Mampukah “Wanzhou” Seberangi “Jembatan Spionase” AS-Komunis Tiongkok?

oleh : He Qinglian

Putri dari Ren Zhengfei, sang pendiri Huawei Technology Co. Ltd., yakni Meng Wanzhou telah ditangkap oleh pemerintah Kanada, karena terkait dugaan pelanggaran aturan sanksi oleh Huawei dengan menjual peralatan pada Iran, dan sedang diupayakan pendeportasiannya ke AS atas permintaan pemerintahnya.

Berbagai tuntutan baru-baru ini terkait pencurian kekayaan intelektual melibatkan banyak mata-mata Komunis Tiongkok, namun hanya penangkapan Meng Wanzhou memicu protes keras dari Kemenlu Tiongkok. Mengingat belakangan ini Tiongkok telah kehilangan tak sedikit mata-mata senior, protes Kemenlunya membuat penulis teringat akan “jembatan spionase” tempat negara Barat dan Soviet serta Eropa Timur saling bertukar mata-matanya di masa Perang Dingin dulu.

Mata-Mata Adalah “Aset” Bagi Setiap Negara

Bagi yang suka menyaksikan film spionase pasti tahu, saat berbicara soal mata-mata, badan intelijen pada umumnya akan menyebut mata-mata sebagai aset mereka.

Sejak dulu kala mata-mata adalah semacam alat wajib dalam dua belah pihak yang bertikai, di masa damai digunakan sebagai alat untuk mencari berbagai macam data intelijen ekonomi, pertukaran mata-mata antar negara sejak dulu telah menjadi cara penting untuk menjamin keselamatan jiwa pelaku intelijen dan mempertahankan semangat juang.

Pada masa Perang Dingin, pertukaran mata-mata yang tertangkap antara AS dengan Rusia cukup sering terjadi.

Jembatan Glienicke di Jerman yang membentang Sungai Havel, menghubungkan Berlin dengan Potsdam dulu pernah menjadi lokasi pertukaran mata-mata kedua belah pihak, oleh sebab itu diberi nama “The Bridge of Spies (jembatan mata-mata, Red.)”.

Tahun 2004 ketika penulis berkunjung ke Jerman pernah mendatangi jembatan ini, waktu itu di atas jembatan sangat sepi, di tepian sungai juga tidak ada orang, kalau bukan karena tahu pada jembatan ini pernah terjadi tiga kali peristiwa pertukaran mata-mata yang sangat dikenal dunia, penulis pasti akan menganggap jembatan ini hanya sebuah jembatan biasa di luar pusat kota saja.

“Perang Rakyat” Bagi Mata-Mata Ekonomi Komunis Tiongkok

Masyarakat Tiongkok memahami apa arti “perang rakyat”. Ini adalah strategi perlawanan militer dan mekanisme mobilisasi yang diciptakan oleh Mao Zedong dan PKT dalam proses merebut kekuasaan, yang intinya adalah mengerahkan massa untuk mendukung pasukan PKT, dan  cukup efektif.

Sejak berkuasa, PKT masih menerapkan cara ini, termasuk di dalam kegiatan mata-matanya terhadap AS, masih menggunakan strategi “perang rakyat”, tapi pihak PKT menyangkalnya.

Sampai akhirnya setelah dikeluarkan pasal ke-7 dari “undang-undang intelijen RRT” tahun ini barulah tertulis: “setiap organisasi dan warga negara wajib mendukung, membantu dan bekerjasama dalam pekerjaan intelijen negara sesuai hukum yang berlaku, dan menjaga kerahasiaan pekerjaan intelijen negara yang diketahui.

Negara akan melindungi warga negara dan organisasi yang mendukung, membantu dan bekerjasama dalam pekerjaan intelijen negara.” — Pasal ini sama saja dengan mengumumkan ke seluruh dunia: di dalam perang intelijennya, RRT memang menerapkan “perang rakyat” terhadap warga negaranya.

Hal yang satu ini, telah disadari sejak awal oleh AS. Tahun 1996, Amerika telah meloloskan “hukum spionase ekonomi” (disingkat EEA, Red.), untuk pertama kalinya menetapkan bahwa “mencuri kekayaan tak berwujud seperti rahasia dagang atau kekayaan intelektual dan sejenisnya” ditetapkan sebagai tindak pidana kriminal.

Setelah EEA diresmikan, anggota kongres Partai Republik negara bagian California DPR AS yakni Christopher Cox membuat sebuah laporan rahasia yang disebut “Cox Report”, dan pada tanggal 18 Juni 1998 dengan perolehan suara 409 lawan 10 suara, memutuskan dibentuknya sebuah komisi khusus, yang misinya adalah menginvestigasi teknologi atau informasi apakah dialihkan ke RRT, karena teknologi tersebut sangat mungkin akan digunakan untuk memperkuat senjata nuklirnya, mengembangkan rudal balistik antar benua atau dipakai untuk menciptakan senjata pemusnah berskala besar lainnya.

Laporan itu menyebutkan, sejak tahun 1980 hingga 1990 PKT telah melakukan kegiatan mata-mata dalam skala besar di AS.

Waktu itu bertepatan dengan diumumkannya diakhirinya sanksi ekonomi oleh AS terhadap Komunis Tiongkok akibat tragedi “Tiananmen (1989)”, AS-RRT baru saja mengaktifkan kembali hubungan diplomatiknya, kalangan akademisi, bisnis dan teknologi yang sangat berharap memperkuat interaksi AS-RRT menentang keras laporan tersebut.

Bahkan ada yang mengkritiknya sebagai “paham McCarthyisme”, di bawah tekanan dari berbagai kalangan di dalam negeri AS, “Cox Report” seolah dkurung dan diasingkan, setelah itu selama 20 tahun kemudian, mulai pemerintahan Clinton sampai Obama, hubungan AS-RRT selalu terombang-ambing seputar masalah posisi “rekan kerjasama ekonomi”, “rekan kerjasama strategis”, “rekan kerjasama strategis yang penting”, mata-mata ekonomi dari etnis Tionghoa yang tertangkap dibandingkan dengan skala kegiatan mata-mata mereka, sebenarnya juga tidak bisa dikatakan banyak.

Perlindungan Partai Komunis Tiongkok Terhadap Mata-Mata Dalam Status Buaian

PKT tidak pernah mengakui melakukan kegiatan mata-mata di luar negeri, semua mata-mata yang tertangkap, PKT juga tidak akan memikirkan cara untuk menukarnya kembali, dengan kata lain, PKT tidak melindungi mata-matanya sendiri. Begitu tertangkap, maka akan dibiarkan begitu saja.

Walaupun negara kuat seperti AS pun, saat menyelamatkan mata-mata hanya ada satu jalan: Pertukaran, yakni dengan mata-mata lawan yang telah ditangkap bertukar tawanan dengan pihak lawan.

Jika RRT ingin mendapatkan kembali Meng Wanzhou, masalah utama bukan pada “jembatan mata-mata” antara AS dengan RRT yang belum dibuka, karena segala sesuatu selalu ada pertama kali; masalah sebenarnya adalah berapa banyak kartu as yang ada di tangan PKT.

Setelah kepala teknisi General Electric AS yang keturunan Tionghoa yakni Zheng Xiaoqing ditangkap oleh FBI karena terlibat pencurian rahasia bisnis dan teknik, kalangan luar mendapati pihak berwenang AS telah bertindak atau menolak pemberian visa terhadap akademisi dan teknisi WN AS keturunan Tionghoa yang diduga terlibat peralihan teknologi, dan orang-orang ini memiliki kesamaan yakni direkrut dalam program “Thousand Talents Program” PKT yang memberikan imbalan menggiurkan.

Kalangan akademisi etnis Tionghoa baik di RRT maupun di AS membicarakan program “Thousand Talents Program” telah disoroti oleh FBI, kaum elit etnis Tionghoa yang tadinya bangga karena terpilih dalam program “Thousand Talents” kini justru tidur tak lelap makan pun tak sedap.

Dalam “perang rakyat” di tengah perang intelijen PKT, bertahun-tahun membuahkan hasil. Ditangkapnya Meng Wanzhou dan bunuh dirinya Zhang Shousheng, sedikit banyak membuat para mata-mata ada semacam perasaan senasib sepenanggungan.

Terhadap mendiang Zhang Shousheng, RRT mungkin bisa memberi semacam penghargaan “pahlawan” atau semacamnya sebagai tanda jasa; tapi terhadap Meng Wanzhou akan sangat sulit dilakukan, walaupun mengatakan akan berusaha menyelamatkannya, tapi apakah “Wanzhou” mampu menyeberangi “jembatan mata-mata AS-RRT” ini, dikhawatirkan bahkan Beijing pun tidak berani berjanji. (SUD/WHS/asr)

Artikel ini terbit di Epochtimes Indonesia cetak edisi 583