Tulis Cuitan Soal Sosial, Pengguna Twitter di Tiongkok Ditahan

Oleh Olivia Li – Epoch Times

Seorang aktivis hak di Tiongkok baru-baru ini ditahan karena berbagi artikel mengenai masalah sosial di Tiongkok di Twitter. Tindakan ini merupakan contoh terbaru penindasan rezim Tiongkok terhadap warganegara Tiongkok yang menggunakan platform media sosial luar negeri.

Sun Yuanping dipanggil oleh polisi di kota Shijiazhuang di provinsi Hebei,  utara Tiongkok pada 22 Maret 2019 dan ditahan selama tujuh hari.

Sun Yuanping, yang bekerja di sebuah perusahaan konsultan Hebei, sering melewati firewall internet Tiongkok untuk menarik perhatian terhadap ketidakadilan sosial di Tiongkok. Sebagai contoh, ia membantu para korban kesalahan vaksinasi. Dia juga berkampanye untuk pembebasan Niu Shubin, seorang pemuda yang dieksekusi setelah dihukum secara keliru karena kasus pemerkosaan dan pembunuhan pada tahun 1995 silam.

Polisi mendakwa Sun Yuanping dengan “gangguan penghasut,” dan mengeluarkan “keputusan hukuman administratif” yang menyebabkan ia ditahan selama tujuh hari, yang menuduhnya “berbagi komentar yang tidak pantas mengenai masalah politik berkali-kali di Twitter tanpa alasan yang jelas.”

Twitter dilarang oleh polisi internet rezim Tiongkok, tetapi banyak pembangkang dan warganegara Tiongkok lainnya yang mengatasi sensor untuk mengaksesnya.

Setelah penangkapan Sun Yuanping, akun Twitter-nya menjadi offline. Diyakini pihak berwenang Tiongkok secara paksa menutup akunnya.

Kasus Sun Yuanping adalah kasus terbaru dalam serangkaian penangkapan sejak pihak berwenang Tiongkok mulai menekan komentar pembangkang Tiongkok di situs media sosial Amerika Serikat pada Agustus 2018.

Pada Desember 2018, pengguna Twitter Liu Hongbo dari kota Yangzhou di provinsi Jiangsu di timur Tiongkok dijatuhi hukuman enam bulan penjara karena memposting lebih dari 400 tweet yang diduga “mencemarkan nama baik Partai Komunis Tiongkok dan para pemimpin Partai Komunis Tiongkok.”

Pada Oktober 2018, komentator independen Wang Yajun ditahan selama sepuluh hari karena aktivitas Twitter-nya. Setelah dibebaskan, ia mentweet, “Twitter, sudah waktunya untuk mengucapkan selamat tinggal!”

Gao, aktivis hak asasi lain dari provinsi Hebei, mengatakan kepada The Epoch Times edisi bahasa Mandarin bahwa rezim Tiongkok baru-baru ini semakin memperketat kendalinya terhadap internet.

Bahkan berbagi posting sensitif atau menyukai posting yang berasal dari penulis yang ditargetkan oleh pihak berwenang Tiongkok dapat memicu peringatan dari polisi.

Gao mengatakan bahwa polisi datang ke kediamannya karena dia “menyukai” posting yang berasal dari dua penulis yang masuk dalam daftar hitam pihak berwenang Tiongkok.

“[Polisi] meminta saya untuk tidak menyukai posting tersebut dan menulis pernyataan untuk bertobat,” kata Gao.

Gao menjelaskan bahwa banyak aktivis hak di Tiongkok beralih menggunakan Twitter dan Facebook karena posting mereka di platform media sosial Tiongkok dengan cepat dihapus oleh sensor. Gao sendiri baru saja mulai menggunakan Twitter dan Facebook, tetapi sejauh ini salah satu akun Facebooknya telah dinonaktifkan oleh pihak berwenang Tiongkok.

Sementara itu, polisi internet Tiongkok juga telah menciptakan banyak akun Twitter untuk menghilangkan suara-suara pembangkang di platform.

Jurnalis independen Gao Yu, seorang teman dekat Sun Yuanping, menulis dalam sebuah tweet baru-baru ini: “Berapa banyak akun Twitter milik corong Partai Komunis Tiongkok? Berapa banyak akun Twitter milik polisi internet?

“Jumlah partai lima puluh sen di Twitter adalah sebanyak nyamuk di musim panas. Ini adalah invasi kebebasan pers, dan menginjak-injak hak asasi manusia tanpa malu-malu,” katanya.

“Partai lima puluh sen” adalah istilah ejekan bagi para komentator di internet yang disewa oleh Partai Komunis Tiongkok untuk mengarahkan diskusi online untuk kepentingan rezim Tiongkok dan mengkritik perbedaan pendapat. (Vv/asr)

Video Rekomendasi : 

https://www.youtube.com/watch?v=RzHBEmPBL6o