Hancurkan Makam Huang Di, Partai Komunis Tiongkok Tak Sejalan dengan Bangsa Tionghoa (I)

Lin Hui

Mengapa bangsa Tionghoa sering menyebut dirinya “anak cucu Yan dan Huang”? Pertama karena yang dimaksud dengan kata “Yan dan Huang” itu adalah Kaisar Yan (Yan Di) dan Kaisar Huang (Huang Di).

Menurut catatan “Kitab Sejarah”, hampir lima ribu tahun silam, kaisar Xuanyuan membantu kaisar Yan menaklukkan kaum barbar yang dipimpin oleh Chi You, dan kemudian menggantikan kaisar Yan menjadi pemimpin negeri.

Karena sebagai Putra Langit, kaisar Xuanyuan mengalami pertanda baik yang berunsur ‘tanah’, sedangkan tanah berwarna kuning, maka sang kaisar pun dijuluki “Huang Di” (Kaisar Kuning, Red.). Dan makna dari ‘Putra Langit’ adalah putra yang dicintai Tuhan, yang dititiskan di dunia untuk menjalankan perintah dan prinsip Langit. Oleh sebab itu, di dalam sejarah Tiongkok, kaisar Huang menjadi kaisar pertama yang telah menyatukan berbagai suku Tionghoa.

Setelah itu, kelompok / suku Yan dan kelompok Huang di bawah kepempimpinan kaisar Huang bersatu menjadi bangsa Tionghoa, maka bangsa Tionghoa juga menyebut dirinya sebagai ‘keturunan Huang Di’, dan karena dua kelompok Yan dan Huang telah bersatu menjadi bangsa Tionghoa, maka disebut juga ‘anak cucu Yan dan Huang’.

Di masa pemerintahannya, Huang Di mengangkat ratusan pejabat, menetapkan aturan, menerima orang-orang pintar, mengadakan acara ritual menyembah Langit dan Bumi serta memerintah dengan moralitas. Jabatan yang diberikan oleh Huang Di diberi nama dengan kata “Yun” (awan, Red.), pasukan militer disebut “Yun Shi” dan lain sebagainya. Ia mengangkat Pengawas Kiri dan Kanan, merekalah yang mengawasi berbagai suku. Ia juga kerap bersembahyang ke hadirat Dewata juga para roh gunung dan sungai, frekuensinya paling banyak sepanjang sejarah. Ia juga menggunakan para pejabat bijak seperti Feng Hou untuk menata kehidupan masyarakat.

Selain itu, Huang Di menaati siklus empat musim langit dan bumi, membaca perubahan Yin dan Yang, menjelaskan prinsip hidup dan mati, menjelaskan penyebab hidup dan mati, berdasarkan musim menanam berbagai jenis tanaman pangan, memelihara unggas, hewan, dan ulat sutra, menggunakan berbagai jenis materi seperti air, api, kayu dan lain sebagainya secara bijak. Ia juga memerintahkan pejabat maupun rakyat membangun rumah permanen, menanam padi-padian, menenun pakaian, membuat kapal dan kereta.

Di masa kekuasaan Huang Di, berbagai macam penemuan seperti aksara, medis, ilmu berhitung, kalender, alat musik, tembikar, sutra dan lain-lain bermunculan susul menyusul. Cang Jie menciptakan huruf mandarin, kereta kompas adalah penemuan Kaisar Huang (Huang Di). Itu sebabnya generasi selanjutnya menganggap peradaban Tionghoa dibangun pada masa Huang Di.

Karena kearifan Huang Di, seluruh negeri tenang dan damai, rakyat hidup berkecukupan. Dalam “Si Ji (Kitab Sejarah)” disebutkan, selama seratus tahun kaisar Huang berkuasa, di Tiongkok tidak terdapat fenomena pencurian dan perampokan, masyarakat hidup bergotong-royong dan rukun, cuaca terkendali, setiap tahun selalu panen raya, bahkan hewan buas pun tidak mengganggu masyarakat, berbagai hewan, unggas dan serangga pun terpengaruh oleh kearifannya, dan menjadi teladan dunia dimana “moral menyebar di seluruh penjuru negeri, ibarat surga dunia”, oleh sebab itu generasi selanjutnya juga menyebut kaisar Xuanyuan sebagai “leluhur manusia dan peradaban”.

Selama memerintah Tiongkok, Huang Di juga berkultivasi diri. Kemudian moksa dengan cara membubung ke langit dan mencapai kesempurnaan. Masyarakat yang berterima kasih pada Huang Di kemudian memakamkan pakaian kebesaran yang ditinggalkan kaisar Huang di kaki gunung Qiao, yaitu di Makam Huang Di yang sekarang terletak di kabupaten Huangling kota Yan’an provinsi Shaanxi.

Selama ribuan tahun setelahnya, kegiatan memuja Huang Di tidak pernah terhenti. Sejak Dinasti Xia, Dinasti Zhou dan Dinasti Shang sampai Dinasti-dinasti: Qin, Han, Sui, Tang, Song, Yuan, Ming dan Qing, selain pada masa tertentu ada yang memuja Huang Di sebagai “Dewa Langit” atau sebagai “Sang Kaisar”, pemerintahan mana pun tanpa kecuali menghormatinya sebagai leluhur bangsa Tionghoa dan memujanya.

Khususnya pada Hari Qing Ming dan Hari Chong Yang, masyarakat yang datang untuk bersembahyang di makam Huang Di sangat banyak. Seperti pada Dinasti Ming, jadwal pemujaan terhadap Huang Di yang dimasukkan dalam kegiatan ofisial mencapai 14 kali, pada Dinasti Qing bahkan tercatat mencapai 30 kali.

Di awal pemerintahan kaum nasionalis, ketika Dr. Sun Yat Sen menjabat sebagai presiden darurat Pemerintahan Nasionalis Republik Tiongkok, Dr. Sun Yat Sen pernah menulis doa khusus dan mengirim utusan khusus melakukan pemujaan di makam Huang Di. Setelah itu karena peperangan dan pergolakan, hingga tahun 1935 pada perayaan Hari Qing Ming pemerintahan nasionalis baru melakukan pemujaan kedua kali ke makam itu, sekaligus juga menjiarahi makam kaisar Zhou dan makam kaisar Mu, tujuannya agar ‘membangkitkan kesadaran rakyat untuk mengenang leluhur bangsa Han (Tionghoa) dan membangkitkan rasa nasionalisme’.

“Ada lima etika, tidak ada yang lebih penting daripada pemujaan”. “Pemimpin berdoa, adalah etika negara, dan etika, menentukan keberhasilan pemerintahan, maka doa ditetapkan sebagai upacara negara”. Oleh sebab itu mengenang leluhur menjadi tradisi bangsa Tionghoa yang telah ada sejak zaman dulu kala. Memuja langit dan bumi, mengenang leluhur dan nenek moyang, menghargai berbagai mahluk gaib, menghadap ke empat penjuru, telah menjadi bagian yang tidak boleh kurang dalam kegiatan “memuja Langit menghormati leluhur” bangsa Tionghoa.

Nasionalis dan Komunis Doa Bersama Di Makam Huang Di, PKT Membohongi Dunia

Pada 12 Desember 1936, di bawah rekayasa PKT, wakil Panglima Penumpasan Komunis Wilayah Barat Laut Zhang Xueliang dan Yang Hucheng melakukan kudeta militer di Xi’an dan menahan pimpinan mereka yakni Ketua Nasionalis Chiang Kai Shek.

Tapi berkat tekanan Stalin dari Uni Soviet dan berbagai kalangan di dalam negeri, PKT yang berniat menyingkirkan Chiang terpaksa memilih untuk mengalah, dan membujuk Chiang Kai Shek agar bersedia bekerja sama dalam peperangan.

Kudeta militer di Xi’an pun diselesaikan dengan damai, Chiang Kai Shek pulang dengan selamat, Zhang Xueliang yang sadar telah diperdaya, maka ‘harus menebus kesalahannya’, dan mendampingi Chiang Kai Shek kembali ke Nanjing, ibu kota Republik Tiongkok kala itu.

Dengan latar belakang ini, di bulan Maret 1937, saat berunding di Hangzhou Zhou Enlai yang mewakili kaum komunis mengemukakan, agar kaum nasionalis dan komunis bersama-sama menyembahyangi makam Huang Di, Chiang Kai Shek pun menyetujuinya. Dan sebelumnya, PKT yang telah tida di Shaanxi utara tidak pernah terpikirkan untuk menyembahyangi makam Kaisar Huang tersebut.

Pada 5 April 1937 pukul 7 pagi, kedua partai nasionalis (Kuo Min Tang) dan komunis melangsungkan upacara pemujaan di depan makam kaisar untuk menghormati Huang Di. Kuo Min Tang dan pemerintah nasionalis Nanjing masing-masing mengutus perwakilan untuk ritual pemujaan, sementara perwakilan PKT hanya sebagai pendamping.

Perbedaan status perwakilan yang melakukan pemujaan itu menandakan Kuo Min Tang adalah partai berkuasa yang sah. Pendoa utama dari pihak Kuo Min Tang yang mewakili pusat adalah Zhang Ji, perwakilan pemerintah nasionalis Sun Weiru, dan peserta doa mencapai ribuan orang, sedangkan dari pihak PKT hanya dihadiri oleh Lin Boqu dan 4 orang lainnya. Pendoa dari kedua belah pihak membacakan naskah doa masing-masing. (SUD/WHS/asr)

Bersambung

Video Rekomendasi : 

https://www.youtube.com/watch?v=4uCJcxw3lDk