Amerika Bergantung pada Pasokan Uranium Nuklir Rusia

EpochTimesId – Pembangkit listrik dan senjata nuklir Amerika Serikat saat ini mengandalkan pasokan uranium impor, termasuk dari Rusia. Negara-negara asing menyediakan 93 persen dari semua kebutuhan uranium AS, menurut laporan terbaru oleh Badan Informasi Energi AS.

Amerika kini hanya memiliki satu pabrik uranium yang masih beroperasi, ‘Utah White Mesa Mill’. Penggilingan Uranium melibatkan ekstraksi bijih uranium, setelah itu dihancurkan menjadi bubuk halus dan diproses dengan bahan kimia untuk memisahkan uranium. Setelah bijih digiling, ia berubah menjadi sejenis konsentrat uranium yang disebut ‘yellowcake’.

Produksi ‘yellowcake’ terus berlangsung di tujuh fasilitas di Amerika Serikat. Namun, produksi konsentrat uranium dalam negeri turun 16 persen tahun lalu, yang merupakan produksi tahunan terendah sejak 2004.

Produsen uranium yang berbasis di AS mengatakan mereka tidak dapat bersaing dengan produsen asing yang disponsori negara.

“Pada tahun 2017, produksi uranium AS jatuh ke posisi terendah yang bersejarah, terutama karena uranium dan bahan bakar nuklir yang diimpor dari entitas asing yang disubsidi negara; pada 2018 produksi dalam negeri kemungkinan akan lebih rendah,” tulis produsen uranium, Amerika Ur-Energy Inc. dan Energy Fuels Inc., dalam sebuah surat kepada Departemen Perdagangan AS awal tahun ini.

Perusahaan-perusahaan itu meminta impor uranium asing dianggap sebagai risiko keamanan nasional. Uranium digunakan untuk mengoperasikan pembangkit listrik tenaga nuklir serta produksi senjata nuklir, dan tujuan lain oleh Departemen Pertahanan.

Operator pembangkit listrik tenaga nuklir Amerika memiliki persediaan yang rata-rata akan bertahan hanya satu tahun. Ketergantungan pada uranium impor membuat negara-negara asing, seperti Rusia, memiliki pengaruh yang unik atas Amerika Serikat yang akan sangat merugikan jika terjadi konflik bersenjata.

Departemen Pertahanan dinilai wajib menggunakan uranium yang bersumber hanya dari Amerika Serikat. Tetapi perusahaan-perusahaan Amerika mengatakan, hal itu mungkin tidak lagi mungkin pada beberapa kondisi.

“Kecuali langkah-langkah diambil sekarang untuk mengembangkan industri pertambangan uranium domestik yang sehat. Stok pertahanan yang saat ini dipegang oleh DOE akan habis, dan tidak mungkin produsen domestik. Namun, akan memiliki kemampuan yang cukup untuk memenuhi kebutuhan pertahanan kita di masa depan,” beber surat tersebut.

Negara pecahan Uni Soviet, seperti Rusia, Kazakhstan, dan Uzbekistan kini memasok sebanyak 32 persen dari kebutuhan uranium yang diimpor oleh Amerika Serikat.

Petisi yang diajukan oleh perusahaan-perusahaan energi Amerika berusaha untuk menetapkan kuota untuk membatasi impor uranium ke Amerika Serikat dengan memesan maksimal 25 persen dari pasar nuklir dunia untuk produksi AS. Mereka juga mengusulkan untuk mewajibkan pemerintah federal dan badan-badan federal untuk membeli uranium AS yang diproduksi di Amerika.

“Tanpa siklus bahan bakar nuklir yang layak, kemampuan komersial dan nuklir AS akan berkurang, dan negara kemungkinan akan menjadi 100 persen tergantung pada pihak asing,” kata pernyataan itu.

Rudal sistem pertahanan S-400 buatan Rusia. (Natalia Kolesnikova/AFP/Getty Images)

Rusia berupaya kuasai pasar nuklir dunia
Pada 2006, Rusia menyetujui rencana untuk menghabiskan anggaran 10 miliar dolar AS (sekitar 140 triliun rupiah) untuk meningkatkan produksi uranium tahunannya hingga 600 persen. Upaya itu dipimpin oleh Badan Energi Atom milik Rusia, Rosatom, dan Kementerian Sumber Daya Alam Rusia.

Pemerintah AS telah menyadari setidaknya satu dekade niat Rusia untuk menggunakan dominasi di sektor energi nuklir untuk tujuan politik luar negerinya. Kabel Departemen Luar Negeri yang bocor pada tahun 2009 menunjukkan bahwa Amerika Serikat menyadari rencana Rusia untuk menggunakan energi nuklir untuk menekan Eropa Timur.

Rencana Rusia juga melibatkan penggunaan suap, korupsi, pemerasan, dan pencucian uang untuk menumbuhkan pengaruh energi nuklir Rusia di Amerika Serikat.

Pada bulan Januari tahun ini, Departemen Kehakiman (DOJ) mendakwa mantan co-presiden sebuah perusahaan transportasi yang berbasis di Maryland karena dugaan perannya dalam penyuapan seorang pejabat Rusia yang terhubung dengan Perusahaan Energi Atom Negara Rusia.

Uranium One
Pada tahun 2010, pemerintahan Obama menyetujui kesepakatan kontroversial yang memungkinkan Rosatom, melalui anak perusahaan yang sepenuhnya dimiliki ARMZ, untuk mengambil saham pengendali di perusahaan tambang uranium, Uranium One.

Kesepakatan itu memicu kontroversi, karena pada saat itu, Uranium One menguasai 20 persen dari semua kapasitas penambangan di Amerika Serikat. Kesepakatan itu membutuhkan persetujuan oleh Komite Investasi Asing di Amerika Serikat (CFIUS), mengingat implikasi keamanan nasionalnya. Ini termasuk Departemen Luar Negeri, yang dipimpin oleh Hillary Clinton pada saat itu.

Namun, Hillary Clinton dan suaminya, Bill, memiliki hubungan dekat dengan Uranium One melalui Yayasan Clinton.

Pada tahun 2005, Bill Clinton menemani Frank Giustra, pendiri UrAsia Energy Ltd., dalam perjalanan ke Kazakhstan untuk bertemu dengan Presiden Nursultan Nazarbayev. Tidak lama setelah kunjungan, Nazarbayev menandatangani perjanjian penambangan besar dengan perusahaan Giustra.

Setelah kesepakatan itu, Giustra menyumbangkan lebih dari 30 juta dolar AS kepada Yayasan Clinton, serta 100 juta dolar AS untuk inisiatif baru yang disebut Inisiatif Pertumbuhan Berkelanjutan Clinton Giustra.

Pada tahun 2007, perusahaan Giustra diakuisisi oleh Uranium One untuk melanjutkan misi sebagai perusahaan gabungan dengan nama Uranium One Inc., yang berkantor pusat di Kanada.

Ketika Rusia berusaha mendapatkan Amerika Serikat untuk menyetujui saham mayoritasnya di Uranium One, perusahaan itu mempekerjakan perusahaan lobi Amerika APCO Worldwide. Sebab, perusahaan itu berada dalam posisi untuk mempengaruhi Hillary Clinton, seperti diungkap mantan informan FBI, William Cambell dalam rapat Kongres pada 7 Februari, seperti diberitakan The Hill.

Inti nuklir ICMB II yang telah dinonaktifkan dipajang di Museum Rudal Titan di Green Valley, Arizona, Amerika Serikat. (BRENDAN SMIALOWSKI/AFP/GettyImages/TheEPochTimes)

Pengaruh itu diberikan, sebagian, melalui sumbangan kepada Clinton Global Initiative.

Direktur Utama Uranium One, Ian Telfer juga menyumbangkan jutaan dolar kepada Yayasan Clinton dari 2009 hingga 2012, melalui entitas Kanada yang ia kendalikan, Fernwood Foundation.

Setelah kesepakatan disetujui pada tahun 2010, Rosatom mengakuisisi saham Uranium One yang tersisa untuk mendapatkan kontrol 100 persen atas perusahaan itu pada tahun 2013, setelah itu mereka mengambil perusahaan swasta.

Komisi Pengaturan Nuklir (NRC) pada tahun 2011 menulis, dalam menanggapi surat oleh empat anggota Kongres yang meningkatkan kekhawatiran bahwa Rosatom hanya bisa mengekspor uranium AS dengan lisensi, yang tidak dimiliki pada saat itu.

Namun, alih-alih mencegah Rosatom dengan lisensi ekspor, NRC justru memberikan lisensi ekspor untuk Uranium One pada tahun 2012. Sehingga memungkinkan uranium yang diproduksi di Amerika untuk diekspor.

Uranium diekspor ke Kanada melalui pihak ketiga, sebuah perusahaan logistik bernama RSB Logistics Services Inc., setelahnya beberapa uranium masuk ke Eropa. Tidak jelas ke mana uranium dikirim dan dijual, setelah mencapai Eropa. (Jasper Fakkert/The Epoch Times/waa)

Simak juga, Pengakuan Dokter yang Dipaksa Panen Organ Hidup :
https://youtu.be/0x2fRjqhmTA