Xin Ning dan Olivia Li – The Epoch Times
Menjelang liburan Tahun Baru Imlek, banyak warga biasa tidak lagi bergairah merayakannya karena mereka kehilangan kepercayaan terhadap ekonomi Tiongkok. Berbagai protes mulai dari tuntutan para pekerja atas upah yang belum dibayar hingga gerakan “rebahan” di kalangan anak muda menggarisbawahi kemerosotan ekonomi negara ini, ketika masyarakat mengalami kesulitan memenuhi kebutuhan hidup mereka sehari-hari.
Pekerja Menuntut Upah
Dalam sebuah wawancara telepon dengan The Epoch Times edisi bahasa Mandarin pada 19 Januari, Zhou Hua (nama samaran), seorang mantan karyawan di Donglong Garment Co. di Shangqiu, Provinsi Henan, mengatakan bahwa rekan-rekannya telah mogok kerja sejak 16 Januari, menuntut kenaikan upah. Dia juga mengatakan bahwa pemogokan sering terjadi di perusahaan tersebut.
Para pekerja yang mogok kerja mengeluh di media sosial, dengan mengatakan: “Kami hanya mendapatkan upah 1.100 yuan [sekitar Rp 2,4 juta] untuk 27 hari kerja. Ini adalah pabrik vampir! Kami akan mogok kerja lagi. Sudah ada tiga pemogokan dalam setahun.”
Zhou sedang hamil dan mengalami tanda-tanda keguguran pada musim semi lalu. Mengikuti anjuran dokter untuk mengambil cuti, ia menyerahkan surat keterangan dari rumah sakit kepada perusahaannya untuk mengajukan cuti, tetapi ditolak. Dia terus bekerja selama sebulan, dan akibatnya, dia mengalami keguguran. Ia kemudian berhenti dari pekerjaannya.
Ia menyatakan : “Tidak ada tunjangan lain selain gaji pokok. Pimpinan perusahaan sering menjanjikan berbagai tunjangan, dengan mengatakan bahwa jika kami memproduksi sejumlah garmen dalam sehari, masing-masing dari kami akan menerima hadiah 100 yuan [sekitar Rp 220 ribu]. Kami bekerja sekuat tenaga untuk mencapai target, tapi begitu kami mencapainya, mereka mencari berbagai macam alasan untuk tidak memberikan imbalan.
Gaji bulanannya sekitar 2.000 yuan (sekitar Rp 4,4 juta) pada saat itu. Yang membuatnya heran, dia menemukan bahwa gaji rekan kerjanya terus menurun di bulan-bulan berikutnya.
Menurut informasi publik, lini produksi perusahaan garmen tersebut saat ini merupakan yang paling maju di Tiongkok, dengan hasil produksi tahunan sebanyak 7 juta potong pakaian bulu angsa, menempati peringkat tiga besar di antara lebih dari 4.000 perusahaan serupa di seluruh negeri dalam hal kapasitas produksi. Pasang surutnya perusahaan ini dianggap sebagai barometer industri.
Pemogokan serupa juga terjadi di kota-kota lain, terutama di basis-basis manufaktur yang berorientasi ekspor.
Pada 16 Januari, lebih dari seratus pekerja berkumpul di depan Perusahaan Teknologi Jiehong di kota Dongguan selatan, Provinsi Guangdong.
Sehari sebelumnya, perusahaan mengeluarkan pemberitahuan yang mengatakan bahwa mulai 16 Januari, semua karyawan akan diliburkan selama enam bulan, dan mulai bulan kedua dan seterusnya, upah akan dibayarkan sebesar 80 persen dari standar upah minimum setempat.
Zhao Qiang (nama samaran), seorang karyawan perusahaan, mengatakan kepada The Epoch Times bahwa ada lebih dari 130 orang dalam kelompok pertama yang mengambil “liburan paksa”.
“Cuti panjang adalah cara untuk mengambil keuntungan dari celah dalam hukum dan membayar lebih sedikit upah,” kata Zhao.
“Tahun lalu, perusahaan merumahkan beberapa kelompok pekerja, sekitar 30 hingga 40 orang di setiap kelompok. Cuti paksa tahun ini adalah cara PHK de facto. Setidaknya perusahaan tidak perlu membayar asuransi pengangguran,” tambahnya.
Perusahaan ini didirikan pada September 2007 dan berhasil terdaftar pada 21 Maret 2017, menurut informasi publik. Perusahaan ini menyediakan pengembangan cetakan dan produk struktural presisi untuk ponsel, PC tablet, produk yang dapat dikenakan, dan suku cadang perangkat medis.
Gaji Zhao telah dikurangi dari lebih dari 6.000 yuan menjadi 4.000 yuan (sekitar $845 hingga $563). Dia mengatakan alasan mendasar dari situasi ini dikarenakan perusahaan-perusahaan asing menarik diri dari Tiongkok dan pindah ke Vietnam dan India, yang mana telah menyebabkan penurunan drastis dalam pesanan casing ponsel. Bahkan, Orderan tahun lalu berkurang setengahnya dibandingkan pada 2022.
Menurut International Institute of Finance (IIF), dalam 11 bulan pertama 2023, modal asing menarik sebanyak $78,1 miliar dari pasar saham dan obligasi Tiongkok.
Zhao, yang telah bekerja di Guangdong selama 10 tahun, mengatakan bahwa ia terkena dampak langsung dari penarikan modal asing dari Tiongkok dalam skala besar. Ia juga tidak optimis dengan situasi ekonomi saat ini. Semua industri berada dalam resesi.
Dia mengatakan bahwa jika dia kehilangan pekerjaannya saat ini, dia akan kembali ke kampung halamannya di Provinsi Guangxi, di mana biaya hidup jauh lebih rendah, dan mencari peluang lain di sana.
Penutupan Bisnis, Upah Tidak Dibayar
Pada 18 Januari, dengan penutupan Guangdong Yong’ao Investment Group, salah satu dari 100 dealer mobil teratas di Tiongkok, Liao Bu Auto City di Dongguan kosong, dan sejumlah pembeli mobil yang kehilangan uang karena penutupan yang tidak terduga berkeliaran di luar gedung.
Grup ini secara terbuka mengakui bahwa mereka menghadapi kesulitan operasional, dan alasan penutupan toko adalah terputusnya rantai modal, menurut laporan berita Tiongkok.
Yong’ao memiliki lebih dari 80 gerai penjualan, menjual merek-merek kelas atas seperti Mercedes-Benz dan Audi, merek-merek kelas menengah dan kelas bawah seperti Link Geely, dan kendaraan komersial lainnya.
Kendaraan di gudang dan showroom baru-baru ini ditarik dalam semalam, karyawan belum dibayar, dan pembayaran kepada pemasok belum diselesaikan, menurut sumber berita.
Selain itu, pemberitaan menyatakan bahwa beberapa pembeli telah membayar deposit tetapi belum menerima mobilnya, dan yang lainnya telah mengambil kendaraannya tetapi belum menerima sertifikat kualitas yang diperlukan untuk registrasi mobil.
Dalam insiden lain, Pusat Pembelian Perlengkapan Hotel Internasional Hongtian di Guangzhou, Provinsi Guangdong, berhutang gaji kepada pekerja migran. Para pekerja berkumpul di luar perusahaan pada 17 Januari untuk menuntut pembayaran gaji mereka.
Di Kota Xining, Provinsi Qinghai, pekerja proyek pembangunan Shengjin Huating Tahap II tak menerima gaji selama tiga tahun. Mereka membentangkan spanduk di luar departemen penjualan pada 16 Januari untuk menuntut upah.
Gerakan ‘Rebahan’
“Rebahan” telah menjadi slogan populer sejak tahun 2021, karena kaum muda tidak melihat harapan dan masa depan meskipun mereka bekerja keras. Istilah ini mengacu pada mentalitas menolak pekerjaan bertekanan tinggi dan memilih gaya hidup sederhana.
Semakin banyak generasi muda perkotaan yang bergabung dengan gerakan ini ketika perekonomian Tiongkok semakin merosot pada tahun 2023. Mereka sering berbagi tips tentang cara “rebahan” di media sosial.
Tren ini sangat mengkhawatirkan Partai Komunis Tiongkok (PKT). Badan propaganda Beijing telah menerbitkan banyak artikel yang mengkritik mentalitas tersebut, dengan mengatakan bahwa generasi muda harus “menjaga aspirasi, menunjukkan keberanian, siap menanggung kesulitan serta siap berkontribusi tanpa pamrih.”
Wu Yong (nama samaran), 24, mengatakan kepada The Epoch Times bahwa dia merasa putus asa dengan situasinya saat ini.
Saat remaja, ia pergi ke Provinsi Jiangxi bersama seorang kerabatnya pada 2017 untuk bekerja di pabrik tas anyaman. Dia mengatakan dia harus bekerja 12 jam setiap hari, termasuk shift malam, dan lingkungan kerja sangat buruk.
“Bahkan jika semua pekerja berhenti bekerja selama beberapa hari, ketika Anda masuk ke bengkel, Anda dapat melihat debu plastik dengan kepadatan tinggi beterbangan di udara dengan mata telanjang. Bengkel tersebut, yang dibangun dengan lembaran timah, menjadi sangat pengap dan panas jika terkena sinar matahari langsung. Kami sulit bernapas saat bekerja di dalam. Setiap tahun, beberapa pria lanjut usia yang melakukan pekerjaan serabutan meninggal dunia karena panas.”
Wu memperoleh penghasilan sekitar 6.000 yuan sebulan hingga dia berhenti pada 2021 dan kembali ke kampung halamannya.
Dia sekarang hidup dari tabungannya dan menjadi salah satu dari banyak pemuda yang “rebahan”.
Masa-masa Sulit Mendatang bagi Warga Negara Biasa
Tiongkok menghentikan publikasi angka pengangguran kaum muda selama empat bulan pada tahun lalu setelah mencapai 21,3 persen pada Juni. Kemudian, pada Desember, biro statistik mengumumkan tingkat pengangguran sebesar 14,9 persen untuk kelompok usia 16 hingga 24 tahun, dengan menggunakan metode baru yang mengecualikan pelajar.
Namun, Zhang Dandan, seorang profesor ekonomi di Universitas Peking, memperkirakan bahwa tingkat pengangguran kaum muda Tiongkok mencapai 46,5 persen pada Maret 2023, jauh lebih tinggi daripada yang dilaporkan secara resmi sebesar 19,7 persen pada bulan tersebut.
Dalam sebuah wawancara dengan The Epoch Times, Li Hengqing, seorang ekonom yang berbasis di Amerika Serikat mengatakan bahwa statistik tingkat pengangguran telah menjadi alat untuk menipu dan menyesatkan masyarakat umum di Tiongkok.
PKT mungkin telah memperoleh apa yang disebut stabilisasi dalam jangka pendek dan langsung dengan memalsukan data, namun dalam jangka panjang, hal ini merupakan bahaya yang lebih besar bagi PKT.
Menurut Mr. Li, tiga pendorong utama perekonomian Tiongkok—ekspor, konsumsi, dan investasi, yang berkontribusi paling besar terhadap PDB negara tersebut—telah mengalami stagnasi pada 2023. Namun, Partai Komunis Tiongkok selalu memberikan gambaran yang cerah bagi masa depan ekonomi Tiongkok, yang mana tidak lebih dari membodohi rakyat Tiongkok.
Ia yakin kemerosotan ekonomi Tiongkok akan semakin parah pada 2024. Secara khusus, sektor properti akan terpuruk lebih cepat lagi, karena semakin banyak utang real estat yang harus dilunasi tahun ini, terutama utang luar negeri dalam jumlah besar. Bahkan, masalah gagal bayar pasti akan terjadi lebih cepat dan dalam skala yang lebih besar. Akibatnya, kehidupan masyarakat umum akan semakin sulit pada 2024. (asr)