Wawancara dengan seorang kolumnis (5) Mengapa Hanya Peradaban Tionghoa yang Tersisa Setelah “Banjir Besar”?

Setahun yang baru saja berlalu, baik di Amerika Serikat, di Tiongkok, maupun di seluruh dunia telah terjadi banyak peristiwa besar, bagaimana memahami berbagai peristiwa yang rumit dan simpang siur itu?

Bagaimana pula kita harus bersikap menghadapi tahun 2018? Mengapa kita hari ini berada di dalam aliran arus sejarah yang berkepanjangan ini?

Pada malam Natal yang belum lama berlalu, kami mengundang secara khusus Profesor Zhang dari New York, Amerika Serikat,  untuk hadir dalam acara dengar audiens akhir tahun stasiun radio Sound of Hope dan berinteraksi dengan 400 orang peserta.

Berikut sambungan wawancara khusus dengan Profesor Zhang Tianliang (selanjutnya disingkat: Zhang)

Reporter: Profesor Zhang, pada “banjir besar” dalam sejarah dunia yang Anda sebutkan itu, semua peradaban telah hancur, namun hanya peradaban Tiongkok saja yang tersisa dan diwariskan, mengapa demikian?

Zhang: Saya hanya berbicara pandangan saya pribadi. Di saat terakhir Tuhan akan menyelamatkan manusia, Tuhan hanya melihat pemahaman manusia terhadap-Nya, dari segi agama mengerti apa itu yang disebut Buddha, disebut Tao dan disebut berkultivasi (proses menjadi manusia yang lebih baik), dalam sejarah ketika agama kepercayaan dianiaya, apa yang akan manusia lakukan. Hal-hal seperti ini memang sengaja dipertahankan di dalam kebudayaan Tionghoa.

Di dalam kebudayaan Tiongkok, konsep Buddha dan Tao, termasuk cerita “melayang di siang hari” juga tercatat dalam sejarah, yaitu setelah berhasil dalam kultivasi, seseorang mencapai kesempurnaan, ia akan melayang naik, termasuk di dalam agama Buddha Tibet sampai sekarang masih ada fenomena ini, seorang Lama akan ‘honghua (moksha ala Tibet)’ yakni setelah ia mencapai kesempurnaan tiba-tiba akan terdengar suara keras lalu tubuhnya akan menghilang, tidak ada yang tersisa, hanya terlihat sekelebat cahaya dan dentuman suara, orang itu pun sirna.

Di era tahun 1950an abad lalu PKT memiliki seorang mayor jenderal bernama Zhang Guohua yang memimpin pendudukan Tibet, ia memiliki hubungan sangat erat dengan seorang Lama (sebutan untuk bhiksu Tibet).

Suatu hari ia menerima surat dari Lama itu dan si Lama berkata akan pergi ke tempat yang jauh, dan memintanya datang untuk mengantarkan kepergiannya. Pada hari yang ditetapkan itu, Zhang pun dating ke kediamannya.

Saat ke sana ia mendapati suasana lingkungan sangat sakral, dan tidak hanya Lama tua itu saja, di sekitarnya duduk banyak Lama lainnya. Setiap orang sedang menundukkan kepala membaca Sutera suci, tidak seperti seorang Lama yang akan bepergian jauh. Ia merasa aneh, tapi tidak bertanya, lalu ia duduk. Tak lama setelah duduk, terdengar suara keras, lalu tubuh Lama tua itu pun lenyap, tidak ada lagi.

Melihat kilatan cahaya itu, dan mendengar suara keras itu, sang mayjend sangat terkejut. Karena doktrin PKT yang atheis membuat ia tidak pernah membayangkan seorang Lama yang berkultivasi (ber-tapa) dalam agama Buddha Tibet mencapai kesempurnaan sejati bisa berakhir seperti itu. Bukan seperti seseorang yang perlahan terurai setelah meninggal dunia.

Peristiwa seperti ini banyak terjadi dalam sejarah, semua memberitahu manusia tentang kultivasi. Contoh lain tentang apa yang seharusnya dilakukan manusia, apa yang dimaksud kebaikan, kebenaran, apa itu kesetiaan, termasuk disaat agama kepercayaan Anda ditindas bagaimana manusia seharusnya menyikapinya.

Semua hal ini adalah dasar budaya yang diberikan Tuhan bagi manusia agar mengenali Tuhan. Maka Tuhan pun akan memilih satu bangsa untuk menempatkannya, seharusnya orang Tiongkok merasa beruntung Tuhan telah memilih bangsa Tionghoa, termasuk seluruh budaya ini berbeda dengan Barat.

Aksara Tionghoa berbeda sama sekali dengan Barat, bahasa Barat adalah aksara dengan huruf fonetik, yakni aksaranya sebagai fonetik, sedangkan aksara Tiongkok tidak seperti itu, dalam aksara Tiongkok fonetik dan ideografik dipadu menjadi satu, karena bunyi dan artinya berbeda, jadi entah dibaca dengan dialek apa pun, dalam proses perubahan sejarah nada bacanya ikut berubah.

Jika dibaca dengan cara penulisan Barat, begitu nada baca berubah, maka cara penulisan pun berubah, sehingga aksara itu menjadi tidak terbaca, ketika Anda tidak tahu bagaimana masyarakat kuno membaca aksara tersebut, maka aksara itu pun akan punah, budaya ini pun tidak bisa diwariskan lagi. Sedangkan Tiongkok berbeda, bagaimana pun nada baca berubah, bentuk tulisan aksaranya tidak berubah.

Inilah akibat dari “nada dan makna dipisah”, fenomena apa yang terjadi? Kita sekarang masih bisa membaca kitab klasik, karena aksara kanji (huruf mandarin) selama ribuan tahun tetap stabil, nada bacanya berubah, ibukota dulu di Xi’an, besok bisa di Kaifeng, lusa bisa di Beijing, atau di Hangzhou, atau di Nanjing, tapi bagaimana pun nada bacanya berubah, bentuk aksaranya tidak berubah. Dengan demikian kita bisa mempertahankan pemahaman terhadap kitab kuno, dan dengan demikian budaya ini bisa terus diwariskan.

Saya hanya memberi contoh dengan aksara kanji. Demi mempertahankan kebudayaan Tiongkok Tuhan telah melakukan banyak sekali pengaturan yang sangat mendetil.

Anda bisa membaca buku berjudul “Target Akhir Paham Komunis”, dalam bab pertama dibicarakan kebudayaan Pewarisan Dewata di Negara Pusat (atau Tiongkok) tersebut, disitu ada penjelasan tentang keunikan kebudayaan Tiongkok, termasuk di setiap dinasti di Tiongkok memiliki wujud seni sastra dan budayanya masing-masing.

Di masa dua Dinasti Han (202SM – 220M) terdapat syair pujian (賦fu, ode), di masa Weijin (220-589) dan Nanbei (420-589) terdapat prosa paralel (駢文pian wen), pada Dinasti Tang (618-907) ada puisi (詩shi), Dinasti Song (920-1279) ada prosa (詞ci), Dinasti Yuan (1271-1368) ada dendang (曲qu), Dinasti Ming (1368-1644) dan Qing (1644-1912) ada novel (小說 xiao shuo) dan lain-lain. Setiap dinasti mendasari bentuk sastra yang berbeda, mendasari filosofi yang berbeda.

Sebelum abad ke 3 SM terdapat Zi Xue (子學 aneka ilmu dan filsafat pada masa itu), dua Dinasti Han ada Jing xue (經學 kitab klasik pendalaman ajaran Kong Hu Cu/Konfusius), Dinasti Weijin ada metafisika, Xuan xue (玄學), di masa Dinasti Sui (581-619) dan Tang ada ajaran Buddha, pada Dinasti Song dan Ming ada Neo-konfusianisme (理學), di zaman Dinasti Qing ada Pu xue, ilmu yang menpelajari tekstual kuno (樸學), dinasti yang berbeda mendasari filosofi yang berbeda untuk memperkaya pikiran umat manusia, dan manusia akan benar-benar mengenali Tuhan lewat pemikiran tersebut dan semakin diperkaya.

Jadi saya merasa kebudayaan Tiongkok (tradisional) adalah kebudayaan yang sangat beruntung, karena Tuhan memilih kebudayaan ini, oleh karena itu nama puitis untuk Tiongkok adalah “Shen zhou (神州 negeri Dewata)”, kebudayaan Tiongkok adalah kebudayaan Pewarisan Dewata, ungkapan seperti ini tidak sekedar diucapkan sembarangan, kedengarannya memang seperti membanggakan diri sendiri, tapi sesungguhnya memang memiliki makna yang sangat mendalam di baliknya. (SUD/WHS/asr)

Baca juga : Wawancara dengan Seorang Kolumnis : Tiga Memori Bersama dari Bangsa-bangsa yang Berbeda (Bagian 1-2)

Baca juga : Wawancara dengan Kolumnis (3) : Tiga Sektor di Barat yang Terpenetrasi Aliran Kiri

Baca juga : Wawancara dengan Kolumnis (4) : Tiga Sektor di Barat yang Terpenetrasi Aliran Kiri

Bersambung

Sumber  : Epochtimes.com