Tang
Hao
Beberapa hari lalu
Presiden Trump mengumumkan tentang pengenaan tarif impor tambahan 10% terhadap
komoditas Tiongkok senilai USD. 300 miliar yang akan efektif 1 September 2019
mendatang.
Keesokan harinya,
komunis Tiongkok mendevaluasi mata uangnya hingga menembus angka 7. Kemudian
Trump mendaftarkan Tiongkok sebagai negara manipulator mata uang, dan
komunis Tiongkok mengumumkan penghentian pembelian produk pertanian Amerika
Serikat.
Trump juga terus
mendesak Federal Reserve untuk memangkas suku bunga dan membiarkan dolar
terdepresiasi.
Mengapa Trump
membiarkan perang dagang berkembang menjadi perang mata uang?
Apakah perang
dagang mampu menghentikan devaluasi renminbi?
Risiko apa yang
mungkin dihadapi ekonomi Tiongkok akibat perang mata uang, atau mempercepat
munculnya bahaya tersembunyi jangka panjang yang ada dalam ekonomi
Tiongkok?
Sebelumnya, mari
kita tinjau terlebih dahulu perkembangan dari kejadian.
Pada 31 Juli 2019,
negosiasi dagang yang diadakan di Shanghai berakhir dengan tanpa menghasilkan
kesepakatan, bahkan pembicaraan berakhir setengah jam lebih awal dari jadwal.
The Fed menurunkan
suku bunga 0.25 poin dan mengisyaratkan rencana penurunan lebih lanjut.
Pada 1 Agustus
2019, pemerintahan Trump mengumumkan rencana menambah tarif impor sebesar 10%
terhadap komoditas Tiongkok senilai USD. 300 miliar efektif 1 September 2019
yang sempat mengejutkan dunia.
Pada 4 Agustus
2019, Penasehat Gedung Putih Peter Navarro saat berwawancara dengan Fox News
mengatakan bahwa, pemerintah Tiongkok telah melakukan “Tujuh
kejahatan” yang berkaitan dengan perdagangan dengan Amerika Serikat.
Kejahatan itu, termasuk mencuri hak kekayaan intelektual, mengalihkan teknologi
wajib, memanipulasi nilai tukar mata uang dan lainnya.
Pada 5 Agustus 2019,
nilai tukar RMB di darat dan lepas pantai turun turun hingga menembus angka 7.
Trump berulang kali mengirim pesan tweet yang mengkritik komunis Tiongkok
melakukan manipulasi nilai tukar dan membiarkan nilai tukar RMB jatuh ke rekor
terendah.
Tak lama kemudian,
Kementerian Keuangan Amerika Serikat mengumumkan perihal memasukkan
Tiongkok ke dalam daftar negara manipulator mata uang. Komunis Tiongkok pertama
kali dimasukkan daftar sebagai negara manipulator mata uang pada tahun 1994.
Pada 6 Agustus 2019,
Kementerian Perdagangan Tiongkok mengumumkan penghentian sementara pembelian
produk pertanian AS, dan menaikkan tarif impor produk pertanian Amerika
Serikat.
Pada 7 Agustus
2019, Trump berturut-turut mengirim 3 pesan tweet yang isinya antara lain,
masalah terbesar di Amerika Serikat bukanlah Tiongkok melainkan Federal
Reserve. Ia mengkritik The Fed karena terlalu cepat dalam melakukan pengetatan
dana, karena Amerika Serikat saat ini tidak mengalami masalah inflasi, bahkan
seharusnya mempercepat pemangkasan suku bunga.
Pada hari yang
sama, Gedung Putih mengeluarkan larangan sementara, melarang lembaga-lembaga
federal membeli produk telekomunikasi dari kelima perusahaan Tiongkok termasuk
Huawei.
Lalu mengapa
perang dagang ditingkatkan menjadi perang mata uang ?
Amerika Serikat dan
Tiongkok telah terlibat dalam perang dagang yang sengit dalam beberapa hari
terakhir. Mengapa Trump sekarang mengobarkan perang mata uang? Inilah 3 alasan
utamanya :
Alasan pertama : Komunis Tiongkok tidak beranjak dari ‘taktik mengulur waktu’, enggan bersepakat
Perang dagang yang
sudah berlangsung selama 1 tahun, tetapi hasilnya nyaris nihil. Meskipun kedua
belah pihak pada akhir bulan Mei 2019 lalu hampir mencapai kesepakatan, tetapi
komunis Tiongkok tiba-tiba pada menit terakhir mengingkari janji yang sudah
dibuat sebelumnya.
Akhir tahun lalu, penulis
pernah menyinggung soal ‘taktik mengulur waktu’ yang bakal dimainkan komunis
Tiongkok dalam negosiasi perdagangan. Kelihatannya komunis Tiongkok enggan
berunding dengan pemerintahan Trump, jadi mencoba mengulur waktu sampai
terpilihnya presiden Amerika Serikat baru pada tahun 2020.
Sebagai
negosiator ulung, Trump tentu tahu komunis Tiongkok hanya menanti perubahan
melalui berjalannya waktu. Oleh karena itu, Trump merasa perlu untuk melawan
ulah Beijing itu dengan memerangi renminbi.
Presiden Trump pada
26 Juli 2019 lalu mengatakan, “I don’t think, personally, China would sign a
deal if I had a 2 percent chance of losing the election. I think China would
probably say, “Let’s wait. Let’s wait. Maybe Trump will lose and we can deal
with another dope or another stiff”.
Alasan kedua :
Komunis Tiongkok mundur teratur karena Trump tidak lagi percaya Tiongkok
Hal paling penting
yang merupakan dasar dari setiap negosiasi adalah kepercayaan. Jika tidak ada
lagi kepercayaan, maka semua negosiasi seperti mendirikan bangunan di atas
pasir, tidak mungkin stabil.Setelah 12 putaran negosiasi perdagangan dengan
Tiongkok, pemerintahan Trump memutuskan untuk memberlakukan tarif yang sempat
ditunda dan mengobarkan perang baru di medan mata uang untuk menekan
Beijing.
Hal itu juga
mencerminkan bahwa Trump enggan untuk memberikan kepercayaan dan kesabaran kepada
komunis Tiongkok. Peluang untuk menyelesaikan masalah perdagangan melalui
negosiasi tampaknya sudah semakin kecil.
Alasan ketiga :
Trump kecewa terhadap otoritas Xi Jinping walau tetap berbicara halus
Peluncuran perang
mata uang oleh Trump kali ini dapat dikatakan sebagai back thrust yang tidak
terduga, atau setidaknya Beijing tidak berpikir bahwa perang mata uang akan
datang begitu cepat.
Faktanya, gerakan cepat Trump juga
mencerminkan kekecewaannya terhadap rezim Xi Jinping. Namun, ia masih ingin
menyediakan ruang untuk manuver interaksi bagi 2 orang dengan tetap berbicara
secara halus alias tidak menyakitkan.
Ekonomi Tiongkok
menghadapi 7 risiko sebagai dampak perang mata uang
Menurut penulis,
perang mata uang itu akan membawa setidaknya tujuh risiko besar kepada
ekonomi Tiongkok. Atau, itu akan mempercepat munculnya ketujuh masalah jangka
panjang yang tersembunyi dalam ekonomi Tiongkok.
Risiko pertama :
Depresiasi renminbi jangka panjang, aset menyusut
Meskipun Bank
Sentral Tiongkok membantah memanipulasi nilai tukar, tetapi dapat dilihat dari
grafik nilai tukar bahwa nilai tukar dolar Amerika Serikat terhadap renminbi
telah naik sebesar 4,6% dalam tiga bulan terakhir. Dengan kata lain, RMB telah
mengalami depresiasi tajam.
Ditambah lagi
Amerika Serikat akan mengenakan tarif tambahan 10% pada komoditas Tiongkok
mulai 1 September 2019 mendatang.
Pihak berwenang
Tiongkok akan membiarkan nilai renminbi terdepresiasi, dengan demikian dapat
digunakan untuk mengurangi sebagian beban dari kenaikan tarif Amerika Serikat,
dan meningkatkan perdagangan ekspor Tiongkok.
Pada saat yang
sama, karena penurunan ekonomi Tiongkok komunitas investasi umumnya pesimis
dengan pasar jangka pendek Tiongkok. Ditambah lagi Amerika Serikat telah
mendaftarkan Tiongkok sebagai negara manipulator mata uang, sehingga akan
semakin memberikan dampak psikis terhadap pasar investasi dan untuk
mengantisipasi depresiasi renminbi.
Hal itu akan
mendorong investor untuk melepas renminbi. tetapi akibatnya, akan memperdalam
tren penurunan jangka panjang nilai renminbi. Bahkan beberapa orang telah
memperkirakan bahwa nilai tukar renminbi ke dolar Amerika Serikat bisa mencapai
7,4 atau 7,5.
Depresiasi renminbi
juga akan menyebabkan depresiasi aset dalam mata uang renminbi di Tiongkok.
Sebagai contoh, nilai aktual rumah Tiongkok juga akan menyusut.
Risiko kedua :
Inflasi, daya beli dan kualitas kehidupan masyarakat menurun
Depresiasi
renminbi akan menyebabkan penurunan daya beli, nilai uang berkurang. Ketika
nilai uang semakin berkurang, itu membuat harga barang relatif lebih mahal.
Apalagi Tiongkok selain sebagai pabrik dunia, tetapi Tiongkok juga mengimpor
sejumlah besar barang dari luar negeri, terutama makanan dan minyak, ini adalah
barang impor utama Tiongkok.
Namun, depresiasi
renminbi akan menyebabkan barang asing menjadi mahal, dan jumlah barang yang
diimpor relatif akan berkurang. Sebagaimana teori pasar bahwa barang langka
harga mahal, maka inflasi terjadi.
Sejak perang dagang
berkobar sejumlah masyarakat daratan mungkin merasakan tekanan akibat kenaikan
harga barang. Renminbi terus mengalami depresiasi, ditambah dampak dari
menjangkitnya penyakit demam babi Afrika dan banjir besar di sejumlah wilayah
bagian selatan Tiongkok, dapat diprediksi bahwa kenaikan harga pangan masih
akan berlanjut.
Menurut data resmi
dari pemerintah Tiongkok, harga makanan di Tiongkok pada bulan Juni 2019
telah naik 8,3% dibandingkan periode yang sama tahun lalu. Di antaranya, harga
buah segar naik 42,7%, dan harga daging ternak naik 14,4%, terutama harga
daging babi naik 21,1%.
Sekarang perang
tarif dan perang mata uang terjadi bersamaan. Jika komunis Tiongkok masih ingin
membiarkan renminbi terdepresiasi demi mengimbangi beban naiknya tarif, maka
hal itu akan membuat daya beli masyarakat semakin melemah dan menyebabkan
penurunan daya beli masyarakat yang akhirnya mempengaruhi kehidupan sehari-hari
masyarakat daratan.
Risiko ketiga :
Memperparah krisis utang Tiongkok
Dalam dua atau tiga
tahun terakhir, hampir semua media arus utama internasional terus
mengingatkan bahwa krisis ekonomi Tiongkok terutama disebabkan oleh masalah
hutang, dan bahkan mungkin dapat memicu tsunami finansial versi Asia.
Banyak perusahaan
BUMN dan swasta Tiongkok selain meminjam dana dari perbankan dalam negeri, juga
dari perbankan internasional dalam jumlah yang sangat besar.
Menurut Kantor
Administrasi Valuta Asing Negara, angka utang luar negeri Tiongkok saat ini
adalah sekitar USD. 2 triliun. Tetapi industri umumnya percaya bahwa angka itu
direndahkan. Industri memperkirakan bahwa jumlah utang luar negeri Tiongkok
diperkirakan mencapai USD. 3,5 triliun. Angka itu telah melampaui cadangan
devisa Tiongkok yang hanya USD. 3 triliun.
Selain itu, lebih
dari 60% hutang luar negeri Tiongkok termasuk dalam hutang jangka pendek yang
harus dikembalikan setelah satu tahun. Sekarang nilai tukar renminbi terus
terdepresiasi, yang berarti bahwa perusahaan harus menggunakan jumlah renminbi
yang lebih banyak untuk membayar hutang mereka.
Jadi itu sama
dengan memperparah dan memperdalam masalah utang sektor pemerintah dan
swasta. Selain itu, jika pertumbuhan ekonomi terus menurun, tidak mudah bagi
perusahaan menghasilkan uang untuk membayar hutang. Hal itu memungkinkan
munculnya badai ekonomi berskala besar.
Risiko keempat :
Meningkatkan krisis sistemik industri keuangan Tiongkok
Jika terjadi
kebangkrutan perusahaan dalam jumlah besar atau mereka gagal membayar utang,
maka badai itu akan menghempas juga ke sistem perbankan Tiongkok, mengakibatkan
kredit macet (bad debt) meningkat tajam. Kerugian usaha perbankan membesar dan
bahkan menimbulkan krisis rantai modal.
Sebagai contoh,
baru-baru ini, China Merchants Bank dan Bank of Jinzhou telah berturut-turut
mengalami krisis keuangan hingga manajemennya diambil-alih pemerintah. Bahkan,
itu sudah menjadi peringatan yang sangat serius, karena masalah kredit macet
sudah biasa terjadi di daratan Tiongkok, yang pasti, bukan hanya satu atau dua
bank yang mengalami situasi itu.
Oleh karena itu
jika renminbi mengalami depresiasi jangka panjang, lalu menyulut krisis utang,
itu akan memicu krisis utang perusahaan. Kemudian memicu krisis sistemik
industri keuangan, membentuk gejolak keuangan yang lebih besar, dan badai
tersebut tidak hanya berpengaruh terhadap Tiongkok, tetapi juga sistem
perbankan asing.
Risiko kelima :
Mempercepat larinya modal
Jika tren
depresiasi jangka panjang dari renminbi dan pengaruh psikisnya tidak dapat
diatasi, itu pasti akan mempercepat pelarian modal dari daratan Tiongkok,
mencoba mengalihkan dananya ke luar negeri untuk melindungi nilai. Pada saat
yang sama, dana asing secara alami tidak akan masuk.
Risiko keenam :
Mempercepat hengkangnya perusahaan dan aset
Jika renminbi
terdepresiasi untuk waktu yang lama, meskipun mungkin dapat membantu
perdagangan ekspor dan manufaktur industri, tetapi dengan terdepresiasinya renminbi
untuk waktu yang lama, akan menyebabkan daya beli masyarakat Tiongkok menurun.
Di samping itu, juga menyebabkan biaya impor bahan baku dari luar negeri
menjadi tinggi, dan pada akhirnya mempengaruhi biaya operasi perusahaan.
Kecuali, jika bahan
baku seperti tanah jarang yang semuanya dihasilkan dari Tiongkok sendiri, itu
jelas tidak terpengaruh.
Oleh karena itu,
suasana lingkungan jangka panjang yang tidak kondusif untuk operasi bisnis itu
cenderung mendorong lebih banyak perusahaan untuk keluar dari daratan Tiongkok.
Hal itu untuk menggeser kapasitas produksinya langkah demi langkah untuk
mendiversifikasi risiko dan mengurangi biaya operasi jangka panjang.
Sebagai contoh,
Reuters baru-baru ini mengungkapkan bahwa Foxconn siap untuk menjual pabrik
panel 10,5-generasi di kota Zengcheng, Guangzhou. Pabrik panel tersebut
merupakan hasil kerja sama anak perusahaan Foxconn dengan pemerintah Kota
Guangzhou, dengan total investasi sebesar USD. 8,8 miliar.
Meskipun berita itu
terjadi sebelum dimulainya perang mata uang, tetapi Foxconn mungkin saja telah
melihat bahwa prospek bisnis di daratan Tiongkok tidak optimis, sehingga lebih
baik melegonya meski rugi. Secara bertahap mentransfer aset perusahaan untuk
menghindari kerugian yang lebih besar.
Risiko ketujuh :
Tingkat pengangguran meningkat
Jika perusahaan
mempercepat hengkang dari Tiongkok, lapangan kerja pasti berkurang. Ditambah
lagi renminbi mengalami devaluasi yang melemahkan daya beli masyarakat.
Hal itu juga akan
mempengaruhi pendapatan penjualan industri jasa dan industri manufaktur,
menyebabkan perusahaan-perusahaan enggan mengekspansi usaha, dan bahkan
kemungkinan Pemutusan Hubungan Kerja – PHK dan pemotongan gaji untuk bertahan
hidup di saat ekonomi memasuki “musim dingin”.
Meskipun secara
resmi tingkat pengangguran di perkotaan Tiongkok dilaporkan hanya 5,1%, tetapi
semua orang tahu bahwa data itu hanya perhitungan untuk daerah perkotaan dan
tidak termasuk pedesaan yang jumlahnya sangat besar. Apalagi data resmi komunis
Tiongkok itu biasanya direkayasa terlebih dahulu.
China International
Capital Corporation (CICC) baru-baru ini mengumumkan bahwa dari sejak bulan
Juli hingga saat ini, lapangan kerja industri di daratan Tiongkok telah
berkurang sebanyak 5 juta.
Ditambah lagi,
Perdana Menteri Li Keqiang baru-baru ini secara terbuka menekankan agar semua
jajaran untuk memprioritaskan lapangan kerja. Media resmi juga berulang kali
memberitakan masalah pekerja yang “pulang kampung untuk
berwirausaha.” Itu dapat berarti bahwa pengangguran dan pasar kerja
aktual Tiongkok telah mengalami krisis yang parah.
Secara umum, jika
komunis Tiongkok terus membiarkan renminbi terdepresi, atau gagal untuk
mencegah turunnya nilai renminbi, itu mungkin saja tidak hanya menyulut letusan
ketujuh risiko yang baru saja disebutkan, tetapi juga menyebabkan penurunan
yang lebih cepat dalam ekonomi Tiongkok. Hal itu membuat masyarakat di daratan
Tiongkok semakin menderita.
Selain itu, pada
bulan Oktober 2019 mendatang, akan menjadi saat yang kritis karena pada saat
pesanan untuk akhir musim belanja Amerika Serikat hampir habis dikirimkan.
Ditambah lagi dengan berakhirnya waktu penyelidikan kasus tentang apakah
komunis Tiongkok menggunakan celah aturan World Trade Organization – WTO untuk
mengeksploitasi manfaat.
Pada saat itu, apakah Amerika Serikat akan memberlakukan tarif yang lebih tinggi terhadap komoditas Tiongkok? Atau menerapkan sanksi lain? Patut kita ikuti bersama. (sin)
FOTO : Uang kertas 100 yuan Tiongkok di Beijing, pada tanggal 9 Februari 2017. (FRED DUFOUR / AFP / Getty Images)