Perbedaan Bantuan Negara Demokrasi dan Negara Otoriter

Laporan gabungan wartawan Epochtimes: Qin Yifei

Bantuan luar negeri Republik Rakyat Tiongkok menjadi fokus pada Oktober lalu. Sejumlah data menunjukkan bahwa jumlah dana bantuan luar negeri Beijing semakin mendekati Amerika Serikat. Namun bukan kemajuan yang mereka bawakan untuk negara-negara berkembang itu, melainkan adalah menghambat demokrasi dan mempertahankan kediktatoran.

Epochtimes.id- Dalam beberapa dekade terakhir, badan ekonomi terbesar kedua dunia telah berevolusi dari negara penerima bantuan asing menjadi negara pendonor asing.

Namun Beijing merahasiakan informasi bantuan luar negeri mereka, sehingga masyarakat internasional tidak dapat memahami dana bantuan luar negeri mereka di bawa ke mana dan bagaimana membelanjakannya.

BBC melaporkan mengapa Beijing merahasiakan situasi bantuan luar negerinya?

Laboratorium Penelitian AidData di William&Mary College AS mengatakan bahwa ini lantaran RRT memandang Program Pembiayaan Pembangunan Internasional sebagai “Rahasia Negara.”

Untuk menyingkap tabir misteri bantuan luar negeri Partai Komunis Tiongkok (PKT), Minggu ini AidData mengungkapkan data baru yang melacak situasi dana bantuan luar negeri PKT dari 2000 – 2014.

Dalam periode ini selama 14 tahun lamanya, Beijing telah menyalurkan dana bantuan luar negeri sebesar 354,3 miliar Dolar AS (Rp 4.797 triliun) kepada 140 negara. Sebagai pembanding, bantuan luar negeri AS adalah 394,6 miliar Dolar AS.

Perbedaan sifat dana bantuan AS-RRT

Tetapi jenis bantuan luar negeri antara RRT dan Amerika Serikat sangatlah berbeda.

Sebagian besar bentuk bantuan luar negeri Amerika berupa bantuan pembangunan resmi (ODA), ini merupakan bantuan dalam makna yang ketat. Sedangkan mayoritas bantuan luar negeri RRT difokuskan pada “aliran resmi lainnya (OOF)”, terutama untuk proyek komersial.

Jumlah ODA dari AS adalah 93% dari jumlah total bantuan luar negeri, tujuan utama dari jenis bantuan ini adalah untuk mengembangkan ekonomi. Setidaknya ¼ dari bantuan tersebut merupakan subsidi langsung dan bukan pinjaman yang butuh dilunasi.

Sebaliknya hanya 21% bantuan luar negeri Beijing adalah ODA, sebagian besar bantuan itu dalam bentuk pinjaman komersial yang perlu dilunasi pokok dan bunganya.

Bantuan Luar Negeri Beijing Menghambat Reformasi Demokrasi dari Negara-negara Berkembang

Seiring dengan jumlah dana bantuan luar negeri Beijing sedang menyusul Washington, hal ini bisa berdampak luas terhadap kebijakan luar negeri internasional.

Samantha Custer,  Direktur Departemen Analisis kebijakan di AidData dalam pernyataannya mengatakan bahwa jika langkah kaki Amerika Serikat ditarik kembali secara global maka mungkin akan dimanfaatkan oleh Beijing untuk mengkonsolidasikan posisinya di sejumlah negara berkembang.

Ada bukti yang menunjukkan bahwa pinjaman Beijing sudah menimbulkan dampak pada sistem pinjaman global, hal ini memaksa negara-negara pendonor tradisional (instansi) menghentikan sejumlah permintaan terhadap negara-negara penerima bantuan.

Ekonom Diego Hernandez mengatakan bahwa bantuan luar negeri Beijing sudah memperuncing persaingan antara negara-negara pendonor tradisional (instansi).

“Ketika sebuah negara Afrika juga mendapatkan bantuan luar negeri dari Beijing maka Bank Dunia akan mengurangi syarat tambahan dalam pinjamannya.”

Dari data AidData, Hernandez menemukan bahwa setiap dana bantuan luar negeri RRT bertambah 1% maka Bank Dunia akan mengurangi 15% persyaratan yang umum, misalnya seperti liberalisasi pasar atau transparasi ekonomi.

Para kiritikus telah lama menuduh “bantuan preman” Beijing yang mengijinkan beberapa negara menghindari reformasi demokrasi, karena mereka lantas dapat beralih mencari bantuan pada RRT dan menghindari pengawasan lembaga (instansi) dari bantuan tradisional Barat.

Kamboja adalah sebuah contoh: Surat kabar independen dan LSM ala Barat satu per satu ditutup karena pemimpin Kamboja memperkuat hubungannya dengan Beijing, dengan demikian mereka lantas memiliki keberanian untuk menolak permintaan Washington untuk pemilu yang jurdil.

Li Xiaojun, seorang asisten profesor pada Universitas British Columbia di Kanada mempelajari dampak bantuan luar negeri RRT terhadap Afrika.

Ia berpendapat bahwa langkah reformasi demokrasi mereka telah melamban di saat negara-negara berkembang itu menyimpulkan bahwa mereka dapat beralih ke Beijing dan mengabaikan tuntutan politik negara-negara pendonor dari Barat. (Lin/whs/asr)

Sumber : Epochtimes.com