Korea Utara Berang Peningkatan Kemampuan Militer Jepang

Matthew Little

Epochtimes.id- Korea Utara menunjukkan kemarahannya atas berita tentang Jepang membuat serangkaian investasi untuk pertahanan diri yang memberikan kemampuan ofensif lebih baik dalam menghadapi ancaman dari Korea Utara.

Di antara upgrade tersebut, Jepang dapat mengubah pembawa helikopternya menjadi kapal induk dengan pembelian jenis pesawat lepas landas pendek dan mendarat vertikal (short-takeoff and vertical-landing, STOVL) F-35B.

The Japan Times melaporkan langkah upgrade militer Jepang pada akhir Desember dan pada 10 Januari, media pemerintah Korea Utara mengatakan “reaksioner Jepang” sedang mempersiapkan “operasi militer untuk melakukan agresi di wilayah manapun dan kapanpun sesuka hati.”

Surat kabar Korea Utara, Minju Joson, adalah sebuah publikasi khusus yang ditujukan untuk lingkaran dalam rezim Korea Utara, menjaga agar kabinet dan pejabat senior menyesuaikan diri dengan pemikiran Kim Jong Un.

Sebuah Sea Hawk US MH-60S terbang dengan kapal Angkatan Pertahanan Maritim Jepang JS Shimakaze di atas perairan sekitar Okinawa di barat daya semenanjung Korea, 9 Oktober 2017. Jepang, Amerika Serikat, dan Korea Selatan meluncurkan latihan pelacak rudal balistik gabungan. pada 24 Oktober 2017. (US Navy via REUTERS)

Kemungkinan Jepang bisa mendapatkan kemampuan ofensif dari pembelian F-35B, yang akan membiarkan negara empat pulau memproyeksikan kekuatan udara di luar pantainya, telah mengguncang kepemimpinan Korea Utara.

Editorial tersebut juga membidik rencana kementerian pertahanan Jepang untuk membentuk sebuah unit komando senior, Sibe dan peperangan elektronik dan kemungkinan Jepang membuat rudal jelajah jarak jauh sendiri.

Komentar tersebut tidak menyebutkan ancaman Korea Utara sebelumnya terhadap Jepang, termasuk sebuah pernyataan pada bulan September yang menyerukan penghancuran nuklir Jepang.

Gambar yang diambil pada tanggal 5 Juni 2017 ini menunjukkan pesawat tempur siluman F-35A yang pertama di Jepang, diluncurkan di pabrik Mitsubishi Heavy Industries di Toyoyama, Prefektur Aichi. (STR / AFP / Getty Images)

“Keempat pulau di nusantara ini harus tenggelam ke laut oleh bom nuklir Juche. Jepang tidak lagi perlu ada di dekat kita,” tulis komite urusan luar negeri Korea Utara dan propaganda dalam sebuah pernyataan pada bulan September 2017. “Juche” adalah ideologi resmi Korea Utara dan biasanya diterjemahkan sebagai “kepercayaan diri.”

Komentar Minju Joson mengecam peningkatan militer Jepang sebagai tindakan berbahaya yang ditujukan untuk ekspansi ke luar negeri.

“Tujuan yang dicari oleh Jepang, yang tertarik pada ambisi agresi luar negeri, mengubah negara menjadi raksasa militer.”

Korea Utara memiliki sejarah panjang dengan Jepang karena penjajahan Jepang terhadap semenanjung tersebut dari tahun 1910 sampai akhir Perang Dunia II pada tahun 1945.

Tentara wanita Korea Utara berbaris dalam sebuah pawai militer di Pyongyang pada 15 April 2017. (Pedro Ugarte/AFP/Getty Images)

Tapi setelah Perang Dunia II, Jepang beralih ke demokrasi pasar bebas, satu dari hanya lima wilayah Asia yang berhasil masuk ke dalam 50 besar Indeks Kebebasan Cato Institute’s Human Freedom untuk tahun 2016, bersamaan dengan Hong Kong, Taiwan, Korea Selatan dan Singapura.

Editorial tersebut menuduh bahwa agresi luar negeri Jepang menjadi “kenyataan.”

Korea Utara sering membidik Jepang, yang kerap dituduh sebgai negara kedua setelah Amerika Serikat sebagai kambing hitam atas kesengsaraan yang sedang berlangsung di negara tersebut, termasuk kebijakan malapetaka yang telah meninggalkan sebagian besar penduduk di luar ibu kota Pyongyang dalam keadaan kelaparan.

Laporan media Korea Utara lainnya baru-baru ini membidik Korea Selatan untuk berbagi informasi dengan Amerika Serikat dan Jepang, dan Perdana Menteri Jepang Shinzo Abe karena telah mengamankan kemampuan untuk melakukan serangan mendadak.

Korea Utara telah menggunakan aliansi militer antara Amerika Serikat dan Jepang serta antara Amerika Serikat dan Korea Selatan sebagai upaya terus-menerus untuk merawat warga Korea Utara dalam keadaan kekhawatiran melakukan invasi.

Tentara Korea bekerja di lahan pertanian dekat sebuah bendera Korea Utara di pinggiran kota Sinuiju, Korea Utara, dalam gambar ini yang diambil pada tanggal 18 Oktober 2006. (Foto oleh Cancan Chu / Getty Images)

Korea Utara telah lama mengabarkan tentang kemungkinan besar serangan dari pasukan Amerika Serikat dan dengan demikian mengharuskan seluruh bangsa untuk mengorbankan waktu dan sumber dayanya untuk mempertahankan kesiapan militer.

“Songun” Korea Utara atau kebijakan militer pertama melihat kebutuhan militer mendominasi semua kebutuhan masyarakat lainnya. Ini adalah gagasan utama yang digunakan rezim untuk membenarkan kebijakan represifnya.

Jepang telah menghadapi ancaman yang terus berlanjut dari Korea Utara karena krisis nuklir saat ini telah meningkat.

Ancaman tersebut termasuk Korea Utara yang menembakkan dua rudal balistik di atas wilayah Jepang. Korut juga telah menjatuhkan rudal yang paling kuat dalam jarak 200 mil laut dari pantai Jepang pada 28 November 2017.(asr)

Sumber : The Epochtimes