Home Blog Page 1813

Mengapa Beijing Menasionalisasi Bank Ketiga dalam Hitungan Waktu Tiga Bulan?

0

Fan Yu – The Epochtimes

Krisis kepercayaan telah mencengkeram Lender atau kreditor regional Tiongkok, ketika Beijing mulai bergerak untuk menasionalisasi lembaga keuangan utama ketigakalinya sejak Mei lalu. 

Bank Hengfeng, pemberi pinjaman regional yang berbasis di Provinsi Shandong, Tiongkok, menerima persetujuan resmi untuk restrukturisasi dengan mengambil lifeline dari entitas yang berafiliasi dengan pemerintah Provinsi Shandong, serta Central Huijin Investment Ltd. Laporan ini disampaikan oleh majalah keuangan Tiongkok, Caixin pada 10 Agustus lalu.

Central Huijin Investment adalah anak perusahaan dari dana kekayaan berdaulat Komunis Tiongkok, China Investment Corp, dan akan memiliki saham kurang dari 20 persen. 

Didirikan pada tahun 2003, misi Central Huijin adalah untuk berinvestasi di perusahaan keuangan besar milik negara atas nama negara, menurut situs webnya.

Dana Bailout  Bank Hengfeng adalah nasionalisasi bank ketiga sejak Mei, dan yang terbesar dalam ukurannya. 

Yang pertama, terjadi pada 24 Mei lalu, ketika Bank Baoshang yang berbasis di Mongolia dinasionalisasi. Bank ini ditempatkan di bawah manajemen China Construction Bank. Dana bailout Bank Baoshang adalah yang pertama dalam waktu 20 tahun terakhir.

Melansir dari The Epochtimes, hanya dua bulan kemudian, Bank Jinzhou di Provinsi Liaoning, Tiongkok, juga dibailout  oleh konsorsium Bank Industri dan Komersial Tiongkok dan dua manajer aset tertekan di Tiongkok.

Pemberi Pinjaman Bermasalah

Hingga berselang beberapa waktu kemudian, nasionalisasi bank jarang terjadi di Tiongkok. Yang menggarisbawahi meningkatnya kekhawatiran di antara regulator, tentang pemberi pinjaman lebih kecil yang berutang, terutama karena ekonomi domestik negara itu melambat.

People’s Bank of China -PBOC- akhir tahun lalu, melakukan peninjauan risiko terhadap bank-bank negara itu. Akhirnya, menetapkan bahwa satu dari 10 pemberi pinjaman telah gagal dalam pengujiannya. Regulator tidak mengambil kesempatan untuk menghindari krisis keuangan domestik. 

Berlangsungnya perang dagang dan melambatnya pertumbuhan ekonomi internasional, telah memperlambat pertumbuhan ekonomi Tiongkok dan kesehatan keuangan bisnisnya. 

Dampaknya, pada berkurangnya kemampuan untuk membayar utang dan menyebabkan lebih banyak wanprestasi skala kecil. Pinjaman bisnis yang buruk ini, sangat merusak Capital Buffer atau modal wajib yang harus dimiliki di bank-bank regional dan lokal Tiongkok.

Bank Hengfeng juga gagal dalam analisis pengungkapan atau DISCLOSURE tentang laporan keuangannya selama dua tahun berturut-turut, termasuk pada tahun 2018. Dalam periode terbaru yang diungkapkan, Bank Hengfeng memiliki 1,2 triliun yuan total aset pada akhir 2016, menurut laporan tahunannya.

Dana bailout juga mempengaruhi investor luar negeri. United Overseas Bank Ltd, pemberi pinjaman multinasional Singapura, telah membeli 13 persen kepemilikan di Hengfeng pada tahun 2008. Tidak jelas bagaimana kepemilikan saham United diperlakukan dalam restrukturisasi bank itu.

Ada lapisan lain untuk bailout Hengfeng Bank. Bank itu tidak asing dengan kontroversi. Dua mantan petinggi eksekutifnya telah diselidiki karena dugaan penggelapan dana. Jiang Xiyun, yang menjabat sebagai Chairman Bank Hengfeng dari 2008 hingga 2013, didakwa menggelapkan 750 juta yuan indeks saham bank.

Cai Guohua, penerus Jiang di pucuk pimpinan bank, tidak bernasib lebih baik. Cai sendiri berada dalam penyelidikan  karena kasus penggelapan dana.

Selain itu, Bank Hengfeng adalah bailout bank Tiongkok kedua — Bank Baoshang adalah yang lain — terkait dengan miliarder Tomorrow Group, milik Xiao Jianhua, yang memegang saham di ratusan bank dan lembaga keuangan Tiongkok. 

Xiao — yang ditahan di Beijing pada tahun 2017 lalu — diketahui menangani transaksi keuangan untuk elit pejabat Komunis Tiongkok dan kerabat mereka. 

Menurut laporan The Epoch Times sebelumnya, Xiao paling dicari oleh pemerintahan Xi Jinping untuk membantu dalam penyelidikannya terhadap korupsi pejabat tinggi, terutama yang terkait dengan mantan pemimpin rezim Komunis Tiongkok, Jiang Zemin.

Risiko Sistemik

Pada akhir Maret, jumlah Non Performing Loan -NPL- atau kredit bermasalah di bank-bank komersial Tiongkok mencapai tertinggi dalam 16 tahun. 

Kredit bermasalah berjumlah 2,16 triliun yuan, atau 1,8 persen, menurut statistik resmi yang dikeluarkan oleh Komisi Pengaturan Perbankan dan Asuransi Tiongkok.

Angka Kredit bermasalah yang sebenarnya, menurut sebagian besar pakar, kemungkinan lebih tinggi dari metrik resmi yang dilaporkan.

Terlepas dari latar belakang itu, otoritas Komunis Tiongkok mendorong bank untuk meningkatkan pinjaman mereka ke usaha kecil dan menengah. Tujuannya untuk membantu memerangi perlambatan pertumbuhan ekonomi. 

Selain itu, regulator telah menyusun undang-undang mengurangi celah bagi bank untuk menyembunyikan kredit macet mereka. 

Salah satu contoh adalah memaksa bank untuk menandai semua pinjaman lebih dari 90 hari lewat jatuh tempo sebagai kredit bermasalah, terlepas dari kualitas jaminan yang mendasarinya.

Semua ini berarti bahwa bank akan dipaksa untuk mengungkapkan masalah kesehatan dan likuiditas mereka yang sebenarnya, mempercepat setiap bailout pemerintah yang diperlukan sebelum masalah sistemik meluas terjadi.

Alicia García Herrero, kepala ekonom Asia-Pasifik untuk bank investasi Prancis, Natixis, kepada Financial Times pada 9 Agustus mengatakan, tentu saja, ada risiko sistemik.  

Alicia  bertanya, Apakah Anda mengetahui berapa banyak bank yang telah menghubungkan pinjaman antar bank dengan Bank Hengfeng? Menurut Alicia, pada intinya adalah kreditor lainnya mengetahui adanya risiko sistemik dan tidak ingin meminjamkan kepada mereka. (asr)

Beijing Kembali Melunak Pada AS, Makna Di Balik Perkataan Trump

0

Zhou Xiahui – Epochtimes.com

Media massa resmi Komunis Tiongkok seringkali membohongi rakyat Tiongkok, dengan mengatakan bahwa perang dagang merupakan tanggung jawab Amerika Serikat, bahwa ekonomi Tiongkok selalu baik, Komunis Tiongkok berkompeten dan tidak takut pada perang dagang Amerika Serikat. Namun saat Rapat Beidaihe yang baru berakhir di Beijing, Komunis Tiongkok justru melontarkan sinyal melunak pada Amerika Serikat.

Pada Selasa, 13 Agustus 2019 malam hari waktu Beijing, kantor berita Xinhua corong Komunis Tiongkok mempublikasikan sebuah berita singkat. Isinya mengatakan bahwa malam itu, Wakil Perdana Menteri Liu He yang merangkap sebagai pemimpin dialog ekonomi Tiongkok – Amerika Serikat telah berbicara via telepon dengan perwakilan dagang Amerika Serikat, Lighthizer dan juga Menteri Keuangan Amerika Serikat Mnuchin.

Terhadap tarif masuk bagi produk impor dari Tiongkok yang rencananya akan diberlakukan pada 1 September 20919 mendatang, pihak Tiongkok bernegosiasi secara ketat. Kedua pihak menyepakati akan kembali berdialog dalam waktu dua minggu mendatang.

Menteri Perdagangan Zhong Shan, Gubernur Bank Sentra Tiongkok  Yi Gang, Direktur Komisi Pembangunan dan Reformasi Nasional Ning Jizhe dan lain-lain akan ikut serta dalam dialog. Seperti biasanya, Komunis Tiongkok  tidak menyebut isi dialog itu. Dialog itu secara konyol disebut dengan istilah “bernegosiasi secara ketat”, tujuannya adalah untuk terus mengindoktrinasi rakyat Tiongkok.

Menariknya adalah, tak lama setelah pembicaraan telepon itu, Kantor Perwakilan Dagang Amerika Serikat mengumumkan bahwa produk impor dari Tiongkok senilai USD 300 milyar yang rencananya akan dikenakan tarif 10%, sebagian produk terkait akan dibebaskan dari tarif atau ditunda penambahan pajaknya. Produk itu termasuk laptop, iPhone, mainan, pakaian dan lain-lain.  Hal itu berdasarkan faktor kesehatan, keamanan, keamanan nasional dan faktor lainnya,

Pada hari yang sama, Presiden Trump saat diwawancarai di Bandara New Jersey sebelum boarding, mengungkapkan alasan Amerika Serikat menunda pemberlakuan tarif itu.

“Karena pihak Tiongkok telah melakukan dialog yang sangat efektif dan menurut saya mereka ingin melakukan yang mengejutkan. Tapi saya tidak yakin apakah mereka akan menunggu sampai Partai Demokrat masuk ke Gedung Putih baru akan bertindak. Semoga tidak akan begitu, jika tidak, perekonomian Tiongkok akan segera runtuh. Mereka benar-benar ingin mencapai kesepakatan,” kata Trump.

Dari informasi yang disampaikan Trump, lebih lanjut membuktikan bahwa “bernegosiasi secara ketat” hanya untuk membohongi rakyat Tiongkok. Kebiasaan Amerika Serikat yang selalu bersikap keras, jika benar-benar “bernegosiasi secara ketat”, pihak  Amerika pasti tidak akan membebaskan tarif masuk bagi sebagian produk itu.

Apalagi, yang terpojok ingin segera mencapai kesepakatan dalam perang dagang bukan Amerika Serikat, melainkan Komunis Tiongkok. Mudah dilihat dalam dialog itu, sepertinya Beijing kembali menjanjikan serangkaian tuntutan yang diajukan Amerika Serikat bahwa Komunis Tiongkok harus melakukan reformasi structural.

Reformasi itu, seperti melarang pemaksaan peralihan teknologi, memperkuat perlindungan hak intelektual, melarang intrusi internet dan pencurian cyber, membuka sistem keuangan, menjaga nilai tukar Reminbi, sepakat untuk membuat mekanisme pengawasan dan lain-lain, ditambah dengan menyetujui membeli produk pertanian Amerika Serikat dalam skala besar.

Gubernur Bank Sentral Yi Gang dan Direktur Komisi Pembangunan dan Reformasi Ning Jizhe yang turut serta dalam dialog itu sepertinya juga membenarkan hal itu, yakni pihak Tiongkok akan menjaga nilai tukar Reminbi sesuai tuntutan Amerika Serikat.

Untuk mengimbangi janji Beijing itu, begitu berita dialog itu  dikeluarkan, harga transaksi emas di pasaran langsung anjlok. Nilai tukar Reminbi melonjak dan bursa efek Amerika Serikat meroket, dan tak terlepas dari bayangan Komunis Tiongkok di baliknya.  

Tak diketahui persis melunaknya Beijing seperti itu apakah merupakan skema kompromi yang dicapai dalam Rapat Beidaihe yang dihadiri para petinggi Partai Komunis Tiongkok. Tetapi yang jelas bahwa Komunis Tiongkok sangat tidak ingin warga Tiongkok melihatnya melunak seperti itu.

Itu karena sikap plin plan Komunis Tiongkok dan karakternya yang keras di luar tapi lembek di dalam telah terlihat jelas oleh orang-orang di Tiongkok yang berkepala dingin. Kali ini dari yang awalnya keras memprotes hingga “takluk” kembali. Komunis Tiongkok takut akan “membangunkan” sejumlah warga Tiongkok. Lalu, mengapa Komunis Tiongkok kali ini kembali melunak pada Amerika Serikat?

Kata-kata Trump yang lugas bisa dikatakan tepat sasaran.

“Saya pikir mereka ingin melakukan sesuatu yang menjadi perhatian. Maksud saya, Komunis Tiongkok benar-benar ingin melakukan sesuatu, seperti Anda ketahui, mereka mengalami masalah di Hongkong, mereka sangat ingin melakukan sesuatu,” kata Trump.

Memang, gerakan “anti ekstradisi” Hongkong yang membara selama dua bulan terakhir ini telah membuat pihak Komunis Tiongkok pusing tujuh keliling.

Di satu sisi  Tiongkok tak berniat memperhatikan aspirasi rakyat, tidak mau memenuhi tuntutan warga Hongkong, melainkan mengerahkan kekuatan polisi untuk menindas.

Pada hari Minggu, 11 Agustus 2019 lalu, terjadi insiden seorang perawat wanita yang ikut unjuk rasa ditembak dari jarak dekat oleh polisi. Akibatnya   mata kanan wanita itu mengalami kebutaan.

Instruksi terbaru dari Xi Jinping yang menyatakan, “Jangan menggunakan pasukan militer, pakai hukuman berat untuk redam situasi, jangan sedikit pun mengalah,” semakin memperuncing konflik antara warga Hongkong dengan pemerintah Hongkong dan penguasa Komunis Tiongkok.

Di sisi lain, karena takut sanksi Amerika dan Eropa, Komunis Tiongkok  tidak berani gegabah mengeluarkan pasukan untuk menekan demonstran, terutama karena perang dagang kini menyangkut pula masalah Hongkong. Mungkin karena alasan itu, Beijing memutuskan melunak pada Amerika, dan berharap Amerika tidak turut campur soal Hongkong.

Dengan kata lain, Komunis Tiongkok yang telah berulang kali ingkar janji pada Amerika, tengah berupaya memberi janji baru untuk digantikan dengan mengalahnya Amerika pada masalah tarif masuk. Khususnya agar Amerika berdiam diri terhadap masalah di Hongkong.

Soalnya begitu Amerika memutuskan untuk meninjau ulang kebijakan “US-Hongkong Policy Act”, dengan membatalkan perlakuan wilayah otonomi khusus Hongkong, maka Komunis Tiongkok akan mengalami pukulan telak di bidang financial. Itu bukanlah hal yang mampu ditanggung oleh Komunis Tiongkok. Masalahnya adalah, apakah harapan Menteri Luar Negeri Tiongkok, Yang Jiechi dan Komunis Tiongkok itu dapat terpenuhi?

Pertama, dalam masalah Hongkong, Trump mengatakan, pasukan militer Komunis Tiongkok yang dikonsentrasikan di perbatasan Hongkong adalah suatu kondisi yang sangat rumit. Situasi Hongkong sangat genting.

“Saya berharap warga Hongkong dapat meraih kebebasan, semua pihak dapat menemukan cara penyelesaian, termasuk Tiongkok,” kata Trump.

Lalu di Twitter Trump juga menulis: “Badan intelijen kami mengatakan,   Tiongkok sedang mengerahkan pasukan di perbatasan Hongkong. Semua orang harus tenang dan terjamin keamanannya!”

Makna lain dari perkataan Trump itu mungkin adalah Amerika sedang mengawasi gerak gerik Komunis Tiongkok, khususnya apakah Beijing akan menggerakkan pasukan militer, apakah kebebasan warga Hongkong terjamin, sinyal peringatan cukup sarat di baliknya.

Sedangkan bila terjadi situasi gawat, bagaimana Amerika akan bertindak, Trump tidak menjelaskannya. Akan tetapi apakah akan melindungi kebebasan warga Hongkong, sejumlah politisi Hongkong telah melontarkan sinyal. Apakah Trump yang selalu mengkritik sosialisme dan komunisme itu akan membuat pilihan yang lain?

Meskipun ada konflik sengit di balik aksi lobi oleh Yang Jiechi di Washington, tapi hasilnya tidak akan berbeda.

Kedua, kembali melunaknya Komunis Tiongkok, tidak membuat Trump yang telah sangat memahami sifat Komunis Tiongkok kelewat girang.

Kepada wartawan, Trump mengatakan, “Komunis Tiongkok dulunya juga berkali-kali mengatakan hal yang sama, yakni mereka berencana membeli produk pertanian Amerika. Tapi sampai saat ini, fakta telah membuat saya kecewa pada mereka. Mereka tidak jujur, atau bisa dikatakan, mereka telah menunda keputusan membeli itu.”

Ada makna lain di balik perkataan Trump, yakni ia tidak percaya pada janji baru Komunis Tiongkok. Bagi Trump itu hanya trik Komunis Tiongkok untuk mengulur-ulur waktu dan menyelesaikan masalah Hongkong saja.

SUD/whs

Pemerintah Blokir Internet di Papua, ICJR : Perbuatan Melawan Hukum dan Sewenang-wenang

Erabaru.net. Institute for Criminal Justice Reform atau ICJR menilai tindakan-tindakan pembatasan akses layanan telekomunikasi di Papua adalah tindakan melawan hukum dan dilakukan secara sewenang-wenang oleh Kementerian Komunikasi dan Informatika.  

Seperti diketahui, Kementerian Komunikasi dan Informatika RI memutuskan untuk melakukan pemblokiran sementara layanan Data Telekomunikasi, mulai Rabu (21/8) hingga suasana Tanah Papua kembali kondusif dan normal.

Direktur Eksekutif ICJR Anggara dalam keterangan tertulisnya menyebytkan, pembatasan itu, menurut pihak Kominfo dilakukan untuk mempercepat proses pemulihan situasi keamanan dan ketertiban di Papua dan sekitarnya. Akan tetapi, tanpa menjelaskan apa yang sebenarnya menjadi hambatan yang dialami bagi pemulihan Papua jika layanan telekomunikasi tidak diblokir.

“Hingga saat ini, juga tidak infokan dan diketahui akan sampai kapan pemblokiran layanan tersebut dilakukan,” tulisnya, Kamis (22/8/2019).

ICJR sedari awal selalu menyerukan bahwa pembatasan akses layanan komunikasi adalah bentuk pembatasan Hak Asasi Manusia, yang harus dilakukan dengan berdasar pada batas-batas kondisi yang telah ditetapkan UUD 1945 dan sesuai dengan Komentar Umum No. 29 terhadap Pasal 4 ICCPR mensyaratkan ada dua kondisi mendasar harus dipenuhi untuk dapat membatasi hak asasi manusia, yaitu:

Pertama, Situasi sebagai latar belakang pemblokiran harus berupa keadaan darurat yang mengancam kehidupan bangsa,

Kedua, Presiden harus penetapan secara resmi bahwa negara dalam keadaan darurat melalui Keputusan Presiden sebagai dasar pembatasan layanan telekomunikasi tersebut.

Sebelumnya pun Kominfo juga telah melakukan perlambatan (throttling) akses jaringan internet di beberapa wilayah Papua saat terjadi aksi massa pada Senin, 19 Agustus 2019. Hal ini juga bagian dari pembatasan Hak Asasi Manusia yang seharusnya hanya dapat dilakukan dalam situasi tertentu dan limitatif.

Menurut ICJR, kebijakan pemerintah dinilai tidak sesuai dengan kewenangan Pemerintah dalam Pasal 40 UU ITE bahwa Pemerintah berwenang untuk melindungi kepentingan umum dari segala jenis gangguan sebagai akibat penyalahgunaan Informasi Elektronik dan Transaksi Elektronik yang mengganggu ketertiban umum, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan.

Bagi ICJR, UU ITE menyatakan bahwa Pencegahan penyebarluasan dan penggunaan Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang dapat dibatasi oleh Pemerintah hanya untuk konten yang memiliki muatan yang dilarang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

ICJR menjelaskan, pemutusan akses hanya dapat dilakukan kepada muatan yang melanggar UU, bukan layanan aksesnya secara keseluruhan. Pembatasan layanan data komunikasi secara keseluruhan dapat merugikan kepentingan yang lebih luas.

Secara jelas, jika Pemerintah ingin melakukan upaya pemutusan layanan secara total, maka terlebih dahulu Pemerintah harus deklarasi politik negara dalam keadaan bahaya sesuai dengan Undang-undang Dasar 1945.

“Bentuk pembatasan Hak Asasi Manusia tanpa penjelasan dan mengenai dasar dilakukannya tindakan tersebut merupakan bentuk pelanggaran hukum yang serius yang seharusnya segera dihentikan,” pungkas ICJR. (asr)

Kemkominfo Blokir Sementara Layanan Data Internet di Papua dan Papua Barat

0

ETIndonesia. Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) memblokir sementara layanan data internet di Papua dan Papua Barat mulai Rabu (21/8/2019). Pemblokiran ini diberlakukan saat merebekanya kerusuhan di sejumlah titik wilayah tersebut.

“Untuk mempercepat proses pemulihan situasi keamanan dan ketertiban di Papua dan sekitarnya, setelah berkoordinasi dengan aparat penegak hukum dan instansi terkait, Kementerian Komunikasi dan Informatika RI memutuskan untuk melakukan pemblokiran sementara layanan Data Telekomunikasi, mulai Rabu (21/8) hingga suasana Tanah Papua kembali kondusif dan normal,” demikian Plt Kepala Biro Humas Kemkominfo RI Ferdinandus Setu dalam siaran persnya.

Hingga Rabu (21/8/2019) ada beberapa titik di wilayah Papua dan papua Barat mengalami kerusuhan. Kerusuhan dilaporkan terjadi di Fakfak, Papua Barat dan Timika, Papua.

Sebelumnya juga terjadi kerusuhan di sejumlah titik di Papua dan Papua Barat terjadi pada Senin (19/8/2019)

Beberapa hari lalu, Kementerian Komunikasi dan Informatika telah melakukan throttling atau pelambatan akses/bandwidth di beberapa wilayah Papua Barat dan Papua di mana terjadi aksi massa pada Senin (19/8/2019), seperti Manokwari, Jayapura dan beberapa tempat lain. 

Plt Kepala Biro Humas Kemkominfo RI Ferdinandus Setu mengatakan, pelambatan akses dilakukan secara bertahap sejak Senin (19/8/2019) pukul 13.00 WIT. 

Akan tetapi, sehubungan dengan situasi di wilayah Papua sudah kondusif, maka senin (19/8/2019) malam waktu setempat akses telekomunikasi sudah dinormalkan kembali.

Kemkominfo menjelaskan, bahwa tujuan dilakukan throttling adalah untuk mencegah luasnya penyebaran hoaks yang memicu aksi. 

Sejauh ini Kementerian Kominfo sudah mengindentifikasi 2 (dua) hoaks yang tersebar melalui media sosial dan pesan instan yakni hoaks Foto Mahasiswa Papua Tewas Dipukul Aparat di Surabaya dan hoaks yang menyebutkan bahwa Polres Surabaya Menculik Dua Orang Pengantar Makanan untuk Mahasiswa Papua

Kemkominfo imbau masyarakat untuk tidak menyebarkan hoaks, disinformasi, ujaran kebencian berbasis SARA yang dapat membahayakan persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia. (asr)

Trump Ingatkan Bergeraknya Militer Komunis Tiongkok Ketika Figur Pro-Demokrasi Hong Kong Dijelekkan Komunis Tiongkok

0

Cathy He-Nicole Hao

Presiden Amerika Serikat, Donald Trump mengingatkan pada 13 Agustus, bahwa intelijen AS telah memberitahukan kepadanya bahwa rezim Komunis Tiongkok telah menggerakan sumber daya militer ke perbatasan dengan Hong Kong. Hal demikian disampaikan dalam cuitannya di akun twitternya. 

Sehari sebelumnya, outlet media yang dikelola pemerintahan Komunis Tiongkok, mengunggah video online kendaraan lapis baja yang bergerak melalui Shenzhen, kota daratan Tiongkok yang berbatasan dengan Hong Kong. Laporan itu mengklaim kenderaan militer itu  dalam persiapan untuk “latihan skala besar.”

Cuitan Trump muncul saat retorika dan aksi protes terhadap Beijing oleh warga Hongkong semakin intensif.

Pada 13 Agustus, ribuan massa menduduki terminal di Bandara Internasional Hong Kong. Mereka tetap menolak tanggapan pemerintah Hong Kong, terhadap aksi protes yang dipicu oleh RUU ekstradisi yang kontroversial. Aksi itu menyebabkan penerbangan ditunda untuk hari kedua. Namun demikian, aksi protes berlangsung dengan damai dan tertib. 

Protes skala luas dari massa di Hong Kong dimulai lebih dari dua bulan lalu. Aksi digelar sebagai perlawanan terhadap RUU Ekstradisi yang didukung oleh Komunis Tiongkok. Undang-Undang ini memungkinkan orang-orang dikirim ke daratan Tiongkok untuk diadili. 

Warga Hong Kong khawatir atas sistem hukum buram yang diterapkan oleh rezim Komunis Tiongkok. Demonstran Hong Kong terus menyerukan agar RUU itu ditarik secara total.

Ketika bentrokan antara polisi dan pengunjuk rasa semakin meningkat dalam beberapa pekan terakhir, kericuhan menjadikan tantangan besar bagi kepemimpinan komunis tiongkok di Beijing.

Sinyal

Pada 12 Agustus, surat kabar hawkish Komunis Tiongkok, Global Times, mengunggah video di Twitter yang memperlihatkan kendaraan lapis baja dari pasukan militer berkumpul di Shenzhen.

Di Weibo, sejenis medsos yang setara dengan Twitter di Tiongkok, outlet media itu juga mengunggah pesan berikut dalam bahasa Mandarin: “Jika perusuh Hong Kong tidak dapat membaca sinyal bahwa polisi bersenjata berkumpul di Shenzhen, maka mereka meminta penghancuran diri.”

Sementara itu, media corong Komunis Tiongkok, People’s Daily, mengunggah di media sosial, bahwa Polisi Bersenjata Tiongkok berada di Shenzhen untuk mempersiapkan menghadapi “kerusuhan, gangguan, kekerasan dan kejahatan besar, dan masalah keamanan sosial terkait terorisme.”

Narasi ‘Pasukan Asing’

Outlet media corong pemerintah Komunis Tiongkok lainnya, Xinhua, meningkatkan serangan verbal terhadap demonstran Hong Kong. Kantor berita itu menerbitkan komentar pada 13 Agustus lalu. 

Media itu mendaftarkan beberapa orang yang disebut “warga Hongkong yang berbahaya.” Warga-warga Hong Kong ini difitnah telah bekerja sama dengan “pasukan asing” untuk memanipulasi para pengunjuk rasa. 

Sebenarnya, rezim Komunis Tiongkok secara konsisten mendorong narasi bahwa pemerintah asing berada di belakang aksi protes yang menantang otoritas Komunis Tiongkok.

Pengucilan terhadap individu tak biasa bahkan untuk laporan media pemerintahan Komunis Tiongkok yang paling hawkish.

Komentar tersebut menyebutkan beberapa aktivis dan tokoh pro-demokrasi, termasuk Anson Chan, mantan kepala sekretaris – posisi kedua dalam komando – selama pemerintahan kolonial Inggris dan pemerintah Hong Kong setelah wilayah tersebut dikembalikan ke kedaulatan Tiongkok pada tahun 1997. Nama lainnya, Martin Lee Chu-ming, pengacara dan pendiri Partai Demokrat di Hong Kong, Joshua Wong aktivis mahasiswa dan pemimpin partai politik Demosisto. 

Nama lainnya yang masuk dalam daftar adalah Nathan Law, seorang aktivis dan mantan anggota parlemen yang didiskualifikasi dari jabatannya, setelah Komunis Tiongkok mempermasalahkan cara dia mengambil sumpah,Jimmy Lai, pendiri Next Media, sebuah perusahaan media yang sering mendukung protes pro-demokrasi; dan Davin Kenneth Wong, presiden Serikat Mahasiswa Universitas Hong Kong. Semuanya telah berpartisipasi dalam aksi protes atau menyatakan simpati untuk demonstran Hong Kong.

Artikel tersebut lagi-lagi menuduh klaim “campur tangan asing.” Media itu menggambarkan aktivis pro demokrasi itu berkolusi dengan pemerintah AS untuk memicu kekerasan di Hong Kong.

Misalnya media corong Komunis Tiongkok, menggambarkan kunjungan Chan, Lee, dan Lai ke Amerika Serikat tahun ini untuk membahas RUU ekstradisi dengan anggota parlemen AS dan pejabat administrasi AS. Mereka dituduh sebagai perilaku “pengkhianat yang menjual negara untuk kemuliaan mereka sendiri.”

Bunyi artikel itu kembali mengada-ngada dengan menuliskan : “Perilaku warga Hongkong ini memalukan, motivasi mereka harus dimusnahkan, dan dosa-dosa mereka harus dihukum.”

Komentar itu juga menyebutkan pertemuan baru-baru ini antara Wong, aktivis pro-demokrasi lainnya, dan Julie Eadeh, seorang staf di Konsulat Jenderal AS di Hong Kong, seperti yang dilaporkan oleh surat kabar lokal Pro Komunis Tiongkok, Ta Kung Po pada minggu lalu. 

Kantor berita Komunis Tiongkok, Xinhua menyebut mereka sebagai “kaki tangan Hong Kong” yang meminta bimbingan dari pemerintah AS.

Setelah laporan media-media itu, Departemen Luar Negeri AS menanggapinya dengan tegas. Washington  menyatakan Beijing sebagai “rezim yang kejam” karena memilih diplomat A.S.

Juru bicara Departemen Luar Negeri AS Morgan Ortagus mengatakan, dirinya tidak berpikir untuk membocorkan informasi pribadi diplomat Amerika, foto-foto, nama-nama anak-anak mereka. Ia mengatakan, hal demikian akan dilakukan oleh rezim yang kejam.

Departemen Luar Negeri juga menolak klaim dari Beijing, bahwa Amerika Serikat “ikut campur dalam urusan Hong Kong.” Kemenlu AS menegaskan, aksi protes itu “mencerminkan sentimen warga Hongkong dan keprihatinan mereka yang luas tentang erosi otonomi Hong Kong.

Komentator Tiongkok yang berbasis di AS, Tang Jingyuan mencatat bahwa media pemerintah Komunis Tiongkok sengaja menghilangkan informasi tentang petugas polisi yang menggunakan taktik agresif untuk menangkap demonstran. Tindakan aparat tersebut, seperti menembakkan peluru karet dan gas air mata dalam jarak dekat. Termasuk, tentang gerombolan pro-Komunis Tiongkok yang menyerang para demonstran di distrik North Point pada akhir pekan lalu. (asr) 


Gambar itu menunjukkan bahwa pada 28 Juli 2019, di Hong Kong, banyak orang Hong Kong mengenakan masker dan helm dan dipersenjatai dengan payung di hadapan polisi yang sering menembakkan peluru karet dan gas air mata. (Song Bilong / Epoch Times)

Bos Maskapai Cathay Pacific Mengundurkan Diri Saat Maraknya Aksi Protes Warga Hong Kong

0

EtIndonesia- Bos perusahaan maskapai penerbangan Hong Kong, Cathay Pacific Airways, Rupert Hogg mengundurkan diri pada 16 Agustus lalu. 

Pengunduran diri terjadi setelah komunis Tiongkok menargetkan maskapai itu. Dikarenakan keterlibatan staf maskapai dalam aksi protes massal di Hong Kong.

Maskapai Cathay Pacific memiliki hubungan kuat dengan Inggris. Maskapai ini dijadikan simbol masa lalu dari kolonial Hong Kong. Cathay Pacific dijadikan target perusahaan berprofil tertinggi, saat Komunis Tiongkok berupaya menumpas aksi protes berlarut-larut di Hong Kong.

Perusahaan itu bergejolak  menjelang akhir pekan di mana protes kembali dilanjutkan. Demonstran memprotes keras merosotnya aturan “satu negara, dua sistem” yang mengabadikan otonomi untuk Hong Kong, sejak Tiongkok mengambilnya kembali dari Inggris pada tahun 1997.

Ribuan pengunjuk rasa berkumpul dengan damai di sebuah taman di pusat kota pada Jumat lalu. Warga menggelar aksi “Stand with Hong Kong, Power to the People”, yang telah menerima izin dari polisi. 

Aksi protes pada Minggu 18 Agustus tidak memiliki izin polisi. Akan tetapi aksi tetap digelar warga. Aksi ini berlangsung dengan damai. Aksi kali ini diikuti sekitar 1,7 juta warga Hong Kong. 

Konfrontasi selama sepuluh minggu antara polisi dan pengunjuk rasa, telah menjerumuskan Hong Kong ke dalam kekacauan. Kekisruhan ini memicu tantangan terbesar bagi pemimpin Tiongkok Xi Jinping sejak ia berkuasa pada 2012 silam.

Taktik polisi terhadap pengunjuk rasa malah semakin keras. Kepala Pelaksana Inspektur Polisi Hong Kong, Man-pun Yeung kepada wartawan, Jumat lalu mengatakan, setiap orang yang membahayakan o atau keselamatan orang-orang karena tindakan kekerasan akan dikenakan hukuman penjara seumur hidup.

Hampir 750 orang telah ditangkap sejak aksi protes dimulai pada bulan Juni lalu. Tembakan gas air mata sering digunakan oleh polisi dalam upaya membubarkan aksi protes di Hong Kong.

Komunis Tiongkok menyamakan aksi protes di Hong Kong dengan terorisme. Pemerintahan itu memperingatkan, dapat menggunakan kekuatan untuk meredam aksi protes. Presiden Donald Trump mendesak Xi Jinping bertemu para pemrotes untuk meredakan ketegangan

Pasukan paramiliter komunis Tiongkok telah berlatih selama seminggu ini di Shenzhen, Tiongkok. Wilayah ini berbatasan dengan Hong Kong, sebagai peringatan kepada para pemrotes. Polisi Hong Kong menegaskan, pihaknya mampu mempertahankan hukum dan ketertiban. 

Simbol Kota

Maskapai Cathay Pacific, adalah lambang kota Hong Kong. Maskapai itu sejak minggu lalu, dihujani dengan tuntutan regulator penerbangan di Beijing. Pihak Beijing menuntutnya untuk menangguhkan staf yang mendukung protes massa di Hong Kong. Kini aksi protes telah berkembang tuntutan atas reformasi dan demokrasi di Hong Kong.

Kepergian secara mendadak Kepala Eksekutif Rupert Hogg, pihak perusahaan mengatakan adalah “untuk mengambil tanggung jawab, mengingat peristiwa baru-baru ini.”  Pernyataan ini menunjukkan betapa intensnya tekanan Beijing.  

Cathay ikut terseret  dalam konfrontasi, setelah salah satu pilotnya ditangkap dalam aksi demonstrasi pada Juli lalu. Regulator penerbangan di Beijing, menuntut staf yang terlibat atau mendukung protes dicopot dari tugas penerbangan ke Tiongkok atau di wilayah daratan Tiongkok. 

Ketika diminta, maskapai itu langsung bergerak cepat untuk memenuhi permintaan dari Administrasi Penerbangan Sipil Tiongkok -CAAC. 

Cathay akhirnya membebastugaskan seorang pilot yang ditangkap selama aksi protes anti-pemerintah di Hong Kong. Cathay juga memecat dua karyawan bandara dengan alasan pelanggaran pada hari Sabtu 10 Agustus lalu. 

Maskapai itu mengatakan akan melarang staf “terlalu radikal” dari awak penerbangan ke daratan Tiongkok. Sejumlah analis mengatakan, pengawasan yang lebih ketat, bersama dengan dampak aksi protes terhadap penerbangan dapat mempengaruhi garis bawah maskapai.

Saham Cathay langsung ambruk ke level terendah dalam 10 tahun terakhir. Saham Cathay anjlok ke angka 9,80 dolar Hong Kong, level terendah sejak krisis keuangan 2009 silam.

Hogg mengatakan, insiden itu adalah “minggu-minggu yang menantang” bagi maskapai. Ia mengatakan, tepat baginya dan chief customer officer perusahaan yang juga secara tiba-tiba mengundurkan diri. 

Pihak maskapai menyatakan : “Cathay Pacific berkomitmen penuh ke Hong Kong di bawah prinsip satu negara, dua sistem. ” 

Pengunduran diri Hogg pertama kali diumumkan oleh televisi pemerintah Komunis Tiongkok, CCTV. Namun demikian, tidak jelas apakah akan membantu menghidupkan kembali reputasi perusahaan di daratan Tiongkok.  (asr)

Juli 2019: Rekor Bulan Terpanas Sepanjang Sejarah Planet Bumi

0

NOAA/SCIENCE DAILY

Banyak wilayah dari planet ini “membengkak” dalam panas yang belum pernah terjadi pada Juli lalu, karena suhu melonjak hingga ketinggian baru di bulan terpanas yang pernah tercatat dalam sejarah Bumi.

Rekor kehangatan ini juga menyusutkan es laut Kutub Utara dan Kutub Selatan ke posisi terendah sepanjang sejarah.

Berikut ini adalah laporan iklim global bulanan National Oceanic and Atmospheric Administration AS (NOAA) terbaru:

Iklim Terpanas di Bumi: Juli 2019

Suhu global rata-rata pada Juli lalu adalah 1 derajat Celcius di atas rata-rata abad ke-20 yang berkisar 16 derajat Celcius, menjadikan Juli sebagai bulan terpanas dalam catatan 140 tahun terakhir, menurut para ilmuwan di Pusat Informasi Lingkungan Nasional NOAA. Bulan terpanas sebelumnya yang tercatat adalah Juli 2016.

Sembilan dari 10 Juli terpanas telah terjadi sejak 2005, dengan lima tahun terakhir berturut-turut menempati peringkat sebagai lima terpanas. Bulan lalu juga merupakan bulan berturut-turut ke-43 Juli dan 415 berturut-turut dengan suhu global di atas rata-rata.

Rekor Tahun Terpanas: Januari hingga Juli 2019

Periode dari Januari hingga Juli menghasilkan suhu global 1 derajat C di atas rata-rata abad ke-20 yang sebesar 14 derajat C, dengan 2017 sebagai tahun terpanas kedua hingga saat ini dalam catatan sejarah.

Itu adalah tahun terpanas hingga saat ini untuk bagian Amerika Utara dan Selatan, Asia, Australia, Selandia Baru, bagian selatan Afrika, bagian dari Samudra Pasifik barat, Samudra Hindia barat, dan Samudra Atlantik.

Statistik dan Fakta yang Lebih Penting

Es laut terendah: Es laut Arktik (Kutub Utara) rata-rata mencetak rekor terendah pada Juli 2019, mencapai 19,8% di bawah rata-rata – melampaui rekor terendah sebelumnya pada Juli 2012.

Rata-rata cakupan es laut Antartika (Kutub Selatan) adalah 4,3% di bawah rata-rata 1981-2010, menjadikannya yang terkecil pada Juli dalam rekor 41 tahun.

Beberapa titik terdingin: Bagian Skandinavia dan Rusia barat dan timur memiliki suhu setidaknya 1,5 derajat C di bawah rata-rata. (OSC)

Kerusuhan di Papua dan Papua Barat, Berikut Pernyataan Menkopolhukam

0

Etindonesia- Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan, Wiranto merespon kerusuhan yang merebak di Papua Barat dan Papua, Senin (19/8/2019).  Wiranto menyerukan kepada jajaran aparat untuk mengusut kerusuhan itu secara tuntas.

Wiranto menyatakan pemerintah menyesalkan dengan adanya insiden yang sedang berkembang tentang pelecehan bendera merah putih di Jawa Timur . Aksi ini, kata Wiranto, kemudian disusul dengan pernyataan-pernyataan negatif oleh oknum-oknum.

Dampaknya ternyata memicu aksi di beberapa daerah, terutama di Papua dan Papua Barat. Hal demikian dianggap mengganggu kebersamaan, dan persatuan Indonesia sebagai bangsa.

Pada kesempatan itu, Wiranto menyatakan telah diinstruksikan untuk melakukan pengusutan tuntas dan adil bagi siapapun yang dianggap melakukan pelanggaran hukum dalam peristiwa itu. Selain di Papua dan Papua, Wiranto memerintahkan pengusutan secara tuntas dan adil siapapun yang memanfaatkan insiden itu untuk kepentingan-kepentingan yang negatif.

Atas nama pemerintah, Wiranto memberikan apresiasi kepada Gubernur Jawa Timur, Khofifah Indar Parawansa yang secara terbuka telah menyatakan maaf atas apa yang terjadi di wilayah Jawa Timur kepada pihak-pihak yang merasa tersinggung dengan adanya insiden di wilayah Jawa Timur.

Wiranto juga mengaku sudah menelpon kepada Gubernur Jawa Timur atas insiden yang terjadi di Jawa Timur.  “Barusan pagi saya juga melakukan telpon dengan Gubernur Jawa Timur, ibu Khofifah dan beliau menyatakan pernyataan maaf terbuka, ini pernyataan yang tulus dan ikhlas,” kata Wiranto.

Tak hanya kepada Gubernur Jawa Timur, Wiranto memberikan apresiasi kepada Gubernur Papua yang telah menyampaikan pernyataan dan himbauan kepada semua pihak agar tidak memperpanjang insiden ini dan kembali menjalin persaudaraan dan kedamaian di wilayah masing-masing.

Mantan Panglima ABRI ini memberikan apresiasi kepada Forum Komunikasi Pimpinan Daerah Papua Barat yang ternyata telah mampu menenangkan masyarakat untuk menjaga stabilitas keamanan wilayah.

“Saya tadi juga sudah telpon dengan Forkompinda di Papua Barat dan telah menyampaikan laporan bahwa daerah Papua Barat, Manokwari telah dapat ditenangkan,” tambah Wiranto.

Kepada seluruh masyarakat, Menko Polhukam mengimbau agar tidak terpancing dan terpengaruh dengan berita-berita negatif dari pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab untuk merusak persatuan, kedamaian dan kebersamaan kita sebagai bangsa yang bermartabat. Termasuk berita yang memanfaatkan untuk mengintervensi insiden tersebut.

Dia menyampaikan, pemerintah memberikan jaminan sepenuhnya untuk terpeliharanya stabilitas keamanan di seluruh wilayah Indonesia. Kepada aparat keamanan, baik TNI dan Polri, juga menginstruksikan untuk senantiasa melaksanakan tindakan persuasif dan terukur terhadap masyarakat Indonesia.

Sebelumnya, Wiranto menyampaikan masyarakat Indonesia baru saja melaksanakan merayakan ulang tahun kemerdekaan Republik Indonesia yang ke-74. Tujuannya, kata dia, adalah untuk mengingatkan akan persatuan dan kesatuan bangsa yang menjadi modal kemerdekaan untuk tetap dirawat dan terpelihara.

Sebelumnya digelar Rapat Koordinasi tentang Situasi Keamanan Papua dan Papua Barat di kantor Kemenko Polhukam, Jakarta, Senin (19/8/2019). Rapat dipimpin oleh Wiranto. Hadir dalam Rakor tersebut Menteri Dalam Negeri, Tjahjo Kumolo dan Tenaga Ahli Kepala Staf Kepresidenan, Ali Mochtar Ngabalin. (asr)

“Be Water” Motto Bruce Lee Ilhami Aksi Protes Rakyat Hong Kong Anti Ekstradisi

0

The Epoch Times

Sepotong dialog dalam salah satu film aktor laga internasional Bruce Lee berjudul “Longstreet” adalah:

“Kosongkan pikiranmu, bening, tak berwujud, seperti air, ditempatkan di gelas, bentuknya berubah menjadi gelas. Ditempatkan di botol, bentuknya berubah menjadi botol, ditempatkan di cangkir, maka ia akan berubah menjadi cangkir. Air dapat mengalir dengan lemah gemulai, juga dapat mengeras menjadi kokoh. Jadilah seperti air, Temanku.” 

Ungkapan Bruce Lee yang bersifat filosofis ini, di luar dugaan telah menjadi bimbingan pemikiran bagi muda mudi pengunjuk rasa dalam aksi protes anti-ekstradisi di Hongkong. 

Dalam konferensi pers pada 6 Agustus lalu, di saat para pemrotes muda menjawab pertanyaan, bagaimana mereka akan menghadapi Komunis tiongkok yang telah mengirim pasukan ke Hongkong, jawabannya patut untuk dianalisa oleh sosiolog peneliti gerakan sosial.

Pada konferensi pers, salah satu perwakilan pengunjuk rasa berkata:

“Sebagai warga Hongkong, tentang masalah kekhawatiran pihak Beijing akan mengirimkan pasukannya ke Hongkong. Tapi jika situasi di Hongkong telah sampai pada tahap harus diselesaikan dengan pasukan militer, diyakini semua warga Hongkong dan pemrotes akan menjadi seperti air, setelah mengetahui apa yang harus dilakukan, kami semua akan pulang ke rumah dan tidur.”

Wakil Sekjend Partai Progresif Demokratik Taiwan, yang juga mantan pemimpin Gerakan Bunga Matahari yakni Lin Feifan, baru-baru ini pada wawancara khusus untuk acara TV Taiwan “Era Money”, sangat memuji strategi “Be Water” menjadi seperti air yang digunakan warga Hongkong dalam aksi protes anti ekstradisi.

Lin Feifan mengatakan, aksi anti ekstradisi kali ini sangat berbeda dengan Umbrella Movement tahun 2014 di Hongkong, atau aksi pelajar Gerakan Bunga Matahari di Taiwan, atau aksi unjuk rasa di jalanan lainnya, aksi di Hong Kong benar-benar menyebar dimana-mana. Para pengunjuk rasa melakukan kegiatannya lewat internet, dan tidak diorganisir.

Contohnya ada netizen mempublikasikan waktu dan lokasi kegiatan di internet, lalu puluhan ribu orang lainnya menanggapinya. 

Lalu setelah massa terkumpul, bisa langsung voting di tempat untuk memutuskan langkah berikutnya, model perlawanan yang tidak memiliki pusat kepemimpinan dan organisasi.

Namun membentuk suatu gerakan yang sangat disiplin dan rapi, mirip dengan perang gerilya, ini sangat jarang ditemui.

Air: Sebuah Kearifan Tiongkok Kuno

Warga Hongkong menggunakan kata-kata “jadilah seperti air”, yang berasal dari dialog dalam film Bruce Lee. 

Namun jika ditelusuri hingga ke akarnya, kata-kata ini sebenarnya merupakan kearifan Tiongkok kuno, kita dapat melihatnya dalam pemikiran aliran Tao.

Di dalam kitab “Dao De Jing” karya Lao Tze, terdapat kalimat seperti ini: “Di dunia ini tiada yang lebih lembut dari air, namun yang kuat tak mampu mengalahkannya, karena tak ada yang dapat melebihinya.”

Artinya adalah, di dunia ini tidak ada apa pun yang lebih lembut daripada air, tapi saat menghadapi musuh yang kuat, tidak ada yang lebih hebat daripada air, karena bagaimana pun dipukul, air tetap adalah air, tidak akan bisa diubah bentuknya.

“Taktik Perang Sun Tzu” Tiongkok, juga ada yang menggunakan kata “air” untuk mengibaratkan semangat strategis yang selalu menang perang.

“Nyata dan Semu” pada bab keenam dalam “Taktik Perang Sun Tzu” yang berbunyi :

Pola prajurit ibarat air, ketika air mengalir, selalu menghindari tempat yang tinggi dan mengalir ke tempat yang rendah, kunci meraih kemenangan adalah menghindari bagian yang kuat dari musuh, dan menyerang bagiannya yang lemah. Arah aliran air ditentukan berdasarkan kontur tanah, prajurit meraih kemenangan berdasarkan kondisi lawan. Cara mengerahkan pasukan tidak kaku dan bisa berubah, seperti air yang tidak memiliki wujud yang baku. Orang yang berdasarkan kondisi musuh, dapat menempuh strategi yang setimpal dan mengalahkannya, maka ia adalah dewa perang.

Komunis Tiongkok Terus Menggertak Warga Hongkong

Walaupun lawan yang dihadapi oleh para pemrotes Hongkong sangat hebat, yakni institusi represif yang besar yang menguasai pasukan militer dan polisi, serta rezim Komunis Tiongkok yang sangat kaya akan pengalaman konflik politik.

Tapi, strategi perlawanan “jadilah seperti air” warga Hongkong, dan posisi internasional Hongkong yang unik, serta arti pentingnya Hongkong dalam bidang ekonomi dan finansial bagi Tiongkok, membuat Komunis Tiongkok amat sangat kesulitan dalam mengatasi aksi protes anti ekstradisi ini.

Pada 7 Agustus, Kepala Kantor Hubungan Hongkong-Makau yakni Zhang Xiaoming bersama dengan Kepala Kantor Penghubung Pemerintahan Hongkong yakni Wang Zhiming, menggelar seminar di Shenzhen, Tiongkok. 

Saat itu dihadiri oleh lebih dari 500 orang termasuk juga perwakilan Hongkong untuk Kongres Nasional, anggota Konferensi Konsultatif Politik. 

Tak ketinggalan, para pemimpin dari kelompok dan asosiasi politik Hongkong yang menyebut dirinya patriotik dan cinta Hongkong. 

Kepala Kantor Hubungan Hongkong-Makau, Zhang Xiaoming mengatakan: Sejak 9 Juni sampai sekarang, gejolak amandemen regulasi Hongkong ini telah berlangsung selama 60 hari, dan semakin lama semakin parah, aksi anarkis semakin menjadi-jadi, imbasnya terhadap masyarakat pun kian lama kian luas, bisa dibilang Hongkong tengah menghadapi situasi yang paling parah semenjak dikembalikan pada Tiongkok. Oleh sebab itu, seminar pada hari itu sangat penting, sangat istimewa.”

Dalam seminar itu, Zhang Xiaoming menyebut peristiwa anti ekstradisi sarat akan ciri khas “Revolusi Berwarna/Oranye”. 

Ia mengatakan para petinggi Komunis Tiongkok tengah “mengamati dan mengatur strategi berskala tinggi secara menyeluruh”, sementara Wang Zhiming mendeskripsikan situasi di Hongkong ini sebagai “perang hidup dan mati”, telah sampai pada tahap “tidak bisa mundur lagi”.

Dalam konferensi tersebut ia mengemukakan sejumlah poin penting, yang dapat dirangkum sebagai berikut:

Pertama, mutlak tidak bisa mentolerir semua tindakan yang memprovokasi tatanan satu negara dua sistem; 

kedua, mendukung pemimpin eksekutif Hongkong, polisi dan militer, serta semua kekuatan cinta negara dan cinta Hongkong, berharap Hongkong dapat “menghentikan dan menekan kekerasan”; 

ketiga, harus melakukan pekerjaan pelajar muda Hongkong. Dan para pelajar merupakan pilar andalan dalam aksi anti ekstradisi ini.

Selain itu, Zhang Xiaoming juga tidak menepis kemungkinan pasukan yang menduduki Hongkong akan turun tangan. 

Kalangan luar umumnya menilai, seminar di Shenzhen kali ini tidak memiliki makna baru. kontennya sama saja dengan konferensi pers yang digelar Kantor Hubungan Hongkong Makau pada 29 Juli dan 6 Agustus lalu. 

Pemerintah Komunis tiongkok tidak akan semudah itu mengirim pasukan ke Hongkong. Namun dalam seminar tersebut Zhang Xiaoming berulang kali menegaskan, kekuatan “cinta negara dan cinta Hongkong” akan ikut ambil bagian untuk menghentikan dan menekan kekerasan. 

Langkah ini membuat anggota kongres faksi demokrasi Hongkong yakni Mao Mengjing sangat meragukan apakah yang dimaksud Zhang adalah dengan menggunakan kelompok mafia, atau dengan cara memprovokasi antar kelompok massa yang satu melawan kelompok massa yang lain untuk menekan warga Hongkong?

Bagaimana “Si Lemah Memenangkan si Kuat, si Lembut Memenangkan si Keras”

Warga Hongkong konsisten dengan strategi “jadilah seperti air” yang fleksibel, yang memperlihatkan pemikiran Tao zaman Tiongkok kuno. 

Tapi di dalam kitab “Dao De Jing” karya Lao Tze, terdapat dua kalimat lain, yang pertama berbunyi : 

“Orang yang mampu mengemban dan mengatasi persoalan negara yang paling tidak ingin dikerjakan oleh siapa pun, adalah yang pantas menjadi pemimpin komunitas; dan yang mampu mengharmoniskan perkara negara yang paling tidak menyenangkan, adalah yang pantas menjadi penguasa.”

Tidak sedikit komentator berpendapat, dalam menghadapi oposisi, Komunis Tiongkok  tidak pernah menyelesaikan konflik. 

Melainkan menggunakan tangan besi untuk meredamnya, menggunakan kebijakan teror untuk menakutinya. 

Dilihat dari sejarah Komunis Tiongkok, adalah sama sekali tidak akan mungkin bisa mewujudkan moral politik Lao Tze di atas.

Lao Tze juga menuliskan: Prinsip yang lemah mengalahkan yang kuat, yang lembut mengalahkan yang keras, semua orang tahu, tapi sering kali tidak bisa melakukannya.

Tapi kini, para pengunjuk rasa Hongkong menggunakan strategi perlawanan “jadilah seperti air”, justru tengah mewujudkan hal ini.

Ada orang mungkin akan mengatakan, mereka adalah pelaku anarkis, lihat saja slogan mereka, “Pulihkan Hongkong, Revolusi Zaman”, paruh pertama kalimat ini dipertanyakan oleh Kantor Hubungan Hongkong Makau, apa yang dipulihkan? Lalu paruh akhir kalimat itu dibesar-besarkan oleh Kepala Eksekutif Hongkong yakni Carrie Lam, dengan mengatakan “para perusuh” berniat melakukan revolusi.

Tetapi, di hari yang sama pada 7 Agustus, sejumlah pengacara pemerintah dalam surat terbukanya bagi pemerintah Hongkong, telah memberikan penjelasan yang rasional secara hukum terkait slogan ini.

Dikatakan bahwa: Memahami “zaman” pada situasi seperti ini, warga Hongkong tidak sulit memahami. 

Para pengunjuk rasa menuntut “pemulihan”, adalah Hongkong yang otonomi berskala tinggi, dan Hongkong yang bangga akan hukum dan kebebasannya. 

Yang ingin dicapai dengan “revolusi” oleh pengunjuk rasa adalah pemilu demokratis yang sesungguhnya untuk memilih kepala eksekutif dan legislatifnya. 

Semua ini adalah hal yang dijanjikan dan diperbolehkan dalam “undang-undang dasar”.

(SUD/whs/asr) 

Di Tengah Hujan Lebat, Lebih dari 1,7 Juta Warga Hongkong Memprotes Kekerasan Polisi

0

Eva Pu – The Epochtimes

Lautan payung memenuhi jalan-jalan Hong Kong pada Minggu 18 Agustus.  Aksi ini menandai protes warga Hongkong yang telah menggelar aksi protes massal selama 11 minggu berturut-turut.

Protes warga Hong Kong diawali penolakan terhadap RUU ekstradisi ke Tiongkok. RUU ini memungkinkan rejim komunis Tiongkok menyeret orang-orang untuk menghadapi persidangan di daratan Tiongkok. Sejak itu aksi protes meluas atas tuntutan akuntabilitas polisi. Massa juga pemilihan secara demokratis.

Meskipun diguyur hujan deras, tak menyurutkan tekad warga. Lebih dari ratusan ribu warga Hongkong memenuhi kawasan Victoria Park. Mereka mengutuk kekerasan polisi selama demonstrasi sebelumnya. Partisipasi  yang luar biasa dari warga membuat lalu lintas di pusat kota tersendat.

Meskipun polisi tidak menyetujui permohonan unjuk rasa, penduduk setempat menentang larangan tersebut. Warga tetap tumpah ruah ke jalanan.

Menurut penyelenggara acara, the Civil Human Rights Front -CHRF-, Aksi ini menandai salah satu aksi protes massa terbesar dalam sejarah Hong Kong dengan partisipasi 1,7 juta orang.  

Kelompok itu menambahkan, perkiraan kerumunan massa tidak termasuk warga yang tidak dapat memasuki kawasan Victoria Park. Dikarenakan kerumunan massa yang besar. Warga juga pawai menuju kawasan Wan Chai, Admiralty, dan lokasi lainnya. Pawai itu diwarnai dengan kehadiran polisi yang sangat minim sepanjang acara hari Minggu.

CHRF dalam  pernyataan, Minggu malam merilis, pada kenyataannya telah membuktikan adalah warga Hongkong yang menjaga ketertiban dan bukan aparat kepolisian.  

Mereka menyatakan : “Tidak ada polisi, kita memiliki kedamaian!”

Seruan Tanpa Kekerasan

Kebrutalan polisi telah berkembang akhir-akhir ini di Hong Kong. Ini setelah seorang relawan perempuan medis ditembak di mata kanan dengan  peluru karet. Insiden itu terjadi selama bentrokan antara polisi dan pengunjuk rasa pada 11 Agustus lalu. 

Komisaris Tinggi Hak Asasi Manusia PBB dan Amnesty International, mengutuk taktik yang digunakan polisi Hong Kong saat membubarkan pengunjuk rasa. Tindakan brutal itu termasuk menembakkan gas air mata di dalam stasiun kereta bawah tanah yang tertutup. Polisi juga menembakkan peralatan pengendalian massa dari jarak dekat.

Sekitar pukul 3 sore pada hari Minggu itu, pengunjuk rasa mulai meninggalkan kawasan Victoria. Karena pawai itu tidak diizinkan oleh polisi dan tidak memiliki rute yang ditentukan, orang-orang mulai berbaris ke kawasan yang berbeda.

“Go Hongkongers,” “Rebut kembali Hong Kong, Revolution of Our Times,” kerumunan massa berteriak sambil memegang poster-poster yang menggambarkan tuntutan mereka. 

Warga dalam aksinya menyerukan agar RUU Ekstradisi yang ditangguhkan sepenuhnya ditarik, penyelidikan independen tentang penggunaan kekuatan polisi, dan membebaskan semua pengunjuk rasa yang ditangkap.

Sejak Juni lalu, polisi telah menggelar 740 penangkapan dan menembakkan lebih dari 1.000 kaleng gas air mata. Banyak orangtua membawa anak-anak mereka saat pawai itu. Warga mengatakan,  mereka ingin generasi yang akan datang mengetahui apa yang terjadi di Hong Kong.

Banyak warga Hongkong menyatakan kekhawatirannya atas RUU ekstradisi. RUU ini memungkinkan rezim Komunis Tiongkok untuk menghukum para pengkritiknya dengan impunitas.

Helena Wong, anggota legislatif unikameral kota itu, pada rapat umum itu mengatakan, bahwa pemerintah Hong Kong harus menanggapi tuntutan para pengunjuk rasa.

Helena mengatakan, semua warga Hongkong mengorbankan waktu  — dan semua yang mereka miliki — dalam pertempuran untuk Hong Kong yang demokratis, bebas, dan terbuka. 

Isaac Cheng Ka Long, wakil ketua partai pro-demokrasi Demosisto, mengatakan bahwa mereka sedang mengorganisir aksi pemogokan massa  untuk lebih meningkatkan gerakan. Ia mencatat bahwa sekitar 20.000 siswa telah menunjukkan dukungan untuk aksi mogok.

Menurut dia, di bawah masyarakat yang abnormal dan pemerintahan yang tidak normal ini, tidak ada cara bagi mereka untuk kembali ke sekolah secara normal. 

Banyak profesional medis juga berpartisipasi pada kegiatan itu. Mereka menyampaikan empati mereka untuk petugas medis wanita yang ditembak di mata. Mereka mengecam pemerintah dan polisi, karena “menutup mata” terhadap tuntutan para pemrotes.

Profesional medis ini menyatakan, mereka benar-benar peduli dengan masyarakat Hong Kong. Mereka juga menyatakan kepedulian terhadap setiap warga Hong Kong serta bersedia menuntun melewati masa paling kelam di Hong Kong. 

Avery Ng, pemimpin partai lokal Liga Sosial Demokrat, meminta lebih banyak orang untuk menghadiri protes dan menekan pemerintah untuk merespons. Aksi itu dinilai bukan hanya untuk masalah kebebasan warga Hong Kong, akan tetapi demi martabat manusia.

Menjelang sore, beberapa pengunjuk rasa belum meninggalkan Victoria Park untuk memulai aksi pawai.

Ribuan massa turut berkumpul di dekat markas besar pemerintah Hong Kong di Admiralty. Massa mengarahkan laser ke gedung itu. Aksi ini menyindir penangkapan seorang mahasiswa karena membeli pena laser. Anehnya,  polisi menyebutnya sebagai “senjata ofensif.”

Sekitar pukul setengah sebelas malam, polisi mengeluarkan pernyataan. Polisi memperingatkan para pemrotes untuk meninggalkan daerah tersebut. Kerumunan massa berangsur-angsur pulang pada tengah malam. Massa mengajak untuk pulang bersama.” Seruan ini untuk menghindari bentrokan dengan polisi.

Pemerintah Hong Kong juga merilis pernyataan dalam menanggapi aksi protes, meskipun berlangsung dengan damai dan tertib. Pemerintah Hong Kong menuding aksi itu mempengaruhi lalu lintas dan menyebabkan banyak ketidaknyamanan bagi masyarakat.

Pada  Sabtu 17 Agustus, ribuan orang juga menerjang badai petir untuk bergabung dalam aksi demonstrasi. Ketika itu, para guru-guru di sekolah Hong Kong menyatakan dukungannya kepada para demonstran muda.

Dukungan Dunia Internasional

Selama akhir pekan, aksi solidaritas untuk Hong Kong juga diadakan di kota-kota di seluruh dunia, termasuk Vancouver, Toronto di Kanada, London di Inggris,  Los Angeles, San Francisco, New York di Amerika Serikat, Melbourne dan Sydney di Australia dan Cologne di Jerman. 

Kanada dan Uni Eropa juga mengeluarkan pernyataan bersama yang mendesak pemerintah Hong Kong untuk menahan diri dan melakukan dialog inklusif dengan warga negara. 

Mereka menyebut kekerasan ketika warga Hongkong menggunakan hak-hak dasar mereka “tidak dapat diterima.”

Sementara itu, Senator AS Chuck Schumer dalam cuitannya menulis: “Partai Komunis Tiongkok harus menghadapi konsekuensi, Amerika mendengarkan rakyat Hong Kong.”

Civil Human Rights Front mengumumkan rencana untuk protes massa lainnya, yang akan berlangsung pada 31 Agustus. D halaman Facebook-nya menyatakan, Polisi seharusnya tidak mengeluarkan keberatan atas kegiatan tersebut, jika polisi dapat “memahami bahwa mereka akan mengalami kesulitan mencegah warga untuk bergabung dengan protes. ”  (asr)

“Rencana Kapal Karam” Menakutkan Pejabat Pemerintah Tiongkok, Pejabat Desa Harus Serahkan Paspornya

0

Li Wei/Li Jing – Epochtimes/NTDTV

Sebuah data survei internal yang diungkapkan oleh Komunis Tiongkok menunjukkan bahwa lebih dari 85% para elit Komunis Tiongkok siap-siap untuk melarikan diri meninggalkan jabatannya. 

Beberapa cendekiawan mengungkapkan bahwa pejabat Komunis Tiongkok menyembunyikan rencana yang disebut “Rencana Kapal Karam”. Pemerintah Komunis Tiongkok sangat khawatir tentang hal itu. 

Oleh karenanya saat ini, otoritas Beijing telah memperkuat pengendalian terhadap anggota partai yang dapat keluar negeri untuk masuk kembali. Mekanisme melarikan diri itu telah meluas ke pedesaan. Paspor resmi pejabat desa pun harus diserahkan.

Pada Jumat 9 Agustus 2019, media resmi Komunis Tiongkok melaporkan bahwa Distrik Pinggu di Beijing baru-baru ini memperluas cakupan manajemen untuk mengontrol perjalanan pribadi ke luar negeri. Kerja anti-pelarian telah meluas ke desa-desa seperti komite desa dan komite lingkungan.

Informasi yang dirilis situsweb bjsupervision.gov.cn atau Biro Inspeksi dan Pengawasan Disiplin Kota Beijing baru-baru ini, menyebutkan bahwa Distrik Pinggu, Kotamadya Beijing baru-baru ini mengeluarkan surat pemberitahuan.

Isinya meminta anggota tim komite desa yang berencana mengajukan paspor untuk ke luar negeri untuk keperluan pribadi, harus diperiksa secara ketat dan disetujui unit administrasi kotapraja.

Pemberitahuan tersebut menetapkan bahwa paspor perorangan anggota tim komite desa yang telah selesai dibuat, harus diserahkan ke departemen personalia kotapraja setempat. Sebelum perjalanan, departemen kotapraja akan memberikan pendidikan pra-keberangkatan. Selanjutnya, segera mengambil kembali paspor pejabat desa terkait setelah kembali dari luar negeri.

Melansir laman “The Beijing News”, menurut petugas yang bertanggung jawab Komite Inspeksi dan Disiplin Distrik Pinggu, pada awal tahun lalu, Distrik Pinggu memperluas pencegahan pelarian pejabat keluar negeri hingga ke personel kunci di tingkat departemen dan bawahannya. Tahun ini, anggota tim komite desa termasuk dalam sistem pencegahan pelarian.

Pemberitahuan itu menetapkan, bahwa paspor yang telah digunakan dalam perjalanan ke luar negeri dengan tujuan pribadi harus diserahkan ke departemen personalia organisasi jalan untuk pemusatan pengendalian. 

Sebuah sumber yakni orang yang bertanggung jawab atas Komisi Inspeksi Disiplin Distrik Pinggu itu mengatakan, bahwa pada awal tahun lalu, Distrik Pinggu memperluas pekerjaan anti-pelarian ke personel kunci di tingkat departemen dan di bawahnya. 

Tahun ini, anggota dari dua komite di desa akan dimasukkan dalam sistem anti-pelarian. Ruang lingkup objek anti-pelarian pun, akan lebih diperluas guna mencapai cakupan penuh dan tidak ada jalan pintas. 

Sebenarnya, sudah ada preseden para pejabat desa yang menyerahkan paspor mereka. Pada 2013, di kota Guangzhou para pejabat desa sudah diminta untuk menyerahkan paspornya. Sementara pada 2015, propinsi Wuhan telah melakukan penyatuan manajemen pengendalian paspor resmi desa.

Sebagai salah satu percontohan dari tiga pemantauan provinsi dan kota, Kantor Pelacakan Beijing mengeluarkan peraturan. Seperti dilakukan pada awal tahun ini, peraturan itu mengatur bahwa anggota partai dan pejabat pemerintah kota diminta untuk melapor ke kantor pelacakan kota. Ini jika mereka secara pribadi berangkat keluar negeri dan kembali tidak mengikuti prosedur normal. 

Pejabat Komunis Tiongkok Memiliki “Rencana Kapal Karam”

Dalam beberapa tahun terakhir, jumlah pejabat komunis Tiongkok yang melarikan diri ke luar negeri sangat mengejutkan. Jumlahnya semakin meningkat dari tahun ke tahun. 

Edisi Khusus Epoch Times menuliskan bahwa “kapal tua” Komunis Tiongkok akan hancur. Perihal itu telah diketahui oleh orang-orang Tionghoa pada umumnya. Oleh karena itu, tak heran semua orang berebutan cari jalan keluar melarikan diri dari Tiongkok. 

Saat ini, pejabat resmi dan lingkaran bisnis Komunis Tiongkok sedang mencari berbagai saluran untuk mengirim dana dan anggota keluarga ke luar negeri. Tujuannya, demi melindungi diri agar terelak dari bencana keruntuhan Komunis Tiongkok.

Cendekiawan Beijing, Chen Yongmiao pernah menulis di media Hong Kong, bahwa elit tingkat tinggi Komunis Tiongkok menyembunyikan sebuah “Rencana Kapal Karam”. Tingkat atas membunuh yang bawah dan mengekstraksi nilai surplus sosial. 

Mereka menggunakan uang rakyat membuka jalan untuk dirinya dan kemudian dengan cepat melarikan diri. Sementara itu lapisan rakyat yang lebih rendah dan keturunannya terpaksa jatuh ke lingkungan alami  keras dan rusaknya moralitas hati manusia.  

Artikel itu menyebutkan bahwa pejabat tinggi Komunis Tiongkok juga memiliki rencana “Perahu pada Hari Kiamat”. Negara yang bisa disuap telah disuap, dan yang bisa “cuci uang” telah lama “mencucinya.” Begitu hari itu datang, sistem penghancuran diri atau Jaringan Nasional  segera diaktifkan dan dihancurkan. 

Semua arsip bersejarah yang berbahaya akan dihancurkan. Seluruh keluarga dengan mudah diungsikan ke negara perlindungan. Kemudian mereka dapat melindungi beberapa generasi mereka dengan kedamaian dan kekayaan.

Pada awal 2010, materi penelitian dari Akademi Ilmu Pengetahuan Tiongkok mengungkapkan bahwa sejak pertengahan 1990-an, jumlah pejabat ekspatriat Komunis Tiongkok yang telah melarikan diri mencapai 16.000 hingga 18.000 orang. Sementara jumlah nilai uang pelarian mencapai 1.613 triliun Rupiah.

Bahkan Lin Zhe, seorang profesor dari Sekolah Partai Komunis pada tahun 2010 pula, mengungkapkan dalam “dua konferensi” Komunis Tiongkok.

Menurutnya selama 10 tahun dari 1995 hingga 2005, telah muncul 1,18 juta “pejabat telanjang” dalam Komunis Tiongkok, atau seluruh keluarga telah migrasi ke luar negeri.

Sementara itu Komisi Pusat untuk Inspeksi Disiplin memprediksi bahwa pelarian modal ilegal pada tahun 2013 akan mencapai 21.450 triliun Rupiah. Angka itu meningkat tajam 50% dari tahun 2012. Setelahnya akan meningkat dari tahun ke tahun.

Pejabat Senior Komunis Tiongkok Memegang Banyak Paspor

Melansir dari Epochtimes.com, sejak Wang Lijun yakni Mantan Kepala Kepolisian Kota Chongqing melarikan diri ke Konsulat Amerika Serikat di Chengdu, 6 Februari 2012, jajaran di kalangan pejabat komunis Tiongkok terus bergolak.

Meski menggenggam kekuasaan juga tidak memberi rasa aman yang sebenarnya kepada jajaran elite pejabat komunis Tiongkok. Mereka menyiapkan jalan keluar atau melarikan diri keluar negeri. Bukan rahasia lagi bahwa pejabat komunis Tiongkok memiliki banyak paspor dengan identitas berbeda.

Pada 2014, Zhu Mingguo, mantan Ketua Komite Provinsi Guangdong dari Konferensi Konsultatif Politik Rakyat Tiongkok (CPPCC) dan sekretaris mantan sekretarisKomiteSentral Politik dan Hukum Partai Komunis Tiongkok Provinsi Guangdong ditangkap.

Menurut laporan, para penyelidik menemukan sejumlah besar emas dan uang kertas dalam kotak yang berbeda di rumah mereka. Lalu dibawa dengan puluhan kendaraan, diantaranya termasuk 14 buah paspor Zhu Mingguo.

Mantan Wakil Presiden Mahkamah Agung Komunis Tiongkok, Xi Xiaoming ditangkap pada tahun 2015. Apartemen dan vilanya di kota Beijing digeledah oleh pihak berwenang. Diantaranya, ditemukan enam paspor di Dalian, tiga paspor perjalanan Hong Kong dan Makau. Total aset Xi Xioaming yang disita lebih dari sekitar 1,5 miliar yuan.

Ling Jihua, Mantan Kepala Departemen FrontPekerja Bersatu Komunis Tiongkok diselidiki oleh pihak berwenang pada tahun 2014. Menurut laporan, jumlah uang korupsi yang dikumpulkannya sangat fantastis. Hanya untuk biaya yang diberikan kepada tujuh wanita simpananya saja berjumlah lebih dari 40 juta yuan, dan memiliki 5 anak  serta 6 paspor dengan nama samaran.

Ling Jihua mengatakan, semua itu diurus langsung oleh Zhou Yongkang, yang digunakan untuk kebutuhan kerja dan keadaan darurat. Zhou Yongkang adalah kaki tangan bekas mantan Sekretaris Partai Komunis Tiongkok, Jiang Zemin.

Pada Juli 2015, orang kepercayaan Zhou Yongkang, Zhou Benshun, sekretaris Partai Komunis Tiongkok dan pejabat tinggi Provinsi Hebei diselidiki atas pelanggaran disiplin dan hukum. Ia  didakwa bekerja sama dengan Zhou Yongkang dan Ling Jihua dalam kegiatan yang melanggar disiplin dan hukum, dari lima rumahnya ditemukan 15 rekening bank dan 12 paspor.

Mantan kepala pelayan keluarga Jiang Zemin di kota kelahirannya di Yangzhou dan mantan walikota Nanjing, Ji Jianye diselidiki atas pelanggaran disiplin dan hukum pada tahun 2014. Menurut laporan media Hong Kong, Komisi Pusat untuk Inspeksi Disiplin menemukan 21 paspor dan 12 rekening bank masing-masing di vila Ji Jianye di Kunshan dan Yangzhou.

 Sebenarnya, otoritas Tiongkok tidak hanya memasukkan paspor pejabat partai dan personil pemerintah dalam sistem anti-pelarian, tetapi juga personil kunci untuk “Pemeliharaan stabilitas” komunis Tiongkok dan izin masuk dan keluar dari wilayah utama juga dikontrol dengan ketat.

Pada Oktober 2016, komunis Tiongkok juga pernah menulis surat pemberitahuan di sejumlah tempat di Xinjiang. Isinya meminta pemegang paspor untuk menyerahkan paspor mereka untuk peninjauan tahunan dan akan “menahan” paspor warga setelah peninjauan tahunan. Sumber mengatakan bahwa itu adalah kebijakan baru untuk kontrol paspor oleh otoritas Xinjiang. (lim/jon) 

FOTO : Menjelang perubahan besar dalam situasi politik Komunis Tiongkok, dimana meski menggenggam kekuasaan juga tidak memberi rasa aman yang sebenarnya kepada jajaran elite pejabat komunis Tiongkok, dan mereka menyiapkan jalan keluar atau melarikan diri keluar negeri. Foto : Bandara di Beijing. (AFP / GettyImages)

Pidato di Sidang Tahunan MPR RI, Presiden Jokowi : Kita Tidak Boleh Alergi Terhadap Kritik, Bagaimanapun Kerasnya Harus Diterima

0

EtIndonesia. Presiden Joko Widodo menyampaikan pidato di Sidang Tahunan MPR RI di Gedung Nusantara MPR/DPR/DPD-RI, Jakarta, Jumat (16/8/2019) pagi. Di antara bagian pidato itu, Presiden Joko Widodo mengatakan semua pihak agar tak alergi terhadap kritik.

Presiden Joko Widodo  menyampaikan apresiasinya terhadap segala pencapaian dari Lembaga-Lembaga Negara yakni MPR RI, DPR RI, DPD RI, BPK RI, Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial. Pencapaian itu adalah modal bersama untuk menghadapi tantangan masa depan. Meski demikian, Presiden berharap tidak boleh cepat berpuas diri.

Pada kesempatan itu, Presiden menyampaikan kepada lembaga-lembaga Negara agar saling bekerjasama. Presiden juga menyampaikan tak gerah dengan berbagai macam kritikan yang diterima.

“Kita perlu saling mengingatkan dan saling membantu. Kita tidak boleh alergi terhadap kritik,” demikian pidato Jokowi.

Presiden menyampaikan, kritikan tersebut haruslah dijadikan dorongan agar kembali bekerja keras untuk kepentingan rakyat. Bagaimana pun wujud kritikan tesebut harus diterima dengan baik.

“Bagaimanapun kerasnya kritik itu, harus diterima sebagai wujud kepedulian, agar kita bekerja lebih keras lagi memenuhi harapan rakyat,” katanya.

Jokowi menyampaikan, sebagai berada di dalam negara demokrasi, perbedaan antarindividu, perbedaan antar-kelompok, atau bahkan perbedaan antar-lembaga negara adalah sebuah keniscayaan.

Akan tetapi, kata Jokowi, perbedaan bukanlah alasan untuk saling membenci, bukan alasan  untuk saling menghancurkan, atau bahkan saling meniadakan.

“Jika perbedaan itu kita kelola dalam satu visi besar yang sama, maka akan menjadi kekuatan yang dinamis. Kekuatan untuk mencapai Indonesia Maju,” lanjut Jokowi.

Kepala Negara mengajak semua Lembaga-Lembaga Negara untuk membangun sinergi yang kuat guna menyelesaikan tugas sejarah Indonesia. Mendukung lompatan-lompatan kemajuan untuk mengentaskan kemiskinan, menekan ketimpangan, dan membuka lapangan kerja sebanyak-banyaknya.

Presiden mengajak, agar bergandengan tangan menghadapi ancaman intoleransi, radikalisme, dan terorisme. Serta ikut serta melahirkan lebih banyak lagi SDM-SDM unggul yang membawa kemajuan bangsa.

Saat awal pidatonya, Presiden menyampaikan, Demokrasi membutuhkan lembaga perwakilan rakyat yang berwibawa, kredibel, dan modern. Oleh karena itu, upaya Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) untuk melakukan konsolidasi kelembagaan harus didukung.  

“Upaya DPR untuk meningkatkan kualitas produk perundang-undangan harus didukung. Upaya DPR untuk menjalankan check and balances dalam satu visi besar yang sama juga harus didukung,’ ujarnya.

Presiden Jokowi menyampaikan tiga pidato pada Jumat (16/8/2019). Pertama Jokowi berpidato pada Sidang Tahunan MPR RI Tahun 2019. Selanjutnya, pada pukul lebih 10.00 WIB, Jokowi  menyampaikan Pidato Kenegaraan dalam rangka HUT ke-74 Kemerdekaan RI pada Sidang Bersama DPD RI-DPR RI. Pada hari itu, siangnya Presiden berpidato dalam rangka Penyampaian Pengantar/Keterangan Pemerintah atas RUU Tentang APBN Tahun Anggaran 2020 beserta Nota Keuangannya.

(asr)

6 Jurnalis Diintimidasi Pria Mengaku Polisi Saat Liput Demo Buruh di DPR, AJI Mengecam!

0

EtIndonesia. Sejumlah jurnalis mengalami kekerasan dan intimidasi oleh aparat kepolisian saat meliput massa pengunjuk rasa di sekitar Gedung DPR/MPR Jakarta, Jumat (16/8/2019). Saat itu bersamaan Presiden Joko Widodo menyampaikan pidato kenegaraan dan nota keuangan APBN Sidang Tahunan MPR/DPR/DPD-RI,Tahun 2019, di Gedung Nusantara, Komplek Senayan, Jakarta.  

Melansir dari siaran pers AJI Jakarta, sedikitnya enam jurnalis mengalami kekerasan tersebut. Peristiwa itu terjadi saat para pengunjuk rasa yang diamankan di Gedung TVRI sedang digiring ke mobil tahanan polisi. Sejumlah reporter dan fotografer kemudian mengambil gambar foto dan video.

Salah satu jurnalis SCTV, Haris dipukul di bagian tangan saat merekam video melalui ponselnya. Sebelumnya dia dilarang dan dimarahi ketika merekam menggunakan kamera televisi.

“Kamu jangan macam-macam, saya bawa kamu sekalian,” katanya menirukan ucapan polisi.

Haris menyatakan dirinya wartawan, namun polisi tak menghiraukan. Pelaku pemukulan mengenakan baju putih dan celana krem, diduga dari satuan Resmob. Beberapa polisi yang berjaga diketahui berasal dari Polres Jakpus.

Korban lainnya, jurnalis foto Bisnis Indonesia, Nurul Hidayat. Dia dipaksa menghapus foto hasil jepretannya. Menurutnya, pelaku mengenakan pakaian bebas serba hitam, berambut agak panjang, dan ada tindikan di kuping.

Fotografer Jawa Pos Miftahulhayat juga terpaksa menghapus foto di bawah intimidasi polisi. Dia diancam akan dibawa polisi bersama para demonstran yang diangkut ke mobil.

Begitu pula jurnalis Vivanews, Syaifullah yang mengalami intimidasi serupa. Polisi meminta rekaman video miliknya dihapus. Dia juga diancam akan diangkut polisi jika tak menghapus video.

Reporter Inews, Armalina dan dua kameramen juga mengalami intimidasi oleh oknum aparat berbaju putih. Salah seorang petugas bahkan berteriak, “Jangan mentang-mentang kalian wartawan ya!”.

Salah seorang wartawan media online ditarik bajunya dan dipaksa menghapus foto. Melihat kejadian itu, kru Inews tidak berani melawan kesewenangan aparat dan terpaksa menghapus videonya.

Kasus kekerasan terhadap jurnalis bukan kali ini saja terjadi. Tindakan melanggar hukum yang dilakukan aparat penegak hukum bukan hanya mencederai kebebasan pers, tapi juga mempermalukan institusi Polri di hadapan publik.

Aliansi Jurnalis Indonesia (AJI) Jakarta mendesak aparat kepolisian menghentikan intimidasi dan kekerasan tersebut karena jelas-jelas melanggar UU Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers.

Pasal 8 UU Pers menyatakan dalam menjalankan profesinya jurnalis mendapat perlindungan hukum. Merujuk pada KUHP dan Pasal 18 UU Pers, pelaku kekerasan terancam hukuman dua tahun penjara atau denda Rp500 juta.

Kasus kekerasan jurnalis oleh aparat kepolisian juga bertentangan dengan Nota Kesepahaman antara Dewan Pers dengan Polri Nomor 2/DP/MoU/II/2017. Pasal 4 ayat 1 menyebutkan para pihak berkoordinasi terkait perlindungan kemerdekaan pers dalam pelaksanaan tugas di bidang pers sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

“Kami mendesak aparat kepolisian menghentikan kasus kekerasan dan intimidasi terhadap jurnalis serta mengusut tuntas kasus ini,” kata Ketua AJI Jakarta Asnil Bambani.

Selain itu, AJI Jakarta juga meminta para pemimpin redaksi secara aktif melaporkan kasus kekerasan yang dialami jurnalisnya ke pihak kepolisian.

“Kami meminta para pemimpin masing-masing media untuk melaporkan kekerasan dan intimidasi yang dialami jurnalis tersebut ke Propam Mabes Polri terkait pelanggaran etik dan ke Polda Metro Jaya untuk proses hukum,” ujar Asnil.

Atas intimidasi dan kekerasan terhadap jurnalis, AJI Jakarta menyatakan:

1-Mengecam keras tindakan intimidasi dan kekerasan terhadap jurnalis yang meliput pengunjuk rasa di kawasan Gedung DPR/MPR.
2-Mendesak aparat kepolisian menangkap pelaku hingga diadili agar mendapat hukuman seberat-beratnya, sehingga kasus serupa tidak terulang kembali.
3. Meminta para pemimpin media massa untuk ikut melaporkan kasus kekerasan yang dialami jurnalisnya ke pihak kepolisian.
4. Mendesak aparat penegak hukum mengusut tuntas kasus-kasus kekerasan jurnalis sebelumnya, karena hingga kini belum ada kasus yang tuntas diadili di pengadilan.

(asr)

Komunis Tiongkok Memulai Perang Mata Uang – Lalu Apa Selanjutnya?

0

James Gorrie

Apakah perang dagang antara Amerika Serikat dan Tiongkok baru saja  menjadi perang mata uang? Jelas terlihat seperti itu.  Untuk pertama kalinya sejak Resesi Hebat Tahun 2008, nilai yuan turun di bawah rasio 7 : 1 terhadap dolar AS. 

Kebijakan devaluasi yang diamanatkan ini, merupakan respons yang sangat signifikan oleh Komunis Tiongkok. Tentunya, disertai dengan berbagai implikasi yang mungkin terjadi.

Manipulator Mata Uang

Langkah ini telah mendorong pemerintahan Trump secara resmi melabeli Komunis Tiongkok sebagai manipulator mata uang, yang mana menyebabkan kerugian besar di pasar saham. Kejadian itu sangat mungkin tidak dibenarkan, dikarenakan Komunis Tiongkok sebenarnya telah memanipulasi nilai Yuan selama bertahun-tahun. Hanya saja, dengan cara yang berlawanan.  James Gorrie  menilai, Yuan Tiongkok tidak diperdagangkan di pasar seperti mata uang lainnya. 

Sebaliknya, nilainya telah dikontrol secara hati-hati — yaitu dimanipulasi — oleh People’s Bank of China -PBOC- untuk diperdagangkan dalam pita sempit 2 persen ke atas atau ke bawah pada fixture resminya.

Paradoksnya, sanksi tarif cenderung melemahkan nilai mata uang, karena mereka melemahkan ekonomi di belakang mata uang. 

Dan, perlu dicatat bahwa hanya ketika People’s Bank of China menghentikan dukungannya terhadap yuan, dan membiarkannya “mengambang” di pasar,  nilainya terhadap dolar anjlok. Pasar memaksakan devaluasi ini, bukan dari bank sentral.

Komunis Tiongkok telah mengakui sebanyak mungkin dalam pernyataan terlampir mereka untuk devaluasi. Mereka mengatakan bahwa PBOC “telah mengumpulkan pengalaman yang kaya dan alat kebijakan. 

Selanjutnya, akan terus berinovasi dan memperkaya alat kontrol. Selain itu, mengambil tindakan yang diperlukan dan ditargetkan, terhadap perilaku umpan balik positif yang mungkin terjadi di pasar valuta asing. 

Devaluasi yang Diharapkan

Meskipun demikian, keputusan devaluasi Tiongkok  sebagai tanggapan atas keputusan Presiden Trump untuk menjatuhkan sanksi tarif, terhadap sisa barang berharga konsumen senilai $ 300 miliar yang telah dikeluarkan dari putaran tarif sebelumnya. 

Itu berarti, bahwa segala sesuatu yang diekspor Tiongkok ke Amerika Serikat, akan dikenai pajak. Akhirnya, membuat barang-barang Tiongkok kurang kompetitif. Dampaknya, menambah penderitaan bagi ekonomi Tiongkok yang sudah berkontraksi.

Membiarkan mata uang mereka terdevaluasi dengan kekuatan pasar adalah reaksi yang diharapkan. 

Ketika mata uang yuan yang lebih murah dibandingkan dengan dolar AS, membantu Komunis Tiongkok mengimbangi biaya tarif Trump yang lebih tinggi. Langkah mereka dengan menurunkan biaya barang-barang Tiongkok.

Akan Tetapi, keputusan Komunis Tiongkok untuk mendevaluasi mata uang, dapat memiliki dampak yang luas terhadap hubungan yang sudah tegang dengan Amerika Serikat. 

Langkah devaluasi memberikan kesan bahwa kepemimpinan Komunis Tiongkok telah meninggalkan gagasan, mencoba menderegulasi perang dagang dengan Presiden Trump. 

Sebaliknya, tampaknya mereka mencerminkan pendekatan garis keras Trump untuk negosiasi. Langkah Komunis tiongkok bukan pertanda baik bagi hubungan ekonomi AS-Tiongkok selama dua tahun ke depan. 

Biaya Politik dan Ekonomi untuk Xi dan Trump

Akan tetapi, masuk akal jika dikalkulasikan dengan angka.  Dalam hal politik, Trump sekarang dalam posisi yang lebih sulit daripada Xi.  Dikarenakan Trump menghadapi pemilu pada tahun 2020, sedangkan rezim Komunis Tiongkok tidak mengizinkan pemiu. 

Reaksi langsung dan negatif pasar saham terhadap devaluasi mata uang Yuan, membuat argumen Trump untuk pemilu kembali pada minggu ini lebih sulit daripada pekan lalu, apalagi tahun lalu.

Terlebih lagi, jika putaran tarif terbaru untuk barang-barang konsumen diterapkan. Konsumen Amerika mungkin merasakannya di dompet mereka, ketika harga di luar kantong naik. 

Sedangkan penolakan Komunis tiongkok untuk melakukan pembelian produk pertanian Amerika yang sudah disepakati, dimaksudkan untuk memukul produsen AS. Semua perkembangan ini mungkin dapat merusak upaya pemilihan Trump pada tahun 2020. Mungkin itulah inti hitungannya. 

Menunggu untuk melihat apakah Trump diganti pada tahun 2020, mungkin merupakan faktor besar dalam keputusan devaluasi kepemimpinan Komunis Tiongkok. Jika karena itu, Komunis Tiongkok mungkin berakhir dengan kekecewaan.

Mata uang yang terdevaluasi merusak orang-orang Tiongkok dan menyebabkan pelarian modal serta mengganggu pasar. Pada akhirnya, juga merusak ekonomi Tiongkok. Ketika Rezim Tiongkok sudah harus menyelamatkan tiga bank kecil tahun ini, kejadian itu bukan sebuah kebetulan.

The Fed Akan Bereaksi Terhadap Perang Perdagangan

Menanggapi devaluasi yuan, The Fed telah mengindikasikan akan memangkas suku bunga lebih lanjut jika kondisi ekonomi menuntutnya. 

Sedangkan, subsidi pertanian adalah kemungkinan yang berbeda, karena mereka telah digunakan untuk mengimbangi kerugian petani Amerika sebelumnya atas pasar kedelai Tiongkok. 

Dengan kata lain, dampak tembakan pertama Komunis Tiongkok dalam perang mata uang mungkin tidak seefektif yang mereka inginkan. 

Tetapi siklus retribusi dan respons, tidak akan berhenti di situ. Komunis Tiongkok melanggar komitmennya kepada G20 untuk tidak terlibat dalam “devaluasi kompetitif.” 

Langkah itu persis seperti apa yang mereka lakukan, dan tidak sepintar yang mereka pikirkan. Ketika nilai yuan menjadi murah, tidak hanya merugikan produsen Amerika, tetapi juga mitra dagang utama Tiongkok lainnya, seperti Zona Euro dan Jepang.

Tarif Taktis dan Strategis

Secara strategi, sanksi tarif barang-barang Tiongkok adalah untuk membuat Komunis Tiongkok mengubah perilaku perdagangan yang bermusuhan. Proyek OBOR, perangkap utang OBOR, spyware Huawei-nya yang tersebar luas, praktik mengakar pencurian teknologi dan IP, dan praktik-praktik lainnya yang memberikan rejim perdagangan Komunis Tiongkok yang tidak adil. Inilah semua keuntungan perdagangan tak adil, yang mana ingin dihentikan oleh Presiden Trump. 

Lebih jauh lagi, Komunis Tiongkok harus memenuhi janjinya untuk membuka pasarnya bagi perusahaan-perusahaan Barat.

Akan tetapi, masih  diragukan bahwa Komunis Tiongkok  memiliki rencana untuk mengubah perilakunya secara fundamental. Dikarenakan, tindakannya itu telah menyebabkan munculnya kekuatan rezimnya. 

Keputusan Komunis Tiongkok untuk mendevaluasi mata uang, dirancang untuk membalikkan pemikiran pemerintahan Trump tentang tarif terhadap barang-barang Tiongkok. 

Bahkan, keputusan Tiongkok untuk memoderasi devaluasi, tidak berarti ia akan berubah. Karena itu, tidak dapat melakukannya tanpa melemahkan cengkraman kekuasaan Komunis Tiongkok. 

Bisa dipahami, Komunis Tiongkok  ingin kembali ke status quo. Ini tidak akan terjadi. Dari sudut pandang struktural, sanksi tarif lebih merugikan Tiongkok daripada merugikan Amerika Serikat, setidaknya dalam jangka pendek. 

Tetapi dari sudut pandang strategis, jika tidak  perang dagang dirancang untuk menginisiasi mempercepat kehancuran ekonomi komando Komunis Tiongkok dan pemerintahan Komunis Tiongkok. Untuk kedua alasan ini, kemungkinan besar perang dagang akan semakin sengit. (asr)

James Gorrie adalah Penulis buku “The China Crisis”

FOTO : Uang kertas Tiongkok 100 yuan, 10 yuan dan satu yuan, sebuah ilustrasi yang diambil di Beijing, (Fred Dufour / AFP / Getty Images)

Pembangkit Listrik Batubara yang Didukung Tiongkok Menghadapi Penolakan di Kenya

0

Dominic Kirui, Spesial untuk The Epoch Times

Ali Abdala Haji sedang menyiangi ladang jagungnya di desa Kwasasi, kabupaten Lamu, beberapa mil dari garis pantai Samudra Hindia di Kenya.

Jika pembangkit listrik tenaga batu bara yang direncanakan dibangun di dekat ladang kecil miliknya, Ali Abdala Haji yakin seluruh tanaman jagung miliknya akan habis dalam beberapa tahun, tertutup  debu dari pabrik batu bara itu.

Ali Abdala Haji adalah seorang ayah enam orang anak yang berusia 69 tahun. Keluarganya bergantung pada pertanian untuk menghidupi  anak dan istrinya serta menyekolahkan anak-anaknya. Begitu anak-anaknya sudah cukup besar, mereka juga membantu di pertanian. Setelah cukup besar, dua orang anak Ali Abdala Haji berupaya mencari nafkah dengan memancing.

“Kami tidak tahu sumber mata pencaharian lain, saya dan istri saya selalu berangkat dari rumah setiap hari untuk bekerja di ladang sepanjang hari,” kata Ali Abdala Haji kepada The Epoch Times.

Namun, putusan pengadilan baru-baru ini telah meningkatkan optimisme di antara beberapa penduduk setempat bahwa pembangunan pembangkit listrik tenaga batu bara akan dihentikan.

Perlawanan Setempat

Pada tahun 2013, Kenya memprakarsai rencana untuk pembangkit listrik tenaga uap berbahan bakar 1.050 megawatt yang akan dibangun beberapa meter dari ladang Ali Abdala Haji dan para tetangganya.

Kontrak tersebut diberikan pada tahun 2014 kepada Amu Power Co, sebuah konsorsium perusahaan energi dan perusahaan investasi Kenya, Gulf Energy and Centrum Investment, dan tiga perusahaan Tiongkok. 

Amu Power telah menandatangani kontrak konstruksi dengan Power Construction Corp of China, yang memiliki dua anak perusahaan dalam konsorsium itu. Lebih dari setengah pembiayaan untuk proyek senilai usd 2 miliar tersebut akan berasal dari Industrial and Commercial Bank of China.

Fasilitas itu akan menjadi pembangkit listrik tenaga batu bara pertama di Kenya, dan telah menghadapi perlawanan keras dari penduduk kabupaten Lamu sejak pemerintah Kenya mengidentifikasi Kwasasi sebagai lokasi untuk konstruksi.

Warga dan aktivis lingkungan hidup setempat khawatir akan dampak pembangkit listrik tenaga batu bara terhadap ekosistem laut yang rapuh di daerah itu, dan dipandang sebagai rencana yang tidak memadai untuk menangani abu batu bara yang beracun.

Pada akhir tahun 2016, warga dan aktivis lingkungan hidup setempat mengajukan banding terhadap Amu Power dan Otoritas Lingkungan Hidup Nasional, yang memberikan izin konstruksi tersebut.

Pada tanggal 26 Juni, Pengadilan Lingkungan Hidup Nasional, yang berada di bawah naungan Mahkamah Agung Kenya, menangguhkan pembangunan fasilitas itu, dengan mengatakan bahwa izin yang dikeluarkan oleh Otoritas Lingkungan Hidup Nasional adalah ilegal dan memerintahkan agar dilakukan penilaian dampak lingkungan hidup dan sosial yang baru dari pabrik batubara.

Masalah Lingkungan Hidup

Pembangkit listrik tersebut akan dibangun sekitar 12,4 mil dari Kota Tua Lamu, sebuah pemukiman di pulau yang berusia 700 tahun yang telah dinobatkan sebagai situs Warisan Dunia oleh UNESCO.

Warga setempat, yang keluarganya telah tinggal di daerah itu selama beberapa generasi, khawatir akan dampak lingkungan hidup yang merugikan terhadap mata pencaharian, kualitas hidup, dan kebudayaan mereka.

Saat merayakan hasil petisi pengadilan, Mohammed Mbwana, wakil ketua Save Lamu – sebuah LSM yang membela masalah lingkungan hidup, hukum, dan sosial di sekitar Lamu, mengatakan bahwa perlu terlebih dahulu memprioritaskan dampak lingkungan hidup dari proyek itu.

“Bahkan hal tersebut bukanlah untuk kita, karena kita sudah tua, tetapi kita harus memikirkan generasi kita yang akan datang dan juga kehidupan di lautan maupun di darat,” kata Mohammed Mbwana.

Psamson Nzioki, seorang pencinta lingkungan hidup bersama dengan Transparansi Internasional-Kenya, mengatakan bahwa sangat disayangkan bahwa para pemimpin Kenya memilih untuk “membutakan dirinya sendiri” terhadap potensi kerusakan yang disebabkan oleh pabrik batu bara ke wilayah itu, dan memungkinkan orang Tiongkok untuk memajukan proyek tersebut.

“Para pemimpin Kenya harus bangkit dan melindungi negara dan lingkungan hidupnya untuk generasi sekarang dan mendatang,” kata Psamson Nzioki.

Adapun Ali Abdala Haji dan rekan-rekan petani di Kwasasi, mereka hanya berharap mata pencahariannya tidak akan hancur.

“Sebagai petani setempat yang telah bertani selama bertahun-tahun hingga kini, kami hanya akan menyambut proyek pembangunan yang baik oleh pemerintah kami, selama proyek tersebut tidak akan menghancurkan kehidupan kami dan pertanian yang menjadi sandaran kami untuk memperoleh makanan,” kata Ali Abdala Haji. (vv)

FOTO : Swaleh Elbusaidy, seorang pengacara lingkungan masyarakat di Save Lamu, menunjuk ke kejauhan untuk menjelaskan efek dari pabrik batubara terhadap lingkungan sambil berdiri di lokasi yang diusulkan untuk pabrik batubara pada 10 Juli 2019. (Dominic Kirui untuk The Epoch Times)