Kasus Pembacokan Terhadap Balita Sering Terjadi di RRT – Apa Latar Belakangnya?

Xiao Lusheng

Pada tanggal 26 Oktober terjadi pembacokan terhadap siswa di Chongqing dan kasus ganas balas dendam terhadap masyarakat, sangat menyayat hati. Dalam beberapa tahun ini, insiden serupa kerap terjadi. Mengapa orang-orang ini memilih membacok balita dan siswa sebagai sasaran?

Pada 26 Oktober pagi, wanita bermarga Liu (39) dari distrik Ba Nan, hanya demi pelampiasan lantaran “Pemerintah tidak adil kepada saya”, membacok puluhan anak-anak TK dari New Century di kota Chongqing.

Beberapa saksi mata menyatakan bahwa ada anak yang telinganya kena tebas, ada yang kulit pipinya terkelupas, juga ada seorang gadis cilik yang sebelah matanya terbacok separo.

Bahkan ada orang-orang di tempat kejadian yang menyatakan, “Semuanya dibacok di bagian kepala.”

Hal-hal kejam seperti itu juga pernah terjadi di Shanghai tahun ini. Pada 28 Juni di gerbang Wilayah  Sekolahan Sekolah Dasar berbahasa asing di jalan Pubei, seorang pria miskin tuna wisma demi membalas dendam pada masyarakat, ia yang dipersenjatai dengan pisau menikam tiga anak laki-laki sekolah dasar dan seorang ibu wali murid, dua anak laki-laki diantaranya tidak tertolong dan meninggal.

Ada saksi mata yang mengatakan bahwa pembunuh itu secara khusus menarget bagian leher para siswa.

Tahun ini insiden serupa juga terjadi di Provinsi Shaanxi. Zhao Zewei siswa kelas 3 SMU dari distrik Mizhi kota Yulin di Provinsi Shaanxi ketika berangkat ke sekolah, dianiaya oleh teman sekelasnya, tapi malah dia yang dikeluarkan dari sekolah, timbullah dendam kesumat didalam hatinya.

Demi pembalasan, pada 27 April tahun ini pukul 18:10, Zhao Zewei mengambil kesempatan ketika siswa pulang sekolah, di gerbang sekolah ia membacok siapa saja yang terlihat keluar dan menikam siswa-siwa SMP, telah menewaskan 9 orang. Zhao Zewei akhirnya dijatuhi hukuman mati karena pembunuhan yang disengaja dan dieksekusi pada 27 September lalu.

Li Sijun (45) seorang sopir motor dari pulau Hainan, karena sebuah kecelakaan lalu lintas telah divonis secara tidak adil, sebagai pembalasan, pada 29 Februari 2017, di luar sebuah sekolah dasar di Haikou ia membacok orang-orang yang lewat, sehingga 10 siswa (6 laki-laki dan 4 Perempuan) luka terbacok. Pasca kejadian Li melarikan diri dan tewas bunuh diri meloncat dari atas gedung.

Pada 4 Januari Tan Peng-an seorang pria (41) dari Dataran Nanshan kota Pingxiang provinsi Guangxi menyelinap ke “TK Xiao Cong Zai” dan membacok 12 balita, 5 diantaranya terluka serius).

Pada 25 November 2016, pria Lei Mingyue (58) dari Hanzhong provinsi Shaanxi membawa parang sepanjang 1 meter, ia menyerbu masuk ke tempat penitipan anak diseberang Sekolah Dasar Desa Sanli Hanzhong, membacok 7 siswi Sekolah Dasar dan 3 orang dewasa.

Pada 1 September 2014, Chen Yanfu dari Shiyan provinsi Hubei karena putrinya ditolak naik kelas yang lebih tinggi, maka memasuki Sekolah Dasar Tong Fang di Distrik Yunxi, membacok dan melukai beberapa guru dan siswa, telah menewaskan 3 siswa, 1 guru dan 5 siswa terluka. Setelah melakukan kejahatan, Chen Yanfu melakukan bunuh diri dengan melompat dari gedung.

Pada 21 September 2012 sore, di jalan Suiguo Distrik Ping Nan provinsi Guangxi, seorang pria menyerbu masuk ke sebuah rumah penitipan anak lalu membacok 16 balita, 3 balita diantaranya meninggal.

Pada 29 April 2010, di taman kanak-kanak Taixing Central, Provinsi Jiangsu terjadi pembacokan, 31 orang terluka dan beberapa balita tewas. Dalam 50 hari terakhir selama tahun tersebut, ada 6 kasus pembacokan terhadap anak sekolah yang terjadi di berbagai daerah di Tiongkok.

Mengapa mengarahkan tangan maut terhadap anak-anak?

Mengapa orang-orang ini lebih memilih untuk membacok para balita dan siswa?

He Qinglian intelektuel lulusan AS pernah menyatakan, terjadi pembantaian terhadap siswa sekolah dasar yang terjadi secara berturut-turut di Tiongkok, merupakan hasil akumulasi jangka panjang dari permusuhan sosial; adalah kekerasan dengan target tetap dari sistem Partai Komunis Tiongkok (PKT) yang melahirkan kekerasan dengan target tidak tetap sebagai pelampiasan pribadi kemarahan mereka.

Dia menganalisa bahwa sejak akhir abad yang lalu, Tiongkok telah jatuh ke dalam masyarakat dengan penyebaran kekerasan dan hukum rimba.

Pemerintah dengan cara kekerasan dalam proses penegakan hukum hampir tak ada bedanya dengan dunia hitam, manajemen tatakota (satpol PP) dan lembaga penegak hukum seperti polisi membunuh orang telah menjadi fenomena umum.

Penggusuran lahan pedesaan menyebabkan penduduk desa putus asa dan nekad melawan pasukan pemerintah; pembongkaran rumah di perkotaan lebih-lebih telah menjadi perlawanan putus asa yang ditulis warga dengan darah dan api.

He Qinglian percaya bahwa dalam menghadapi penindasan kekerasan yang bertarget seperti itu, setiap anggota masyarakat pada dasarnya tidak memiliki kemampuan untuk melawan.

Dalam kehidupan, seperti Hu Wenhai dan Yang Jia yang memiliki kemampuan untuk melaksanakan tindakan pembalasan dengan target tertentu (dari pihak pemerintah), bagaimanapun jumlahnya sangat sedikit.  )rang-orang yang bermental lemah dan pecundang yang dalam waktu cukup lama menderita kekerasan yang berasal dari penindasan penguasa, namun karena ketidakmampuannya untuk menahan ketidakpuasan dan kemarahan maka berubahlah mereka menjadi pelaku kekerasan yang belum pernah terjadi sebelumnya terhadap anggota masyarakat yang lebih lemah.

Heng He seorang komentator menyatakan bahwa setelah PKT mendirikan rezimnya, orang Tiongkok telah diubah menjadi atheis, sehingga mereka tidak takut pembalasan, karena mereka tidak takut karma.

PKT selangkah demi selangkah membuat orang-orang Tiongkok kehilangan moral, dan secara bertahap telah benar-benar menghancurkan garis bawah moralitas mereka. orang yang membalas dendam pada masyarakat kebanyakan adalah korban tindakan pemerintah, mereka melakukan hal tersebut adalah bersumber dari rasa takut yang mengakar dalam menghadapi tindakan tirani dari PKT. (HUI/WHS/asr)

Artikel ini terbit di Media Cetak Epochtimes Indonesia Edisi 578