Dokumen Internal Ungkap Huawei Terkait dengan Agenda Nasionalis di Tengah Perang Perdagangan AS-Tiongkok

Sebuah dokumen internal yang bocor, konon dari seorang pejabat di perusahaan raksasa telekomunikasi Tiongkok, Huawei, tentang perang perdagangan AS-Sino yang sedang berlangsung, telah menghasilkan banyak penalaran berdasarkan bukti yang tidak meyakinkan disebabkan oleh tingkat retorika nasionalis dalam memo tersebut.

Pada 16 Agustus, Cao Shanshi, seorang komentator dan tokoh berita keuangan Tiongkok yang terkenal, mengungkapkan memo tersebut di akun Twitter-nya, mengatakan bahwa Presiden Huawei, Ren Zhengfei, telah mengeluarkannya untuk para staf perusahaan.

“Kenyataan yang kita hadapi sekarang adalah bahwa hubungan kita dengan Amerika Serikat bisa menjadi lebih tegang, yang harus kita siapkan sepenuhnya,” tulisan dalam dokumen tersebut, menurut Cao.

“Tidak ada jalan keluar jika kita menyerah. Menjadi seorang pria tanpa negara berarti menjadi budak. Kita tidak mau menjadi budak.

“Oleh karena itu, kita harus mengurangi investasi marjinal di berbagai bidang, sambil meningkatkan investasi di bidang utama, untuk menghindari situasi di mana garis hidup kita berada di tangan seseorang.”

Bahasa dalam dokumen tersebut berkaitan dengan kenangan Ren yang muncul ketika perusahaan telekomunikasi besar Tiongkok lainnya, ZTE, dipaksa untuk menghentikan sementara operasi-operasinya setelah terpukul dengan larangan ekspor AS karena melanggar sanksi-sanksi untuk Iran.

Larangan yang mencegah perusahaan membeli komponen-komponen teknologi AS, yang diperlukan untuk memproduksi produk-produknya. ZTE kembali bekerja pada bulan Juni setelah larangan AS dicabut sebagai bagian dari kesepakatan dimana perusahaan setuju untuk membayar denda $1 miliar dan diajukan untuk langkah-langkah kepatuhan yang ketat.

Retorika dalam memo tersebut mirip dengan taktik yang diterapkan oleh Partai Komunis Tiongkok: media pemerintah Tiongkok telah menerbitkan sejumlah artikel untuk membangkitkan perasaan anti-Amerika Serikat sejak perang dagang dimulai.

Pada tahun 2017, Beijing mendesak warga untuk memboikot Lotte Group, perusahaan Korea Selatan, setelah konglomerat tersebut setuju meminjamkan tanahnya untuk menjadi tuan rumah sistem pertahanan anti-rudal Amerika.

Sejak kesimpulan akhir-akhir ini dari pertemuan politik tahunan para pejabat senior Partai Komunis Tiongkok di kota wisata Beidaihe di luar Beijing, belum ada pernyataan resmi mengenai apa yang akan dilakukan Beijing selanjutnya dalam konflik perdagangannya dengan Amerika Serikat, kecuali pembicaraan tingkat rendah antara pejabat dari dua negara tersebut yang akan berlangsung akhir bulan ini.

Akibatnya, pandangan Ren tentang perang dagang dianggap signifikan karena ia adalah anggota Partai; mantan perwakilan Kongres Rakyat Nasional, legislatif stempel karet Tiongkok, pada tahun 1982; dan mantan insinyur militer Tiongkok (dikenal sebagai Tentara Pembebasan Rakyat). Hubungan Huawei dengan militer, yang dirinci dalam laporan 2012 yang disusun oleh Komite Intelijen DPR AS, telah membuat khawatir pemerintah AS.

Negara-negara lain, termasuk Kanada, Australia, dan Kerajaan Inggris, juga telah meningkatkan kewaspadaan keamanan tentang produk-produk Huawei, memperingatkan bahwa produk tersebut dapat digunakan untuk kegiatan mata-mata oleh rezim Tiongkok.

Pada bulan Januari, AT&T mundur dari kesepakatan menjual smartphone Huawei karena masalah keamanan.

Di Sina Weibo, setara dengan Twitter di Tiongkok, banyak netizen bersikap kritis terhadap logika di balik kata-kata Ren.

Seorang netizen dari Provinsi Zhejiang Tiongkok di pesisir menulis: “Sangat aneh bagaimana perang dagang dapat dihubungkan dengan jatuhnya suatu negara. Tiongkok tidak pernah jatuh, apa yang bisa jatuh adalah sebuah pemerintahan yang korup.”

“Mengapa saya merasa bahwa ini bukan dokumen internal, tetapi dokumen yang ditujukan untuk publik? Huawei, berhentilah menggunakan retorika seperti itu untuk mengejek para konsumen,” tulis seorang netizen dari Beijing. (ran)