Pemerintahan Malaysia yang Baru Kaji Ulang Proyek Infrastruktur Tiongkok

oleh Gu Qinger

Setelah Mahathir Mohamad yang berusia 92 tahun memenangkan pemilihan Perdana Menteri Malaysia, dunia luar menaruh perhatian pada komitmennya untuk melakukan pengkajian ulang secara saksama investasi besar-besaran Tiongkok pada pembangunan infrastruktur di Malaysia.

Menurut laporan media Inggris, Mahathir berjanji untuk mengkaji semua proyek infrastruktur Tiongkok dan membuka kembali perundingan tentang proyek-proyek ini dengan Beijing. Namun, ada juga suara yang mengatakan bahwa masih terlalu dini untuk menilai bahwa Mahathir bermaksud menghentikan proyek investasi Tiongkok.

Mahathir berjanji untuk mengkaji secara saksama penanaman modal Tiongkok

Pada 10 Mei koalisi Partai Pakatan Harapan yang mengusung Mahathir dalam pemilihan perdana menteri memperoleh kemenangan dan berhasil mengakhiri 61 tahun dominasi Koalisi Partai Barisan Nasional dalam memimpin Malaysia.

Selain memerangi korupsi, Mahathir juga berjanji untuk menyelidiki secara menyeluruh investasi Tiongkok di Malaysia setelah ia berkuasa. “Para investor Tiongkok datang, tetapi orang-orang kita tidak dikaryakan, perusahaan kita juga tidak dapat berpartisipasi baik dalam perancangan, perencanaan, pengawasan, manajemen dan lainnya. Kita tidak mendapatkan apa-apa”

Ia menekankan : “Hingga saat ini, kita sama sekali tidak memperoleh apa-apa, tenaga kerja kita tidak terpakai, mereka tidak membayar pajak, bahkan cenderung mendapatkan pemotongan pajak”

Mengambil kasus Sri Lanka sebagai contoh, Mahathir mengatakan bahwa karena negara itu tidak mampu membayar hutang investasi Tiongkok, tanah mereka sewakan kepada Tiongkok sebagai pembayaran, karena itu Sri Lanka kehilangan banyak lahan.

Di bagian akhir pemilihan, isu tentang proyek Satu Sabuk dan Satu Jalan Tiongkok juga menjadi masalah pemilihan. Saat ini, proyek infrastruktur Tiongkok di Malaysia bernilai total sebesar 34,2 miliar dolar AS. Mahathir pernah mempertanyakan kepada pemerintahan Najib berkaitan dengan kebijakan membuka pintu bagi Tiongkok untuk menanam modal di bidang infrastruktur dan real estat Malaysia dapat merusak kedaulatan nasional.

Mahathir mengkritik perusahaan Tiongkok Country Garden yang bermaksud menginvestasikan  100 miliar Dolar AS untuk proyek reklamasi dan perumahan Forest City di Johor. Harga rata-rata rumah pada real estate tersebut lebih dari 2,6 juta Dolar AS dan masyarakat Malaysia umumnya tidak akan mampu membelinya kecuali untuk menarik pemodal asing untuk berinvestasi di bidang real estat.

Selain itu, proyek perkeretaapian pantai timur Malaysia yang didorong pemerintahan Najib  juga mendapat kritikan Mahathir. Jalur KA yang panjangnya 688 kilometer dengan biaya pembangunan yang mencapai 13 miliar Dolar AS akan dibiayai oleh Tiongkok dan dikerjakan oleh kontraktor dari Tiongkok yakni China Communications Construction.

Mahathir pernah mengatakan kepada Bloomberg bahwa jika dia terpilih, investasi Tiongkok di Malaysia akan lebih banyak memperoleh pemeriksaan.

Media Inggris : Malaysia mungkin akan meninjau kembali proyek infrastruktur Tiongkok di Malaysia.

Setelah Mahathir terpilih, dunia luar fokus pada sikap pemerintah baru terhadap investasi Tiongkok, apakah Mahathir akan memenuhi janjinya sebelum pemilihan ? Dunia luar memiliki pandangan yang berbeda.

Laporan Financial Times pada 16 Mei menyebutkan, Mahathir telah berjanji akan meninjau semua proyek infrastruktur Tiongkok dan membuka kembali perundingan terhadap perjanjian yang tidak adil.

Mahathir mengatakan : “Tiongkok memiliki pengalaman panjang dalam berurusan dengan perjanjian yang tidak adil , Tiongkok memecahkan masalah dengan mengadakan negosiasi kembali. Oleh karena itu, kita juga merasa memiliki hak untuk melakukan penelitian terhadap kesepakatan dan negosiasi ulang bila diperlukan.”

Laporan mengutip ucapan Euben Paracuelles, seorang ekonom Nomura Jepang melaporkan bahwa investor pada proyek inisiatif Satu Sabuk Satu Jalur dipaksa untuk meninjau kembali keuntungan yang diperoleh Malaysia, meskipun sulit untuk memprediksikan apakah proyek bisa dihapus, tetapi yang pasti adalah bisa tertunda secara signifikan.

Zhang Bohui, seorang profesor ilmu politik dari Lingnan University di Hongkong percaya bahwa Beijing akan mempertimbangkan untuk membuat konsesi kepada Mahathir karena Malaysia memiliki arti strategis yang sangat penting bagi Tiongkok.

Namun, setelah pemilu Mahathir pernah mengatakan bahwa ia tidak menentang proyek inisiatif Tiongkok itu. Tetapi bagaimanapun, beberapa proyek investasi Tiongkok di Malaysia harus dinegosiasikan kembali. Pernyataan ini mengundang argumentasi dari luar, ada yang menunjukkan bahwa sikap Mahathir terhadap Tiongkok mungkin telah berubah.

Courtney Weatherby, peneliti urusan Asia Tenggara pada ‘The Stimson’ Pusat think tank di Washington kepada VOA mengatakan, bagaimana Mahathir memenuhi ucapannya pra-pemilu, apakah ia akan mencegah investasi Tiongkok di masa depan, sekarang terlalu dini untuk memberikan penilaian.

Dr Su Yingxin, mantan editor ‘Malaysiakini’ kepada BBC mengatakan : “Saya pikir beliau (Mahathir) berubah”, “Sebelumnya beliau itu tidak anti investasi Tiongkok, hanya menentang Najib membuka lebar-lebar pintu investasi untuk Tiongkok, karena prosesnya melibatkan banyak prosedur yang tidak transparan, progres yang tidak jelas”

Dr Wong Chin Huat, peneliti dari Penang menyebutkan : “Mahathir bersikap tidak pro  Tiongkok, juga tidak pro Amerika kecuali pro Malaysia. Sepanjang investasi Tiongkok memberikan keuntungan bagi Malaysia, Mahathir tidak akan mengangkat batu yang dapat menimpah kaki sendiri”.

Sejumlah negara menarik diri dari proyek OBOR Tiongkok

Dalam beberapa tahun terakhir ini proyek OBOR (One Belt One Road) Tiongkok di Asia Tenggara dan Asia Tengah mengalami stagnasi.

Tidak hanya di Malaysia, Indonesia, Sri Lanka dan lainnya rata-rata dapat terdengar suara protes. Proyek-proyek perkeretaapian berprofil tinggi di Indonesia, Laos, dan Thailand mengalami penundaan karena masalah biaya, pembiayaan, dan lahan.

Bulan Desember tahun lalu, Pakistan, Nepal, dan Myanmar secara berturut-turut menegaskan bahwa mereka telah membatalkan atau menangguhkan tiga proyek pembangkit listrik tenaga air utama yang direncanakan oleh perusahaan Tiongkok. Ketiga proyek senilai hampir 20 miliar Dolar AS tersebut ditolak, menyebabkan strategi OBOR Tiongkok terganggu.

VOA (Suara Amerika) ketika itu melaporkan, kondisi pembiayaan yang keras dari pihak Tiongkok adalah alasan Pakistan membatalkan proyek pembangunan bendungan Diamer Basha senilai 14 miliar Dolar AS.

Menurut laporan media setempat, Presiden Pakistan Hydropower Development Authority Muzammil Hussain mengatakan kepada parlemen bagian Komite Akun Publik bahwa, perusahaan Tiongkok yang terlibat dalam proyek menetapkan kondisi pembayaran yang sangat keras, termasuk persyaratan untuk menyerahkan hak penggunaan bendungan baru dan bendungan yang ada kepada Tiongkok sebagai jaminan pinjaman.

Sementara itu, Wakil Perdana Menteri Nepal mengumumkan pembatalan pembangunan stasiun pembangkit listrik tenaga air Budhi Gandaki yang bernilai 2.5 miliar Dolar AS dengan alasan yang diberikan adalah ilegal, kurangnya proses penawaran yang kompetitif.

Myanmar mengumumkan bahwa mereka tidak lagi tertarik dengan proyek pembangkit listrik tenaga air skala besar. Tiga tahun lalu, Myanmar menghentikan pembangunan bendungan dengan dana dukungan Tiongkok senilai 3,6 milyar Dolar AS.

Bulan April tahun ini, para cendekiawan dalam masalah internasional memperingatkan bahwa pemerintah dari beberapa negara tertarik untuk membangun proyek kinerja, mereka jadi rentan terhadap jebakan utang dari proyek OBOR.

Seperti Sri Lanka yang gagal membayar hutang kepada Tiongkok, Pada bulan Desember tahun lalu mereka terpaksa melalui perjanjian menyerahkan hak pengelolaan pelabuhan laut Hambantota kepada perusahaan Tiongkok China Merchants Port Holdings Company Limited. Perusahaan Tiongkok tersebut menguasai 70 % dari ekuitas atas pelabuhan selama 99 tahun.

Rencana di atas jelas mengalami pertentangan di dalam negeri Sri Lanka. Bulan Januari 2017, sejumlah besar rakyat Sri Lanka memprotes pemerintah menyerahkan hak operasi pelabuhan Hambantota kepada Tiongkok. Demonstran sampai bentrok dengan polisi hingga sedikitnya 21 orang luka-luka dan 52 demonstran ditangkap.

Mantan menteri luar negeri Jerman Gabriel telah mengkritik Tiongkok di satu sisi sedang memanfaatkan proyek OBOR untuk membangun ekonomi mereka, di sisi lain, Tiongkok mempromosikan sistem nilai yang berbeda dengan Barat, dan sistem komunis itu tidak didasari kebebasan, demokrasi dan hak asasi manusia.

Dia menunjukkan bahwa Tiongkok telah mencoba untuk sepenuhnya membentuk dunia sesuai dengan kepentingannya sendiri. (Sinatra/asr)