Kissinger Beri Resep, Komunis Tiongkok Menolak

Oleh: Zhou Xiaohui-Epochtimes.com

Pada awal November lalu, ‘kawan lama’ bagi para pemimpin Partai Komunis Tiongkok yang merupakan mantan Menlu AS yakni Kissinger kembali berkunjung ke Tiongkok. Ia berturut-turut menemui Xi Jinping, Wang Qishan dan Liu He. Jelas dalam pertemuan Perang Dagang AS-Tiongkok dan hubungan diplomatik kedua negara menjadi topik pembicaraan.

Menurut berita, dalam beberapa kali pertemuan, pemimpin Partai Komunis Tiongkok menekankan “pentingnya” kerjasama AS- Tiongkok, dan menyatakan niat “berunding untuk berdamai” dengan pihak AS.

Kissinger juga menyatakan “harapan agar AS dan RRT bersahabat”. Media asing juga memberitakan, Xi Jinping menitip pesan lewat Kissinger bagi pemerintah Trump bahwa selama tidak campur tangan atas “jalur perkembangan dan kepentingan inti Tiongkok”, apa pun bisa dibicarakan dengan Amerika.

Sejak tahun 1971 Kissinger telah lebih dari 70 kali berkunjung ke Tiongkok. Sebanyak 50 kali di antaranya adalah kunjungan resmi dan telah diterima berkali-kali oleh para pemimpin Komunis Tiongkok sebelumnya.

Diam-diam ia telah mewujudkan kunjungan Presiden Nixon ke Tiongkok di tahun 1972 silam. Setelah Tiongkok menerapkan reformasi keterbukaan, pernah membantu mendatangkan investasi dan teknologi dari luar negeri, serta mempromosikan Tiongkok dengan mengandalkan pengaruhnya di kalangan politik dan bisnis di Amerika.

Oleh karena itu ia telah dianggap sebagai ‘kawan lama’ yang dapat membawa pengaruh bagi politik Amerika, dengan sendirinya, jalan perusahaannya di Tiongkok pun lancar tanpa hambatan, dan memperoleh keuntungan tidak sedikit.

Namun demikian, seorang mantan pejabat tinggi AS yang “bersahabat kental” dengan beberapa pemimpin Komunis Tiongkok dan saling memiliki kepentingan, telah mengeluarkan suara yang tidak biasanya pada saat menghadiri New Economic Forum Bloomberg di Singapura sebelum kunjungannya ke Tiongkok.

Menurut artikel ulasan Radio Free Asia (RFA) beberapa waktu lalu, dalam pidatonya Kissinger dengan sangat hati-hati. Ada tiga hal disampaikan sangat jelas.

Pertama, Beijing harus melampaui sistem lamanya untuk dapat benar-benar memimpin Asia.

Kedua, hubungan AS- Tiongkok tengah beralih dari bekerjasama menjadi konfrontasi.

Ketiga, baik AS maupun Tiongkok seharusnya memahami akibat serius yang ditimbulkan akibat konflik.

Hal yang paling tajam adalah hal pertama, bisa dikatakan “melampaui sistem lama” adalah resep yang diberikan Kissinger kepada penguasa di Beijing untuk mengatasi kesulitan yang tengah dihadapi saat ini.

Pernyataan Kissinger itu serupa dengan peringatan yang dilontarkan oleh Presiden Komite Nasional Hubungan AS-Tiongkok yakni Stephen Orlins yang juga ‘kawan lama’ Tiongkok saat menghadiri forum di Beijing pada bulan September lalu.

Dengan lugas Orlins mengatakan, “Sejumlah tokoh yang dulunya mendukung Tiongkok pun kini telah diam.” Alasan mendasarnya adalah karena selama ini Komunis Tiongkok tidak pernah menepati janjinya. Ia juga memberikan satu-satunya jalan keluar untuk menyelesaikan perang dagang.

Solusi itu adalah Beijing harus mengubah kebijakannya, yakni dengan menurunkan bea masuk, menurunkan pembatas non-bea masuk atau menciptakan lingkungan persaingan yang adil, pengawasan lebih transparan, akan mewujudkan keterbukaan secara nyata.

Dengan kata lain, ‘kawan lama’ Komunis Tiongkok di kalangan bisnis dan politik Amerika tengah menantikan Beijing untuk melampaui sistem lamanya itu. Jika tidak, perang dagang akan terus berlangsung, dan orang yang pernah mendukung Beijing akan tetap diam. Ini tidak bisa dikatakan bukan pukulan keras bagi Beijing.

Terhadap resep dari para kawan lama termasuk Kissinger, pejabat tinggi Zhongnanhai bukannya tidak tahu, makna “sistem lama” tentunya juga sudah sangat dipahami.

Seperti anggota Komite Politbiro Komunis Tiongkok yang menangani propaganda Zhongnanhai, yang dulunya sangat suka membaca buku, pernah menilai karya Tocqueville yang berjudul “L’Ancien Régime et la Révolution” (Rezim Lama dan Revolusi, Red.) layak untuk dibaca.

Juga seperti “politbiro eksternal” yang sangat dipercaya Xi Jinping sekaligus merangkap wakil kepala negara sekarang yakni Wang Qishan, saat menggelar seminar anti korupsi akhir November 2012 silam, juga telah merekomendasikan buku “L’Ancien Régime et la Révolution” kepada 8 orang akademisi yang hadir, sinyal kekhawatiran yang tersirat bisa dirasakan oleh banyak orang.

Dalam buku ini Tocqueville menyebutkan satu pandangan yang amat penting yakni revolusi terjadi tidak selalu karena kondisi masyarakat yang kian memburuk. Kondisi yang paling sering terjadi adalah, rakyat yang tidak pernah mengeluh dan menahan diri terhadap hukum yang paling tidak tertahankan seolah tidak terjadi apa pun, begitu tekanan hukum sedikit melonggar, mereka akan memberontak.

Kondisi yang terjadi sebelum meletusnya Revolusi Prancis mirip dengan kondisi di Tiongkok saat ini. Rakyat berada dalam kondisi menahan diri. Jelas Komunis Tiongkok tengah terjebak dalam dilema.

Ketika sistem otoriter Komunis Tiongkok ini dirobek sedikit saja, rakyat mungkin tidak akan puas pada hasil yang telah “dimakzulkan.”Situasi mungkin akan mengalami perubahan yang lebih mengejutkan, tapi jika tidak mereformasi sistem lama ini, rezim Komunis Tiongkok pun tidak akan mampu mempertahankan kekuasaan. Baik maju maupun mundur, bagi Komunis Tiongkok tetap skakmat.

Seharusnya, para petinggi Partai Komunis Tiongkok termasuk Wang Qishan sendiri pun sejak beberapa tahun lalu telah menyadari besarnya risiko reformasi. Namun “stagnan, tidak reformasi, mengabaikan keadilan dan kebenaran di tengah masyarakat, hanya akan semakin memperburuk rasa kecewa rakyat, bahkan membuat masyarakat semakin terjerumus ke dalam bahaya bergejolak.”

Oleh karena itu selama lima tahun terakhir, baik slogan anti korupsi maupun “memerintah negara sesuai hukum”, atau serangkaian reformasi ekonomi, telah menampakkan upaya Komunis Tiongkok meredakan konflik masyarakat dan mempertahankan rezimnya.

Akan tetapi selama Zhongnanhai tidak rela melepaskan rezim sesat Partai Komunis Tiongkok, tidak bersedia mengubah keadaan dan tidak mau meninggalkan pemikiran akan sistem yang lama.  Apa pun kebijakan reformasi yang dikeluarkan akan sulit diterapkan.
Terutama setelah Trump menjadi presiden, dalam hal perdagangan, militer, politik dan HAM ia bersikap lebih keras dari presiden sebelumnya, “Kami negara yang hebat.” Sebuah slogan propaganda yang kerap terdengar sebelum terjadi perang dagang, tapi kini tidak lagi.

“Kami negara yang hebat,” telah dibongkar wujud aslinya, ekonomi merosot, investor, pengusaha dan konsumen telah hilang kepercayaannya, bursa efek dan nilai tukar hancur berantakan, krisis dalam negeri dimana-mana. Hal itu memaksa petinggi Beijing yang tidak bisa menemukan jalan keluar justru semakin menekan opini dan masyarakat dalam negeri, dengan cara tekanan tinggi meredam rasa tidak puas dan perlawanan rakyat, untuk mencegah meletusnya revolusi.

Mudah dilihat, resep yang diberikan Kissinger dan kawan-kawan, penguasa Beijing bukannya tidak menyadari, karena tidak sedikit tokoh hebat sudah pernah memberikan resep yang sama, tapi Beijing tidak mau menerimanya, juga tidak mewujudkannya.
Malahan menyampaikan sinyal pada AS selama tidak campur tangan “jalan perkembangan dan kepentingan inti Komunis Tiongkok segala sesuatu bisa dibicarakan. Itu berarti menyatakan pada dunia, bahwa petinggi Komunis Tiongkok tidak mau melampaui sistem yang lama.

Mereka tahu, jika menelan resep ini, berarti meninggalkan sistem partai tunggal Komunis Tiongkok, berarti rezim Komunis Tiongkok tidak bisa dipertahankan. Hali itu sepertinya sulit diterima oleh “generasi kedua dinasti merah” dalam mempertahankan rezim yang telah dibangun oleh para pendahulu mereka.

Namun nasihat yang baik memang tidak nyaman di telinga, sejarah berbagai dinasti dan kerajaan telah memberitahu manusia, bagi yang menentang kehendak Langit maka naas adalah ending-nya.

Sekali demi sekali nasihat tidak didengarkan, sekali demi sekali kesempatan dilewatkan, berapa lama waktu yang masih tersisa bagi petinggi Zhongnanhai? (sud/whs/rp)