‘Senjata No.1’ untuk Lumpuhkan Tiongkok adalah Hak Asasi Manusia

Ketika Presiden Donald Trump mengangkat kebijakan luar negeri yang semakin keras untuk menegaskan kepentingan perdagangan AS, seorang ahli veteran Tiongkok yang memiliki pandangan sangat dekat dengan penasihat keamanan nasional yang baru, John Bolton, menunjukkan bahwa mengekspos pelanggaran hak asasi manusia adalah alat terbaik untuk mendefinisikan kembali hubungan dengan Tiongkok yang mempunyai sifat agresif, bersifat menyerang.

Dan Blumenthal adalah direktur studi Asia di American Enterprise Institute yang sebelumnya telah menyarankan pemerintah AS tentang masalah Tiongkok selama lebih dari satu dekade. Dia mengatakan bahwa sementara Amerika Serikat terkunci dalam persaingan strategis dengan Tiongkok di seluruh dunia, suatu serangan balik yang efektif tidak bisa menjadikan usaha keras militer semata-mata, tetapi harus mencakup upaya terorganisir untuk mengekspos pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan oleh rezim komunis Tiongkok.

“Senjata No. 1 yang tidak boleh kita lepaskan adalah hak asasi manusia,” kata Blumenthal, yang menyampaikan pidato utama pada Konferensi SAIS Asia pada 30 Maret. “[Hak asasi manusia] adalah alat yang kuat bagi Amerika Serikat untuk tetap berpusat di Tiongkok dan berdiri bersama mereka yang tertindas.”

Blumenthal menunjuk pada penganiayaan rezim Tiongkok terhadap orang-orang Uighur, kelompok etnis Muslim di wilayah Xinjiang Tiongkok, sebagai topik yang harus ditargetkan oleh upaya hak asasi manusia AS. Hal itu dapat membantu memisahkan hubungan strategis Tiongkok dengan negara-negara mayoritas Muslim seperti Indonesia, Malaysia, dan negara-negara Teluk, yang semuanya berada di perbatasan perluasan kekuasaan global Tiongkok.

“Kebijakan-kebijakan Tiongkok di Xinjiang adalah yang paling menekan terhadap Muslim di dunia, namun hanya sedikit orang yang tahu tentang mereka,” kata Blumenthal, dengan alasan bahwa Departemen Luar Negeri AS perlu “melangkah ke kompetisi tersebut” dan mendirikan kantor informasi mirip dengan yang didirikan dalam Perang Dingin untuk menyoroti perilaku buruk yang dilakukan oleh Tiongkok.

Komentar-komentar Blumenthal mengikuti pengumuman Trump pada 22 Maret bahwa Bolton, mantan duta besar AS untuk PBB, akan menggantikan HR McMaster sebagai penasihat keamanan nasional, mulai tanggal 9 April. Bolton bertugas sebagai rekan senior di American Enterprise Institute, dan pandangannya sangat selaras dengan pandangan Blumenthal pada berbagai masalah, khususnya dalam hal kebijakan AS-Tiongkok.

“Tujuan utama kami adalah agar Tiongkok bertindak dengan cara menunjukkan bahwa ia mengharapkan diserang… untuk memaksa Tiongkok, yang pertumbuhan ekonominya melambat, untuk memilih antara menggunakan sumber daya untuk menekan kekhawatiran-kekhawatiran domestik atau keluar dan bersaing dengan Amerika Serikat di Asia Timur,” kata Blumenthal.

Ketika ditanya tentang langkah-langkah spesifik yang dia inginkan untuk dilakukan pemerintahan, Blumenthal mengatakan bahwa Amerika Serikat harus secara langsung menghadapi dan mengekspos pelanggaran hak asasi manusia di Tiongkok. Selain itu, dukungan harus ditingkatkan untuk platform informasi yang ada seperti Radio Free Asia dan Voice of America, yang telah memberikan informasi kepada para penonton Tiongkok yang tidak akan mereka peroleh dari media rezim Tiongkok tersebut.

Platform-platform AS juga dapat meluncurkan “kampanye cyber informasi terorganisir” untuk mengekspos korupsi dalam rezim Tiongkok, kata Blumenthal.

Baik Blumenthal maupun Bolton berbagi pandangan bahwa Tiongkok adalah kekuatan penggerak di balik pencarian bagi senjata nuklir Korea Utara. Seperti Bolton, Blumenthal mendukung kebijakan garis keras untuk menghadapi dukungan Tiongkok bagi agresi Korea Utara.

“Apa yang perlu kita lakukan, dan apa yang telah kita lakukan dengan efektif, adalah menakut-nakuti Tiongkok,” kata Blumenthal, dalam diskusi 5 September 2017. “Kebijakan yang diadopsi oleh pemerintahan Trump sekarang adalah untuk mengikat Korea Utara sebagai kewajiban bagi Tiongkok, untuk membuat Tiongkok merasa sangat sakit atas hubungan-hubungannya dengan Korea Utara, pada titik tertentu Tiongkok akan mengatakan, sudah cukup.” (ran)

ErabaruNews