Kampus-kampus di Tiongkok Pulangkan Mahasiswa, Polisi Berpatroli untuk Mencegah Terjadinya Aksi Protes

The Associated Press

Berbagai universitas di Tiongkok memulangkan mahasiswa mereka dan polisi menyebar di Beijing dan Shanghai untuk mencegah lebih banyak protes pada Selasa 29 November setelah ledakan kemarahan massa terkait pembatasan anti-virus yang ekstrem, meminta pemimpin Partai Komunis Tiongkok (PKT) Xi Jinping untuk mengundurkan diri, sebuah insiden perbedaan pendapat di publik yang terbesar dalam  dekade ini.

Pihak berwenang telah melonggarkan beberapa kontrol setelah demonstrasi yang berlangsung setidaknya di delapan kota daratan dan Hong Kong — tetapi mempertahankan bahwa mereka akan tetap berpegang pada strategi “nol-COVID” yang telah mengurung jutaan orang -orang di rumah mereka selama berbulan-bulan. Pasukan keamanan telah menahan sejumlah orang yang tidak diketahui jumlahnya dan meningkatkan pengawasan.

Dengan polisi bekeliaran, tidak ada kata protes pada Selasa 29 November di Beijing, Shanghai, atau kota-kota besar daratan lainnya yang sempat memperlihatkan kerumunan ,assa berkumpul selama akhir pekan. Aksi ini adalah protes paling luas sejak tentara menghancurkan gerakan pro-demokrasi Lapangan Tiananmen tahun 1989 yang dipimpin oleh mahasiswa.

Di Hong Kong, sejumlah orang, kebanyakan dari daratan, melakukan aksi protes di sebuah universitas.

Universitas Tsinghua Beijing, tempat para mahasiswa berkumpul selama akhir pekan, dan sekolah lain di ibu kota dan provinsi selatan Guangdong memulangkan mahasiswa merek. Pihak kampus mengatakan mereka dilindungi dari COVID-19, tetapi menyebarkan mereka ke kampung halaman yang jauh juga mengurangi kemungkinan lebih banyak aksi demonstrasi. Para pemimpin Tiongkok mewaspadai universitas, yang telah menjadi pusat aktivisme termasuk protes Tiananmen.

Pada  Minggu, mahasiswa Tsinghua diberitahukan bahwa mereka boleh pulang lebih awal untuk semester tersebut. Kampus yang merupakan almamater Xi itu mengatur bus untuk membawa mereka ke stasiun kereta api atau bandara.

Sembilan asrama mahasiswa di Tsinghua ditutup pada Senin setelah beberapa mahasiswa positif COVID-19, menurut salah seorang yang mencatat penutupan itu akan mempersulit kerumunan orang untuk berkumpul. Mahasiswa tersebut hanya memberikan nama belakangnya, Chen, karena takut akan pembalasan dari pihak berwenang.

Universitas Kehutanan Beijing juga mengatakan akan mengatur agar mahasiswa mereka pulang. Disebutkan pihak fakultas dan mahasiswa semuanya dites negatif untuk virus. Pihak kampus menyatakan kelas dan ujian akhir akan dilakukan secara online.

Pihak berwenang berharap untuk “meredakan situasi” dengan mengosongkan kampus, kata Dali Yang, pakar politik Tiongkok di University of Chicago. Bergantung pada seberapa keras posisi yang diambil PKT, aksi kelompok mungkin bergiliran memprotes.

Polisi tampaknya berusaha  menyembunyikan tindakan keras mereka, mungkin untuk menghindari menarik perhatian pada skala protes atau mendorong orang lain. Video dan postingan di media sosial Tiongkok tentang aksi protes telah dihapus oleh aparat sensor online PKT.

Tidak ada pengumuman tentang penahanan, meskipun wartawan melihat pengunjuk rasa dibawa pergi oleh polisi dan unggahan media sosial mengatakan orang-orang itu ditahan atau hilang.

Polisi memperingatkan beberapa pengunjuk rasa yang ditahan agar tidak lagi berdemonstrasi. 

Di Shanghai, polisi menghentikan pejalan kaki dan memeriksa ponsel mereka pada Senin malam, menurut seorang saksi, kemungkinan mencari aplikasi seperti Twitter yang dilarang di China atau gambar protes. Saksi, yang bersikeras tidak mau disebutkan namanya karena takut ditangkap, mengatakan bahwa dia sedang dalam perjalanan untuk melakukan protes tetapi tidak menemukan kerumunan orang-orang di sana ketika dia tiba.

Foto yang dilihat oleh The Associated Press dari foto-foto dari protes akhir pekan menunjukkan polisi mendorong orang-orang ke dalam mobil. Beberapa orang juga tersapu razia polisi setelah aksi demonstrasi berakhir.

Seorang yang tinggal di dekat lokasi protes di Shanghai ditahan pada Minggu dan ditahan hingga Selasa pagi, menurut dua temannya yang bersikeras tidak mau disebutkan namanya karena takut akan pembalasan dari pihak berwenang.

Di Beijing, polisi pada Senin 28 November mengunjungi seorang warga yang menghadiri protes pada malam sebelumnya, menurut seorang teman yang menolak disebutkan namanya karena takut akan pembalasan. Dia mengatakan polisi menanyai warga dan memperingatkan dia untuk tidak melakukan aksi protes.

Pada Selasa 29 November, pengunjuk rasa di Universitas Hong Kong meneriakkan penentangan pembatasan  dan mengangkat lembaran kertas dengan slogan-slogan kritis. Beberapa penonton ikut bernyanyi.

Para pengunjuk rasa memegang tanda bertuliskan, “Katakan tidak pada kepanikan COVID” dan “Tidak ada kediktatoran selain demokrasi.”

Salah satunya meneriakkan: “Kami bukan pasukan asing tapi teman sekelasmu.” Pihak berwenang Tiongkok sering mencoba mendiskreditkan kritikus domestik dengan mengatakan bahwa mereka bekerja untuk kekuatan asing.

Pakar kesehatan global mengkritik kebijakan “nol-COVID” PKT sebagai tindakan tidak berkelanjutan.

Kepala Dana Moneter Internasional mengatakan kepada The Associated Press dalam sebuah wawancara pada Selasa bahwa Beijing perlu membuat pendekatannya ” terarah” untuk mengurangi gangguan ekonomi,

Direktur Pelaksana IMF Kristalina Georgieva di Berlin berkata : “Kami melihat pentingnya beralih dari lockdown secara besar-besaran, Sehingga penargetan memungkinkan untuk menahan penyebaran COVID tanpa biaya ekonomi yang signifikan.”

Toleransi publik terhadap pembatasan yang memberatkan telah terkikis, karena beberapa orang yang dikurung di rumah mengatakan mereka berjuang untuk mendapatkan akses kepada makanan dan obat-obatan.

PKT pada bulan lalu berjanji untuk mengurangi gangguan, tetapi lonjakan infeksi telah mendorong kota-kota untuk memperketat pengendalian.

Aksi protes meledak selama akhir lalu  pekan lalu yang dipicu oleh kemarahan atas kematian sedikitnya 10 orang dalam kebakaran di ujung barat Tiongkok, yang memicu pertanyaan marah secara online tentang apakah petugas pemadam kebakaran atau korban yang mencoba melarikan diri diblokir oleh kontrol anti-virus.

Sebagian besar pengunjuk rasa pada akhir pekan mengeluh tentang pembatasan berlebihan, tetapi beberapa mengarahkan kemarahan mereka pada Xi, pemimpin paling kuat PKT setidaknya sejak tahun 1980-an.

Dalam sebuah video yang diverifikasi oleh The Associated Press, kerumunan orang-orang di Shanghai pada hari Sabtu meneriakkan, “Xi Jinping! Turun! PKT! Mudnur!” Kritikan langsung terhadap Xi seperti itu belum pernah terjadi sebelumnya.

Aksi protes simpati turut digelar di luar negeri, dan pemerintah asing telah meminta Beijing untuk menahan diri.

“Kami mendukung hak orang-orang di mana pun untuk melakukan protes secara damai,  menyampaikan pandangan mereka, keprihatinan mereka, rasa frustasi mereka,” kata Menteri Luar Negeri AS Antony Blinken saat berkunjung ke Bucharest, Rumania.

Sementara itu, pemerintah Inggris memanggil duta besar Tiongkok sebagai protes atas penangkapan dan pemukulan juru kamera BBC di Shanghai.

 Menteri Luar Negeri Inggris James Cleverly mengatakan kebebasan media “adalah sesuatu yang sangat, sangat inti dari sistem kepercayaan Inggris.” 

Juru bicara Kementerian Luar Negeri Tiongkok Zhao Lijian membantah versi peristiwa Inggris. Zhao mengatakan wartawan, Edward Lawrence, gagal mengidentifikasi dirinya dan menuduh BBC memutarbalikkan cerita.

Ditanya tentang kritik terhadap penindasan, Zhao membela strategi anti-virus Beijing.

Wang Dan, mantan pemimpin mahasiswa demonstrasi tahun 1989 yang tinggal di pengasingan, mengatakan aksi protes tersebut “melambangkan awal dari era baru di Tiongkok … di mana masyarakat sipil telah memutuskan untuk tidak diam dan menghadapi tirani.”

Namun dia memperingatkan pada konferensi pers di Taipei, Taiwan, bahwa pihak berwenang kemungkinan besar akan menanggapi dengan “kekuatan yang lebih kuat untuk menekan pengunjuk rasa dengan kekerasan. (asr)