Akankah “Revolusi Kertas Putih” Menjadi Petaka Bagi Partai Komunis Tiongkok?

oleh Huang Yimei

Dari Urumqi sampai ke Shanghai, Beijing, Nanjing, dan Guangzhou, lalu ke Inggris, Prancis, Amerika Serikat, Kanada, Australia, dan Jepang, gerakan warga sipil Tiongkok baik di dalam dan luar negeri untuk melawan tirani PKT ini, juga menarik perhatian besar dari media dan analis dunia. Apakah gerakan ini benar-benar mencerminkan kebangkitan rakyat jelata di Tiongkok ? Apakah “revolusi kertas putih” ini akan menjadi petaka bagi PKT seperti peristiwa di Lapangan Tiananmen pada 4 Juni tahun 1989 ? Mari kita simak analisis para ahli.

“Revolusi kertas putih” pecah di berbagai tempat Tiongkok. Hanya dalam waktu 3 hari, lebih dari 50 akademi dan universitas menggelar protes sebagai respon. Protes pada awalnya terutama untuk menyatakan rasa duka kepada para korban tewas dalam insiden kebakaran gedung apartemen di Kota Urumqi, Xinjiang akibat kegagalan upaya penyelamatan darurat yang disebabkan oleh penguncian epidemi. Dari acara belasungkawa hingga protes anti-blokade, langsung menjadi perhatian masyarakat dalam negeri Tiongkok dan dunia.

Para pengunjuk rasa dari seluruh negeri melakukan hal yang sama yakni mengangkat kertas putih mengungkapkan ketidakpuasan mereka yang kuat terhadap kebijakan pencegahan epidemi yang ekstrem serta tirani rezim PKT. Mereka menyerukan : “Partai Komunis Tiongkok mundur”.

Heng He, komentator senior yang tinggal di Amerika Serikat mengatakan : “Kita dapat melihat bahwa sebulan yang lalu ketika Peng Zaizhou seorang diri mulai memprotes, slogannya sudah mampu mengakar kuat di hati rakyat. Penyebab utama dari unjuk rasa berskala besar ini adalah kebakaran di Urumqi yang jelas-jelas adalah bencana buatan manusia, akibat dari pemblokiran sehingga korban tidak dapat melarikan diri. Jadi warga di wilayah lain yang mengalami penguncian tentu dapat merasakan hal yang sama, ancaman yang sama sehingga terjalinlah suatu tali solidaritas yang kuat”.

Kebijakan Nol Kasus yang diterapkan secara ekstrem membuat tragedi terus terjadi di berbagai tempat. Dunia luar pernah memperkirakan bahwa kebijakan ekstrem akan dicabut usai Kongres Nasional ke-20. Tetapi tanpa diduga, perkiraan tersebut meleset jauh, sehingga ketidaksabaran rakyat mencapai puncaknya.

Sheng Xue, seorang penulis Kanada etnis Tionghoa mengatakan : “Insiden kebakaran di Xinjiang telah membuat semua orang melihat bahwa kebijakan PKT itu dapat membunuh orang secara langsung, dan rakyat jelata sama sekali tidak memiliki kesempatan untuk melarikan diri. Jadi, sekarang kebijakan itu telah membuat banyak orang menyadari bahwa jika warga masih tidak mau melawan sistem dan kebijakan PKT saat ini, maka hanya jalan kematian yang ada di depan”.

Tang Jingyuan, komentator politik di AS percaya bahwa penyulut kobaran api besar untuk melawan kebijakan pemerintah Tiongkok adalah insiden perlawanan karyawan pabrik Foxconn di Zhengzhou sampai insiden kebakaran di Urumqi.

Ia juga mengatakan, “Meletusnya akumulasi kemarahan publik yang disebabkan oleh kebijakan pencegahan epidemi ekstrem yang sudah berjalan selama 3 tahun adalah karena tersambar oleh api dari insiden kebakaran di Urumqi”.

Ini adalah kedua kalinya protes berskala besar terjadi di Tiongkok sejak Gerakan Mahasiswa Tiananmen 4 Juni tahun 1989.

Tang Jingyuan mengatakan : “Menurut saya bahwa Gerakan 4 Juni sesungguhnya dimulai sebagai ekspresi tuntutan politik, dan memiliki sifat organisasi yang sangat jelas, dan tujuannya juga sangat jelas, yaitu meminta PKT untuk mengubah sistem politik. Dari kejadian kali ini, kita dapat melihat bahwa yang dituntut oleh sebagian besar warga sipil hanyalah pembebasan blokir, jadi pada dasarnya mereka ini hanya meminta hak mereka, yang targetnya adalah sebuah kebijakan dari PKT”.

“New York Times” melaporkan pada 27 November, meskipun pejabat PKT menyangkal bahwa blokade epidemi menyebabkan tragedi kebakaran, tetapi warga sipil tetap turun ke jalan untuk berunjuk rasa. Jika ketidakpuasan publik terhadap kebijakan Nol Kasus ini akhirnya berubah menjadi demonstrasi yang berskala lebih besar, itu akan menjadi mimpi buruk bagi PKT,  karena insiden Lapangan Tiananmen pada tahun 1989 bisa kembali terjadi.

Sheng Xue : “Alasan langsung mengapa warga sipil berani tampil untuk melawan pemerintah  adalah karena mereka menyadari bahwa semua penderitaan yang dialami rakyat Tiongkok ini sebenarnya berakar pada sistem tirani PKT”.

Komentar menunjukkan bahwa kebijakan pencegahan epidemi yang ekstrem selain mempengaruhi masyarakat tingkat bawah, tetapi bahkan telah menyentuh kelas atas dan kelas menengah. Gerakan menentang penguncian kota memiliki basis nasional yang luas, yang telah mengkatalisasi gelombang gerakan untuk melawan pemerintah yang tidak mau menerima aspirasi rakyat.

Heng He menuturkan, “Karena ekonomi Tiongkok di masa lalu telah mengalami perkembangan yang pesat, banyak konflik sosial menjadi terpendam oleh ekonomi yang sedang tumbuh, sehingga nyaris tidak tampak ada konflik yang menonjol. Namun dalam beberapa tahun terakhir, akibat dari epidemi dan politik rezim yang lebih mengedepankan BUMN ketimbang BUMS, serta permasalahan lainnya, ekonomi selain tidak tumbuh bahkan menurun secara signifikan. Dengan demikian, konflik sosial yang telah lama terakumulasi dan terpendam itu mulai muncul satu per satu. Proter masyarakat di berbagai tempat juga muncul silih berganti”.

Media asing menunjukkan bahwa di Tiongkok, unjuk rasa massa sangat jarang terjadi, tetapi kali ini, unjuk rasa telah terjadi di seluruh negeri, bahkan massa di Shanghai secara terbuka meneriakkan slogan : Partai Komunis Tiongkok turun dan Xi Jinping mundur, yang bisa dikatakan sangat mengejutkan. (sin)