri, Dengan demikian meletusnya gerakan protes yang dinamakan “revolusi kertas putih”.

Video yang diposting di Internet menunjukkan bahwa sampai saat ini, warga di Beijing, Shanghai, Zhengzhou, Guangzhou, Chengdu, Wuhan, Chongqing, dan tempat lainnya juga melakukan hal yang sama seperti warga dan mahasiswa di Urumqi.

Pada 27 November 2022, warga Shanghai berunjuk rasa dengan mengangkat kertas putih di jalan. (Hector Retamal/AFP/Getty Images)

Pada 27 November 2022, warga Shanghai berunjuk rasa dengan mengangkat kertas putih di jalan. (Hector Retamal/AFP/Getty Images)
Pada 27 November 2022, warga Shanghai berunjuk rasa dengan mengangkat kertas putih di jalan. (Hector Retamal/AFP/Getty Images)
(video screenshot)
(video screenshot)

(video screenshot)
(video screenshot)
(video screenshot)

Pada 27 November, para dosen dan mahasiswa Universitas Tsinghua di Beijing bersama-sama mengangkat kertas putih dan menyanyikan lagu kebangsaan RRT “Bangunlah, rakyat yang tidak ingin menjadi budak ….”. Seorang mahasiswi berteriak : “Mulai hari ini, saya tidak akan lagi membela kekuasaan penguasa” Semua orang berteriak serempak : “Baik !”

Di Liangmaqiao, Beijing, sekelompok warga mengangkat kertas putih sambil meneriakkan motto : “Kami ingin hak asasi manusia, kami ingin kebebasan !” Hingga tengah malam pun masih terdapat ratusan orang pengunjuk rasa berbaris di jalan sambil meneriakkan motto “Kebebasan ! Kebebasan!”

Di Jalan Wangping, Chengdu, sekelompok warga memegang kertas putih sambil meneriakkan : “Menentang kediktatoran” dan “Tanpa kebebasan lebih baik mati”.

Di Jalan Yiyuan, Wuhan, sejumlah warga diam berdiri di pinggir jalan sambil mengkat kertas putih di tangan. Mereka protes dengan cara diam. Banyak juga polisi yang mengelilingi untuk mengawasi mereka.

Pada 26 November malam, protes kelompok pecah di Jalan Urumqi Tengah, Shanghai. Massa berteriak : “Partai Komunis Tiongkok mundur ! Xi Jinping turun !” Polisi membubarkan para pengunjuk rasa dengan kekerasan dan banyak juga orang yang ditangkap.

Pada 27 November, warga sipil Shanghai kembali turun ke jalan untuk memprotes tirani PKT dan menuntut pembebasan warga yang ditangkap. warga yang berkumpul di jalan mengangkat kertas putih. Tak lama kemudian terdengar suara lantang seorang wanita : “Kami ingin martabat bukan kebohongan, kami ingin reformasi bukan revolusi kebudayaan, kami ingin suara pemilihan bukan pemimpin, kami ingin jadi warga bukan budak, Mogok kerja, mogok sekolah, singkirkan diktator Xi Jinping !”

Warga di TKP bertepuk tangan dan bersorak : “Ganyang kediktatoran, Tolak masa jabatan seumur hidup !”

“Revolusi kertas putih” juga menyebar ke luar negeri. Gambar-gambar yang diposting di Internet menunjukkan bahwa di Pusat Seni dan Budaya Nasional Pompidou di Paris, Prancis, banyak orang memegang kertas putih untuk mengenang para korban kebakaran Urumqi dan mengungkapkan solidaritas terhadap para pengunjuk rasa di daratan Tiongkok. Di Dam Square, Amsterdam, Belanda sejumlah besar orang juga berkumpul dengan membawa kertas putih untuk mendukung gerakan “revolusi kertas putih” di Tiongkok.

Pada 27 November 2022, di Pompidou Center, Paris, terlihat sejumlah orang memegang kertas putih untuk mengenang para korban kebakaran di Urumqi dan mengungkapkan solidaritas mereka terhadap para pengunjuk rasa di daratan Tiongkok. (foto Twitter)
Pada 27 November 2022, di Dam Square, Amsterdam, Belanda, massa menggelar protes dengan mengangkat kertas putih. (Gambar Twitter)

“Revolusi kertas putih” dipicu oleh kebakaran di Urumqi, Xinjiang. Pada 24 November, terjadi kebakaran gedung bertingkat di Urumqi yang telah dikunci selama lebih dari tiga bulan. Puluhan orang tewas termasuk seorang anak berusia 3 tahun.

Video online menunjukkan bahwa tragedi itu bermula akibat blokade yang menyebabkan mobil pemadam kebakaran tidak dapat masuk ke TKP untuk memadamkan api tepat waktu, pintu gerbang juga diikat mati dengan kawat dan dikunci sehingga tidak memungkinkan warga yang terjebak untuk melarikan diri. Tetapi para pejabat berbohong dengan mengklaim bahwa bangunan tempat tinggal yang terbakar adalah daerah berisiko rendah, tidak dilakukan pemblokiran, warga bebas naik turun. Pejabat di Urumqi bahkan melalaikan tanggung jawab, menuduh para korban itu tidak memiliki kemampuan untuk menyelamatkan diri. Ucapan yang  menyebabkan kemarahan masyarakat.

Pada 25 November malam, warga Urumqi yang marah turun ke jalan dan berjalan menuju kompleks pemerintah kota untuk memprotes dan menuntut agar penguncian dicabut. Karena keseriusan situasi, pihak berwenang terpaksa mengumumkan pembukaan blokir mulai keesokan harinya.

Kebakaran dan protes di Urumqi membangkitkan simpati dan kemarahan di antara warga sipil Tiongkok yang juga menderita akibat penguncian, dan telah memicu badai perlawanan terhadap tirani PKT. Meski protes di berbagai tempat diredam dengan berbagai tingkat kekerasan, gerakan protes selain tidak berhenti, malahan meningkat. Warga spil di Beijing, Shanghai, dan Guangzhou juga turun ke jalan untuk menuntut pihak berwenang membebaskan para pengunjuk rasa yang ditangkap.

Kepada NTDTV, Yue Shan, komentator politik mengatakan : “Semakin banyak warga sipil Tiongkok tidak lagi takut terhadap pemerintah komunis Tiongkok. Rakyat sudah tidak lagi sabar dengan situasi kacau yang timbul karena ketidakbecusan rezim dalam memerintah”. (sin)

Rusia Mempersenjatai “Musim Dingin”

oleh Yan Shu – NTD

Pengeboman beruntun rudal Rusia telah menyebabkan meluasnya pemadaman listrik di Ukraina.  Banyak orang-orang tak memiliki akses ke pemanas selama malam musim dingin. Meski demikian, banyak negara  menyatakan bahwa mereka akan terus memberikan bantuan yang diperlukan ke Ukraina.

Rusia pada Rabu (23/11) melakukan serangan udara yang paling menghancurkan terhadap infrastruktur energi Ukraina, menyebabkan negara itu kembali mengalami pemadaman air dan listrik secara besar-besaran.

Setelah perbaikan darurat, listrik telah dipulihkan kedua dari tiga pembangkit listrik tenaga nuklir Ukraina. Tetapi banyak daerah tetap dalam kegelapan yang membeku.

Sekretaris Jenderal NATO Jens Stoltenberg berkata : “Apa yang kita lihat sekarang adalah bahwa Presiden Putin sedang mencoba mempersenjatai musim dingin, dengan sengaja dan tanpa pandang bulu menyerang infrastruktur sipil di kota-kota.”

NATO mengatakan pada Jumat 25 November bahwa pihaknya memberikan dukungan yang belum pernah terjadi sebelumnya kepada Ukraina.

Stoltenberg: “Melalui paket bantuan komprehensif kami (Ukraina), NATO telah menyediakan bahan bakar, pasokan medis, peralatan musim dingin, pengacau drone.”

Menteri Luar Negeri Inggris James Cleverly mengunjungi Kyiv pada Jumat 25 November, mengumumkan bantuan jutaan pound  untuk membantu Ukraina membangun kembali infrastruktur vital.

Pada hari yang sama, Duta Besar AS untuk Ukraina, Bridget Brink, secara pribadi membantu mendistribusikan lebih dari 20.000 selimut kepada para penumpang di Stasiun Kereta Api Pusat Kyiv. Ini adalah gelombang bantuan terbaru yang diberikan oleh Amerika Serikat ke Ukraina.

Duta Besar Amerika Serikat untuk Ukraina Bridget Brink berkata : “Saat ini membeku. Maka dengan mengingat hal itu, Amerika Serikat akan terus melakukan apa yang dapat dilakukannya, siang dan malam,  membantu apa yang dibutuhkan untuk bertahan di musim dingin, dan memberikan pertahanan udara dan bantuan keamanan lainnya sebanyak mungkin.” (hui)

Aksi Protes Shanghai Memasuki Malam Kedua, Pertempuran Polisi vs Masyarakat  Sipil Wuhan Pecah

0

Zheng Gusheng/Hu Long

Kebakaran di Urumqi, Xinjiang menyebabkan banyak kematian dan cedera karena penutupan gerbang, memicu aksi protes terhadap “nol kasus” di seluruh negeri. Aksi protes berlanjut di Shanghai keesokan harinya. Banyak tempat di Tiongkok mengikutinya dan dikabarkan puluhan ribu orang di Wuhan berkelahi dengan polisi.

Pada 27 November, sejumlah besar video muncul di Internet satu per satu, menunjukkan bahwa aksi protes pecah lagi di Wulumuqi Middle Road di Shanghai, dan berlangsung hingga malam hari. Pada siang hari, sejumlah besar warga berkumpul di Kantor Polisi Shanghai, meneriakkan “Lepaskan orang”, mereka menuntut pembebasan para pengunjuk rasa yang ditangkap pada 26 November malam.

Pada  26 November malam, pengunjuk rasa meneriakkan slogan-slogan seperti “Partai Komunis mundur” dan “Xi Jinping mundur” di Middle Road di Urumqi, yang menarik perhatian opini publik di dalam dan luar negeri. Radio Free Asia mengutip pernyataan warga setempat yang melaporkan bahwa pihak berwenang menangkap puluhan orang di tempat kejadian pada malam itu, dan keberadaan mereka masih belum diketahui. Dikatakan bahwa pemerintah daerah mencirikan insiden tersebut sebagai “subversi kekuasaan negara yang terencana dan terorganisir”. Namun demikian, seorang warga Chongqing mengatakan bahwa aksi protes di Chongqing juga berlanjut satu demi satu pada hari itu. Tak ada seorang pun di Tiongkok yang saat ini memiliki kemampuan hebat untuk mengatur aksi skala besar. Ini hanyalah aksi protes spontan dari rakyat.

Video pada 27 November  menunjukkan bahwa selama aksi protes   sekitar Wulumuqi Middle Road di Shanghai, seseorang muncul dan memberikan pidato anti-“kebijakan nol kasus”, “Beri saya kebebasan atau berikan saya kematian” dan slogan-slogan lainnya. Seseorang ditangkap karena menempelkan kertas putih di pohon pada malam itu, yang menimbulkan kemarahan publik. Belakangan, lebih banyak orang menghadapi polisi dengan kertas putih di tangan mereka.

Sejak siang hari, polisi setempat memblokir jalanan di berbagai persimpangan dan menangkap orang-orang. Setelah malam tiba, polisi secara bertahap mempersempit pengepungan. Video yang diposting di internet menunjukkan bahwa sekitar pukul 22.00 malam itu, polisi mulai menekan dan menangkap orang secara besar-besaran. Aksi protes sekali lagi dibubarkan dengan kekerasan. Belum diketahui berapa orang yang ditangkap.

Foto lain yang diunggah di Internet menunjukkan bahwa pada siang hari, sebuah kendaraan polisi bersenjata dari Komando Teater Timur dengan plat nomor “WJD” telah melaju ke Beijing East Road di Shanghai. Diduga pihak berwenang menugaskan polisi bersenjata untuk berpartisipasi dalam penindasan.

Ada juga video yang memperlihatkan petugas mencopot papan nama “Wulumuqi Middle Road” malam itu dan mengambilnya.

Selain itu, mirip dengan tindakan keras terhadap gerakan anti ekstradisi di Hong Kong dan tindakan keras lainnya sebelumnya, otoritas Partai Komunis Tiongkok (PKT) mengirim polisi militer berpakaian preman untuk menyusup ke pengunjuk rasa di Shanghai untuk mengumpulkan informasi intelijen dan penangkapan secara langsung. Mengikuti contoh aktivis anti ekstradisi, netizen lokal telah menemukan identitas salah satu petugas polisi setempat berpakaian preman, dan menggali informasi alamat dan anggota keluarganya.

Sedangkan Shanghai, aksi protes terhadap “tirani kebijakan nol kasus” menyebar di kota-kota besar di seluruh negeri. Beberapa netizen menyimpulkan bahwa pada 27 November, setidaknya 51 perguruan tinggi dan universitas telah meletus dalam berbagai skala protes, termasuk Universitas Tsinghua dan Universitas Peking. Sejumlah besar video aksi protes mahasiswa telah beredar secara online. Mahasiswa yang memprotes mengangkat kertas kosong dan meneriakkan slogan-slogan seperti “demokrasi dan supremasi hukum”.

Diantaranya, foto dua profesor dari Fudan School of Journalism yang diduga berhadapan dengan polisi untuk melindungi mahasiswa menjadi viral.

Selain perguruan tinggi dan universitas, penduduk di banyak kota besar juga saling merespons. Mereka turun ke jalan untuk memprotes “pembukaan blokir”.  Bahkan secara terbuka menentang tirani Partai Komunis. Video yang diposting di internet menunjukkan bahwa warga di Beijing, Zhengzhou, Guangzhou, Chengdu, Wuhan, Chongqing, dan tempat lain berkumpul untuk meluncurkan aksi protes.

Sebuah video yang dirilis pada 27 november malam menunjukkan bahwa pengunjuk rasa di Jalan Wangping di Chengdu secara kolektif meneriakkan “oposisi terhadap kediktatoran”. Video lain memperlihatkan orang-orang di Jalan Wangping mengangkat kertas kosong dan berteriak, “Beri saya kebebasan atau berikan saya kematian.” Video aksi protes di lokasi yang tidak diketahui di Wuhan juga telah beredar secara online.

Sebuah video yang dirilis pada 27 November malam menunjukkan ribuan pengunjuk rasa di Wuhan menghadapi polisi.

Belakangan, ada rekaman aparat kepolisian yang dipaksa mundur dan bernegosiasi antara pejabat dan masyarakat. Dikabarkan bahwa insiden tersebut terjadi di Jalan Hanzheng, Wuhan, di mana puluhan ribu pengunjuk rasa melakukan aksi protes pada malam itu, tetapi mereka juga ditindas dengan kejam oleh polisi. Sejumlah besar video polisi yang sempat berkumpul sebelumnya, dengan kejam menangkap serta memukuli pengunjuk rasa juga telah diunggah di internet. (hui)

Unjuk Rasa Merebak di Tiongkok Setelah Kebakaran Besar yang Merenggut Banyak Nyawa Warga di Kota Urumqi

0

 oleh Yu Ting

Pemerintah Tiongkok telah mengunci Kota Urumqi, ibu kota Xinjiang selama lebih dari 3 bulan. Pada Kamis 24 November, sebuah kebakaran hebat telah menyulut kemarahan warga masyarakat, sampai-sampai penduduk setempat memberanikan diri untuk turun ke jalanan untuk memprotes otoritas. Pada saat yang sama, unjuk rasa juga terjadi di banyak tempat di seluruh negeri, termasuk para mahasiswa Universitas Peking dan banyak universitas lainnya.

Warga Xinjiang meneriakkan slogan : “Buka pemblokiran ! Buka pemblokiran !”

Blokade ekstrem pemerintah Tiongkok menyebabkan kebakaran yang terjadi di Urumqi pada 24 November merenggut banyak nyawa korban. Penduduk tidak bisa keluar dari ruangan karena blokade, yang juga mempersulit masuknya bantuan para penyelamatan. Pihak berwenang mengklaim bahwa 10 orang tewas dalam insiden tersebut, namun data sebenarnya tidak diketahui. Setelah tragedi tersebut, yakni pada 25 November, massa yang marah di Xinjiang melakukan unjuk rasa besar-besaran.

Untuk “meredakan amarah masyarakat”, pihak berwenang pada 26 November mengeluarkan pengumuman yang menyebutkan bahwa pelonggaran blokade secara bertahap akan dilakukan terhadap area-area yang berisiko rendah, karena kebijakan Nol Kasus sudah terwujud. Namun kejadian “demo berhasil memaksa otoritas berubah sikap” jelas menjadi tiruan warga berbagai daerah, sehingga gelombang protes muncul di mana-mana. Termasuk banyak mahasiswa yang menjadi berani untuk keluar dari asrama mereka untuk bersuara bagi para korban, di saat yang sama mereka menyerukan : ” Ingin kebebasan !”.

Siswa Akademi Seni Rupa di Kota Xi’an mengatakan : “Ganyang lockdown ekstrem ! Ganyang formalisme !”

Kertas bertuliskan kata-kata : “Ingin kebebasan !” muncul dalam kampus Universitas Peking, banyak mahasiswa berkumpul untuk memperjuangkan hak-hak mereka.

Siswa dari perguruan tinggi di Kota Nanjing menyalakan lampu flash ponsel mereka untuk berbelasungkawa terhadap para korban kebakaran.

Salah seorang mahasiswa : “Hidup rakyat, beristirahatlah dalam damai bagi para korban !”

Dosen Institut Komunikasi Nanjing mengatakan : “Kalian sangat menarik, banyak dari kalian tampaknya tidak mengerti banyak hal tentang negara …”

Mahasiswa Institut Komunikasi Nanjing menjawab : “Anda mengerti betul, apakah Anda adalah satu dari 27 orang di dalam mobil di Guizhou ?”

Dekan Institut Komunikasi Nanjing mengeluarkan pengeras suara, mengancam para mahasiswa : ikut berunjuk rasa harus membayar dengan harga yang mahal.

Cao Guosheng, kepala eksekutif Institut Komunikasi Nanjing mengatakan : “Suatu hari nanti kalian harus membayar harga yang mahal terhadap apa yang kalian perbuat hari ini, setiap orang harus membayar harga untuk apa yang telah mereka lakukan”.

Mahasiswa Institut Komunikasi Nanjing mengatakan : “Anda juga harus (bertanggung jawab) atas apa yang Anda lakukan, bahkan negara ini harus membayar harganya !”

Selain mahasiswa, warga sipil di seluruh negeri juga turun ke jalan untuk memprotes otoritas atas kebijakan pencegahan epidemi yang tidak manusiawi. Penduduk di Kota Lanzhou mengobrak-abrik tempat untuk tes asam nukleat. Warga sipil di Kota Wuhan turun dari apartemen tempat tinggal mereka untuk menuntut pembebasan blokade.

Seorang warga Wuhan mengatakan : “Buka pemblokiran ! Kami ingin makan ! Kami ingin hidup !”

Warga sipil Kota Shanghai : “Tolak kediktatoran, kita menuntut demokrasi !”

Warga sipil Kota Shanghai mendatangi Jalan Urumqi untuk berkumpul. Sejumlah besar petugas polisi di sana langsung memberlakukan darurat militer dan melakukan penangkapan terhadap banyak warga dengan cara yang kejam.

Penduduk Shanghai berteriak : “Tolong ! Tolong !”

Penduduk Shanghai lainnya berkata : “Jangan bertindak kasar, jangan bertindak kasar, apa alasan Anda bertindak kasar terhadap rakyat !”

Penduduk Shanghai mengatakan : “Rakyat adalah orang-orang yang ditindas oleh kalian, bukan ? Polisi rakyat seharusnya melayani rakyat dan menyumbangkan kemampuan untuk negara, bukannya berdiri di sini untuk mengepung rakyatnya sendiri !”

Warga Shanghai mengatakan : “Bubarkan Partai Komunis Tiongkok !”

Pada Sabtu (26 November), otoritas secara resmi melaporkan jumlah kasus terkonfirmasi yang kembali memecahkan rekor (34.909 kasus infeksi lokal), meskipun angka sebenarnya yang biasanya lebih besar tidak diketahui. Hal mana menunjukkan bahwa kebijakan Nol Kasus PKT tampaknya gagal total. (sin)

90 Tahun Genosida Holodomor – Kekejaman Rezim Komunis Stalin, Presiden Zelensky: Rusia Mengulangi Genosida

oleh Li Qingyi

Sabtu 26 November adalah peringatan 90 tahun hari Kelaparan Besar di Ukraina atau yang dikenal dengan Genosida Holodomor.   Presiden Ukraina Volodymyr Zelensky menjadi tuan rumah pertemuan puncak keamanan pangan internasional di Kyiv, mengadvokasi langkah yang paling sulit menyediakan bantuan kemanusiaan persediaan makanan.  Pada saat yang sama, mengutuk perang Rusia di Ukraina sebagai genosida lainnya terhadap Ukraina, seperti Kelaparan Besar 90 tahun silam.

Dari tahun 1932 hingga 1933, mantan diktator Komunis Uni Soviet, Stalin meluncurkan kolektivisasi pertanian, menyebabkan bencana buatan terhadap manusia. Dalam dua tahun, lebih dari 3 juta orang tewas dalam kelaparan. Orang Ukraina menyebutnya “kelaparan pembersihan etnis”.

Pada Sabtu 26 November, peringatan 90 tahun hari Kelaparan Besar di Ukraina. Presiden Zelensky, Ibu Negara Olena, dan Perdana Menteri Belgia dan Lithuania pergi ke Museum Nasional Kelaparan Besar dan Genosida di Kyiv untuk berpartisipasi dalam kegiatan peringatan berkabung bagi para korban Kelaparan Besar.

Pada hari yang sama, Zelensky juga menjadi tuan rumah “KTT Ketahanan Pangan Internasional” di Kyiv untuk membahas ketahanan pangan Ukraina dan inisiatif ekspor pertanian untuk mengekspor makanan ke negara-negara yang paling terkena dampak kelaparan dan kekeringan.

Presiden Ukraina Volodymyr Zelensky berkata : “Kami berencana mengirimkan setidaknya 60 kapal dari pelabuhan Ukraina ke negara-negara yang paling terancam kelaparan dan kekeringan.”

Zelensky mengungkapkan bahwa Kyiv telah mengumpulkan sekitar USD. 150 juta dari lebih dari 20 negara dan Uni Eropa untuk mengekspor makanan ke negara-negara seperti Ethiopia, Sudan, Sudan Selatan, Somalia dan Yaman.

Perang Rusia-Ukraina yang dimulai pada Februari berlanjut saat Ukraina berjuang untuk mengusir pasukan Rusia, saat menghadapi pemadaman listrik umum yang disebabkan oleh serangan udara.

Ukraina menuduh Kremlin mengulangi taktik “genosida” Stalin. Rusia membantah bahwa serangan terhadap Ukraina menargetkan warga sipil dan mengatakan pada 24 November bahwa Kyiv dapat memenuhi tuntutan Rusia untuk solusi perang yang akan mengakhiri penderitaan.

“Kelaparan besar” yang disebabkan oleh kediktatoran komunis Stalin, tertanam dalam ingatan orang Ukraina, yang melihat perang Rusia di Ukraina sebagai genosida lain terhadap orang Ukraina.

Artem Antonenko, seorang spesialis pemasaran berusia 23 tahun: “Ya, genosida, musim dingin sangat sulit, dan berjalan begitu terus, itu akan sangat mirip dengan apa yang kita lihat di buku sejarah .” (hui)

AS Larang Penjualan dan Impor Produk Perusahaan Tiongkok Huawei, ZTE, Hytera, Hikvision, dan Dahua

Li Mei dan Wang Yanqiao

Pemerintah AS pada 25 November mengumumkan bahwa mereka sepenuhnya melarang penjualan dan impor peralatan dari lima perusahaan Tiongkok, Huawei, ZTE, Hytera, Hikvision, dan Dahua di Amerika Serikat.

Dari telekomunikasi hingga drone dan kamera pengintai, AS sekarang memiliki larangan total atas penjualan produk dari perusahaan peralatan telekomunikasi Huawei, ZTE, peralatan pengawasan Dahua, pemasok kamera pengintai Hikvision dan pembuat sistem radio Hytera.

Federal Communications Commission (FCC) mengumumkan tindakan akan berlaku mulai pada  Jumat, mencakup penjualan atau impor peralatan perusahaan untuk melindungi keamanan nasional.

Faktanya, Kongres AS melarang agen federal membeli peralatan dari lima perusahaan yang disebutkan di atas sejak tahun 2018.

Tetapi, Komisaris FCC Brendan Carr mengatakan dalam sebuah pernyataan bahwa larangan tahun 2018 meninggalkan celah yang “memungkinkan operator menggunakan dana pribadi untuk membeli peralatan yang sama persis dan menempatkannya di jaringan mereka.”

Carr mengatakan larangan terbaru akan menutup celah itu.

“FCC berkomitmen untuk melindungi keamanan nasional dengan mencegah perangkat komunikasi yang tidak dapat diandalkan diizinkan untuk digunakan di dalam perbatasan kami, dan kami akan terus melakukannya,” kata Ketua FCC Jessica Rosenworssel dalam rilis berita.

Larangan pada Jumat diwajibkan oleh RUU yang ditandatangani oleh Presiden Joe Biden pada  November. (hui)