Home Blog Page 1851

Gempar Disertasi Seks di Luar Nikah, MUI : Pemikiran Menyimpang, Harus Ditolak karena Menimbulkan Kerusakan Moral Akhlak Umat dan Bangsa

0

Erabaru.net. Masyarakat Indonesia menjadi heboh setelah viralnya sebuah disertai yang berjudul  “Konsep Milk al-Yamin Muhammad Syahrour sebagai Keabsahan Hubungan Seksual non-Marital.” Majelis Ulama Indonesia (MUI) pada Senin (3/9/2019) menyatakan  pemikiran seperti itu menyimpang. Oleh karena itu, MUI menyatakan harus ditolak karena menimbulkan kerusakan moral akhlak umat dan bangsa.

Melansir dari berbagai sumber, penulis disertasi itu bernama Drs Abdul Aziz MAg (51). Ia adalah kandidat doktor ilmu hukum di Program Pascasarjana Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga, Yogyakarta. Ia adalah dosen Fakultas Syariah IAIN Surakarta, Solo, Jawa Tengah.

Atas polemik yang terjadi, si penulis Abdul Aziz menyatakan mempertimbangkan kontroversi terkait disertasi yang dtulisnya, maka ia menyatakan akan merevisi disertasi tersebut berdasarkan atas kritik dan masukan dari para promotor dan penguji pada ujian terbuka, termasuk mengubah judul menjadi “Problematika Konsep Milk al-Yamin dalam Pemikiran Muhammad Syahrour” dan menghilangkan beberapa bagian kontroversial dalam disertasi.

BACA JUGA :  Bagaimana Roh Jahat Komunisme Sedang Menguasai Dunia Kita : Bab VII – Penghancuran Keluarga (Bagian I)

“Saya juga mohon maaf kepada umat Islam atas kontroversi yang muncul karena disertasi saya ini. Saya juga menyampaikan terima kasih atas saran, respon, dan kritik terhadap disertasi ini dan terhadap keadaan yang diakibatkan oleh kehadirannya dan diskusi yang menyertainya,”kata Abdul Aziz dalam jumpa pers (30/8/2019) seperti dikutip dari situs UIN Yogyakarta.

Promotor Disertasi itu, Prof. Dr. H. Khoiruddin Nasution, M.A. mengatakan, akan mengawal perbaikan disertasi Abdul Aziz sesuai dengan kritik dan keberatan dari promotor dan para penguji pada ujian terbuka. Promovendus Abdul Aziz juga sudah menyatakan akan memasukkan kritik dan keberatan itu dalam revisi disertasinya.

BACA JUGA : Bagaimana Roh Jahat Komunisme Sedang Menguasai Dunia Kita : Bab VII – Penghancuran Keluarga (Bagian II)

Sementara itu, Direktur Pascasarjana Prof. Noorhaidi, S.Ag, MA, M.Phil., Ph.D menjelaskan bahwa ijazah yang akan dikeluarkan oleh Pascasarjana belum ditandatangani oleh Direktur Pascasarjana dan Rektor UIN Sunan Kalijaga. “Ijazah akan keluar jika revisi sudah dinyatakan selesai,” kata Noorhaidi.

Berikut selengkapnya pernyataan MUI :

PERNYATAAN DEWAN PIMPINAN MEJELIS ULAMA INDONESIA

Berkaitan dengan disertasi ‘konsep milk al-yamin Muhammad Syahrur sebagai keabsahan hubungan seksual nonmarital’ yang ditulis oleh saudara Abdul Aziz mahasiswa S3 UIN Sunan Kalijaga Yogyajarta, MUI memberikan tanggapan sebagai berikut:

1. Hasil penelitian Saudara Abdul Aziz terhadap konsep milk al-yamin Muhammad Syahrur yang membolehkan hubungan seksual di luar pernikahan (nonmarital) saat ini bertentangan dengan al-Quran dan as-Sunnah serta kesepakatan ulama (ijma’ ulama) dan masuk dalam katagori pemikiran yang menyimpang (al-afkar al-munharifah) dan harus ditolak karena dapat menimbulkan kerusakan (mafsadat) moral/akhlak ummat dan bangsa.

2. Konsep hubungan seksual nonmarital atau di luar pernikahan tidak sesuai untuk diterapkan di Indonesia karena mengarah kepada praktik kehidupan seks bebas yang bertentangan dengan tuntunan ajaran agama (syar’an), norma susila yang berlaku (‘urfan), dan norma hukum yang berlaku di Indonesia (qanunan) antara lain yang diatur dalam UU Nomor 1 Tahun 1974 dan nilai-nilai Pancasila.

3. Praktik hubungan seksual nonmarital dapat merusak sendi kehidupan keluarga dan tujuan pernikahan yang luhur yaitu untuk membangun sebuah rumah tangga yang sakinah, mawaddah dan rahmah, tidak hanya untuk kepentingan nafsu syahwat semata.

4. Meminta kepada seluruh masyarakat khususnya umat Islam untuk tidak mengikuti pendapat tersebut karena dapat tersesat dan terjerumus ke dalam perbuatan yang dilarang oleh syariat agama.

5. Menyesalkan kepada promotor dan penguji disertasi yang tidak memiliki kepekaan perasaan publik dengan meloloskan dan meluluskan disertasi tersebut yang dapat menimbulkan kegaduhan dan merusak tatanan keluarga serta akhlak bangsa.


Jakarta, 3 Muharram 1441 H
3 September 2019 M

DEWAN PIMPINAN
MAJELIS ULAMA INDONESIA

Wakil Ketua Umum,
Prof. Dr. H. YUNAHAR ILYAS, Lc, MA

Sekretaris Jenderal,
Dr. H. ANWAR ABBAS, M.M., M.Ag

(asr)

Lithuania Protes Diplomat Komunis Tiongkok yang Mengganggu Aksi Dukungan Pro Demokrasi Hong Kong

0

EtIndonesia. Pemerintahan Lithuania  mengajukan protes terhadap kedutaan besar Tiongkok, setelah beberapa diplomatnya terlibat dalam gangguan saat dukungan protes pro Demokrasi Hong Kong di ibu kota Vilnius.

Kementerian Luar Negeri Lithuania  pada Senin (2/9/2019)  dalam sebuah pernyataan yang dikutip Reuters menyatakan, bahwa para diplomat Tiongkok bertindak “melanggar ketertiban umum” pada acara (23/8/2019).  Kegiatan itu diselenggarakan untuk menunjukkan solidaritas dengan para demonstran di Hong Kong.

Saat itu, solidaritas demonstran  bergandengan tangan dalam gerakan simbolis ketika ribuan demonstran turun ke jalan-jalan Hong Kong, sekitar 8.000 kilometer jauhnya dari Lithuania.

Ruta Svilienė, seorang pensiunan yang ikut serta dalam reli dukungan itu mengatakan, terinspirasi dari negara-negara Baltik. Warga Hong Kong bercita-cita untuk kebebasan dan warga Lithuania harus mendukung mereka. Pada masa lalu, Lituania, Latvia, dan Estonia sangat kecil, sementara Rusia begitu besar. Dengan cara yang sama, Tiongkok menyerang Hong Kong. 

Seorang juru bicara kepolisian kepada Reuters mengatakan, bahwa dua warga negara Tiongkok itu ditahan dan didenda masing-masing 15 euro atau 17 dolar AS. Itu setelah mereka membuat para pengunjuk rasa gelisah dengan mengibarkan bendera merah darah bintang lima Komunis Tiongkok.

Menteri Luar Negeri Lithuania, Linas Linkevicius kepada wartawan mengatakan, pihaknya memiliki informasi bahwa beberapa diplomat itu lebih aktif daripada yang seharusnya. Tindakan mereka tidak dapat diterima.  Menlu Lithuania tanpa memberikan rincian lebih lanjut atau menyebutkan nama-nama mereka.

Kedutaan Tiongkok tidak menanggapi permintaan Reuters untuk komentar. Akan tetapi dalam sebuah pernyataan kepada kantor berita BNS, pihaknya membantah melakukan apa pun untuk mengganggu ketertiban umum. Pihak kedutaan hanya berkilah, bahwa hanya tindakan spontan dari warga yang mengekspresikan ketidakpuasan mereka terhadap sejumlah kecil dukungan. 

Peristiwa di Vilnius terjadi ketika para aktivis membentuk rantai manusia di seluruh Hong Kong, terinspirasi oleh aksi protes serupa terhadap pemerintahan Uni Soviet di Lithuania, Latvia, dan Estonia pada tahun 1989 silam. Kala itu dikenal dengan aksi “The Baltic Way .”

Mantas Adomenas, seorang anggota parlemen yang mengorganisir aksi protes Vilnius, mengatakan kepada Reuters, sebelum polisi turun tangan, beberapa penutur bahasa Mandarin dengan bendera Komunis Tiongkok berdesak-desakan dengan para aktivis. Orang-orang itu berusaha untuk mengambil megafon para aktivis.

Setelah dua warga negara Tiongkok itu ditangkap, polisi didekati oleh orang-orang yang menunjukkan identifikasi dari kedutaan. Mereka meminta pembebasan tahanan seperti diungkapkan Adomenas. Ia mengutip keterangan saksi dalam versi yang sebagian dikuatkan oleh juru bicara kepolisian.

Adomenas mengatakan, ia meninjau kembali cuplikan film dari aksi protes itu. Ia  melihat bahwa duta besar Tiongkok hadir di sela-sela kegiatan itu dan beberapa kali mendekati demonstran .

Gejolak di Hong Kong dimulai atas rencana Rancangan Undang-Undang ekstradisi. RUU itu dikhawatirkan mengirim tersangka yang diinginkan ke daratan Tiongkok. Apalagi peradilan di Tiongkok terkenal selalu dikendalikan oleh otoritas komunis Tiongkok. 

Akan tetapi, aksi protes dengan cepat menjadi gerakan pro-demokrasi. Aksi itu  menentang kontrol lebih luas dari Komunis Tiongkok atas bekas wilayah yang pernah dikuasai oleh Inggris. (asr)

419 Juta Nomor Telepon dari Akun Facebook Bocor di Internet

0

EtIndonesia. Facebook  dirundung persoalan. Sebuah server yang ditemukan tanpa kata sandi, bocor ke publik. Server itu diketahui menyimpan sekitar 400 juta catatan basis data dari pengguna Facebook di Amerika Serikat, Vietnam, dan Inggris.  Temuan itu diungkap oleh Peneliti keamanan, Sanyam Jain. Ia berhasil menemukan database itu. 

Hasilnya, ditemukan masing-masing memiliki ID Facebook unik dan nomor telepon untuk akun itu.  Terungkap, sebanyak 133 juta catatan dari pengguna Facebook di Amerika Serikat, 18 juta pengguna di Inggris dan 50 juta pengguna Facebook di Vietnam.

Server itu ternyata tidak dilindungi dengan kata sandi. Sanyam Jain seperti dilaporkan oleh TechCrunch mengatakan, artinya siapa pun dapat mengaksesnya. Server itu kemudian diambil secara offline. 

Menanggapi hal itu, juru bicara Facebook Jay Nancarrow kepada Fox Business menyatakan, dataset itu sudah lawas dan tampaknya memiliki informasi yang diperoleh sebelum perusahaan itu melakukan perubahan pada tahun lalu. Ketika itu, Facebook menghapus kemampuan pengguna untuk menemukan orang lain dengan menggunakan nomor telepon mereka. 

Facebook menyatakan, Dataset itu telah dihapus. Facebook mengklaim  pihaknya belum melihat bukti bahwa akun Facebook itu dikompromikan. Jubir Facebook itu menambahkan, bahwa nomor telepon dibuat lebih private dari setahun  lalu.

Laporan TechCrunch mencatat, bahwa para peneliti tidak yakin siapa yang membuat database itu. Peneliti juga tidak yakin kapan database itu dibuat.

Colin Bastable, CEO perusahaan pelatihan kesadaran keamanan, Lucy Security, kepada Threatpost mengatakan, bisnis online sering meminta nomor telepon jika Anda perlu memulihkan akses ke akun Anda.  Dia mengatakan, bahwa orang harus “berpikir keras” sebelum menyerahkan nomor telepon mereka kepada perusahaan media sosial.

Jonathan Deveaux, kepala perlindungan data perusahaan di perusahaan keamanan, Comforte AG mengatakan, risiko utama dari insiden paparan nomor telepon adalah potensi panggilan spam, yang merupakan gangguan besar pada saat ini.  Ia menegaskan, kekhawatiran lebih besar  yang ada soal data sensitif tanpa proteksi, yang mana mungkin tunduk pada keputusan sama, tetapi mungkin menimbulkan risiko yang lebih besar untuk  End User. 

Pada Juli lalu, Facebook didenda oleh Komisi Perdagangan Federal AS hingga USD 5 miliar  karena pelanggaran privasi. Sebagai  dari penyelesaian agensi dengan Facebook, CEO Mark Zuckerberg, harus secara pribadi menyatakan kepatuhan perusahaannya dengan program privasinya. 

Komisi Perdagangan Federal AS mengatakan, bahwa sertifikasi palsu dapat mengeksposnya terhadap hukuman perdata atau pidana. Beberapa ahli memperkirakan Komisi Perdagangan Federal AS, mungkin akan mendenda Zuckerberg secara langsung atau secara serius membatasi kewenangannya atas perusahaan. 

Joe Simons, ketua Komisi Perdagangan Federal AS, mengatakan dalam sebuah pernyataan, besarnya denda USD 5 miliar   belum pernah terjadi sebelumnya dalam sejarah Komisi Perdagangan Federal AS.  Denda berat kepada Facebook itu, agar merestrukturisasi dan tidak ada lagi informasi pribadi pengguna yang disalahgunakan oleh siapapun. 

Komisi Perdagangan Federal AS menyatakan, meski Facebook telah berulang kali berjanji kepada miliaran penggunanya di seluruh dunia untuk menjaga informasi pribadi pengguna, namun pengguna telah dikecewakan. 

Lembaga itu, menambahkan bahwa pembatasan baru dirancang “untuk mengubah seluruh budaya privasi Facebook untuk mengurangi kemungkinan pelanggaran yang berkelanjutan.  Facebook tidak mengakui kesalahan apa pun sebagai bagian dari penyelesaian.

Pada awal 2018 lalu, sebanyak 87 juta data pengguna media sosial ini dimiliki oleh Cambridge Analytica.  Sejak itu, Komisi Perdagangan Federal AS melakukan investigasi terhadap Facebook. (asr)

Sumber : Fox Business/TechCrunch

Tak Cukup Hanya Menarik RUU Ekstradisi Hong Kong ke Tiongkok

0

Annie Wu dan Frank Fang

Setelah pemimpin Hong Kong, Carrie Lam mengumumkan pada Rabu (4/9/2019), bahwa pemerintahnya akan secara resmi menarik Rancangan Undang-Undang -RUU- ekstradisi yang telah memicu gerakan protes terbesar di kota itu, pemrotes lokal dan aktivis pro-demokrasi bersama-sama menegaskan, akan terus mengadvokasi semua tuntutan mereka agar didengar.

Sementara itu, pejabat AS dan kelompok hak asasi internasional mengatakan, menyambut baik langkah Lam, tetapi tak cukup untuk memastikan kebebasan dan otonomi Hong Kong.

Penarikan RUU itu adalah tuntutan utama para pemrotes, setelah terjadi berbulan-bulan gejolak, ketika pemerintah berulang kali menolak untuk mundur. Aksi itu memicu bentrokan keras dengan polisi. Aparat keamanan juga menggelar penangkapan lebih dari 1.000 pemrotes.

Aksi protes dimulai pada bulan Maret lalu, akan tetapi massa mulai turun ke jalan-jalan pada bulan Juni lalu. Aksi itu  berkembang menjadi dorongan untuk demokrasi yang lebih besar bagi Hong Kong. Sebagaimana diketahui, Hong Kong dikembalikan dari Inggris ke pemerintahan Komunis Tiongkok pada tahun 1997.

Meskipun rezim Komunis Tiongkok berjanji untuk mempertahankan otonomi dan kebebasan Hong Kong pasca-penyerahan, banyak warga Hongkong khawatir, bahwa RUU itu merupakan tantangan terakhir dalam infiltrasi Beijing. 

Rancangan Undang-Undang itu, memungkinkan warga Hong Kong untuk dikirim ke daratan Tiongkok. Mereka yang dikirim bakal menghadapi persidangan dalam sistem hukum yang dikendalikan oleh Komunis Tiongkok. Dampaknya, memicu kekhawatiran luas bahwa kritikan terhadap rezim Komunis Tiongkok juga akan dihukum dengan impunitas.

Kepala Eksekutif Hong Kong saat bertemu dengan wartawan di kantor pusat pemerintahan pada pukul 4 sore pada tanggal 4 September 2019. (Li Yi / Epochtimes)

Ketua DPR AS Nancy Pelosi dan Senator AS Marco Rubio mengatakan, penarikan RUU itu oleh Pemimpin Hong Kong Carrie Lam adalah “lama sekali.” 

Pelosi mendesak “kepemimpinan pro-Beijing di Hong Kong” untuk melakukan lebih banyak, “untuk mewujudkan sepenuhnya aspirasi sah rakyat Hong Kong,” termasuk memberikan hak pilih universal. 

Pemimpin kota Hong Kong saat ini, dipilih oleh komite pemilihan yang sebagian besar terdiri dari elit pro- Komunis Tiongkok.

Senator Rubio mengarahkan pernyataannya kepada rezim Komunis Tiongkok. Ia menyerukan untuk “menjunjung tinggi komitmennya terhadap otonomi Hong Kong dan berhenti memperburuk situasi dengan ancaman kekerasan.”

Sophie Richardson, direktur Tiongkok di Human Rights Watch, menyuarakan keprihatinannya tentang retorika agresif Beijing terhadap pengunjuk rasa.

Dia juga mencatat, bahwa moment penarikan Lam, mungkin ada hubungannya dengan perayaan di Beijing mendatang untuk peringatan 1 Oktober mendatang, terkait peringatan pengambilalihan kekuasaan oleh Partai Komunis Tiongkok. 

Richardson menilai, Beijing pasti menginginkan orang-orang keluar dari jalan-jalan Hong Kong paling lambat 1 Oktober mendatang. Mungkin, penarikan resmi dari ekstradisi itu – yang telah dinyatakan oleh otoritas Hong Kong telah ‘mati’ di awal musim panas – adalah salah satu konsesi termudah untuk mencapai hasil itu. 

Banyak kelompok meminta pemerintah Hong Kong untuk melakukan penyelidikan secara  independen terhadap tindakan brutal polisi. 

Man-Kei Tam, direktur Amnesty International di Hong Kong, dalam sebuah pernyataan mengatakan, pengumuman itu tidak dapat mengubah fakta bahwa pihak berwenang Hong Kong telah memilih untuk menekan protes dengan cara yang sangat melanggar hukum, yang mana telah secara serius merusak kepercayaan masyarakat dan legitimasi pemerintah.  

Amnesty International menyerukan kepada pemerintah asing untuk menghentikan ekspor peralatan pengendalian massa ke Hong Kong,  hingga penyelidikan secara menyeluruh digelar.

PEN America, sebuah kelompok advokasi untuk kebebasan berekspresi mengatakan, bahwa pelabelan pemerintah terhadap demonstran sebagai perusuh harus dicabut. 

James Tager, wakil direktur penelitian dan kebijakan kebebasan ekspresi PEN America, dalam sebuah pernyataan menyatakan, warga Hong Kong harus merasa bebas untuk memprotes tanpa takut terhadap penyiksaan oleh polisi atau dianggap sebagai penjahat. 

Menyusul pengumuman Lam, Civil Human Rights Front atau Front Hak Asasi Manusia Sipil -CHRF- selaku penyelenggara di balik protes baru-baru ini yang menarik jutaan peserta, menulis di halaman Facebook-nya. 

CHRF menyatakan bahwa Lam telah membuat “kesalahan politik terbesar,” jika dia yakin krisis saat ini dapat diselesaikan dengan memenuhi permintaan, hanya satu dari lima tuntutan pengunjukrasa yang disampaikan sejak Juni lalu.

Selain penarikan RUU itu, para pemrotes telah menuntut : penyelidikan secara independen terhadap tindakan keras selama aksi protes; pemilihan umum yang sepenuhnya demokratis; mencabut pelabelan protes sebelumnya oleh pemerintah yang disebut sebagai “perusuh”; dan membebaskan semua pengunjuk rasa yang telah ditangkap. 

Civil Human Rights Front mengatakan, bahwa keputusan Lam sudah terlambat, hanya setelah berbulan-bulan demonstrasi massa menentang RUU itu, ketika polisi lepas kendali dengan kekerasan dan triad menyerang orang-orang di jalan-jalan.

Pernyataan itu, merujuk terhadap penggunaan kekuatan polisi terhadap pengunjuk rasa. Selain itu, terkait insiden kelompok-kelompok yang berafiliasi dengan triad, ketika menyerang orang-orang selama aksi protes digelar.

Civil Human Rights Front menambahkan, mereka akan terus mengadvokasi agar semua tuntutan mereka dipenuhi.  

CHRF menegaskan, setelah mengalami beberapa bulan kekuasaan otoriter berdarah dingin, telah membuat tekad mereka lebih kukuh untuk mengejar hak pilih universal. (asr)

Fitnah Komunis Tiongkok atas Penindasan Tiananmen dan Falun Gong Muncul Kembali pada 31 Agustus 2019

0

Reporter Epoch Times, Lin Chuzhou & Ye Yifan, melaporkan dari Hong Kong

Unjuk rasa anti ekstradisi Hongkong telah menjadi sorotan dunia. Yang diperlihatkan kepada seluruh dunia adalah, bagaimana Komunis Tiongkok menggunakan kekerasan menghancurkan keadilan dan ketertiban masyarakat. Membuat hukum yang dibanggakan Hongkong selama ini dirusak sampai hampir tak berbekas dalam dua bulan terakhir.

Komunis Tiongkok tidak bisa dipercaya. Perang dagang Amerika Serikat dengan Tiongkok membuat internal kongres Amerika semakin kompak. Dan aksi unjuk rasa anti ekstradisi ini bisa dikatakan telah memberikan suatu “pelajaran praktik taktik sesat ala Komunis Tiongkok” bagi warga Hongkong dan para tokoh internasional.

Benarkah pengunjuk rasa telah membacok polisi yang pulang usai piket? Memukuli penumpang di dalam stasiun kereta api bawah tanah secara brutal? Lalu yang melempar bom Molotov apakah para pengunjuk rasa atau polisi?

Polisi Diserang Pada 30 Agustus Malam, Berita Dipublikasikan “Super Kilat” Dalam Tempo 20 Menit, Picu Kecurigaan

Pada 30 Agustus tengah malam, seorang polisi yang bertugas di gudang senjata pulang kerja. Saat berada di dekat daerah Kwai Chung diserang oleh 3 orang yang tak dikenal, lalu segera dilarikan ke rumah sakit untuk diselamatkan.

Komisaris Polisi bernama Stephen Lo Wai Chong tak lama kemudian tiba di rumah sakit untuk menengok kondisinya. Lo Wai Chong dengan berang mengecam aksi pelaku yang hina itu. Dia menyatakan polisi yang dilukai itu “tidak memiliki musuh”.

Saat situasi anti ekstradisi meruncing, kasus serangan terhadap polisi menjadi sorotan. Akan tetapi surat kabar “Oriental Daily” dengan “super kilat” hanya dalam tempo 20 menit sudah mempublikasikan berita itu. Akibatnya memicu kecurigaan masyarakat.

Ada warganet menulis artikel mengemukakan kecurigaannya terhadap berita “super kilat” yang keluar hanya dalam tempo 20 menit atas kasus penyerangan polisi itu.

Waktu penerbitan berita pertama “Oriental News” adalah pada 30 Agustus 2019 pukul 11:41 malam. Kalimat pertama berita itu secara tepat menyebutkan peristiwa itu terjadi pada 30 Agustus 2019 pukul 11:21 malam hari.

Namun konten berita menunjukkan, saat kejadian reporter belum berada di lokasi kejadian. Namun berita itu tidak menjelaskan secara tegas bagaimana memastikan bahwa tragedi itu terjadi tepat pada pukul 11:21. Pada saat yang sama 20 menit setelah kejadian, berhasil tiba di lokasi kejadian lalu selesai mengambil foto rumah sakit, menulis artikel berikut proses liputannya kemudian mempublikasikannya. Warga mengejek dengan mengatakan “wartawan paling cepat tahun ini”.

Sekarang kasus itu dilimpahkan ke bagian investigasi kriminal Kepolisian Wilayah Selatan New Territories. Belum ada berita yang membuktikan latar belakang pelaku kejahatan.

Menurut berita, 3 penyerang membawa pisau sepanjang 30 cm. Polisi yang menjadi korban mengalami luka di bagian tangan, kaki, lengan dan punggung. Luka akibat bacokan. Kasus penyerangan terhadap polisi yang mendadak itu dinilai terdapat banyak keraguan yang tak bisa dipecahkan.

Selain kecurigaan di atas dari warga akan “betapa cepatnya” berita dipublikasikan, juga terdapat pula beberapa kecurigaan lain, seperti sebagai berikut:

Kecurigaan pertama: Pada saat konflik di tengah gerakan anti ekstradisi memuncak, diserangnya polisi adalah suatu kasus kekerasan yang sensitif dan sangat besar. Sementara itu satu-satunya media yakni Oriental News pada saat pertama memberitakan peristiwa itu, sedangkan media massa besar lainnya belum mendapatkan berita apa pun dari pihak kepolisian maupun rumah sakit.

Saat ini hanya Oriental News yang memberitakan kondisi cedera pada korban. Itu sangat berbeda jauh dengan sikap pihak kepolisian dan pemerintah Hongkong terhadap peristiwa anarkis di tengah gerakan anti ekstradisi selama ini.

Kecurigaan kedua: Setelah berita pertama oleh Oriental News diterbitkan, dengan cepat segera ditambahkan lagi pemberitaan susulan. Namun pada berita susulan berikutnya terdapat tidak sedikit penalaran yang bertentangan dengan berita normal. Pasalnya berita susulan sesungguhnya telah menutupi konten pada berita pertama, menghapus banyak sekali detil pada berita pertama, sehingga yang tersisa hanya 149 kata saja.

Peristiwa Serupa 20-30 Tahun Silam Kembali Terulang?

Menengok kembali soal penindasan berdarah oleh Komunis Tiongkok. Beberapa kali sebelumnya terhadap perlawanan massa, Komunis Tiongkok terungkap pernah mengutus militer dan polisi atau mata-mata untuk menyamar menjadi massa pengunjuk rasa. Mereka menciptakan “peristiwa kerusuhan” yang dilakukan oleh “para perusuh” yakni membakar, membunuh dan merampok, sebagai dalih bagi pihak penguasa untuk kemudian melakukan penindasan terhadap protes massa tersebut.

Dalam 20-30 tahun terakhir, dalam menindas Islam-Uighur Xinjiang, Buddha Tibet, tragedi pro demokrasi Tiananmen “4 Juni” dan penganiayaan Falun Gong, secara berulang kali Komunis Tiongkok terus menciptakan peristiwa serupa.

Kejadian “membakar kendaraan militer” dan “perusuh membakar tentara” sebelum dimulainya “Pembantaian Tiananmen.” Pasca kejadian satu persatu terungkap ternyata merupakan hasil rekayasa militer Komunis Tiongkok dengan mengirim mata-mata yang menyamar sebagai pengunjuk rasa.

Saat menganiaya Falun Gong, pada 23 Januari 2001, di Lapangan Tiananmen Komunis Tiongkok merekayasa “kasus fiktif bakar diri Tiananmen” untuk memfitnah Falun Gong. Setelah kejadian itu mulailah berkobar aksi penganiayaan berskala besar ala Revolusi Kebudayaan di seluruh negeri.

Pada 14 Agustus 2001, UNESCO menyampaikan pernyataan atas peristiwa bakar diri tersebut.

“Kami melihat sebuah hasil analisa rekaman pada kasus bakar diri itu. Ini merupakan peristiwa fitnah yang dilakukan Komunis Tiongkok secara sepihak pada Falun Gong.”

Siapa pun yang tertarik akan diijinkan mendapatkan duplikat hasil analisa rekaman tersebut.

Rekaman video yang dimaksud oleh UNESCO itu adalah film dokumenter berjudul “False Fire” yang dibuat dan ditayangkan oleh stasiun TV New Tang Dynasty di salah satu acaranya “Focus Report” setelah melalui analisa forensik. Film itu mengungkap banyaknya cacat dalam rekayasa Komunis Tiongkok tersebut, bahkan juga berhasil meraih penghargaan kehormatan pada Festival Film & Video Columbus ke-51.

Di tengah semakin tegangnya situasi di Hongkong saat ini, mendadak terjadi peristiwa penyerangan terhadap polisi, sungguh membuat khawatir masyarakat akan arah perkembangan situasi di Hongkong kedepannya.

Video Rekaman Pulihkan Fakta Pemukulan “Tanpa Pandang Bulu” Oleh Polisi Hongkong di Stasiun Prince Edward 31 Agustus

Pihak kepolisian Hong Kong mengeluarkan surat pemberitahuan menentang pawai yang akan diadakan oleh Civil Human Rights Front – CHRF atau Front Hak-hak Asasi Manusia Sipil pada 31 Agustus 2019. Warga kota dan massa pengunjuk rasa dalam jumlah besar tiba di Pulau Hongkong untuk melakukan “pawai bebas”., Setelah polisi membersihkan lokasi, terjadilah bentrok sengit di berbagai wilayah, berkobar dari Pulau Hongkong menyebar hingga ke wilayah Kowloon, dan juga pertumpahan darah di MTR Hongkong.

Ada rekaman video menunjukkan, tim STC – Special Tactical Contingent kepolisian menyerbu masuk ke dalam stasiun Prince Edward lalu menerjang ke dalam gerbong dan memukuli warga kota dengan pentungan polisi.  Bahkan ada orang yang telah dijatuhkan, polisi masih terus menyemprotkan bubuk merica.

Akan tetapi, juru bicara kepolisian Hong Kong pada konferensi pers pada 1 September 2019 lalu menyangkal pihaknya telah “memukul tanpa pandang bulu.” Saat ditanya oleh wartawan, polisi menjawab “telah menggunakan kekuatan yang semestinya untuk menundukkan mereka”.

Pada 31 Agustus 2019 malam, demonstran dari Admiralty dan Wan Chai mundur ke arah Causeway Bay, karena terus menerus ditekan oleh polisi yang mensterilkan lokasi. Melalui stasiun Mass Transit Railway – MTR mereka bergeser ke Tsim Sha Tsui, setelah satu putaran bentrok, mereka mundur ke stasiun Tsim Sha Tsui dan meninggalkan tempat itu.

Ada warganet bernama Pakkin Leung yang merekam kejadian di lokasi. Di stasiun Prince Edward kepolisian dengan cepat mengutus tim STC menyerbu ke dalam gerbong kereta yang bergerak dari Tsuen Wan menuju ke arah Central. Setelah mencari-cari, lalu mulai memukuli warga kota dengan membabi buta. Sebagian korban tidak mengenakan baju hitam.

Di dalam video itu terlihat ada yang kepalanya bocor dan darah mengalir, bahkan ada juga yang shock. Pihak polisi berdalih berusaha melerai perselisihan antar demonstran, tapi yang terjadi sesungguhnya mengepung dan menangkap para demonstran.

Juru bicara kepolisian Hong Kong pada 1 September 2019 memberikan tanggapan atas peristiwa “polisi memukul warga tanpa pandang bulu di stasiun Prince Edward” dengan mengatakan, kelompok orang-orang yang berbeda pandangan politik terlibat konflik di dalam gerbong MTR di stasiun Prince Edward.

Demonstran yang  berbaju hitam setelah berganti pakaian menyamar sebagai warga kota, lalu menyerang polisi, dan polisi hanya menggunakan kekuatan yang sewajarnya untuk mengatasinya.

Akan tetapi di dalam rekaman tersebut tidak ada orang yang terlibat konflik, melainkan polisi menerobos masuk ke platform stasiun untuk menggeledah, sembari memukuli para penumpang tanpa pandang bulu.

Video itu menunjukkan, demonstran membela diri dengan paying. Sementara polisi menggunakan pentungan polisi sambil membawa senapan gas air mata dan semprotan merica dan menyemprotkannya pada warga kota, setiap melihat orang yang dicurigai akan dijatuhkan dan dipukuli.

Pemutaran Rekaman Kejadian

Saat kejadian, stasiun MTR membuat siaran darurat, “Karena terjadi peristiwa gawat, stasiun ini akan ditutup, penumpang harus segera meninggalkan stasiun.”

Waktu itu, anggota tim STC yang mengenakan baju militer hitam dan hijau membawa pentungan polisi dan tameng menyerbu masuk ke dalam platform mencari sasaran. Saat melihatnya para penumpang di dalam gerbong menghindar ke sudut. Begitu melihat seorang pria berkaos putih dan celana hitam, langsung menjatuhkannya, serta berteriak “tiarap, tiarap”, dan terus memukulinya dengan pentungan. Darah pun langsung berceceran di lantai. Di sisi lain juga terlihat seorang pria sedang digeledah lalu dipukuli kemudian dibawa pergi oleh polisi.

Tiga orang polisi lainnya menggeledah satu per satu gerbong. Ada yang memegang pentungan polisi, senapan gas air mata dan semprotan merica menghadap warga di dalam gerbong. Ada warga yang berteriak padanya, salah satu polisi lainnya balas berteriak padanya “ayo kesini… kesini…” maksudnya beranikah kau? Lalu dicegah oleh polisi lain.

Polisi pun terus memeriksa, melihat seorang pria langsung menjatuhkannya. Selama itu, stasiun MTR terus menyiarkan siaran darurat, beberapa orang polisi lain memasuki gerbong. Pintu gerbong menutup, lalu polisi melihat 4 orang anak muda, dan segera mengayunkan pentungan memukuli kepala muda mudi yang tidak bersenjata itu. Mereka terduduk di lantai sambil berkata “maaf… maaf…”

Mereka telah ditundukkan, tapi polisi tidak berhenti, terus menyemprotkan bubuk merica ke arah mereka. Orang di sekitar mereka terus meneriaki para polisi, “mafia… mafia…”

Menyamar Demonstran, Memecah Belah Warga

Sementara itu Komandan Regional Hongkong Guo Bocong menyatakan, polisi melarang berkumpulnya CHRF pada 31 Agustus 2019, adalah keputusan yang bertanggung jawab. Hal itu diklaim untuk menjamin keselamatan jiwa dan harta benda warga kota.

Guo Bocong mengatakan, dalam unjuk rasa terdahulu, ada demonstran menggunakan senjata berbahaya termasuk bom Molotov, cairan korosif, lempengan asap, airsoft gun dan lain-lain untuk menyerang polisi. Kubu CHRF Hongkong mengobarkan pertemuan pawai akbar 31 Agustus 2019 karena mendapat surat pemberitahuan pelarangan dari polisi. Naik banding CHRF ditolak, dipaksa membatalkan pawainya sehari sebelumnya.

Pada 31 Agustus 2019, warga Hongkong berinisiatif melakukan berbagai kegiatan berbeda, terus melakukan protes. Namun dalam kegiatan itu, banyak demonstran berpakaian hitam yang terus melemparkan bom molotov di jalanan. Para “demonstran” yang memegang molotov itu, di punggungnya terdapat lampu LED yang menyala berkelap kelip. Sosok pria dengan lampu LED yang berkelap kelip itu sempat tertangkap kamera bergabung dengan polisi.

Siaran berita TV Hongkong dan video di internet menunjukkan, setelah para penyaru demonstran itu ketahuan, demonstran mulai mengejar mereka. Awalnya karena di lokasi demonstran tidak banyak, para demonstran palsu masih terus melawan, tapi ketika para demonstran terus bertambah banyak, para demonstran palsu itu pun terpaksa mundur dan melarikan diri. Banyak demonstran lain mengejar dan memukuli mereka.

Pada saat yang sama, sejumlah polisi menyamar sebagai demonstran, menyelinap di antara kerumunan pengunjuk rasa dan menangkap orang.

Menurut berita oleh “The Stand News”, di sekitar Taman Victoria dan IKEA, ada demonstran diciduk oleh polisi yang menyamar sebagai demonstran.

Dalam beberapa kali gerakan anti ekstradisi sebelumnya, polisi Hongkong berulang kali terungkap menyamar sebagai pengunjuk rasa, dan membaur di dalam kerumunan demonstran.

Penyamaran polisi itu seperti terjadi dalam aksi anti ekstradisi 11 Agustus 2019 lalu, saat polisi menggunakan kekerasan membersihkan lokasi, media massa Hongkong memotret seorang polisi yang menyamar sebagai demonstran. Ada pula warga Hongkong menyaksikan 3 orang berpakaian hitam memprovokasi perkelahian di antara para demonstran. Ketika polisi menerobos ke dalam kerumunan untuk menangkap orang, mereka cepat-cepat mengeluarkan batang lampu neon untuk membuktikan statusnya, sambil berteriak “orang sendiri”.

Pada 18 Agustus 2019 setelah pertemuan di Taman Victoria berakhir, wartawan Asia Freedom berhasil memotret sekumpulan “demonstran” pria berpakaian garis zebra, berjalan menuju kantor pusat kepolisian. Orang-orang itu mayoritas berpakaian hitam, juga pakaian lain, ada yang membawa tas ransel, ada yang membawa payung, ada juga yang mengenakan masker.

Mengenai polisi Hongkong yang menyamar sebagai demonstran, Deputi Komisaris Polisi Hongkong Tang Ping Keung setelah dicecar pertanyaan oleh wartawan pada 12 Agustus 2019 lalu akhirnya mengakui, di lokasi unjuk rasa memang terdapat anggota kepolisian yang “menyamar” sebagai tokoh yang berbeda. Tokoh seperti apa yang cocok dengan lokasi maka mereka akan menyamar sebagai tokoh tersebut. Tapi warga Hongkong meragukan tindakan polisi itu.

Mantan anggota legislatif Hongkong yang juga seorang pengacara yakni Alan Leong Kah-Kit mengatakan, dalam kegiatan terbuka seperti itu, polisi menyamar sebagai demonstran, bahkan melakukan tindakan anarkis, sebenarnya merupakan konsepsi dalih absurd untuk menyangkal penyusupan intel polisi yang menyamar.

Intel polisi menyamar sebagai demonstran, selain dapat melimpahkan aksi anarkis kepada para demonstran sendiri, juga dapat menimbulkan fungsi memecah belah para demonstran. Itu adalah cara-cara yang digunakan partai komunis Tiongkok untuk menyulut konflik di tengah masyarakat. Hal itu juga merefleksikan bahwa pemerintah Hongkong tidak berniat menyelesaikan tuntutan warga, dan hanya berusaha menggunakan kekerasan untuk menekan suara oposisi.

SUD/whs

Pemimpin Hong Kong Akhirnya Umumkan Penarikan RUU Ekstradisi yang Kontroversial

0

EtIndonesia- Pemimpin Eksekutif Hong Kong, Carrie Lam secara resmi telah mengumumkan penarikan RUU ekstradisi yang telah memicu protes terbesar dalam sejarah Hong Kong.

Pengumuman Lam dibuat di siaran televisi yang sudah direkam sebelumnya. Pengumuman itu disampaikan pada pukul 6 malam waktu Hong Kong pada Rabu 4 September 2019.

“Pemerintah akan secara resmi menarik RUU itu untuk sepenuhnya menghilangkan kekhawatiran publik,” demikian pernyataan Lam dalam pidatonya. 

Ia menambahkan bahwa Hong Kong berada di tempat yang “sangat rentan dan berbahaya” dan harus hadir bersama untuk menemukan solusi.

Penarikan RUU itu adalah  tuntutan utama demonstran saat terjadinya berbulan-bulan aksi, ketika pemerintahan itu berulang kali menolak untuk mundur. Akhirnya, memicu bentrokan keras dengan polisi dan mengakibatkan penangkapan lebih dari 1.000 demonstran.

Banyak yang geram karena disebabkan kebrutalan aparat kepolisian dan jumlah penangkapan — 1.183 pada hitungan terakhir — dan menyerukan penyelidikan independen atas tindakan brutal aparat kepolisian.

Tetapi Lam bersikeras bahwa penyelidikan oleh pengawas polisi internal kota yang ada akan mencukupi.

“Saya berjanji bahwa pemerintah akan secara serius menindaklanjuti rekomendasi laporan Dewan Pengaduan Polisi Independen,” demikian pernyataan Lam.  

Pemimpin Hong Kong kembali berjanji, mulai bulan ini, dirinya dan pejabat utamanya akan menjangkau masyarakat untuk memulai dialog langsung. Ia juga berjanji harus menemukan cara untuk mengatasi ketidakpuasan di masyarakat dan mencarikan solusi. 

Protes dimulai pada bulan Maret 2019 lalu, tetapi massa mulai turun ke jalan-jalan pada bulan Juni lalu. Aksi itu telah berkembang menjadi dorongan kepada aksi demokrasi yang lebih besar untuk Hong Kong yang kembali dari Inggris ke pemerintahan Komunis Tiongkok pada tahun 1997.

RUU itu akan memungkinkan warga Hong Kong untuk dikirim ke Daratan Tiongkok dengan menghadapi persidangan dalam sistem hukum dikendalikan oleh Komunis Tiongkok. RUU itu memicu kekhawatiran skala luas, bahwa kritikus terhadap rezim Komunis Tiongkok akan dikenai hukuman.

Menanggapi pengumuman Lam, komite pro-demokrasi legislatif Hong Kong, Claudia Mo mengatakan pada konferensi pers bahwa “apa yang disebut konsesi” Lam, telah datang terlalu sedikit terlambat. Apalagi, Kerusakan sudah terjadi, bekas luka dan luka masih berdarah di Hong Kong. 

Claudia Mo menyindir bahwa Pemimpin Hong Kong berpikir, bahwa dia bisa menggunakan selang taman untuk memadamkan api unggun. Langkah itu tidak akan diterima.

Ia menambahkan bahwa, tergantung kepada para pemrotes untuk memutuskan apakah keputusan terbaru Lam akan menenangkan massa. 

Claudia Mo menyerahkannya kepada para demonstran muda di garis depan untuk memutuskan bagaimana mereka harus menerimanya. Ia menegaskan, bahwa para demonstran muda bersikeras tentang lima tuntutan agar dipenuhi sebelum pertarungan mereka berhenti. 

Sementara itu, aktivis pro-demokrasi Hong Kong, Joshua Wong, yang baru-baru ini meminta Kanselir Jerman Angela Merkel untuk mengangkat masalah protes Hong Kong selama kunjungannya ke Tiongkok, mencuit di akun Twitternya untuk mengungkapkan pemikirannya tentang keputusan Lam.

“Terlalu sedikit, sudah terlambat,” demikian cuitan Wong, yang merupakan salah satu pemimpin Gerakan Payung pro-demokrasi 2014 silam.  

Ia menulis, respon Carrie Lam tiba setelah 7 nyawa dikorbankan, lebih dari 1.200 pemrotes ditangkap, di mana lebih banyak orang dianiaya di kantor polisi.

Anggota parlemen pro-demokrasi Hong Kong, Au Nok-hin, mengunjungi halaman Facebook Carrie Lam dan menulis: “Lima tuntutan, tidak kurang satu.”

Selain pencabutan RUU ekstradisi, para pemrotes terus menuntut: penyelidikan secara independen terhadap penindakan keras aksi protes, pemilihan umum yang sepenuhnya demokratis, mencabut tuduhan sebelumnya oleh pemerintah pendemo sebagai “perusuh”; dan membebaskan semua pengunjuk rasa yang telah ditangkap.

Reuters dan Epoch Times, Frank Fang dari The Epochtimes  berkontribusi pada laporan ini.

Aliansi Jurnalis Independen dan LBH Pers : 10 Pasal RUU KUHP Ancaman Kebebasan Pers

0

EtIndonesia.Pemerintah dan DPR RI menyatakan akan mengesahkan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) sebelum masa jabatan DPR periode 2014-2019 berakhir September 2019. Atas rencana ini, DPR dan pemerintah harus menyelesaikan sejumlah pembahasan pasal yang belum selesai yang itu berpotensi mengabaikan kritik dan masukan dari masyarakat sipil dalam penyusunan buku pidana ini.

Aliansi Jurnalis Independen (AJI) dan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pers menyatakan, dalam Draf RUU KUHP tertanggal 28 Agustus 2019, ada sejumlah pasal yang selama ini dikritik masyarakat sipil karena tak sesuai dengan semangat reformasi dan pemerintahan bersih. Termasuk di dalamnya adalah pasal-pasal yang dinilai bisa mengancam kebebasan berekspresi dan kebebasan pers.

Menurut AJI dan LBH Pers, setidaknya ada 10 pasal dalam draft RUU KUHP itu yang bisa mengkriminalkan jurnalis dan media dalam menjalankan fungsinya.

Masing-masing: Pasal 219 tentang penghinaan terhadap presiden atau wakil presiden; Pasal 241 tentang penghinaan terhadap pemerintah; Pasal 247 tentang hasutan melawan penguasa; Pasal 262 tentang penyiaran berita bohong; Pasal 263 tentang berita tidak pasti; Pasal 281 tentang penghinaan terhadap pengadilan; Pasal 305 tentang penghinaan terhadap agama; Pasal 354 tentang penghinaan terhadap kekuasaan umum atau lembaga negara; Pasal 440 tentang pencemaran nama baik; Pasal 444 tentang pencemaran orang mati.

Melihat draft RUU KUHP tersebut, DPR dan Pemerintah tidak hanya mengabaikan masukan masyarakat sipil dengan mempertahankan pasal-pasal yang selama ini banyak dikritik.

Keduanya juga menghidupkan pasal penghinaan terhadap presiden dan wakil presiden, yang sudah dinyatakan tidak berlaku oleh Mahkamah Konstitusi pada 2006 lalu.

Selain itu, DPR dan Pemerintah juga menambah pemidanaan baru yang akan berdampak besar bagi jurnalis dan media, yaitu dengan adanya pasal penghinaan terhadap pengadilan.

Menyikapi pembahasan RUU KUHP ini, AJI dan LBHS Pers menyatakan sikap:

1-Mengecam DPR dan Pemerintah yang masih mempertahankan pasal-pasal yang bisa mengkriminalkan jurnalis yang itu setidaknya terdapat dalam Pasal 219, 241, 247, 262, 263, 281, 305,  354, 440, dan 444. Sikap DPR dan Pemerintah ini tidak menghormati sistem demokrasi yang menempatkan media sebagai pilar keempat –setelah eksekutif, legislatif dan yudikatif—dalam negara demokrasi.

2- Meminta DPR dan Pemerintah tak memaksakan untuk mengesahkan RUU KUHP dalam waktu singkat. RUU itu masih banyak memuat pasal yang mengancam kebebasan berekspresi dan kebebasan pers. Melanjutkan pembahasan ini dalam waktu yang sangat singkat diyakini tidak akan menghasilkan KUHP yang sesuai semangat demokratisasi, selain juga mengabaikan aspirasi masyarakat sipil, organisasi jurnalis dan media.

3- Meminta DPR dan Pemerintah mengubah soal pencemaran nama baik dari ranah pidana ke perdata. Mempertahankan pemidanaan soal pencemaran nama baik mengesankan dua lembaga itu tak mengikuti perkembangan internasional yang mendorong penyelesaian semacam itu melalui jalur perdata. Memasukkan soal pencemaran nama baik dalam ranah pidana akan memberikan efek menakutkan yang itu tidak sejalan dengan semangat demokrasi dan tak sesuai semangat Pasal 6 Undang Undang Nomor 40 tahun 1999 tentang Pers yang meminta meminta pers berperan “melakukan pengawasan, kritik, koreksi, dan saran terhadap hal-hal yang berkaitan dengan kepentingan umum.”

4- Mendesak DPR dan Pemerintah mencabut pasal 281 soal penghinaan terhadap pengadilan. Sebab, pasal itu dengan mudah bisa dipakai untuk menjerat jurnalis dan media yang selama ini kerap menulis soal putusan sidang dan jalannya peradilan. Pasal itu bisa dipakai oleh para penegak hukum yang buruk untuk membungkam media yang menulis berita bernada kritik atas putusannya atau karena mengungkap perilakunya yang tak sesuai kepatutan atau undang-undang.

(asr)

Pasal RUU KUHP Terkait Kebebasan Pers : 

No.    Pasal RUU KUHP              

1.Pasal 219: Setiap Orang yang menyiarkan, mempertunjukkan, atau menempelkan tulisan atau gambar sehingga terlihat oleh umum, atau memperdengarkan rekaman sehingga terdengar oleh umum, yang berisi penyerangan kehormatan atau harkat dan martabat terhadap Presiden atau Wakil Presiden dengan maksud agar isinya diketahui atau lebih diketahui umum dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun 6 (enam) bulan atau pidana denda paling banyak Kategori IV.             

2.Pasal 241: Setiap  orang  yang  menyiarkan,  mempertunjukkan,  atau menempelkan tulisan atau gambar sehingga terlihat oleh umum, memperdengarkan rekaman sehingga terdengar oleh umum, atau menyebarluaskan dengan sarana teknologi informasi yang berisi penghinaan terhadap pemerintah yang sah dengan maksud agar isi penghinaan diketahui umum yang berakibat terjadinya keonaran atau kerusuhan dalam masyarakat dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun atau pidana denda paling banyak Kategori V.            

3.Pasal 246: Dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun atau pidana denda paling banyak Kategori V, Setiap Orang yang di muka umum dengan lisan atau tulisan: a. menghasut orang untuk melakukan Tindak Pidana; atau b. menghasut orang untuk melawan penguasa umum dengan Kekerasan.   

4.Pasal 247: Setiap Orang yang menyiarkan, mempertunjukkan, atau menempelkan tulisan atau gambar sehingga terlihat oleh umum, atau memperdengarkan rekaman sehingga terdengar oleh umum, atau menyebarluaskan dengan sarana teknologi informasi  yang berisi hasutan agar melakukan Tindak Pidana atau melawan penguasa umum dengan Kekerasan, dengan maksud agar isi penghasutan tersebut diketahui atau lebih diketahui oleh umum dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun 6 (enam) bulan atau pidana denda paling banyak Kategori V.              

5.Pasal 262: Setiap Orang yang menyiarkan atau menyebarluaskan berita atau pemberitahuan padahal diketahuinya bahwa berita atau pemberitahuan tersebut bohong yang mengakibatkan keonaran atau kerusuhan dalam masyarakat dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun atau pidana denda paling banyak Kategori V.             

6.Pasal 263: Setiap orang yang menyiarkan kabar yang tidak pasti, berlebih-lebihan, atau yang tidak lengkap sedangkan diketahuinya atau patut diduga, bahwa kabar demikian dapat mengakibatkan keonaran di masyarakat dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau pidana denda paling banyak Kategori III.

7.Pasal 281: Dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun atau pidana denda paling banyak Kategori II, Setiap Orang yang: a. tidak mematuhi perintah pengadilan atau penetapan hakim yang dikeluarkan untuk kepentingan proses peradilan; b. bersikap tidak hormat terhadap hakim atau persidangan atau menyerang integritas atau sifat tidak memihak hakim dalam sidang pengadilan; atau c. secara melawan hukum merekam, mempublikasikan secara langsung, atau membolehkan untuk dipubli¬kasikan segala sesuatu yang dapat mempengaruhi sifat tidak memihak hakim dalam sidang pengadilan.

8.Pasal 304: Setiap Orang di muka umum yang menyatakan perasaan atau melakukan perbuatan yang bersifat permusuhan atau penodaan terhadap agama yang dianut di Indonesia dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau pidana denda paling banyak Kategori V. Pasal 305: (1) Setiap Orang yang menyiarkan, mempertunjukkan, menempelkan tulisan atau gambar, atau memperdengarkan suatu rekaman, termasuk menyebarluaskan melalui sarana teknologi informasi yang berisi Tindak Pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 304, dengan maksud agar isi tulisan, gambar, atau rekaman tersebut diketahui atau lebih diketahui oleh umum dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau pidana denda paling banyak Kategori V. (2)  Jika Setiap Orang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) melakukan perbuatan tersebut dalam menjalankan profesinya dan pada waktu itu belum lewat 2 (dua) tahun sejak adanya putusan pemidanaan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan Tindak Pidana yang sama maka dapat dijatuhi pidana tambahan berupa pencabutan hak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 86 huruf f.         

 Pasal 354: Setiap Orang yang menyiarkan, mempertunjukkan, atau menempelkan tulisan atau gambar atau memperdengarkan rekaman, atau menyebarluaskan melalui sarana teknologi informasi yang berisi penghinaan terhadap kekuasaan  umum atau lembaga negara, dengan maksud agar isi penghinaan tersebut diketahui atau lebih diketahui oleh umum dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau pidana denda paling banyak Kategori III.        

9.Pasal 440: (1) Setiap Orang yang dengan lisan menyerang kehormatan atau nama baik orang lain dengan cara menuduhkan suatu hal, dengan maksud supaya hal tersebut diketahui umum, dipidana karena pencemaran, dengan pidana penjara paling lama 9 (sembilan) bulan atau pidana denda paling banyak Kategori II. (2) Jika perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan tulisan atau gambar yang disiarkan, dipertunjukkan, atau ditempelkan di tempat umum, dipidana karena pencemaran tertulis, dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun 6 (enam) bulan atau pidana denda paling banyak Kategori II.          

10.Pasal 446: (1) Setiap Orang yang melakukan pencemaran atau pencemaran tertulis terhadap orang yang sudah mati dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) bulan atau pidana denda paling banyak Kategori II. (2) Jika Setiap Orang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) melakukan Tindak Pidana tersebut dalam menjalankan profesinya dan pada waktu itu belum lewat 2 (dua) tahun sejak adanya putusan pemidanaan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan Tindak Pidana yang sama, dapat dijatuhi pidana tambahan berupa pencabutan hak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 86 huruf f.

Departemen Pertahanan AS: Komunis Tiongkok Terus Melanggar Tatanan Internasional di Wilayah Indo-Pasifik

0

EtIndonesia. Departemen Pertahanan AS mengatakan pada Senin 26 Agustus lalu, bahwa komunis Tiongkok terus menggunakan kekuatan militer dan cara lain untuk mengintimidasi tetangganya di Laut China Selatan. 

Tindakan itu tak hanya melanggar tatanan internasional wilayah Indo-Pasifik, tetapi juga berlawanan dengan prinsip “Pembangunan damai” yang selama ini digaungkan komunis Tiongkok.

Secara lengkap pernyataan Departemen Pertahanan AS mengatakan berbunyi,  Komunis Tiongkok terus melanggar tatanan internasional di kawasan Indo-Pasifik, Kementerian Pertahanan AS menyatakan keprihatinan besar terkait itu.

Pernyataan itu mengatakan, bahwa komunis Tiongkok baru-baru ini memulai kembali intervensi yang bersifat memaksa. Tindakan itu dalam kegiatan eksplorasi minyak dan gas jangka panjang Vietnam di Laut China Selatan. Padahal secara langsung melanggar komitmen Menteri Pertahanan komunis Tiongkok Wei Fenghe. Ia sebelumnya menyatakan “tetap berpegang teguh pada jalur kebangkitan damai” dalam “Dialog Shangri-La” tahunan di Singapura Juni 2019 lalu.

Data pelacakan kapal menunjukkan, bahwa sebuah kapal survey Tiongkok memperluas jangkauannya ke sekitar garis pantai Vietnam pada Sabtu 24 Agustus lalu. 

Kapal survei Tiongkok “Haiyang Dizhi 8″ untuk pertama kalinya memasuki zona ekonomi eksklusif Vietnam bulan lalu selama beberapa minggu penelitian. Sehingga memicu konfrontasi militer dengan Vietnam.

Departemen Pertahanan AS mengatakan dalam sebuah pernyataan: “Komunis Tiongkok tidak akan mendapatkan kepercayaan dari negara-negara tetangganya atau rasa hormat dari komunitas internasional dengan mempertahankan taktik bullying-nya. 

Lebih jauh, Komunis Tiongkok dikatakan mengancam aktivitas Bangsa Bangsa Asia Tenggara di perairan yang disengketakan. Lebih rinci disebutkan, Komunis Tiongkok menyebarkan sistem militer yang ofensif, dan eksekusi klaim maritim illegal. Yang mana, telah menimbulkan keraguan serius atas kredibilitas komunis Tiongkok.”

Pernyataan itu menekankan: “Amerika Serikat akan terus mendukung upaya sekutu dan mitranya, untuk memastikan kebebasan navigasi dan peluang ekonomi di seluruh wilayah Indo-Pasifik.”

Pekan lalu, Departemen Luar Negeri AS juga menuduh komunis Tiongkok mengintimidasi pengembangan sumber daya negara lain di Laut China Selatan.

Pada saat yang sama, Departemen Pertahanan AS berencana menggelar latihan militer dengan negara-negara ASEAN. Tujuannya, untuk mengimbangi ekspansi komunis Tiongkok di Laut China Selatan.

Sebelumnya, Asisten Sekretaris Departemen Pertahanan AS, Randall Shriver mengatakan, bahwa Amerika Serikat akan berusaha membangun hubungan militer yang lebih kuat dengan Vietnam. Langkah itu, untuk memperkuat kemampuan Vietnam dalam menanggapi ancaman militer komunis Tiongkok. (jon)

Negara-negara Afrika Ambil Langkah Berani untuk Membatalkan Proyek Investasi Tiongkok

0

Dominic Kirui Spesial The Epochtimes

Beberapa negara Afrika membatalkan proyek dan izin pembangunan oleh Tiongkok. Langkah itu dilakukan saat pemerintah beberapa negara Afrika,  sadar akan risiko potensial dari kesepakatan semacam itu.

Selama beberapa tahun terakhir, rezim di Beijing telah berperan besar dalam proyek pembangunan Afrika. 

Pada saat yang sama, ada kekhawatiran mengenai bagaimana Tiongkok melaksanakan proyek itu.  Seringkali memikat negara-negara Afrika ke dalam jebakan utang, dengan potensi untuk menempatkan aset nasional dalam risiko. Itu terjadi,  jika negara Afrika pada akhirnya gagal membayar pinjamannya.

Pada tanggal 2 Agustus, Financial Times, melaporkan bahwa “pemerintah Sierra Leone telah membatalkan dan menangguhkan izin beberapa proyek pertambangan, termasuk tambang bijih besi Tonkolili dan Marampa.” 

Perusahaan besar yang beroperasi di Sierra Leone termasuk Shandong Iron and Steel milik Tiongkok, yang memiliki proyek bijih besi Tonkolili, dan Gerald Group milik Tiongkok, yang memiliki tambang Marampa.

Sejak naik ke tampuk kekuasaan tahun lalu, Presiden Sierra Leone, Julius Maada Bio telah membuat banyak perubahan pada undang-undang. Ia meninjau kontrak pertambangan untuk memastikan Sierra Leone mendapat manfaat dari sumber daya alamnya.

Pada bulan Oktober 2018, Julius Maada Bio membatalkan proyek lain yang didanai Tiongkok, yaitu pembangunan bandara Mamamah, dengan biaya 400 juta dolar AS.

Perjanjian pinjaman untuk membangun proyek dengan Tiongkok telah ditandatangani oleh mantan presiden Sierra Leone, Ernest Bai Koroma, sebelum ia kalah dalam pemilihan umum pada bulan Maret 2018.

Selama waktu itu, Bank Dunia dan IMF, mengeluarkan peringatan yang menyatakan bahwa proyek tersebut akan membebani utang yang besar bagi Sierra Leone.

Pada saat proyek itu dibatalkan, Duta besar Tiongkok untuk Sierra Leone, Wu Peng, mengatakan kepada BBC bahwa hubungan kedua negara tidak akan memburuk.  

Keputusan Berani Tanzania

Pada bulan Juni lalu, Presiden Tanzania John Magufuli menangguhkan proyek pembangunan pelabuhan Bagamoyo oleh Tiongkok dengan biaya 10 miliar dolar AS, setelah gagal menyetujui persyaratan proyek. 

Perjanjian proyek telah ditandatangani oleh Presiden Jakaya Kikwete dan rekannya dari Tiongkok, Xi Jinping, selama kunjungan Xi Jinping ke negara Afrika Timur pada tahun 2013 silam.

Proyek itu termasuk zona ekonomi seluas 4.200 hektar, dan akan dibangun oleh China Merchants Port milik negara Tiongkok dalam kemitraan dengan Dana Cadangan Umum Negara Oman.

John Magufuli, menurut situs berita Kenya, Tuko mengatakan, Para investor itu datang dengan kondisi sulit yang hanya dapat diterima oleh orang-orang gila. 

John Magufuli menegaskan, Investor memberitahukan kepadanya begitu mereka membangun pelabuhan itu, seharusnya tidak ada pelabuhan lain yang akan dibangun dari Tanga ke selatan Mtwara. Bahkan tidak diizinkan untuk pergi dan mengumpulkan pendapatan. Lebih jelasnya, Tanzania Revenue Authority tidak diizinkan juga masuk ke pelabuhan untuk mengumpulkan pendapatan.


Selain itu, John Magufuli berkata bawah Tiongkok ingin negara itu memberikan jaminan 33 tahun dan sewa 99 tahun. Bahkan, Tanzania tidak boleh mempertanyakan siapa pun yang datang untuk berinvestasi setelah pelabuhan beroperasi. Tiongkok ingin mengambil tanah itu sebagai miliknya, tetapi Tanzania harus memberikan kompensasi kepada Tiongkok untuk pengeboran pembangunan pelabuhan itu.”

John Magufuli  menegaskan, agar semuanya mengerti bahwa sebagai sebuah negara  telah dipermainkan, dan negara itu perlu berubah.

Menyuarakan sentimen itu, Anzetse Were, seorang ahli ekonomi pembangunan Kenya, baru-baru ini memperingatkan dalam cuitannya, bahwa pemerintah Afrika perlu berhati-hati, bagaimana mereka meminjam dari Tiongkok untuk dibelanjakan pada proyek pembangunan.

Anzetse Were menilai, sangat penting bahwa pemerintah Afrika mengelola dan menentukan kualitas investasi yang dipicu untuk negaranya. 

Anzetse Were mempertanyakan, apakah ada strategi Penanaman Modal Asing yang sengaja dipekerjakan oleh pemerintah Afrika untuk memastikan kepentingan sektor swasta di benua itu dimanfaatkan secara strategis?”

Kepedulian Internasional

Pada bulan Agustus 2018 silam, sebanyak 16 senator Amerika Serikat menulis surat kepada Menteri Keuangan Amerika Serikat, Steven Mnuchin dan Menlu Amerika Serikat Mike Pompeo. 

Isi surat itu  menyatakan keprihatinan mengenai bagaimana Komunis Tiongkok, melalui inisiatif One Belt, One Road atau OBOR, memberikan pinjaman uang ke negara-negara di Afrika dan negara lain di dunia. Terkadang melebih kesanggupan bayar negara itu. Akibatnya menjerat negara itu ke dalam perangkap utang.

Dalam surat itu, para senator menunjukkan bahwa beberapa negara telah meminta agar IMF menjamin pinjaman yang dihutang dari Beijing. Dengan alasan kasus Sri Lanka kehilangan pelabuhannya untuk diberikan ke Tiongkok.

Surat itu menyatakan, Pusat Pengembangan Global memperkirakan, bahwa dari 68 negara yang saat ini menjadi tuan rumah proyek yang didanai Penanaman Modal Asing, sebanyak 23 negara berisiko terjerat utang, dan ada delapan negara di masa depan yang sangat dikhawatirkan terjerat utang berlanjutan terkait pendanaan oleh Penanaman Modal Asing. 

Surat itu menyebutkan, juga ditemukan bahwa perilaku Tiongkok sebagai kreditor, belum tunduk pada disiplin dan standar yang telah diadopsi bersama oleh kreditor multilateral dan kedaulatan besar lainnya secara kolektif. Disebutkan, dalam prosesnya, besarnya utang dan ketergantungan pada Tiongkok meningkat. 

Lebih jauh surat itu mengungkapkan, saat  negara-negara yang kekurangan dana bernegosiasi dengan Tiongkok untuk membebaskan diri dari meningkatnya utang, Beijing telah mengekstraksi konsesi berat, termasuk ekuitas dalam aset penting yang strategis. Selanjutnya, Beijing telah berulang kali menggunakan tekanan ekonomi untuk memengaruhi keputusan kebijakan luar negeri.

Di luar Afrika, Perdana Menteri Malaysia Mahathir Mohamad, selama kunjungan pertamanya ke Tiongkok pada bulan Agustus 2018, setelah memenangkan pemilihan, mengumumkan pembatalan tiga proyek OBOR: East Coast Rail Link dan dua pipa gas, Multi-Product Pipeline dan Trans-Sabah Gas Pipeline.

Proyek tersebut telah ditandatangani oleh pendahulunya, Najib Razak, yang selalu dikritik oleh Mahathir Mohamad karena memulai proyek itu, dengan mengatakan bahwa proyek itu merugikan Malaysia dan kesehatan fiskal Malaysia. 

Selama kampanye pemilihannya, Mahathir Mohamad berjanji untuk mengurangi tingkat utang Malaysia yang meningkat. Sedangkan proyek OBOR dinilai hanya akan meningkatkan utang Malaysia. (Vv/asr)

Google Memindahkan Produksi Ponsel Pintarnya dari Daratan Tiongkok

0

oleh Xu Zhenqi

Google sedang aktif mengalihkan produksi ponsel pintarnya Pixel dari daratan Tiongkok ke Vietnam. Tujuannya, untuk membangun rantai pasokan berbiaya rendah di negara itu. Yang mana, diharapkan dapat mendukung rencana Google dalam mengembangkan perangkat keras yang belakangan terus berkembang.

Seperti ditulis oleh ‘Nikkei Asia Review’ pada 28 Agustus, menurut sumber terpercaya Google dengan mitra usahanya, pada musim panas tahun ini mulai mengubah pabrik bekas produksi ponsel Nokia yang terletak di provinsi Bac Ninh, Vietnam. Pabrik itu disulap  memproduksi telepon seluler Pixel. 

Sepuluh tahun silam, Samsung pernah mengembangkan rantai pasokan smartphone di provinsi tersebut, sehingga Google akan memiliki tim karyawan yang sudah berpengalaman.

Kantor Perwakilan Perdagangan AS dalam ‘Federal Register’ edisi hari Rabu menyebutkan, bahwa pihaknya akan menerapkan kenaikan tarif impor sebesar 15% terhadap komoditas Tiongkok senilai USD. 300 miliar pada 1 September. Sisanya, termasuk ponsel dan laptop akan dikenakan tarif 15% mulai 15 Desember. Awalnya tarif yang dikenakan oleh Amerika Serikat adalah 10%.

Basis produksi Google di Vietnam mencerminkan upaya perusahaan itu. Tujuannya, untuk menyingkirkan tekanan yang meningkat pada biaya tenaga kerja di Tiongkok. Selain itu, untuk menekan soal kenaikan tarif akibat perang dagang. 

Menurut sumber, Google bermaksud untuk akhirnya mengalihkan sebagian besar produksi perangkat kerasnya ke luar daratan Tiongkok, termasuk ponsel Pixel dan pengeras suara populernya, Google Home.

Hampir 70% Ponsel Cerdas Google Dijual di Pasar AS

Lini produksi di Vietnam akan menjadi bagian penting dari pertumbuhan Google di pasar ponsel cerdas. 

Sumber itu kepada ‘Nikkei Asia Review’ menyebutkan, bahwa Google berencana untuk mensuplai ke pasar sekitar 8 juta hingga 10 juta smartphone tahun ini. Angkanya, dua kali lipat dari jumlah setahun yang lalu. 

Menurut perusahaan analis industri ‘Counterpoint’, meskipun merek smartphone Google Pixel masih merupakan pemain kecil dan menengah di industri ini, serta belum masuk sepuluh besar di dunia, akan tetapi pertumbuhannya cukup cepat.

Penjualan ponsel Google pada kuartal kedua tahun ini, terdongkrak oleh kenaikan penjualan ponsel Pixel yang berharga menengah. Ponsel itu sudah diluncurkan pada bulan April lalu. 

Google berhasil menjadi merek ponsel terbesar kelima di AS pada kuartal kedua tahun 2019. Perusahaan riset ‘IDC’ atau International Data Corporation mengatakan, bahwa Google telah memasok ke pasar 4,1 juta unit smartphone pada semester pertama tahun ini, terutama berkat Pixel 3A yang harganya  399 dolar AS.

Dengan mengalihkan produksi dari Tiongkok ke Vietnam untuk mewujudkan diversifikasi berkelanjutan produk, Google ingin memastikan produksi berkelanjutan dari seri Pixel yang merupakan perpanjangan lebih lanjut dari sistem operasi Android. Android adalah sistem operasi yang digunakan oleh 80% smartphone di seluruh dunia.

Menurut angka dari ‘IDC’, hampir 70% ponsel cerdas Google dijual di pasar AS pada tahun 2018, diikuti oleh Inggris dan Jepang. Untuk pengeras suara pintar, Amerika Serikat menyumbang sekitar 64% dari jumlah yang dipasok Google ke pasar.

Sumber mengatakan bahwa menurut rencana saat ini, Google akan mengalihkan sebagian produksi ponsel Pixel 3A ke luar dari daratan Tiongkok ke Vietnam sebelum tahun ini berakhir.

Menurut sumber, beberapa produksi untuk speaker pintar mungkin akan dialihkan ke Thailand. Akan tetapi, mereka mengatakan bahwa pengembangan produk baru perusahaan dan produksi awal dari jajaran perangkat keras, masih akan dilakukan di daratan Tiongkok.

Perusahaan Teknologi global Satu per satu Hengkang dari Tiongkok

Semakin tajamnya suhu perang dagang, Google termasuk perusahaan teknologi terbaru yang menghindari tarif melalui diversifikasi produk. 

Menurut laporan penelitian terbaru dari ‘Nikkei Asia Review’, lebih dari 50 perusahaan terkenal internasional sedang aktif memindahkan jalur produksi mereka dari daratan Tiongkok.

Hewlett-Packard dan Dell telah memindahkan produksi server mereka keluar dari Tiongkok, sementara juga mengalihkan beberapa produksi notebook mereka ke Taiwan dan negara-negara Asia Tenggara lainnya seperti Vietnam, Thailand dan Filipina. Apple juga mulai menilai bagaimana untuk diversifikasi rantai pasokan.

Pabrikan Jepang Kyocera mengatakan pada 2 Agustus, bahwa mereka akan memindahkan produksi mesin fotokopi dan printer multifungsi yang dijual ke Amerika Serikat dari Tiongkok ke Vietnam. Langkah itu bertujuan untuk menghindari tarif tinggi. Inventec Corp mengatakan pada 13 Agustus, bahwa mereka akan memindahkan produksi notebook untuk pasar AS keluar dari Tiongkok dalam beberapa bulan ini.

Hampir 70% perusahaan memilih Vietnam sebagai tujuan pengalihan lini produksi, sedangkan sisanya adalah Kamboja, India, Malaysia, Meksiko, Serbia dan Thailand.

Roy Chun Lee dari Chung-Hua Institution for Economic Research sebelumnya telah mengatakan kepada ‘Nikkei’, bahwa terlepas dari apakah ada perjanjian perdagangan antara AS dan Tiongkok, diversifikasi jalur produksi akan berlanjut. Dikarenakan, perselisihan antara kedua negara ekonomi utama dunia ini akan berlangsung lama.

Presiden Trump telah berulang kali dalam cuitannya, menasihati pihak Tiongkok agar secepatnya mencapai kesepakatan perdagangan, sehingga dapat mempertahankan perusahaan AS agar tidak menarik diri dari Tiongkok. (Sin/sr)

Kaum Progresivisme Akhirnya ‘Sadar’ Mengenai Kebijakan Satu-Anak di Tiongkok — yang Kini Sudah Berakhir

0

Oleh Steven  Mosher

Film dokumenter mengenai draconian kebijakan satu-anak di Tiongkok  baru saja dirilis. Film itu telah disambut dengan keriuhan yang dahsyat oleh kaum Kiri. 

Bahkan, film dokumenter tersebut memenangkan GrandJury Prize di Festival Film Sundance tahun ini. Dan, terima kasih untuk Amazon Studios, yang menyelenggarakan pertunjukan perdana di teater pilihan pada tanggal 9 Agustus.


Disebut “Satu-Anak Bangsa,” film dokumenter tersebut merinci penderitaan yang dipikul wanita dan gadis Tiongkok selama 35 tahun. Mereka selama ini  bertahan di bawah kebijakan satu-anak, yang berakhir pada tahun 2015.

Kisah itu sangat akrab bagi saya karena berada di Tiongkok pada tahun 1980 saat kebijakan tersebut dimulai.  Saya melihat secara langsung kebrutalan yang dilaksanakan oleh pejabat Komunis Tiongkok. 

Saya melihat para wanita yang terisak-isak dipaksa menjalani aborsi dan sterilisasi. Itu adalah visi Neraka yang tidak mungkin pernah dirinya lupakan. Paling tidak, karena dirinya berada di ruang operasi dengan para wanita tersebut — berdiri tidak jauh dari meja operasi dengan diliputi ketidakpercayaan yang mengejutkan.

Selama bertahun-tahun penulis buku berjudul “Bully of Asia: Why China’s Dream Is the New Threat to World Order” ini memberikan banyak ceramah, menulis belasan artikel untuk publikasi seperti di Wall Street Journal, The Epoch Times, dan Washington Post. Saya menulis buku-buku terlaris, dan telah hadir di televisi nasional — semuanya untuk menyoroti kebijakan kendali-populasi sesat di Tiongkok yang mengerikan. 

Banyak suara lain telah muncul dari waktu ke waktu untuk berbicara atas nama para wanita serta para bayi di Tiongkok. Bersamaan itu, mereka secara kompak bersama-sama menyuarakannya.

Bagi siapa pun yang memberi perhatian, tidak pernah ada keraguan atas apa yang terjadi di Tiongkok. 

Kebijakan tersebut mengizinkan memiliki satu anak untuk warga kota, dan memiliki dua anak untuk rakyat desa. Disertai serangkaian ancaman dan hukuman yang semakin berat yang digunakan untuk menegakkan batas-batas yang ketat ini.

Para pejabat memulai kampanyenya untuk memaksa wanita dan suaminya untuk setuju dilakukan aborsi. Caranya memecat mereka dari pekerjaannya, menghancurkan rumahnya, merampas ternak dan harta benda lainnya, dan memaksakan denda tinggi yang sangat tidak masuk akal. 

Namun, para pejabat Komunis Tiongkok yang mengeluarkan kebijakan kejam dan tidak manusiawi itu, tidak berhenti sampai di situ.

Ibu hamil yang menolak untuk menggugurkan bayinya, segera ditangkap oleh pejabat Keluarga Berencana setempat. Mereka dibawa secara paksa ke tempat aborsi dilakukan di mana bayi dalam kandungan tersebut dibunuh dengan suntikan yang mematikan.

Untuk menangani sejumlah besar wanita yang sudah hamil tujuh, delapan, atau bahkan sembilan bulan, dokter  Komunis Tiongkok menemukan kejahatan baru terhadap kemanusiaan: “Aborsi melalui operasi Caesar.” 

Untuk memenuhi tindakan ini, tubuh wanita dibuka seperti membuka kaleng, sehingga lebih mudah untuk menyingkirkan dan membuang bayi yang mati atau sekarat. Kasus membunuh bayi — di mana bayi “ilegal” dibunuh oleh dokter pemerintah saat lahir — adalah hal biasa.

Banyak kengerian ini — meski tidak semua — diceritakan dalam “Satu-Anak Bangsa.” Walaupun tidak ada yang mengejutkan bagi Mosher, dari film dokumenter itu rupanya mengejutkan banyak kaum progresivisme. 

Bahkan, untuk menilai dari desas desus mengenai film tersebut, banyak kaum Kiri tampaknya benar-benar seperti terperangah oleh kebijakan Komunis Tiongkok yang jahat. Mereka membicarakannya seolah menyadarinya untuk pertama kalinya.

Nick Schager, misalnya, menulis untuk Daily Beast, sangat terkejut dengan apa yang ia pelajari dari menonton film dokumenter tersebut. Ia sulit menahan diri. Ia menyebutkan, Kebijakan pembunuhan-anak yang mengerikan. Ia menulis “pemerintahan teror” yang mengakibatkan “penculikan, aborsi yang  dipaksakan, dan kematian anak yang tak terhitung jumlahnya.”


Para penonton di Sundance Film Festival sama-sama terkejut. Jutaan wanita hamil diculik dari rumahnya dan dipaksa untuk menjalani aborsi? Jutaan anak dibunuh saat lahir, atau dijual ke panti asuhan untuk pada akhirnya dijual kepada orang asing? 

Bagaimana ini telah terjadi? Film dokumenter yang berani dan inovatif, tampaknya film tersebut dipercaya, pantas diakui secara luas. Oleh karenanya, film tersebut mendapat penghargaan.
Saya  menilai kesadaran kaum progresivisme yang terlambat terhadap kengerian kebijakan satu-anak adalah semacam pembenaran bagi pihak yang, berisiko, telah berusaha untuk memaparkan kebijakan tersebut selama beberapa dekade terakhir.

Seperti Monica Show-alter menulis dalam American Thinker:

“Ingat sarjana Stanford bernama Steven Mosher? Kembali ke tahun 1980-an, pria itu telah dicerca di lingkaran ilmiah karena memaparkan kenyataan Tiongkok. Bukannya dipuji karena memperkaya badan pengetahuan ilmiah, ia dilecehkan, difitnah, dituduh memproses kejahatan, dan akhirnya dikeluarkan dari program gelar Ph.D. Karena ia melaporkan kebenaran apa yang sedang terjadi. Ini adalah atas desakan pemerintah Tiongkok, yang menginginkan semua berita kekejaman yang dilakukan oleh Tiongkok disembunyikan — siklus kebohongan-kekerasan tersebut digambarkan oleh Alexander Solzhenitsyn sebagai hal yang sangat diperlukan oleh semua tirani totaliter.  

Monica Show-alter kembali ingat kontroversi itu, saat dirinya sebagai seorang mahasiswa yang mempelajari sejarah Tiongkok, dan profesornya yang memanggil Mosher sebagai “seekor tikus” karena ia membuka rahasia mengenai aborsi yang dipaksakan dan pelanggaran hak asasi manusia di Tiongkok.  Yang mana, mengakibatkan kemarahan pemerintah komunis Tiongkok. Hingga mengakibatkan rezim Komunis Tiongkok membatasi kesempatan untuk mendanai penelitian di Tiongkok.

“Namun satu-satunya hal yang benar-benar Mosher lakukan bersalah adalah tanggung jawab tertinggi seorang sarjana, yang mengatakan yang sebenarnya,” demikian ungkapan Monica. 


Namun demikian kaum Kiri — termasuk sebagian besar kolega fakultas di Stanford — tidak hanya menutup mata terhadap kebenaran itu, beberapa di antaranya bahkan membela Tiongkok. 

Bagaimana mereka sanggup mengabaikan kebrutalan atas kebijakan satu-anak di Tiongkok selama 35 tahun yang panjang? Bagaimana mereka dapat membela apa yang tidak patut dibela?


Jelas, tidak semua orang melakukannya. Organisasi Amerika Serikat yang pro-kehidupan mendengar tangisan para wanita Tiongkok yang meminta bantuan, dan berusaha membantu mereka dengan berbagai cara. 

Pemerintah Amerika Serikat yang pro-kehidupan, dimulai dari Ronald Reagan dan diakhiri oleh Donald Trump, telah memangkas  dana untuk Dana Populasi PBB dan organisasi lainnya karena keterlibatan organisasi tersebut dalam kebijakan Beijing. 

Tetapi kaum Kiri umumnya mengalihkan pandangannya. Mengapa?

Sebagian alasannya adalah saat mengkritik pelanggaran hak asasi manusia yang dilakukan oleh rezim sosialis atau komunis, kaum Kiri adalah selalu terlambat menanggapinya. 

Lama setelah semakin banyak korban, kaum Kiri masih cenderung untuk membiarkan rekan sosialisnya. 

Mereka secara khusus memahami “secara fundamental mengubah” sebuah negara menjadi sebuah surga komunis, adalah pekerjaan kotor, dan “musuh kelas” yang menghalangi kemajuan. Dengan keras kepala menolak untuk “diubah” harus dienyahkan supaya tidak menghalangi — dihilangkan—entah bagaimana caranya.


Bahkan, kaum Kiri umumnya hanya mau mengakui kekejaman hak asasi manusia rezim komunis tertentu.  Hanya setelah rezim tersebut telah runtuh, saat kejahatan itu dibuka supaya seluruh dunia melihatnya. 

Bernie Sanders masih merayakan Uni Soviet hingga tahun 1988, lama setelah kejahatan Uni Soviet adalah legenda dan ketika kejahatan itu menjadi jelas pada keruntuhan Uni Soviet.


Tentu saja, Republik Rakyat Tiongkok masih ada, tetapi kebijakan satu-anak itu sendiri diam-diam ditinggalkan oleh Komunis Tiongkok. Garis Komunis Tiongkok bergeser, yang mungkin menjelaskan, mengapa kaum Kiri akhirnya memutuskan untuk bersuara setelah lama diam.


Kesetaraan yang (Tidak) Bermoral


Tidak ada kaum progresivisme sejati yang bermimpi mengkritik sebuah negara sosialis, tanpa mencampakkan  Amerika Serikat yang bergaya sedikit kuno yang bagus untuk “keseimbangan” — hanya untuk meyakinkan rekan-rekan sayap Kiri bahwa kaum progresivisme belum meninggalkan barikade. 

Inilah sebabnya mengapa artikel Nick Schager di Daily Beast dimulai dengan menghancurkan United Serikat. 

“Satu-Anak Bangsa,” tulisnya, “adalah sangat mengingatkan bahwa Amerika Serikat bukanlah satu-satunya negara tempat hak perempuan untuk mengendalikan tubuhnya yang telah dikepung. “


Anda tahu, Tiongkok mungkin memperlakukan wanita-wanita Tiongkok dengan buruk, tetapi Amerika Serikat sama menyedihkannya.


Apa yang seburuk menangkap ibu hamil untuk kejahatan dirinya menjadi hamil, menyeret ibu hamil ke klinik aborsi, dan menahannya di atas meja operasi saat kandungannya diaborsi dan disteril? 

Nick Schager tidak mengatakan. Tetapi kemudian ia tidak harus mengatakannya. Kebencian rekan-rekannya kaum  Kiri lainnya begitu bersatu terhadap “fasis” Amerika Serikat yang tidak memiliki penjelasan adalah penting.


Salah satu mantan kolega Mosher di Universitas Stanford, mendiang William Skinner, pernah mencoba menjelaskan mengapa perlakuan terhadap wanita Tiongkok tidak lebih buruk dari perlakuan terhadap wanita Amerika Serikat. 

William Skinner menemukan aborsi yang dipaksakan pada ibu hamil trimester ketiga kehamilan adalah menjijikkan. Ia  menyampaikannya kepada Mosher setelah membaca laporannya mengenai Tiongkok. Namun, hal tersebut tidak lebih menjijikkan daripada penolakan pemerintahan Ronald Reagan untuk dana aborsi dana.

Orang-orang akan berpikir bahwa seorang profesor di salah satu universitas paling bergengsi di Amerika Serikat,  akan terlalu pintar untuk membuat kesalahan mendasar dalam logika: Penolakan berprinsip untuk berpartisipasi dalam aksi pembunuhan dengan mendanainya — posisi pemerintahan Ronald Reagan — hampir tidak dapat  disamakan dengan negara yang mengamanatkan pembunuhan massal yang dilakukan oleh Komunis Tiongkok.

Tetapi kemudian orang-orang sudah menetapkan kaum Kiri dapat membuat anda menjadi tuli, bisu, dan buta.

Mengalihkan Kanibalisme?

Keluhan terbesar saya mengenai “Satu-Anak Bangsa” adalah bahwa kebijakan tersebut gagal untuk secara memadai mengatasi — apalagi menghilangkan prasangka  —kebijakan satu-anak demi alasan ekonomi adalah palsu.


Propaganda  Komunis Tiongkok pada saat itu sangat gencar, memperingatkan rakyat Tiongkok bahwa terlalu banyak bayi merupakan ancaman nyata untuk masa depan Tiongkok. 

Tanpa penurunan angka kelahiran yang drastis, Tiongkok akan menderita keruntuhan hingga bencana besar ekonomi, lingkungan hidup, dan sosial masyarakat sehingga bahkan mungkin rakyat akan saling memangsa.

 Seorang wanita tua masih dapat dipercaya meyakinkan para pembuat film dokumenter tersebut, tanpa kebijakan satu- anak, “Tiongkok akan menghadapi kelaparan dan potensi kanibalisme.”


Namun, di bawah kebijakan baru  Komunis Tiongkok, semuanya akan baik-baik saja. 

Penghilangan sejumlah besar anak akan mengarah pada kekayaan dan kebahagiaan bagi mereka yang selamat dari bencana tersebut. Dewa kemakmuran akan tersenyum pada Tiongkok, standar hidup setiap warga Tiongkok akan meningkat dua kali lipat, dan Tiongkok sendiri akan memulihkan kemuliaan nasionalnya.

Saya memaparkan dalam tulisan di The Epochtimes, jadi begitulah, atas perintah otoritas Komunis Tiongkok, Tiongkok memulai “kanibalisme” jenis yang berbeda: Tiongkok mulai melahap anak-anaknya sendiri. Bayi adalah “musuh kelas” baru yang menghalangi kemajuan sosialis.

Seperti semua “musuh rakyat”, anak-anak tersebut harus dihilangkan dengan kejam, bahkan diartikan secara paksa menggugurkan kandungan ibunya atau membunuh mereka saat lahir.


Mengubah negara secara fundamental menjadi surga komunis, seperti yang mosher katakan sebelumnya, adalah pekerjaan kotor.


Selama tiga setengah dekade berikutnya, diperkirakan 400 juta anak, baik yang lahir maupun yang belum lahir, dikorbankan demi kebohongan bahwa kematian mereka adalah diperlukan demi ekonomi Tiongkok berkembang pesat. 

Itu adalah suatu kebohongan karena hal tersebut adalah akses ke pasar, modal, dan teknologi Barat. Dikombinasikan dengan kemampuan kewirausahaan dan etos kerja rakyat Tiongkok yang asli, disertai dengan angka belaka, yang memungkinkan ekonomi Tiongkok tumbuh selama beberapa dekade terakhir.


Yang benar adalah bahwa rakyat — terutama rakyat yang masih muda — adalah bantuan yang sangat diperlukan bagi pengembangan ekonomi negara mana pun untuk jangka panjang. 

Dan, para pemimpin Komunis Tiongkok, dalam menghilangkan 400 juta rakyat yang paling bekerja keras, cerdas, dan berwawasan bisnis di planet ini, adalah benar-benar menghancurkan masa depan Tiongkok. 

Perbuatan itu adalah pengrusakan yang ceroboh terhadap modal manusia, pada skala yang belum pernah terlihat dalam sejarah manusia.


Semuanya itu untuk mengatakan bahwa kebijakan satu-anak tidak hanya menghancurkan hati dan roh ratusan juta wanita Tiongkok, kebijakan tersebut juga telah membuat Tiongkok menjadi lebih miskin.


Dan, seiring angka kelahiran Tiongkok terus turun drastis,  dan tenaga kerjanya terus menyusut, masa depan Tiongkok yang bahkan lebih gelap mungkin hadir sebentar lagi. 

Tiongkok mungkin memasuki resesi demografik berpuluh-puluh tahun lamanya, yang menyebabkan penghancuran sumber daya Tiongkok yang paling berharga yakni Rakyat Tiongkok.

Efek dunia-nyata dari melenyapkan secara kasar setengah dari dua generasi muda rakyat Tiongkok adalah populasi yang menua dan sekarat hari ini. 

Faktanya, populasi Tiongkok yang menua lebih cepat daripada negara lain di dunia. 

Berbeda dengan pesaingnya di Asia — Jepang, Korea Selatan, dan Taiwan — populasi Tiongkok akan menua sebelum Tiongkok tumbuh menjadi kaya.


Ini jelas bukan pertama kalinya  Komunis Tiongkok berkompromi dengan masa depan Tiongkok. 

Masing-masing dan setiap program rekayasa sosial yang besar dilakukan oleh Komunis Tiongkok— dari Komune Rakyat tahun 1950-an, hingga Revolusi Kebudayaan tahun 1960-an, hingga penumpasan  yang menyertai Pembantaian Tiananmen, hingga penganiayaan yang keji saat ini terhadap penganut agama — telah mengembalikan ekonomi dan kemajuan sosial Tiongkok yang sebenarnya.

Mengapa ada orang yang akrab dengan sejarah kebrutalan  Komunis Tiongkok tidak menganggap kebijakan satu-anak sebagai suatu kebrutalan?

Steven W. Mosher adalah presiden dari Population Research Institute dan penulis “Bully of Asia: Why China’s Dream Is the New Threat to World Order.”

FOTO : Hasil sensus terbaru Tiongkok menunjukkan populasi yang menua dan proporsi bayi baru lahir yang menurun. (Getty Images)

Bentrokan Antara Polisi dan Demonstran Menjadi Kekerasan, Petugas Menyerbu ke Kereta Bawah Tanah dan Keganjilannya

0

Eva Pu – The Epochtimes

Tembakan gas air mata dan meriam air dalam bentrokan terbaru antara polisi dan pengunjukrasa anti ekstradisi, menandai akhir pekan yang bergolak di Hong Kong. 

Melansir dari Epochtimes Hong Kong, pada larut malam, saking brutalnya polisi bahkan menyerbu ke stasiun kereta bawah tanah. Tindakan Polisi itu untuk menangkap pengunjuk rasa. Mirisnya, melukai penumpang yang tidak bersenjata.

Puluhan ribu pengunjuk rasa kembali turun ke jalan, meskipun polisi melarang pawai yang direncanakan pada (31/8/2019). Polisi berulang kali mengancam warga, bahwa mereka akan terlibat dalam pertemuan ilegal.

Sehari sebelumnya, polisi menangkap sejumlah aktivis dan anggota parlemen pro-demokrasi terkemuka. Tindakan keras ini memicu kekhawatiran bahwa pemerintah Hong Kong menciptakan iklim ketakutan untuk mencegah pengunjuk rasa turun ke jalan. 

Pada tanggal 31 Agustus memiliki arti penting khusus bagi penuduk Hong Kong. Lima tahun lalu pada tanggal yang sama, Beijing mengumumkan kebijakan ketat. Isinya menolak pemilihan umum warga Hongkong dalam pemilihan kepala eksekutif kota dan pejabat tinggi.

Calon saat ini dipilih secara langsung oleh Beijing dan komite pemilihan terdiri 1.200 kursi. Komite ini terdiri dari sebagian besar elit pro-Komunis Tiongkok. Mereka inilah yang memberikan suara untuk kepala eksekutif. 

Front Hak Asasi Manusia Sipil pada awalnya merencanakan pawai untuk menyerukan pemilihan umum yang demokratis dan bebas. Mereka memprotes penolakan pemerintah terhadap tuntutan para pemrotes dalam krisis undang-undang ekstradisi.

Kemarahan terjadi karena rancangan undang-undang ekstradisi yang sekarang ditangguhkan, memungkinkan rezim Komunis Tiongkok untuk mengekstradisi orang-orang untuk diadili dalam sistem pengadilan daratan. Banyak yang khawatir RUU itu akan mengikis otonomi Hong Kong. 

Selain seruan untuk demokrasi yang lebih besar, pengunjuk rasa mengatakan mereka ingin penarikan secara total terhadap RUU itu. Demonstran juga menyerukan penyelidikan secara independen terhadap penggunaan kekuatan polisi selama demonstrasi baru-baru ini.

Zona Perang

Pada 31 Agustus sore hari, banyak yang bergabung dengan pawai terorganisir kelompok Kristen untuk “berdoa bagi pendosa atau chief executive Hong Kong yang berdosa.” 

Massa lainnya berkumpul di area perbelanjaan Causeway Bay atau Chater Garden di kawasan pusat bisnis. Warga menerjang hujan dengan payung mereka.

Pada malam hari, bentrokan antara polisi dan demonstran mematahkan ritme damai dalam aksi demonstrasi sore hari. Kekerasan mengulangi pola protes akhir pekan lalu.

Polisi mengerahkan truk meriam air beberapa kali, mengeluarkan air berwarna biru yang akan memudahkan polisi mengidentifikasi pengunjuk rasa di garis depan. 

Polisi mengejar demonstran dan memukuli mereka dengan tongkat, melukai banyak orang di kepala. Satu orang terluka di mata kiri, dilaporkan terkena oleh proyektil yang ditembakkan polisi.

Di Hennessy Road, tempat banyak pemrotes berkumpul, polisi menembakkan beberapa putaran gas air mata dan granat spons. Polisi juga mengkonfirmasi bahwa mereka menembakkan dua peluru langsung di dekat Victoria Park. Tidak ada korban cedera yang dilaporkan di daerah tersebut. Tidak jelas mengapa polisi memutuskan untuk menggunakan senjata dinas mereka pada saat itu.

Menjelang tengah malam, kekerasan menyebar ke stasiun kereta bawah tanah di distrik Kowloon. Di stasiun metro Prince Edward dan beberapa stasiun lain di Kowloon, polisi menyerbu masuk ke stasiun dan ke mobil kereta api, menyebarkan semprotan merica dan memukuli tongkat mereka. Petugas menangkap setidaknya belasan orang. Beberapa penumpang tak bersenjata terlihat mengalami pendarahan karena cedera.

Menurut media lokal, In-media Hk, polisi menjaga pintu kereta agar tidak ditutup. Petugas-petugas ini berteriak bahwa mereka perlu melipatgandakan kekuatan mereka untuk berurusan dengan “kecoak.” Istilah in kerap digunakan sebagai stempel oleh beberapa polisi untuk menggambarkan pemrotes.

Wartawan di tempat kejadian tidak diberi akses dan dilarang melakukan wawancara. Sistem metro menangguhkan layanan untuk setidaknya lima jalur kereta bawah tanah utama pada Sabtu malam karena operasi polisi.

Video yang beredar secara online menunjukkan orang pertama yang memohon polisi untuk mengizinkannya masuk ke Stasiun Yau Ma Tei. Ia bertujuan untuk membantu penumpang yang terluka. Gerbang stasiun ditutup oleh polisi.

Pasukan polisi mengeluarkan pernyataan yang mengklaim, bahwa mereka memasuki stasiun metro untuk menghentikan pengunjuk rasa dari merusak properti publik. Akan tetapi, aktivis pro-demokrasi telah membantah kebenaran klaim polisi itu.

Lam Cheuk-ting, seorang anggota parlemen dari Partai Demokrat Hong Kong, mengkritik polisi.  Dikarenakan, menciptakan kepanikan dengan menggunakan kekuatan tanpa pandang bulu. Kekerasan itu terjadi di tempat-tempat yang begitu sempit dan tertutup seperti kereta bawah tanah.

Para pengunjuk rasa juga curiga bahwa beberapa petugas polisi menyamar sebagai demonstran. Beberapa pria berpakaian hitam terlihat membantu dalam melakukan penangkapan terhadap demonstran di tempat kejadian. 

Dalam beberapa video dan foto yang beredar, orang-orang berpakaian hitam dengan senjata dan sarung senjata, tertangkap basah melemparkan bom molotov. (asr)

Situasi Terkini di Wilayah Papua, 6 Imbauan yang Dikeluarkan Gubernur Lukas Enembe

0

ETIndonesia. Gubernur Papua Lukas Enembe mengeluarkan 6 imbauan yang berkaitan dengan kondisi terkini di Papua. Imbauan itu ditandatangani di Jakarta pada 1 September 2019.

Berikut imbauan selengkapnya :

Imbauan terkait Situasi Saat Ini di Wilayah Provinsi Papua
Syalom, Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh, salam sejahtera bagi kita semua.

Saudara-saudaraku rakyat Papua yang saya kasihi dan cintai, serta seluruh rakyat Indonesia yang berbahagia.

Mencermati perkembangan di Tanah Papua dalam beberapa hari terakhir ini, khususnya berkaitan dengan penyampaian pendapat oleh masyarakat Papua sebagai reaksi terhadap kejadian di Asrama Mahasiswa Papua di Kota Surabaya, Kota Malang, Kota Semarang dan berbagai kota studi lainnya. Saya sebagai Kepala Daerah dan Kepala Pemerintahan di Provinsi Papua, saya telah menyampaikan aspirasi masyarakat Papua yang disampaikan kepada saya pada saat penyampaian pendapat tanggal 19 Agustus 2019 kepada Bapak Presiden RI pada tanggal 26 Agustus 2019 saat Rapat Kabinet Terbatas.

Untuk itu saya sebagai Gubernur Papua mengimbau:

1. Pemerintah segera menyelesaikan kasus hukum berkaitan dengan pernyataan berbau rasis yang diucapkan oleh oknum-oknum masyarakat atau oknum aparat saat berada di dalam asrama mahasiswa Papua di Kota Surabaya, Jawa Timur.

2. Pihak Keamanan, dalam hal ini TNl/Polri dalam menangani penyampaian pendapat oleh masyarakat Papua, baik di Papua maupun di wilayah lain di Indonesia agar mengedepankan penanganan yang persuasif, sebisa mungkin menghindari penanganan secara kekerasan serta tidak melakukan penangkapan terhadap masyarakat Papua yang melakukan aksi penyampaian pendapat.

3. Mengimbau kepada seluruh masyarakat papua untuk menjaga ketertiban selama menyampaikan pendapat, tidak melakukan perusakan fasilitas umum, kantor-kantor pemerintah dan bangunan-bangunan milik masyarakat.

4. Segala bentuk tindakan di luar kewajaran dan membahayakan bagi masyarakat umum yang dilakukan oleh masyarakat yang menyampaikan pendapat agar ditindak tegas sesuai dengan ketentuan hukum dan perundang-undangan yang berlaku.

5. Dalam menyampaikan pendapat, saya imbau kepada seluruh masyarakat Papua di mana saja berada untuk melakukan koordinasi dengan pihak keamanan guna menghindari adanya pihak-pihak lain yang akan memanfaatkan atau menunggangi dengan kepentingan mereka dengan cara-cara yang anarkis untuk merusak kedamaian di Provinsi Papua.

6. Provinsi Papua dikenal sebagai miniatur Indonesia sesungguhnya yang ber-Bhinneka Tunggal lka. Penduduk provinsi Papua multietnis, multi-agama, multi-budaya yang hidup berdampingan secara damai. Masyarakat Asli Papua menyambut baik dan memperlakukan masyarakat non-Papua secara terhormat dan sejajar. Sebagai bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) kami berharap kehadiran masyarakat Papua di berbagai wilayah provinsi di Indonesia harus juga diperlakukan sama . Hat ini merupakan komitmen kita bersama sebagai anak-anak bangsa untuk mewujudkan Papua damai, berdaulat secara politik, mandiri secara ekonomi dan beretika secara budaya.

Mari kita bersama-sama dengan prinsip kasih menembus perbedaan untuk melakukan perubahan Papua demi kemuliaan rakyat Papua dalam bingkai NKRI.

Demikian imbauan ini saya sampaikan untuk menjadi perhatian kita bersama. Mari kita ciptakan tanah Papua yang damai dan penuh kasih. Tuhan memberkati kita semua.

Jakarta, 1 September 2019

Gubernur Papua
Lukas Enembe 

(asr)

Perang Dagang Terus Berlarut-Larut, Lanskap Rantai Pasokan Global Berubah

0

Fan Yu – The Epochtimes

Hingga hari ini, konflik perdagangan masih berlangsung. Akibatnya pergeseran rantai pasokan kini sedang berlangsung. 

Banyak perusahaan multinasional berencana untuk memindahkan kapabilitas manufaktur yang sudah berbasis di Tiongkok ke luar dari Tiongkok. Sejumlah perusahaan sedang mengevaluasi jejak dan strategi mereka di Tiongkok secara keseluruhan.

Dengan beberapa tindakan, Amerika Serikat telah memenangkan perang dagang. 

Presiden Donald Trump telah berhasil meyakinkan perusahaan-perusahaan untuk menilai kembali strategi mereka di Tiongkok. Langkah ini dilakukan baik secara paksa melalui kenaikan tarif. Langkah lainnya dengan mendorong Beijing agar membatasi niatnya dan melecehkan perusahaan asing.

Apa pun itu, paradigma yang ada dan keseluruhan wacana berbisnis di Tiongkok telah ditantang.

Dari sudut pandang ini, sulit untuk melihat perang dagang akan berakhir dalam waktu dekat. Bahkan ketika kedua negara telah berbicara di KTT G-20. 

Retorika Beijing yang telah mengeras baru-baru ini, menggambarkan kondisinya dengan syarat tegas sehingga perunding Amerika Serikat seperti Menteri Perdagangan Wilbur Ross tidak akan menerima.

Di pihak Amerika Serikat, perang dagang diam-diam mendapatkan dukungan bipartisan. 

Ketergantungan Beijing pada kekalahan Donald Trump dalam pemilihan tahun 2020 dan potensi kompromi di masa depan menjadi lebih lemah. Bahkan jika Donald Trump kalah, tidak ada kepastian bahwa presiden Demokrat akan membiarkan Beijing lolos dengan mudah.

Dan dukungan di antara sekutu terbesar Tiongkok sejauh ini — komunitas bisnis Amerika Serikat  — juga tampak goyah.

Sebuah surat tanggal 13 Juni dari lebih dari ratusan perusahaan dan organisasi, mendesak Donald Trump untuk menyelesaikan perang dagang, tampak tangguh di permukaan. 

Setelah diteliti lebih dekat, dengan pengecualian beberapa peritel besar, sebagian besar perusahaan dan organisasi yang menandatangani adalah bisnis kecil dan kelompok dagang yang memiliki pengaruh yang sangat kecil.

Sebagian besar perusahaan Amerika Serikat terbesar tidak menandatangani surat tersebut. Baik Kamar Dagang Amerika Serikat, maupun Asosiasi Produsen Nasional juga tidak menandatangani surat tersebut. Efek lobi Beijing di Washington tampaknya memudar.

“Decoupling,” seperti yang disebut oleh beberapa pakar, tren memindahkan bagian-bagian dari rantai nilai keluar dari Tiongkok, sedang berjalan secara sungguh-sungguh.

Tidak semuanya terjadi dikarenakan oleh tarif. Perang dagang telah memicu percakapan di dalam ruang dewan perusahaan mengenai  risiko bisnis secara keseluruhan dan diversifikasi rantai nilai perusahaan. 

Upah dan tunjangan di Tiongkok meningkat. Lingkungan bisnis dan hukum di Tiongkok, terutama terhadap perusahaan asing, adalah sangat sulit.

Para pakar dan akademisi mudah meremehkan tren makro. Untuk beberapa produk, Tiongkok memiliki basis manufaktur yang paling terampil dan efisien. Namun, diversifikasi manufaktur adalah keputusan strategis jangka panjang yang tepat. 

Tetapi dalam jangka pendek, pengalihan produksi akan membutuhkan investasi, pelatihan, dan perubahan logistik yang sulit. Dan, itu akan membutuhkan waktu dan uang.

Apple bertanya dengan para pemasok utama untuk mengevaluasi pemindahan 15 hingga 30 persen dari kapasitas produksinya ke Asia Tenggara dari Tiongkok, seperti dilaporkan Nikkei Asian Review pada tanggal 19 Juni. 

“Banyak sumber mengatakan bahwa bahkan jika perseteruan (perang dagang) diselesaikan, akan tidak ada jalan untuk kembali,” kata Nikkei Amerika Serikat  .

Juga disarankan bahwa potensi pergeseran sedang dipertimbangkan oleh Apple. Bahkan sebelum perang dagang berlarut-larut karena meningkatnya biaya tenaga kerja, angka kelahiran yang rendah, dan risiko konsentrasi terlalu bergantung pada satu negara untuk produksi.

Perusahaan induk Google, Alphabet juga memindahkan beberapa produksi perangkat termostat nest dan perangkat keras lainnya ke Taiwan dan Malaysia dari Tiongkok. Bloomberg News melaporkan awal bulan ini, mengutip orang-orang yang akrab dengan pemikiran Google. 

Langkah ini mengikuti pergeseran produksi perangkat keras motherboard sebelumnya ke Taiwan dari Tiongkok untuk menghindari tarif 25 persen Amerika Serikat.

Perusahaan furnitur dan perabot mewah, Restoration Hardware mengumumkan bahwa mereka “memindahkan produksi tertentu dan pengembangan produk baru keluar dari Tiongkok, ditambah mengeksplorasi kemitraan baru dan memperluas fasilitas manufaktur sendiri di Amerika Serikat,” kata perusahaan itu pada rilis pendapatan tahun 2019 kuartal pertama. 

Selain itu, perusahaan telah secara selektif menaikkan harga untuk mengurangi dampak laba dari tarif yang sedang berlangsung.

The Wall Street Journal melaporkan tanggal 12 Juni bahwa Nintendo juga mengubah rantai pasokan globalnya dengan memindahkan beberapa produksi versi baru dari konsol game Switch-nya yang populer ke Asia Tenggara dari Tiongkok.

Meskipun dikenakan tarif, Beijing juga telah menunjukkan tanda-tanda bias terhadap perusahaan asing. 

Awal bulan lalu, Beijing mendenda perusahaan joint venture atau patungan Ford dengan Tiongkok — Chang Ford Automobile Co. — sebesar 162,8 juta yuan atau 23 juta dolar AS karena diduga membatasi harga penjualan eceran sejak tahun 2013.

Lotte, konglomerat Korea Selatan, menarik rantai ritel Lotte Mart dari Tiongkok setelah bertahun-tahun. 

Perusahaan ini kini mengalihkan investasinya ke negara-negara Asia Tenggara seperti Vietnam dan Indonesia, menurut laporan Financial Times tanggal 20 Juni.

“Dari perusahaan-perusahaan yang sangat optimis terhadap Tiongkok tiga atau empat tahun lalu, kini lebih dari separuh  perusahaan tersebut berbicara mengenai mengurangi paparan mereka, baik sebagai pasar dan basis manufaktur,” kata Peter Kim, ahli strategi investasi di Mirae Asset Daewoo, kepada Financial Times.

Lotte adalah salah satu dari beberapa perusahaan multinasional Korea Selatan yang mengurangi jejak mereka dalam ekonomi nomor dua di dunia. 

Untuk perusahaan-perusahaan ini, lingkungan bisnis, bukanlah masalah tarif, yang mendorong keputusan. 

Samsung Electronics, misalnya, memutuskan bulan ini untuk memangkas produksi dan mengurangi jumlah karyawannya di satu-satunya pabrik perakitan telepon pintar di Tiongkok. Ini dilakukan karena biaya tinggi dan penjualan di Tiongkok yang melambat. Samsung melakukannya dalam menghadapi persaingan yang ketat dari pesaing domestik yang harganya lebih murah.


Lalu apa konsekuensi dari perusahaan yang memindahkan produksinya dari Tiongkok? 

Yang pasti, hal tersebut memungkinkan perusahaan untuk mempertahankan sebagian besar margin keuntungan yang ada dengan menghindari tarif Amerika Serikat. Sisi lain dari tren itu adalah meningkatnya tekanan pada situasi pekerjaan di Tiongkok.

Musim panas lalu, Politbiro Partai Komunis Tiongkok, yang beranggotakan 25 elit Partai Komunis Tiongkok, menetapkan tujuan “enam stabilitas” untuk negara itu. Bukanlah suatu kebetulan, “stabilitas” teratas yang disebutkan oleh Beijing adalah ketenagakerjaan.

Tujuan itu akan gagal jika perang dagang berlarut-larut. Ekonom Amerika Serikat, Xia Yeliang kepada Epoch Times mengatakan sebanyak 14 juta pekerjaan di Tiongkok dapat berada dalam bahaya: “Jika kenaikan tarif Amerika Serikat terbaru memengaruhi 2 persen pertumbuhan Produk Domenstik Bruto, itu berarti bahwa banyak warga Tiongkok  yang menganggur.”

Xia Yeliang mengatakan di masa lalu, ada perhitungan bahwa setiap kenaikan persentase Produk Domenstik Bruto akan membawa 7 juta pekerjaan. Jika 2 poin persentase, berarti 14 juta pekerjaan. Pada gilirannya, jika anda kehilangan 2 poin persentase, itu berarti bahwa jumlah orang yang menganggur di Tiongkok akan meningkat sebesar 14 juta pekerjaam.

Kesimpulan serupa dapat dicapai dengan menggunakan pendekatan bottom-up. 

Apple secara langsung mendukung 5 juta pekerjaan di Tiongkok. Secara keseluruhan, pergeseran rantai pasokan global dapat menelan biaya jutaan pekerjaan di Tiongkok dari waktu ke waktu.

Oleh karena itu, retorika garis keras Komunis Tiongkok baru-baru ini – jika dilihat dalam konteks – tidak lebih dari ancaman kosong.

Apakah Demonstrasi Hong Kong Dapat Diartikan Berakhirnya Partai Komunis Tiongkok?

0

Steven W. Mosher

Demonstrasi terbesar dalam sejarah Tiongkok terjadi di Hong Kong padal tanggal 16 Juni. Diperkirakan 2 juta orang, atau lebih dari seperempat populasi kota Hong Kong yang berjumlah 7,3 juta, turun ke jalan.

Skala pembangkangan Hong Kong adalah sangat menakjubkan. Sebagai perbandingan, demonstrasi yang sebanding di Amerika Serikat akan memiliki sekitar 100 juta demonstran.

Pemicu langsung protes itu adalah undang-undang ekstradisi yang, jika disahkan, akan membuat semua orang di Hong Kong — bahkan penumpang transit di terminal maskapai internasional — berisiko dideportasi ke Tiongkok untuk diadili dalam sistem pengadilan yang dikendalikan komunis di sana.

Agar  jangan salah menilai, target sebenarnya dari kemarahan Hong Kong adalah Komunis Tiongkok. Ini dikarenakan selama bertahun-tahun Komunis tiongkok telah memperketat kendali di salah satu kota paling kosmopolitan – dan bebas – di dunia. Dan semua orang di Tiongkok tahu akan hal itu.

Ketika rezim Komunis Tiongkok secara sepihak mengubah sistem pemilihan kota Hong Kong pada tahun 2014 untuk menyaring calon pemimpin Hong Kong, warga Hong Kong turun ke jalan dalam protes besar-besaran yang disebut Revolusi Payung. Namun, perubahan tetap terjadi, dan calon favorit Beijing, Carrie Lam, menang.

Komunis Tiongkok menaikkan taruhan lebih lanjut pada tahun 2017 dengan menolak Perjanjian Sino-Inggris. 

Perjanjian Sino-Inggris yang asli “menjamin” bahwa kota Hong Kong akan menikmati pemerintahan sendiri di bawah prinsip “satu negara, dua sistem” hingga tahun 2047. 

Tetapi ketika warga Hongkong mengeluhkan adanya gangguan politik lokal yang berkelanjutan oleh Komunis Tiongkok, mengutip Perjanjian Sino-Inggris, pejabat senior komunis Tiongkok menolak keluhan warga Hongkong dengan mengatakan bahwa Perjanjian Sino-Inggris hanya memiliki “nilai historis.”

Tindakan yang lebih melanggar hukum terjadi tidak lama setelah itu. Lima penjual buku Hong Kong direnggut dari jalanan Hong Kong dan Canton oleh agen-agen Komunis Tiongkok. 

Apakah kejahatan yang dilakukan para penjual buku tersebut? Mereka menjual — di Hong Kong — buku-buku yang telah dilarang di Tiongkok karena menempatkan Xi Jinping dan Komunis Tiongkok dalam kondisi buruk.

Tetapi strategi lama Komunis Tiongkok “membunuh satu untuk memperingatkan seratus” tidak berhasil dengan baik pada warga Hong Kong yang bebas. 

Penculikan warga Hongkong dari jalanan kota mereka sendiri malah memperkuat tekad mereka untuk menentang perambahan lebih lanjut atas kebebasan yang dijanjikan. Perjanjian ekstradisi yang diusulkan akan ditentang oleh mereka.

2 Juta demonstran yang turun ke jalan berasal dari berbagai kalangan, tetapi memiliki satu kesamaan. 

Mereka hampir semuanya adalah keturunan dari jutaan orang Tiongkok Daratan yang melarikan diri dari pemerintahan komunis sejak tahun 1940-an, demi keamanan relatif pemerintahan kolonial Inggris. 

Mereka berkembang pesat di pasar bebas Hong Kong. Mereka sedikit diperintah oleh pegawai negeri yang berpegang pada aturan hukum, sangat kontras dengan sisi lain dari perbatasan dengan Tiongkok. Yang dulu dan sekarang diperintah oleh oligarki komunis yang korup, dan peradilan yang sama korupnya.

Jika tindakan yang diambil oleh warga Hongkong adalah jelas – mereka menyadari mereka harus menentang perambahan lebih lanjut oleh Komunis Tiongkok pada hak-hak dasar mereka – adalah jauh dari jelas bagaimana Xi Jinping akan merespons – tetapi Xi Jinping harus menanggapi.

Menyusul kepergian Inggris pada tahun 1997, Beijing memindahkan pasukannya ke Hong Kong. 

Tetapi selama 20 tahun terakhir, pasukan ini telah kembali ke barak mereka. Tidak pernah sekali pun dipanggil untuk berurusan dengan episode berkala keresahan publik terhadap tindakan sombong Tiongkok.

Hong Kong pada tahun 2019 bukanlah Beijing pada tahun 1989. Bukannya sebuah kontingen kecil wartawan asing yang dapat ditakuti dan dikumpulkan di satu hotel. Ada ratusan wartawan yang tinggal di salah satu kota paling kosmopolitan di planet ini. Ada puluhan, jika bukan ratusan, dari ribuan warga Hong Kong yang tidak ragu untuk memposting di internet setiap kekejaman yang dilakukan oleh Komunis Tiongkok.

Pembantaian di depan mata seluruh dunia akan menjadi kegagalan dari mana Komunis Tiongkok, maupun Hong Kong, akan pulih.

Penerapan langsung kekuatan sebagian besar dikesampingkan oleh faktor lain juga. Hampir semua elit komunis yang korup telah memarkir sebagian pundi-pundi hasil korupsi mereka di Hong Kong, berinvestasi di real estat atau pasar saham di sana. Bagi mereka, dan bagi Tiongkok secara keseluruhan, Hong Kong adalah angsa yang bertelur emas.

Mengakhiri status terpisah Hong Kong — baik melalui aksi militer secara langsung atau melalui pencekikan yang lambat dan berkelanjutan —pada dasarnya, akan membunuh “si angsa bertelur emas.” 

Peran kota Hong Kong sebagai pusat keuangan regional akan berakhir dengan tiba-tiba, saham lokal dan real estat pasar akan ambruk, dan Xi Jinping akan membuat banyak anggota aristokrasi komunis semakin tidak puas dengan pemerintahannya yang berat daripada pendahulunya.

Tangan Xi Jinping bagaikan diikat di wajah pembangkangan ini, yang menyebabkan ia terus kehilangan muka setiap hari. 

Jika ia memerintahkan badan legislatif Hong Kong untuk mengeluarkan undang-undang ekstradisi, maka Hong Kong akan kembali membara. Jika ia memberitahu Carrie Lam dan antek-anteknya yang lain untuk menarik hukum tersebut, ia akan terlihat lemah.

Bila dibiarkan tanpa pilihan yang baik, Xi Jinping dengan tak berdaya melihat jutaan rakyatnya memilih di jalan tidak hanya untuk menentang kebijakannya, tetapi juga menentang pemerintahannya yang berkelanjutan.

Masalah Xi Jinping saat ini di Hong Kong sangat diperparah oleh kebuntuan perang dagang saat ini dengan Amerika Serikat. Di sini, juga, Xi Jinping menghadapi pilihan Hobson, yaitu pilihan bebas yang hanya ada satu opsi yang dipilih.

Jika Xi Jinping sejalan dengan tuntutan Amerika Serikat untuk perdagangan yang adil — yang berarti menghormati hak properti, supremasi hukum, dan membentuk peradilan yang tidak memihak — maka ia melemahkan kendali Komunis Tiongkok atas masyarakat.

Jika, di sisi lain, Xi Jinping menolak reformasi besar-besaran seperti itu, tanpa diragukan lagi Presiden Amerika Serikat Donald Trump akan mengancam menaikkan tarif pada semua barang buatan Tiongkok. 

Jika ini terjadi, maka seluruh sektor ekspor ekonomi Tiongkok — satu-satunya sektor yang beroperasi sesuai dengan prinsip-prinsip pasar dan benar-benar menghasilkan untung — akan berkurang, karena perusahaan memindahkan pabriknya ke negara lain untuk menghindari tarif.

Akibat yang akan ditanggung bila menolak mengendurkan cengkeraman Komunis Tiongkok pada kekuasaan, akan mengakibatkan ekonomi Tiongkok semakin melemah, yang kini sudah menunjukkan tanda-tanda ketegangan serius.

Apa pun keputusan yang diambil Xi Jinping di Hong Kong atau dalam pembicaraan perdagangan dengan Donald Trump, ia akan menciptakan permusuhan pada saat ia hampir tidak mampu melakukannya. 

Akankah warga di kota-kota lain di Tiongkok mengambil jalan kebebasan? Mungkin saja. 

Tetapi yang lebih mungkin adalah upaya bersama oleh faksi lain di internal Partai Komunis Tiongkok untuk mengambil keuntungan dari kelemahan Xi Jinping saat ini untuk mengurangi pengaruhnya, jika tidak mencopotnya dari jabatan.

Meskipun tergoda untuk duduk dan menonton permainan ini secara real time, Amerika Serikat harus tetap waspada terhadap kemungkinan lain: Bahwa Komunis Tiongkok, untuk mengalihkan perhatian dari masalah domestiknya, dapat memutuskan untuk menghajar Amerika Serikat. 

Ini mungkin mengambil bentuk yang mendorong Little Rocket Man untuk melakukan yang terbaik, yaitu, menembakkan satu atau dua rudal balistik. Atau mungkin menenggelamkan beberapa kapal penangkap ikan Filipina di Laut Tiongkok Selatan, akibatnya memanggil Amerika Serikat datang untuk membantu mitra sekutunya. 

Atau bahkan, untuk membungkam pengkritiknya, melancarkan invasi, atau setidaknya pura-pura menggertak Taiwan.

Apa pun tindakan yang diputuskan Komunis Tiongkok untuk diambil, tidak akan ada pertanyaan mengenai satu hal: Tidak ada rezim komunis yang mampu membiarkan pertunjukan pembangkangan publik sebesar dan mengesankan seperti yang dilakukan oleh warga Hongkong untuk tidak direspon. Terutama tidak ketika itu terjadi pada saat kepemimpinan Partai Komunis Tiongkok di bidang lain dipertanyakan.

Apakah Komunis Tiongkok bermaksud atau tidak menghancurkan Hong Kong sebagai pusat komersial yang bergelora, dan sebagian besar bebas? badai sempurna yang kini berputar di atas  Komunis Tiongkok dapat berarti kehancuran politik Partai Komunis Tiongkok itu sendiri.

Steven W. Mosher adalah President of the Population Research Institute dan penulis buku  “Bully of Asia: Why China’s Dream is the New Threat to World Order”